Karya ini adalah pengantar singkat mengenai filsafat Marxisme, yang terdiri dari tiga bagian: 1) Materialisme Dialektis; 2) Materialisme Historis; dan 3) Ekonomi Marxis.
Hari ini, di bawah imbas krisis kapitalis, banyak buruh yang semakin haus ingin belajar ekonomi. Mereka berusaha memahami kekuatan-kekuatan yang mendominasi kehidupan mereka. Pengantar singkat ekonomi Marxis ini mencoba memberi para buruh sadar-kelas bukannya penjelasan lengkap tentang ekonomi, tetapi panduan untuk hukum-hukum dasar mengenai gerak masyarakat kapitalis yang mendominasi kehidupannya.
Kedangkalan ilmu ekonomi kapitalis ditunjukkan oleh ketidakmampuannya untuk memahami krisis yang mempengaruhi sistemnya. Tugas ilmu ini adalah untuk menutupi fakta eksploitasi kelas pekerja dan “membuktikan” superioritas masyarakat kapitalis. “Teori-teori” dan “solusi-solusi” palsu mereka tidak mampu menambal watak kapitalisme yang busuk dan penuh penyakit. Hanya transformasi masyarakat dalam jalur sosialis dan pengenalan ekonomi terpadu yang dapat menghentikan mimpi buruk pengangguran, krisis ekonomi dan kekacauan.
Pemimpin-pemimpin buruh sayap kanan telah menolak dewa lama mereka, Keynes, dan menggantinya dengan solusi-solusi ekonomi yang “ortodoks”: pemotongan, pembatasan gaji dan deflasi. Reformis-reformis kiri masih berpegang pada kebijakan-kebijakan kapitalis yang sudah usang (reflasi, kontrol impor, dll.), yang telah terbukti tidak efektif di bawah kapitalisme.
Hanya dengan pemahaman Marxis mengenai masyarakat kapitalis maka para buruh yang sadar-kelas dapat membongkar kebohongan dan distorsi para ekonom kapitalis dan melawan pengaruh mereka dalam Gerakan Buruh.
Kondisi untuk kapitalisme
Hari ini, produksi modern terkonsentrasi di tangan perusahaan-perusahaan raksasa. Unilever, ICI, Fords, British Petroleum, adalah beberapa contoh korporasi-korporasi yang mendominasi kehidupan kita. Walaupun perusahaan-perusahaan kecil juga ada, mereka sebenarnya hanya merepresentasikan moda produksi masa lalu dan bukan masa kini. Produksi modern adalah pekerjaan skala-besar yang masif.
Sekarang, 200 perusahaan-perusahaan terbesar bersama dengan 35 bank dan firma-firma finansial mengontrol ekonomi Inggris, dan menghasilkan 85 persen output. Perkembangan ini telah berlangsung beberapa ratus tahun terakhir melalui kompetisi yang keji, krisis dan perang. Ketika para ekonom klasik memprediksi perdagangan bebas di masa depan, Marx menjelaskan perkembangan monopoli dari kompetisi di saat firma-firma yang lebih lemah bangkrut. Kapitalisme monopoli muncul dari dan juga menghancurkan persaingan bebas.
Sekilas, kelihatannya produk-produk diproduksi terutama untuk kebutuhan orang. Jelas setiap masyarakat pasti harus melakukan ini. Namun di bawah kapitalisme, barang-barang tidak diproduksi hanya untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan seseorang, namun terutama untuk dijual. Itulah fungsi paling utama dari industri kapitalis.
Seperti kata mantan pimpinan British Leyland, Lord Stokes, “Aku berbisnis untuk membuat uang, bukan mobil!” Ini adalah ekspresi yang sempurna mengenai aspirasi seluruh kelas kapitalis.
Proses produksi kapitalis memerlukan adanya kondisi-kondisi tertentu. Pertama, kehadiran kelas buruh yang besar, yang tidak memiliki properti dan terpaksa menjual diri mereka sedikit-demi-sedikit untuk bertahan hidup. Maka konsepsi Tory mengenai “property owning democracy” (demokrasi yang menjamin kepemilikan properti bagi setiap warganya) adalah suatu absurditas dalam kapitalisme, karena jika seluruh populasi memiliki cukup properti untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, para kapitalis tidak akan bisa menemukan pekerja untuk menghasilkan laba mereka. Kedua, alat-alat produksi harus terkonsentrasikan di tangan kaum kapitalis. Selama berabad-abad, kaum tani dan mereka yang memiliki sumber daya untuk menghidupi diri mereka sendiri telah diremukkan secara kejam dan sumber pencaharian mereka diapropriasi oleh kaum kapitalis dan tuan tanah. Mereka kemudian mempekerjakan para buruh untuk mengerjakan alat-alat produksi ini dan menghasilkan nilai lebih.
