Bila kita saksikan dunia hari ini dan melihat miliaran manusia hidup dalam kemiskinan, perbudakan, dan penindasan, sangatlah mudah untuk berasumsi bahwa horor ini telah menyertai umat manusia sepanjang keberadaannya. Bukankah untuk ribuan tahun para raja, para filsuf dan para pendeta telah memberitahu kita bahwa demikianlah watak dasar manusia, yang niscaya harus menderita? Namun, studi serius mengenai masa lalu kita membuktikan sebaliknya. Selama hampir seluruh keberadaan spesies kita, kita hidup dalam masyarakat berburu-meramu yang komunistis, tanpa tuan maupun penguasa.
Bagi para pembela status quo, fakta sederhana ini merupakan bantahan telak terhadap keseluruhan cara pandang dunia mereka. Banyak sejarawan dan filsuf borjuis oleh karenanya cenderung mengabaikan topik ini sama sekali. Orang-orang yang menyangkal masa lalu komunis umat manusia ini memberi penjelasan, bahwa watak serakah dan opresif manusia baru terungkap setelah dorman selama ribuan tahun. Kita harus memahami penjelasan ini seperti apa adanya: pemaksaan moralitas kapitalis pada keseluruhan sejarah manusia. Pada kenyataannya, seperti yang Marx katakan di Kemiskinan Filsafat: “semua sejarah tidak lain adalah transformasi watak manusia secara berkelanjutan.”
Bila kita mengambil pendekatan ilmiah yang sesungguhnya terhadap perkembangan masyarakat, kita harus memahami kelahiran masyarakat kelas bukan sebagai sebuah kemalangan, ataupun bukan sebagai kebangkitan dari semacam “watak manusia” yang supra-historis, yang sampai saat itu tidur dorman, tetapi sebagai sebuah tahapan yang diperlukan dalam evolusi masyarakat yang berkelanjutan, yang pada akhirnya menghasilkan revolusi terhebat dalam tenaga produksi manusia yang pernah kita ketahui. Dan ini bukanlah masalah akademis. Dengan memahami kelahiran masyarakat kelas, kita dapat memahami watak sesungguhnya dari institusi-institusi kelas, dan menemukan cara untuk menumbangkan mereka.
Manusia dan Alam
Marx menjelaskan bahwa ciri khas paling dasar dari semua masyarakat adalah hubungan antara manusia dan alam. Ini bukanlah semacam ideal yang abstrak, tetapi sebuah pengakuan yang sepenuhnya praktis terhadap fakta bahwa manusia selalu membutuhkan sumber daya alam untuk bisa bertahan hidup.
Hubungan kita dengan dunia alam diperantarai oleh kerja, yang kita lakukan secara sosial. Melalui proses kerja ini, kita mengekstraksi sumber daya alam dan memperoleh pangan serta papan. Demikianlah sejak awal, walaupun banyak arkeolog modern yang malu untuk mengakui bahwa manusia harus bekerja untuk bertahan hidup. Seperti yang dijelaskan Marx di Kapital:
“Kerja, sebagai pencipta nilai-guna, adalah prasyarat eksistensi manusia … sebuah kebutuhan alami yang abadi yang menjadi perantara metabolisme antara manusia dan alam.”
Tetapi, walaupun fakta bahwa kita bekerja tidaklah berubah sepanjang sejarah, cara kita bekerja, dan kebutuhan atau hasrat yang ingin kita penuhi, telah berubah banyak. Selama jutaan tahun, umat manusia telah mengembangkan alat-alat dan teknik untuk memenuhi kebutuhannya dengan lebih baik. Tetapi perkembangan alat-alat untuk memenuhi bahkan kebutuhan yang paling dasar sekalipun niscaya mengarah ke lahirnya kebutuhan-kebutuhan baru, relasi-relasi sosial baru dan cara hidup yang sepenuhnya baru. Interaksi konstan ini telah menentukan banyak hal bagi kita – apakah kita pindah atau menetap di satu tempat, apakah kita bekerja sepanjang tahun atau musiman – dan bahkan telah mempengaruhi psikologi dan evolusi kita. Oleh karenanya, dengan mengubah lingkungan kita, kita juga telah mengubah diri kita sendiri dalam banyak cara. Inilah yang mendasari semua progres manusia.