Nilai dan komoditas
Bagaimana kapitalisme bekerja? Bagaimana kaum buruh dieksploitasi? Dari mana laba datang? Bagaimana kemerosotan ekonomi terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus pertama-tama mempelajari kunci dari misteri ini: apa itu nilai? Setelah memecahkan masalah ini, jawaban-jawaban lain akan ditemukan. Pemahaman akan apa itu nilai sangatlah penting, untuk memahami ekonomi dalam masyarakat kapitalis.
Seluruh firma kapitalis memproduksi barang atau jasa, atau lebih tepatnya mereka memproduksi komoditas. Komoditas adalah barang atau jasa yang diproduksi hanya untuk dijual. Tentu saja, seseorang bisa saja membuat sesuatu untuk ia pakai sendiri. Sebelum kapitalisme ada, banyak orang harus melakukan itu. Namun ini bukanlah komoditas. Produksi kapitalisme terutama adalah penciptaan dan “akumulasi komoditas yang sangat besar”. (Marx, Kapital Vol. I) Itulah mengapa Marx sendiri memulai investigasinya atas kapitalisme dengan analisis mengenai karakter dari komoditas itu sendiri.
Setiap komoditas memiliki nilai-pakai untuk orang-orang. Ini berarti mereka berguna bagi seseorang karena kalau tidak mereka tidak dapat dijual. Nilai-pakai ini dibatasi oleh properti fisik dari komoditas itu.
Mereka juga memiliki nilai. Apa itu dan bagaimanakah nilai itu bisa ditunjukkan?
Jika kita mengabaikan kegunaan uang sejenak, komoditas, ketika mereka ditukarkan, akan memiliki proporsi tertentu.
Contohnya:
1 pasang sepatu = 1 jam tangan = 10 meter kain
3 botol wiski = 1 ban mobil = 10 meter kain
Setiap barang yang dicantumkan di sebelah kiri dapat ditukar dengan 10 meter kain. Mereka juga, dalam jumlah yang sama, dapat saling ditukarkan satu sama lain.
Contoh sederhana ini menunjukkan bahwa nilai tukar komoditas-komoditas yang berbeda ini mengekspresikan sesuatu yang terkandung di dalamnya. Namun apa yang membuat sepasang sepatu = 10 meter kain? Atau 1 jam tangan = 3 botol wiski? Dan seterusnya.
Pastinya ada suatu hal yang dimiliki semuanya. Tentunya bukanlah berat, warna, atau kekerasan barang. Lagi-lagi, bukan juga karena mereka berguna. Roti kurang berharga dibandingkan sebuah Rolls-Royce, namun yang satu merupakan kebutuhan pokok dan yang satu lagi barang mewah. Jadi apa kualitas bersama yang dimiliki semua komoditas ini? Satu-satunya hal yang mereka semua miliki adalah mereka semua adalah hasil dari kerja manusia.
Jumlah kerja manusia yang dikandung dalam suatu komoditas diekspresikan dalam waktu: minggu, hari, jam, menit.
Kembali ke contoh: seluruh komoditas ini dapat diekspresikan dalam faktor umum mereka, yaitu waktu-kerja.
5 jam (kerja) untuk membuat sepatu; 5 jam (kerja) untuk membuat ban; 5 jam (kerja) untuk membuat jam tangan; 5 jam (kerja) untuk membuat wiski; 5 jam (kerja) untuk membuat kain.
Kerja rata-rata
Jika kita memandang komoditas sebagai nilai-guna (kegunaan mereka), kita melihatnya sebagai sebuah “sepatu”, “jam tangan”, dll., sebagai produk-produk dari suatu bentuk kerja … kerja yang dilakukan pembuat sepatu, pembuat jam, dll. Namun dalam pertukaran, komoditas dilihat dengan cara yang berbeda. Karakter spesial mereka menghilang dan mereka muncul menjadi sekian unit kerja manusia. Sebagai gantinya kita sekarang membandingkan jumlah kerja manusia secara umum yang terkandung dalam komoditas. Semua kerja, sebagai gantinya, direduksi menjadi unit kerja rata-rata yang sederhana.
Memang benar bahwa komoditas yang diproduksi oleh pekerja terampil mengandung nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diproduksi pekerja tidak terampil. Maka sebagai gantinya, unit kerja terampil direduksi menjadi sedemikian banyak unit kerja yang sederhana dan tidak terampil. Sebagai contoh, rasio 1 unit terampil = 3 unit tidak terampil, atau sederhananya kerja terampil dihargai tiga kali lipat dibandingkan yang tidak terampil.
Sederhananya, nilai komoditas ditentukan oleh jumlah dari kerja rata-rata yang digunakan dalam produksi. (Atau berapa lama waktu yang diperlukan untuk produksi). Namun jika seperti ini, kelihatannya seorang pekerja yang malas memproduksi lebih banyak nilai dibandingkan pekerja yang paling efisien!
Mari kita ambil contoh seorang pembuat sepatu yang memilih metode-metode kedaluwarsa dari Abad Pertengahan untuk membuat sepatu. Dengan metode ini, perlu seharian untuk membuat sepasang sepatu. Ketika ia hendak menjualnya di pasar, ia menemukan bahwa sepatu buatannya harganya sama dengan yang dibuat di pabrik-pabrik yang lebih modern dengan mesin yang lebih lengkap.
Jika pabrik-pabrik ini memproduksi sepasang sepatu dalam waktu misalnya setengah jam, mereka mengandung lebih sedikit kerja (dan oleh karena itu nilainya juga lebih sedikit) dan akan dijual lebih murah. Ini akan mendorong si pembuat sepatu yang menggunakan cara-cara Abad Pertengahan menuju kebangkrutan. Kerjanya dalam memproduksi sepasang sepatu setelah setengah jam berlalu adalah kerja yang sia-sia, dan tidak perlu dilakukan di bawah kondisi-kondisi modern. Ia akan terpaksa memperkenalkan teknik-teknik modern dan memproduksi sepatu yang setidaknya setara dengan waktu yang diperlukan yang dikembangkan oleh masyarakat.
Dimana pun dan kapan pun, dengan kerja, mesin, metode, dll., yang rata-rata, semua komoditas membutuhkan rentang waktu produksi tertentu. Hal ini tergantung pada tingkat teknologi dalam masyarakat. Dalam kata-kata Marx, semua komoditas harus diproduksi dalam waktu yang diperlukan secara sosial. Waktu-kerja yang melampaui ini akan menjadi kerja sia-sia, yang menyebabkan naiknya ongkos produksi dan membuat perusahaan menjadi tidak kompetitif.
Jadi, lebih tepatnya, nilai suatu komoditas ditentukan oleh jumlah kerja yang diperlukan secara sosial yang terkandung di dalamnya. Secara alami, waktu-kerja ini terus-menerus berubah seiring munculnya teknik dan metode kerja yang baru. Kompetisi menyingkirkan siapapun yang tidak efisien.
Maka kita juga bisa memahami mengapa batu permata memiliki nilai yang lebih tinggi daripada barang-barang sehari-hari. Lebih banyak waktu-kerja yang diperlukan secara sosial untuk menemukan dan mengekstraksi permata, dibandingkan produksi komoditas-komoditas biasa. Maka nilai permata jauh lebih tinggi.
Suatu barang dapat memiliki nilai-guna tanpa memiliki nilai, dengan kata lain suatu barang yang berguna yang tidak memiliki waktu-kerja untuk memproduksinya: udara, sungai, tanah, padang rumput, dll. Maka kerja bukan satu-satunya sumber kekayaan, atau sumber nilai-guna, namun alam juga merupakan sumber.
Dari penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa peningkatan produktivitas akan meningkatkan jumlah barang yang diproduksi (kekayaan material), namun dapat mengurangi nilai dari barang-barang tersebut, dalam kata lain, jumlah kerja yang terkandung dalam tiap-tiap komoditas berkurang. Produktivitas yang meningkat oleh karenanya akan menghasilkan peningkatan kekayaan. Dengan dua jaket dua orang bisa berpakaian, dengan satu jaket hanya satu orang. Bagaimanapun juga, peningkatan dalam jumlah kekayaan material dapat berhubungan dengan penurunan dalam jumlah nilainya.
Uang
Karena kesulitan pertukaran dengan metode barter, semakin sering suatu benda dijadikan “uang”. Selama berabad-abad satu komoditas – yaitu emas – dipilih untuk memainkan peran ini sebagai “ekuivalen universal”. (Marx, Das Kapital Vol. I)
Daripada mengekspresikan nilai suatu barang dengan sejumlah mentega, daging, kain, dll., nilai barang itu diekspresikan dengan emas. Ekspresi uang dari suatu nilai disebut harga. Emas digunakan karena kualitasnya. Emas mengkonsentrasikan nilai yang besar dalam jumlah yang kecil, dapat dibagi menjadi koin-koin dengan mudah, dan juga tangguh.
Seperti semua komoditas lainnya, nilai emas itu sendiri ditentukan oleh jumlah waktu-kerja yang dihabiskan untuk produksi. Sebagai contoh, ambillah 40 jam kerja untuk memproduksi satu ons emas. Lalu semua barang lainnya yang memerlukan waktu yang sama untuk diproduksi adalah setara dengan satu ons emas itu. Barang yang memerlukan waktu setengahnya untuk diproduksi adalah setara dengan setengah ons emas, dan seterusnya.