Prinsip fundamental materialisme historis inilah yang dirangkum dalam eulogi Engels untuk Marx:
“Seperti halnya Darwin menemukan hukum perkembangan alam organik, demikian pula Marx menemukan hukum perkembangan sejarah manusia: fakta sederhana, yang sampai sekarang disembunyikan oleh kepekatan ideologi, bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum, punya papan dan sandang, sebelum ia dapat menekuni politik, sains, seni, agama, dsb.; bahwa maka dari itu produksi kebutuhan-kebutuhan pokok material, dan sebagai konsekuensinya tingkat perkembangan ekonomi yang dicapai oleh masyarakat tertentu atau selama epos tertentu, membentuk fondasi yang di atasnya berkembang institusi negara, konsepsi hukum, seni, dan bahkan ide-ide religius, dari masyarakat yang bersangkutan, dan oleh karenanya mereka harus dijelaskan dari sudut pandang tersebut.”
Marx menulis di Kapital vol. 1: “Penggunaan dan pembuatan instrumen-instrumen kerja, walaupun ditemukan dalam bentuk embrio di antara beberapa spesies binatang tertentu, adalah ciri khas proses-kerja manusia.” Ini dapat diamati secara arkeologis sepanjang keberadaan manusia modern di muka bumi, dan bahkan sebelumnya. Beberapa nenek moyang hominin kita yang paling awal, seperti Homo habilis [2,4 sampai 1,4 juta tahun yang lalu] dan Homo ergaster [1,7 sampai 1,4 juta tahun yang lalu], mampu membuat alat-alat batu. Alat-alat batu Oldowan, yang ditemukan di Lembah Olduvai, Tanzania, diperkirakan memiliki penanggalan sekitar 2,6 juta tahun yang lalu. Selama masa Paleolitikum (sampai sekitar 10.000 SM), kita saksikan kemunculan satu demi satu alat-alat batu yang baru – Achulean, Mousterian, Chatelperronian, dst. Kita bahkan dapat menelusuri, bersamaan dengan pembuatan alat-alat batu ini, perkembangan kesadaran dan pemikiran kompleks. Secara umum, setiap peralatan menjadi lebih simetris dan membutuhkan perencanaan yang lebih maju dibandingkan peralatan sebelumnya, yang mendorong perkembangan otak manusia modern ke ketinggian baru.
Ini adalah konfirmasi lebih lanjut atas metode materialis. Bahkan para arkeolog non-Marxis harus membagi masa lalu menjadi periode-periode berdasarkan kebudayaan material yang ada di setiap masa. Bukanlah tanpa sebab kita berbicara mengenai Zaman Paleolitikum (dari bahasa Yunani Kuno yang berarti “batu tua”), Neolitikum (“batu baru”), Zaman Perunggu, dsb. Semua penamaan ini merujuk pada bahan-bahan material yang digunakan untuk membuat alat-alat produksi. Seperti yang dicatat oleh Marx di Kapital Vol. 1:
“Relik alat-alat kerja dari masa yang sudah lampau adalah sama pentingnya untuk menyelidiki bentuk-bentuk ekonomi dari masyarakat yang sudah punah, seperti halnya tulang-tulang fosil berguna untuk menetapkan spesies binatang yang sudah punah. Yang memungkinkan kita untuk membeda-bedakan berbagai epos ekonomi bukanlah benda-benda apa yang diproduksi, tetapi bagaimana mereka diproduksi, dan dengan alat-alat apa. Alat-alat kerja tidak hanya menyediakan standar untuk mengukur perkembangan yang telah dicapai oleh tenaga kerja manusia, tetapi mereka juga merupakan indikator akan kondisi-kondisi sosial yang melatarbelakangi bagaimana kerja tersebut dilakukan.”