Satu ons emas = 40 jam kerja, ½ ons emas = 20 jam kerja, ¼ ons emas = 10 jam kerja. Oleh karena itu: satu mobil (40 jam kerja) = 1 ons emas. Satu meja (10 jam kerja) = ¼ ons emas.
Karena perubahan-perubahan dalam teknik produksi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, semua nilai komoditas berfluktuasi terus-menerus, seperti banyak kereta dalam suatu stasiun yang datang dan pergi dalam waktu yang berbeda-beda. Jika kita naik kereta manapun sebagai standar bergerak relatif dengan gerakan kereta lainnya, tentu akan menyebabkan kebingungan. Hanya dengan diam berdiri di peron yang tidak bergerak kita bisa melihat secara akurat apa yang terjadi. Dalam hubungannya dengan perubahan setiap barang, emas berlaku sebagai ukuran. Walaupun paling stabil, bahkan emas pun terus berubah-ubah, karena tidak ada komoditas yang nilainya benar-benar tetap.
Harga komoditas
Hukum nilai mengatur harga barang. Seperti dijelaskan di atas, nilai komoditas adalah setara dengan jumlah kerja yang terkandung di dalamnya. Dalam teori, nilai adalah setara dengan harga. Namun kenyataannya, harga suatu komoditas cenderung entah di atas atau di bawah nilai aslinya. Fluktuasi ini disebabkan oleh berbagai pengaruh terhadap harga pasar, seperti perkembangan monopoli. Perbedaan antara persediaan dan permintaan juga memiliki efek yang besar. Sebagai contoh, bisa jadi ada surplus suatu komoditas di pasar, dan harganya pada hari itu bisa jadi jauh di bawah nilai aslinya, atau jika ada kelangkaan, harga akan melonjak melampaui nilai asli. Efek dari persediaan dan permintaan telah menggiring ekonom-ekonom borjuis untuk percaya bahwa hukum ini adalah satu-satunya faktor dalam menentukan harga. Yang mereka tidak mampu jelaskan adalah bahwa harga selalu berfluktuasi seputar suatu tingkat yang pasti. Tingkat ini tidak ditentukan oleh persediaan dan permintaan, namun oleh waktu-kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi barang itu. Sebuah truk lori selalu akan lebih mahal dibandingkan sebuah ember plastik.
Laba
Beberapa orang “cerdas” telah menciptakan teori bahwa laba muncul dari membeli murah dan menjual mahal. Di Nilai, Harga dan Laba, Marx menjelaskan mengapa argumen ini omong kosong:
“Apa yang seseorang menangkan sebagai penjual akan menjadi kehilangan baginya sebagai pembeli. Kita tidak bisa mengatakan bahwa ada pembeli yang bukan penjual atau konsumen yang bukan produsen. Yang dibayar orang-orang ini ke produsen, mereka harus pertama-tama mendapatkannya secara cuma-cuma. Jika seseorang pertama-tama mengambil uangmu dan kemudian mengembalikan uang itu dengan membeli komoditasmu, kamu tidak akan pernah memperkaya dirimu dengan menjual komoditasmu terlalu mahal ke orang yang sama. Transaksi jenis ini dapat mengurangi kerugian, tetapi tidak akan pernah membantu merealisasikan laba”. (Marx, Nilai, Harga dan Laba)
Daya-Kerja (Labour Power)
Dalam mencari “faktor-faktor produksi”, kapitalis melihat “pasar buruh” seperti halnya pasar komoditas lainnya secara umum. Kemampuan dan energi buruh hanya dilihat sama seperti komoditas lainnya. Ia membuka iklan untuk memperkerjakan tangan-tangan tersebut.
Yang harus kita jelaskan di sini adalah apa yang sebenarnya telah dibeli kapitalis. Buruh telah menjual bukan kerjanya, namun kemampuannya untuk bekerja. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai daya-kerjanya (labour power).
Daya-kerja adalah suatu komoditas yang diatur oleh hukum-hukum yang sama seperti komoditas lainnya. Nilainya ditentukan oleh waktu-kerja yang diperlukan untuk produksinya. Daya-kerja adalah kemampuan buruh untuk bekerja. Ini “dikonsumsi” oleh kapitalis dalam proses-kerja yang aktual. Namun ini mengasumsikan keberadaan dan kesehatan dan kekuatan buruh. Produksi daya-kerja oleh karenanya berarti perawatan diri buruh dan reproduksi spesiesnya, untuk menyediakan generasi-generasi pekerja baru untuk kapitalis.