Gagasan yang sederhana tetapi revolusioner ini tidaklah diakui oleh seluruh akademisi. Sesungguhnya, prinsip materialisme historis yang paling dasar ini ditakuti dan dibenci oleh para akademisi di kampus-kampus, seperti halnya teori seleksi alam Darwin pada era Victoria.
Sebagai akibatnya, akademisi modern hari ini begitu tertinggal dalam pemahamannya mengenai masyarakat, bahkan bila dibandingkan dengan para filsuf Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles mengakui bahwa ada basis material untuk waktu luang mereka. Seperti yang ditulis oleh Aristoteles dalam Metaphysics, seni teori berkembang di tempat-tempat dimana manusia memiliki banyak waktu bebas: “Maka dari itu, ilmu matematika berasal dari sekitar Mesir, karena kelas pendeta memiliki waktu luang.” Ini mensyaratkan tingkat perkembangan tertentu dalam produktivitas kerja, dan dengan itu maka tingkat perkembangan tertentu dalam organisasi struktur masyarakat itu sendiri. Kita akan kaji masa awal perkembangan ini.
Komunisme Primitif
Arkeolog telah menemukan sangat sedikit sekali bukti adanya ketidaksetaraan yang signifikan sebelum Zaman Neolitikum, yang dimulai sekitar 12.000 tahun yang lalu. Bukti yang terkumpul dari situs-situs Paleolitikum di seluruh dunia memberi sebuah gambaran masyarakat yang kecil dan sangat mobil, yang bergantung pada berburu, memancing, dan meramu, dimana hampir tidak ada perbedaan status dan kekayaan yang dapat terdeteksi dari barang-barang penyerta kubur.
Tentu saja, kita tidak akan pernah bisa mengatakan dengan persis bagaimana masyarakat berburu-meramu di masa prasejarah berfungsi. Tetapi studi antropologi dari masyarakat-masyarakat berburu-meramu yang masih eksis seperti suku !Kung di gurun Kalahari memberi kita gambaran sekilas. Antropolog Richard Leaky menulis: “Orang !Kung tidak punya ketua atau pemimpin … tidak ada yang memberi perintah atau menerima perintah … Saling berbagi adalah nilai yang meresapi orang-orang !Kung, seperti halnya prinsip laba dan rasionalitas adalah sentral dalam etika kapitalis.”[1]
Cara pandang ini terlihat sangat jelas dalam berbagai komunitas berburu-meramu di seluruh dunia, dan sesuai sepenuhnya dengan bukti-bukti dari situs-situs Paleolitikum. Tetapi nilai-nilai egaliter dari masa lalu prasejarah kita bukanlah sebuah fenomena yang murni kultural atau moral. Ini berakar dari kenyataan bahwa tidak ada, dan tidak mungkin ada, kepemilikan pribadi selain kepemilikan atas alat-alat atau barang-barang pribadi lainnya. Suku-suku ini adalah pemburu dan peramu yang bertalenta dan berhasil, tetapi mereka hidup dari hari ke hari dan tahun ke tahun tanpa bisa mengakumulasi surplus yang signifikan. Oleh karenanya, tidak ada konsep kepemilikan tanah ataupun warisan.