Waktu-kerja yang diperlukan untuk perawatan buruh adalah waktu-kerja yang diperlukan untuk memproduksi kebutuhan pokok untuknya dan keluarganya untuk bisa bertahan hidup: sandang, pangan, papan, dsb. Jumlahnya bervariasi di negeri-negeri yang berbeda, iklim berbeda, dan periode sejarah yang berbeda-beda. Yang mencukupi seorang buruh di Kalkuta tidak akan cukup bagi seorang buruh tambang di Wales. Yang mencukupi seorang buruh tambang di Wales lima puluh tahun yang lalu tidak akan cukup bagi seorang buruh mobil di Midlands hari ini. Menyangkut nilai daya-kerja, tidak seperti nilai-nilai komoditas lain, ada elemen historis dan bahkan moral. Bagaimanapun juga, di negeri manapun, di fase perkembangan sejarah manapun, ada “standar hidup” tertentu yang diakui. (Secara kebetulan, segala bentuk kemajuan manusia didorong oleh terbentuknya kebutuhan-kebutuhan baru).
Tidak ditipu!
Selain reproduksi harian daya-kerjanya, dan reproduksi spesies, pada tingkatan tertentu dalam perkembangan teknik kapitalisme, suatu jumlah tertentu harus disediakan untuk pendidikan para buruh untuk menyesuaikan mereka dengan kondisi-kondisi industri modern dan meningkatkan produktivitas mereka.
Tidak seperti sebagian besar komoditas, daya-kerja baru dibayar setelah dikonsumsi. Para buruhlah yang dengan murah hati memberi pinjaman kepada majikan mereka! (berminggu-minggu bekerja sebelum diupah; perusahaan yang mangkir upah atau pailit; semua ini menyebabkan hilangnya upah buruh).
Meskipun ini semua terjadi, buruh tidak ditipu. Ia mencapai kesepakatan ini dengan majikannya dengan kehendak bebasnya sendiri. Seperti komoditas-komoditas lainnya, nilai-nilai yang setara ditukar: komoditas buruh, yaitu daya-kerja, dijual ke kapitalis dengan harga yang sepatutnya. Semua orang puas. Dan jika buruh tidak puas, ia bebas untuk pergi dan mencari kerja di tempat lain, jika ia bisa.
Penjualan daya-kerja ini mengedepankan sebuah problem. Jika “tidak ada yang ditipu”, jika buruh menerima nilai penuh untuk komoditasnya, dari mana datangnya eksploitasi? Dari mana kapitalis mendapatkan keuntungannya? Jawabannya adalah buruh menjual kepada kapitalis, bukan kerjanya (yang terealisasikan dalam proses kerja), namun daya kerjanya – atau kemampuannya untuk bekerja.
Setelah membeli ini sebagai komoditas, kapitalis bebas menggunakannya sesuai dengan keinginannya. Seperti dijelaskan oleh Marx: “Semenjak ia menjejakkan kaki di pabrik, nilai-guna dari daya-kerjanya, dan oleh karena itu penggunaannya, yaitu kerja, menjadi milik kapitalis”. (Marx, Kapital, Vol.I)
Nilai lebih
Kita akan melihat dari contoh berikut bahwa kapitalis membeli daya-kerja karena ini adalah satu-satunya komoditas yang dapat memproduksi nilai-nilai baru di atas nilainya sendiri.
Mari kita ambil contoh seorang buruh yang bekerja memintal kapas menjadi benang. Ia dibayar 1 poundsterling per hari dan bekerja 8 jam per hari.
Setelah 4 jam ia telah memproduksi 100 pon benang dengan total nilai £20. Nilai £20 ini terdiri dari: Bahan mentah £11 (kapas, pemintal, bahan bakar), depresiasi £1 (penyusutan akibat penggunaan dan kerusakan alat, mesin, dsb.), nilai baru £8.
Nilai baru yang diciptakan cukup untuk membayar gaji buruh selama 8 jam penuh. Pada titik ini kapitalis telah membayar semua ongkos produksi (termasuk total tagihan upahnya sendiri). Namun belum ada nilai lebih (laba) yang telah diproduksi.
Selama 4 jam selanjutnya 100 pon benang baru diproduksi lagi senilai £20. Dan lagi-lagi £8 nilai baru telah diciptakan, namun kali ini gaji sudah dibayar. Maka nilai baru ini (£8) adalah nilai lebih. Dari sini, nilai lebih ini akan dibagikan untuk sewa (kepada tuan tanah), bunga (kepada pemberi pinjaman), dan laba (kepada industrialis). Maka nilai lebih atau laba, menurut Marx, adalah kerja kelas buruh yang tidak dibayar.
Hari kerja
Rahasia produksi nilai lebih adalah buruh terus bekerja lama setelah ia telah memproduksi nilai yang diperlukan untuk reproduksi nilai daya-kerjanya (upahnya). “Fakta bahwa bekerja setengah hari sudah mencukupi kebutuhan hidup buruh sama sekali tidak mencegahnya untuk bekerja sehari penuh.” (Marx, Kapital, Vol. I)
Buruh telah menjual komoditasnya dan tidak bisa mengeluh tentang bagaimana dia akan dipakai, seperti halnya seorang penjahit tidak bisa menjual sebuah setelan dan menuntut konsumen untuk tidak memakainya sesuai keinginannya. Hari kerja pun diatur sedemikian rupa untuk memastikan laba paling tinggi dari daya-kerja yang telah dibeli kapitalis. Di sinilah terletak rahasia transformasi uang menjadi modal/kapital.
Kapital konstan
Dalam produksi itu sendiri, mesin dan bahan mentah kehilangan nilai guna mereka, mereka dihabiskan dan terserap ke dalam produk baru yang dihasilkan. Mereka memindahkan nilai mereka ke dalam komoditas yang baru tersebut.
Ini jelas dalam hal bahan-bahan mentah (kayu, logam, pewarna, bahan bakar, dll.) yang dikonsumsi sepenuhnya dalam proses produksi, dan kemudian muncul lagi dalam sifat-sifat barang yang dihasilkan.
Di sisi lain, mesin tidak menghilang dengan cara yang sama. Namun mereka dapat mengalami aus selama proses produksi, dan rusak secara perlahan-lahan. Momen persis ketika suatu mesin akhirnya disebut usang sama susahnya untuk ditentukan seperti kapan tepatnya seorang manusia meninggal. Namun sebagaimana halnya perusahaan-perusahaan asuransi, dengan dasar teori rata-rata, dapat membuat perhitungan yang sangat akurat (dan menguntungkan) mengenai panjangnya hidup orang, kapitalis juga tahu lewat pengalaman dan perhitungan kira-kira seberapa lama suatu mesin masih bisa dipakai.
Depresiasi mesin, kehilangan nilai guna setiap hari, dihitung berdasarkan ini dan ditambahkan ke biaya barang yang diproduksi. Oleh karena itu, alat-alat produksi menambahkan nilai mereka ke dalam komoditas seiring dengan depresiasi nilai gunanya. Maka, alat-alat produksi tidak dapat memindahkan ke komoditas lebih dari nilai yang hilang dari mereka selama proses produksi. Karena inilah alat-alat produksi disebut kapital konstan.
Kapital variabel
Sementara alat-alat produksi tidak menambahkan nilai baru ke komoditas-komoditas yang diproduksi, dan hanya dapat menjadi aus, kerja buruh tidak hanya melanggengkan, namun juga menambahkan nilai baru ke produknya hanya dengan bekerja. Jika proses kerja berhenti tepat ketika buruh ini telah memproduksi barang senilai dengan daya-kerjanya, yaitu dalam 4 jam (£8) ini satu-satunya nilai baru yang diciptakan.
Namun proses bekerja tidak berhenti di sana. Ini hanya menutupi pengeluaran kapitalis dalam mengupah buruh. Kapitalis tidak merekrut buruh untuk beramal namun demi laba. Setelah secara “sukarela” menyetujui kontrak dengan kapitalis, buruh harus terus bekerja, memproduksi nilai surplus yang melebihi upah yang disetujui.
Alat-alat produksi di satu sisi, dan daya-kerja di sisi lainnya – yaitu ”faktor-faktor produksi” ekonomi borjuis – merepresentasikan bentuk berbeda-beda dari kapital asal dalam fase kedua dalam siklus ini: UANG-KOMODITAS-UANG [(beli)-(produksi)-(jual)]
Ekonom-ekonom kapitalis memperlakukan faktor-faktor ini dengan setara. Marxisme membedakan antara bagian kapital yang tidak melalui perubahan nilai apapun dalam proses produksi (mesin, peralatan, bahan mentah) dan bagian yang direpresentasikan oleh daya-kerja yang menciptakan nilai baru. Bagian pertama kapital disebut kapital konstan, dan yang kedua disebut kapital variabel. Nilai total dari sebuah komoditas terdiri dari kapital konstan, kapital variabel dan nilai lebih, yaitu C (constant kapital) + V (variable capital) + S (surplus value).
Kerja-yang-diperlukan dan kerja-lebih
Kerja yang dilakukan kelas buruh dapat dibagi menjadi dua bagian:
(1) Kerja-yang-diperlukan: Bagian dari proses kerja yang diperlukan untuk menutupi biaya upah.
(2) Kerja-lebih: Kerja ekstra yang dilakukan setelah kerja-yang-diperlukan, yang menghasilkan laba.