Ini terlihat paling jelas dalam cara hidup suku Aborigin di gurun Australia Tengah, yang dikenal secara luas sebagai salah satu budaya tertua di muka bumi, yang berumur kurang lebih 50.000 tahun. Pada 1960an, antropologis Richard Gould tinggal bersama dengan para pemburu-peramu ini di tengah benua Australia. Dia mencatat, semua makanan yang dibawa kembali ke kamp “secara cermat dibagi-bagikan di antara semua anggota suku, bahkan ketika makanan ini tidaklah lebih dari seekor kadal kecil.”[2] Berdasarkan ekskavasi di gua-gua batu sekitar, Gould berhipotesis bahwa pemukim di wilayah ini telah hidup seperti ini semenjak Homo Sapiens yang pertama datang menduduki wilayah tersebut. Prinsip yang mendasari bentuk komunisme yang ekstrem, dan bahkan absolut ini, tidaklah sulit untuk ditemukan: yakni, kelangkaan, yang pada akhirnya disebabkan oleh tingkat perkembangan tenaga produksi yang relatif rendah dan rendahnya tingkat penguasaan alam. Walaupun masyarakat-masyarakat berburu-meramu lainnya tidak menghadapi kondisi kehidupan yang sesulit ini, prinsip yang serupa dapat disaksikan beroperasi di seluruh dunia Paleolitikum.
Perempuan dalam Komunisme Primitif (Membela Engels)
Salah lagi ciri khas dari karakter egaliter masyarakat paleolitikum adalah posisi setara yang diduduki perempuan. Seperti yang ditulis oleh Engels dalam Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara:
“Salah satu gagasan yang paling konyol yang diambil dari jaman pencerahan abad-ke-18 adalah gagasan bahwa pada awal masyarakat perempuan adalah budaknya laki-laki. Di antara semua orang liar dan semua orang barbar dari tingkat bawah dan menengah, dan sampai batas tertentu juga tingkat atas, kedudukan perempuan tidak hanya bebas, tetapi juga terhormat.”
Mendasarkan dirinya pada studi-studi antropologi yang paling mutakhir di masa itu, terutama studi yang dilakukan Henry Lewis Morgan terhadap suku Iroquois, Engels mengajukan gagasan revolusioner bahwa penindasan sistematis terhadap kaum perempuan pada kenyataannya adalah sebuah perkembangan yang relatif baru dalam sejarah spesies kita. Menganalisis tidak hanya masyarakat Iroquois tetapi juga masyarakat Athena, Romawi, dan Jerman kuno, dia berpendapat bahwa “kekalahan historis kaum perempuan” memiliki landasan ekonomi, yakni kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, terutama atas tanah dan ternak, dan akumulasinya di tangan kaum laki-laki.
Terlebih lagi, bila penindasan perempuan memiliki permulaan, maka Engels menyimpulkan bahwa penindasan ini juga akan memiliki akhirnya. Pembentukan masyarakat komunis, tanpa kepemilikan pribadi dan eksploitasi kelas, akan menegakkan kembali kebebasan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Perspektif inilah yang telah mempersenjatai dan menginspirasi kaum Marxis dalam perjuangan untuk pembebasan perempuan.
Akan tetapi, wawasan revolusioner ini telah dinafikan tidak hanya oleh para pembela status quo tetapi bahkan juga oleh para teoretikus feminis, yang mengklaim bahwa penafsiran Engels atas masyarakat komunis primitif tidaklah lebih dari “mitos yang menyejukkan.” Beberapa tahun terakhir, bahkan orang-orang yang mengaku sebagai akademisi “Marxis” telah bergabung untuk menyerang teori Engels ini. Christophe Darmangeat dari University of Paris, misalnya, berargumen, “monopoli laki-laki atas aktivitas berburu dan senjata telah memberi laki-laki posisi yang kuat relatif terhadap perempuan di mana-mana,” yang berarti bahwa “perempuan di mana-mana berada dalam posisi yang sedemikian rupa dimana mereka tereduksi menjadi instrumen semata dalam strategi laki-laki.”[3]
Apa yang luar biasa dari argumen ini adalah bahwa Darmangeat mengaku ingin memperbaiki ide Engels dengan menggunakan penelitian yang lebih modern, tetapi justru mengulang asumsi keliru yang sama yang telah dibantah oleh Engels 100 tahun yang lalu. Premis pertama Darmangeat adalah bahwa berburu dan senjata selalu merupakan dominasi laki-laki. Agar tesis ini valid, maka tesis ini harus memiliki aplikasi yang universal, dalam kata lain, tesis ini harus menunjukkan bahwa monopoli ini selalu ada di mana-mana. Tetapi ini tidak benar, karena bertentangan dengan penelitian yang paling mutakhir, termasuk di dalam masyarakat-masyarakat berburu-meramu yang masih ada hari ini. Misalnya, di suku Agta di Filipina,[4] perempuan juga berburu dengan menggunakan senjata. Lebih jauh lagi ke belakang, gambaran yang ada bahkan lebih kompleks, dengan ditemukannya peralatan berburu di dalam kuburan seorang perempuan dewasa di Andes dari sekitar 7.000 SM,[5] dan gambar perempuan yang berburu dengan tombak di lukisan gua di Burzahom, India, dari sekitar 6.000 SM.[6] Akan tetapi, bahkan bila kita menerima bahwa berburu umumnya adalah pekerjaan laki-laki, argumen Darmangeat mengandung kebohongan yang keji: asumsi bahwa ini berarti perempuan tereduksi menjadi “instrumen semata”.