Untuk meningkatkan laba, kapitalis terus-menerus berusaha mengurangi biaya upah. Ia melakukan ini dengan berusaha untuk (1) memperpanjang hari kerja, memperkenalkan pola jadwal kerja yang baru, dll.; (2) meningkatkan produktivitas untuk menutupi upah dengan lebih cepat; (3) menekan kenaikan upah atau berusaha memotongnya.
Laju nilai lebih
Karena seluruh tujuan produksi kapitalis adalah untuk menyedot nilai lebih dari kerja kelas buruh, proporsi antara kapital variabel (upah) dan nilai lebih (laba) adalah hal yang paling penting. Kenaikan upah akan berarti penurunan laba, dan sebaliknya. Pergumulan untuk memperebutkan nilai lebih inilah yang menjadi perjuangan kelas. Yang dikhawatirkan oleh kapitalis bukanlah jumlah nilai lebih yang diproduksi namun laju nilai lebih. Untuk setiap poundsterling yang ia tanamkan sebagai kapital, ia mengharapkan hasil yang besar. Laju nilai lebih adalah laju eksploitasi buruh oleh kapital. Ini dapat didefinisikan sebagai S/V (Surplus value/Variable capital), atau Nilai-lebih / kapital variabel. Contohnya dalam satu pabrik kecil, total kapital £500 terdiri dari Kapital Konstan (£410) dan Kapital Variabel (£90). Melalui proses produksi, nilai komoditas telah meningkat dengan nilai lebih £90. Nilai komoditas baru yang tercipta adalah £590, yaitu C(£410) + V(£90) + S(£90).
Kapital variabel merupakan kerja yang hidup, ia memproduksi nilai baru dari nilai lebih. Maka peningkatan relatif dari nilai yang diproduksi dari kapital variabel memberi kita laju nilai lebih S/V = £90/£90 = 100% laju nilai lebih.
Laju laba
Di bawah tekanan persaingan domestik dan luar negeri, kapitalis terdorong untuk terus-menerus memperbaharui alat-alat produksi dan meningkatkan produktivitas. Keperluan untuk ekspansi mendorongnya untuk menggunakan semakin besar porsi kapitalnya untuk mesin dan bahan mentah, dan lebih sedikit untuk daya-kerja (upah); dan dengan demikian mengurangi proporsi kapital variabel dibandingkan kapital konstan. Beriringan dengan otomatisasi muncullah konsentrasi kapital, likuidasi perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, dan dominasi ekonomi oleh monopoli-monopoli raksasa. Ini menyebabkan perubahan dalam komposisi teknis kapital.
Namun karena hanya kapital variabel (daya-kerja) yang menjadi sumber nilai lebih (laba), maka semakin besarnya jumlah yang diinvestasikan ke dalam kapital konstan berakhir pada kecenderungan bagi laju laba untuk jatuh. Walaupun dengan investasi-investasi baru laba dapat meningkat sangat tinggi, laba tidak meningkat secara proporsional dengan pengeluaran kapital yang semakin besar.
Sebagai contoh, ambillah seorang kapitalis dengan total kapital £150 yang terdiri dari Kapital Konstan (£50) dan Variabel (£100). Ia mempekerjakan 10 orang dengan upah £10 per hari untuk membuat meja dan kursi. Setelah bekerja sehari mereka memproduksi £250 dalam total nilai:
Kapital Variabel (upah yang dibayar) = £100
Kapital Konstan = £50
Nilai lebih = £100
Laju nilai lebih dapat dihitung sebagai S/V (Surplus value / Variable Capital). Dalam kasus ini, 100 poundsterling / 100 poundsterling = 100 % laju nilai lebih. Laju laba dihitung sebagai Surplus value / Kapital total = 100 poundsterling / 150 poundsterling = 66% laju laba.
Bila kapital konstan ditingkatkan, maka laju laba menurun. Dalam contoh yang sama, dengan laju nilai lebih yang sama kita tingkatkan kapital konstan dari £50 menjadi £100. Maka laju laba = Nilai Lebih/Kapital Total = £100/£200 = 50%. Lagi, jika kita meningkatkan kapital konstan menjadi £200, dengan semua hal lainnya tetap sama, maka Nilai Lebih/Kapital Total = £100/£300 = 33.33 % laju laba. Dan jika kapital tetap dinaikkan menjadi £300, laju laba akan menjadi £100/£400 = 25%.