Tidak ada Marxis yang menyangkal bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan oleh karenanya di semua masyarakat telah ada semacam bentuk pembagian kerja di antara mereka. Fakta bahwa perempuan hamil dan melahirkan adalah satu contoh jelas dari perbedaan ini. Tergantung dari lingkungan dan sumber daya alam yang ada di sekitar komunitas mereka, ini dapat berarti bahwa laki-laki bisa pergi lebih jauh dari kamp, misalnya untuk ekspedisi berburu, sementara perempuan cenderung fokus mengumpulkan makanan lebih dekat di kamp mereka (meramu), sambil menggendong anak mereka. Pembagian kerja semacam ini bisa disaksikan di antara orang suku !Kung misalnya.[7] Namun poin penting di sini adalah bahwa dalam masyarakat semacam itu, menduduki posisi yang berbeda dalam pembagian kerja pada tahapan awal ini tidak bisa disajikan sebuah bukti adanya opresi atau eksploitasi. Sebaliknya, semua bukti yang ada menunjukkan justru sebaliknya.
Berbicara mengenai suku !Kung, Patricia Daper menulis:
“Laki-laki dan perempuan dari kelompok pencari makanan berhubungan satu sama lain secara egaliter. Mereka biasanya ditemukan di dalam kelompok campuran-jenis di lingkungan kamp, walaupun kerja mereka biasanya dilakukan di dalam kelompok sesama-jenis. Perempuan tidak menunjukkan keseganan terhadap laki-laki. Hidup di dalam kelompok kecil tanpa peran kepemimpinan yang telah terdefinisi-dengan-baik, mereka mengambil keputusan dengan musyawarah mufakat di mana perempuan berpartisipasi bersama dengan laki-laki.”[8]
Perempuan yang digambarkan di sini jauh sekali dari memainkan peran “instrumen semata”. Justru, di banyak kasus, seperti di suku !Kung, tanaman-tanaman yang dikumpulkan oleh perempuan “berkontribusi sebanyak 80% dari asupan harian masyarakat,” dan “tidak seperti pemburu laki-laki, pengumpul makanan perempuan mempertahankan kendali atas distribusi akhir makanan yang telah mereka kumpulkan.”[9] Antropologis Chris Knight mengemukakan, di banyak masyarakat berburu-meramu, “seorang pria muda tidak akan pernah memiliki hak seksual yang permanen atas perempuan yang dia kunjungi secara reguler. Sebaliknya, dia harus terus mendapatkan persetujuan dengan menyerahkan semua daging buruannya kepada ibu mertuanya untuk dibagikan seturut kehendaknya.”[10] Jadi di sini, siapa yang mengendalikan siapa?
Kepemilikan atas senjata, atau tenaga yang lebih kuat, kedua hal ini tidak otomatis mengarah ke kekerasan terhadap perempuan. Sebuah studi pada tahun 1989 menemukan bahwa suku San tradisional, yang nomaden atau semi-nomaden, adalah “satu dari hanya enam masyarakat di dunia dimana kekerasan domestik hampir tidak pernah terdengar.”[11] Ini adalah sebuah fakta yang sangatlah mengejutkan, di tengah pandemi kekerasan terhadap perempuan yang permanen, yang menelan puluhan ribu nyawa perempuan setiap tahunnya di seluruh dunia.
Imaji laki-laki sebagai “penyedia” yang dominan dan perempuan sebagai “ibu rumah tangga” yang subordinat adalah sebuah imaji yang usang – sebuah konsepsi yang diambil langsung dari film kartun The Flinstones. Kekeraskepalaan cara pandang ini tidak ada sangkut pautnya dengan sains atau penelitian sejarah. Ini hanya menunjukkan bahwa orang-orang yang terus menjajakan cara pandang ini tidaklah mampu keluar dari prasangka masyarakat hari ini. Dan bila kau menerima prasangka masyarakat kelas, maka kau juga harus menerima kesimpulan-kesimpulannya: menolak kemungkinan terwujudnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan juga menolak kemungkinan terbentuknya sebuah masyarakat yang secara umum lebih setara. Dalam kata lain, argumen yang katanya ilmiah ini pada akhirnya membawa kita hanya ke satu kesimpulan: keberadaan masyarakat kelas yang permanen, untuk selama-lamanya, amin.
Awal Pertanian
Kadang-kadang ada orang yang bertanya: bagaimana mungkin sebuah masyarakat komunis primitif yang utopis ini dapat berubah menjadi sebuah masyarakat dimana mayoritas penduduknya ditindas? Antropologis Marshall Sahlins bahkan menciptakan ungkapan “masyarakat berkelimpahan awal”, berdasarkan studinya mengenai kelompok-kelompok berburu-meramu, yang berkesimpulan bahwa setiap orang dewasa hanya harus bekerja tiga sampai lima jam setiap harinya untuk mengumpulkan kebutuhan hidup. Walaupun kemungkinan studi ini melebih-lebihkan, yang berdasarkan definisi kerja yang terlalu sempit, studi ini mempertanyakan asumsi bahwa masyarakat berburu-meramu selalu berada di ambang kelaparan. Tetapi, seperti halnya kita harus menolak mitos Hobbesian [Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris pada abad ke-17] bahwa hidup manusia itu selalu “buruk, liar, dan pendek” sebelum dibebaskan oleh represi negara yang beradab, kita juga harus hati-hati untuk tidak menarik kesimpulan ekstrem lainnya.
Masyarakat paleolitikum bukanlah taman Eden yang berkelimpahan dan bebas dari penyakit. Populasi manusia Zaman Es selalu kecil, dan mereka hanya memiliki kuasa yang kecil atas kondisi kehidupan mereka yang tidak menentu. Kebanyakan akan menghabiskan persediaan makanan mereka dalam hitungan jam atau hari, yang menunjukkan surplus yang amat terbatas, atau bahkan tanpa surplus sama sekali. Kebanyakan kelompok berburu-meramu memiliki angka harapan hidup yang pendek, dan juga angka kelahiran yang rendah. Bahkan setelah Zaman Es yang terakhir berakhir, sekitar 9.700 SM, kelangkaan dan kesukaran terus menjadi tantangan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas berburu-meramu. Misalnya, di situs Mahadaha di India, kira-kira pada 4.000 SM, umur kematian rata-rata dari 13 tulang yang ditemukan adalah antara 19 dan 28, tetapi kemungkinan “lebih dekat ke 19.”[12] Tidak ada satupun yang berumur di atas 50. Pada saat itu, seperti halnya sekarang, motor penggerak perkembangan umat manusia adalah perjuangan untuk bertahan hidup dan menjadi makmur di hadapan kesulitan, dalam kata lain, seperti kata Engels: “produksi dan reproduksi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk hidup.”