Peningkatan kapital konstan ini mengekspresikan, dalam ungkapan Marxis, komposisi kapital organik yang lebih tinggi, dan merupakan perkembangan progresif dari kekuatan produksi. Oleh karena itu, kecenderungan tersebut adalah inheren dalam modus produksi kapitalis dan telah menjadi salah satu dari problem besar yang dihadapi kelas kapitalis di periode pasca-perang. Jumlah nilai lebih meningkat, namun proporsinya jika dibandingkan dengan bertambah besarnya kapital konstan ini berakibat pada jatuhnya laju laba. Kapitalis telah secara terus-menerus berusaha untuk mengatasi kontradiksi ini dengan meningkatkan eksploitasi kelas buruh, untuk meningkatkan jumlah nilai lebih dan oleh karena itu laju laba, dengan cara-cara selain investasi. Mereka melakukan ini dengan berbagai cara, yakni dengan meningkatkan intensitas eksploitasi, meningkatkan kecepatan mesin, dan memperpanjang jam kerja. Metode lain untuk memulihkan laju laba adalah dengan memotong upah buruh di bawah nilai mereka yang sebenarnya. Hukum kapitalisme yang paling mendasar menghasilkan kontradiksi-kontradiksi yang begitu besar. Pencarian laba terus-menerus oleh kaum kapitalis memberi dorongan untuk investasi, namun teknologi baru malah terus menekan upah buruh. Namun, secara paradoksal, satu-satunya sumber laba adalah dari kerja kelas buruh.
Ekspor kapital
Tahapan tertinggi kapitalisme – yaitu imperialisme – ditandai oleh ekspor kapital besar-besaran. Dalam pencarian mereka untuk meningkatkan laba, kapitalis dipaksa untuk menginvestasikan sejumlah uang yang besar ke luar negeri, ke negeri-negeri dengan komposisi kapital yang rendah. Pada akhirnya, seluruh dunia, seperti dijelaskan Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis didominasi oleh modus produksi kapitalis.
Salah satu kontradiksi besar dalam kapitalisme, yang jelas terpampang, adalah problem bahwa kelas buruh sebagai konsumen harus membeli kembali apa yang telah mereka produksi. Namun karena mereka tidak menerima nilai penuh dari kerja mereka, mereka tidak punya sumber daya untuk melakukan itu. Kapitalis menyelesaikan kontradiksi ini dengan mengambil nilai lebih tersebut dan menginvestasikannya kembali dalam pengembangan kekuatan produksi lebih lanjut. Mereka juga ingin menjual nilai lebih yang tersisa ke pasar global dalam persaingan dengan kapitalis-kapitalis dari berbagai negeri lainnya. Namun semua ini ada batasnya karena semua kapitalis dunia bermain dalam permainan yang sama. Selain itu, kapitalis bergantung pada kredit, melalui sistem perbankan, untuk menyediakan uang yang diperlukan oleh massa populasi untuk membeli barang-barang mereka. Namun ini juga ada batasnya karena pada akhirnya hutang harus dibayar, dengan suku bunga.
Ini menjelaskan mengapa secara periodik, boom ekonomi diikuti dengan periode-periode krisis secara reguler. Persaingan sengit untuk pasar berakhir dengan krisis overproduksi bagi kapitalisme. Sifat destruktif krisis ini, yang disusul dengan penghilangan kapital yang telah terakumulasi secara besar-besaran, adalah bukti yang memadai bahwa masyarakat kapitalis telah tiba ke kebuntuan.
Semua faktor yang berkontribusi pada boom ekonomi di seluruh dunia setelah perang dunia kedua telah mempersiapkan jalan untuk kemerosotan dan krisis global. Karakteristik dari era ini adalah krisis organik yang sekarang dihadapi kapitalisme. Pada satu titik tertentu, kelas buruh akan dihadapkan dengan krisis seperti tahun 1929 jika kapitalisme tidak dihapuskan [Sebuah prediksi yang terbukti dengan krisis finansial 2008 – catatan editor]. Hanya dengan menumbangkan anarkisme produksi kapitalisme maka umat manusia dapat mencegah chaos, kemubaziran dan barbarisme kapitalisme. Hanya dengan menghapus properti pribadi dari alat-alat produksi, masyarakat dapat membebaskan dirinya dari hukum pergerakan kapitalisme dan berkembang secara terencana dan rasional. Kekuatan produksi yang mahakuasa, dibangun oleh masyarakat kelas, dapat akhirnya membinasakan “overproduksi”, sebuah skandal yang kriminal di tengah dunia yang penuh kemiskinan dan kelaparan. Menghapuskan kontradiksi dari perkembangan kekuatan produktif dan negara bangsa dan kepemilikan pribadi, akan menyediakan fondasi untuk perencanaan produksi secara internasional.
Menggunakan kekuatan-kekuatan sains dan teknologi, seluruh planet bisa dirombak dalam satu dekade. Transformasi masyarakat secara sosialis tetap tugas yang paling mendesak bagi kelas buruh di seluruh dunia. Marxisme menyediakan senjata dan pemahaman untuk menyatukan pasukan yang kuat ini demi pembangunan Inggris yang sosialis, Eropa yang sosialis, dan fondasi bagi Federasi Dunia Negara-negara Sosialis.