Seperti halnya kebutuhan manusia untuk memperbaiki caranya mengumpulkan sumber daya mendorong perkembangan alat-alat batu, ini juga mendorong manusia untuk mencari sumber makanan yang lebih beragam dan dapat diandalkan. Proses ini berlangsung seiring dengan perubahan iklim global sekitar 20.000 tahun yang lalu. Selama periode ini, kenaikan suhu dan kelembaban udara, bersamaan dengan mencairnya lapisan-lapisan es, membuka wilayah-wilayah baru dan meningkatkan jumlah dan keberagaman sumber-sumber daya yang tersedia bagi manusia. Terdorong oleh lingkungan mereka yang berubah, para pemburu-peramu dengan cepat mengembangkan teknik-teknik baru yang lebih canggih untuk mengakses sumber-sumber daya tersebut, yang menciptakan ledakan dalam tenaga produksi manusia.
Alat-alat batu yang lebih tua, seperti kapak tangan, digantikan oleh “microlith”, yakni alat-alat batu yang lebih kecil seperti bor dan mata panah.[13] Tulang-tulang diukir menjadi jarum kecil untuk menjahit kulit binatang, dan membuat pakaian yang berlapis dan hangat yang dikenakan manusia untuk menduduki wilayah-wilayah Siberia yang beku.[14] Tombak ikan diukir dari tanduk rusa untuk menangkap ikan-ikan yang semakin tersedia.[15] Bubu rotan dianyam untuk menangkap belut.[16] Ini adalah lompatan kualitatif, dan juga kuantitatif, dalam produktivitas dan cakupan kerja manusia.
Selain berburu dan memancing, orang juga mengambil peluang dari tanaman-tanaman liar yang mulai tumbuh subur di iklim yang lebih hangat dan basah. Panen rumput-rumput liar pertama kali dilakukan sekitar 21.000 SM, pada masa Zaman Es terakhir, di Ohalo, Israel. Sekitar 14.000 SM, gandum emmer liar, einkorn, dan barley sudah mulai dibudidayakan di sepanjang wilayah tersebut. Perkembangan ini, yang pada saat itu mungkin tampak kecil, menandai awal dari sebuah proses yang secara permanen akan mengubah hubungan manusia dengan alam, dan dengan itu, mengubah kehidupan manusia itu sendiri.
Budidaya pertama sereal dan tanaman lainnya masihlah sangat jauh dari produksi pertanian masa Neolitikum. Di kebanyakan tempat, ini lebih menyerupai “berkebun liar”, dimana mereka akan secara berkala mendatangi tempat-tempat dimana tanaman tersebut tumbuh dan lalu memanen apa yang tersedia. Tetapi, bahkan melalui bentuk panen yang tampaknya pasif ini, manusia tengah mengubah alam secara sadar dan tidak sadar.
Banyak sekali tanaman dan binatang yang hari ini kita andalkan sebagai pangan tidaklah eksis di masa lalu. Jagung, kacang-kacangan, labu, beragam sereal, dan bahkan babi, domba, dan sapi seperti yang kita kenal hari ini berevolusi karena intervensi manusia atas alam ribuan tahun yang lalu. Misalnya, rumput-rumput liar yang dibudidayakan di tempat-tempat seperti Ohalo memiliki biji yang jauh lebih kecil dibandingkan gandum yang kita konsumsi hari ini. Penemuan biji-biji gandum yang lebih besar di Jerf el Ahmar, Suriah, menunjukkan bahwa, sejauh 13.000 SM, orang telah dengan sengaja menabur kembali rumput-rumput gandum yang memiliki biji yang lebih besar guna meningkatkan produktivitas.[17]
Bahkan lebih penting lagi, bulir-bulir dari rumput-rumput purba ini akan pecah dan menyebar dengan sendirinya pada waktu yang berbeda-beda, yang meningkatkan peluang mereka untuk berkembang biak. Tetapi apa yang baik untuk rumput ini belum tentu baik untuk manusia. Sebagian besar biji-biji gandum ini akan hilang bahkan sebelum dipanen manusia. Tanaman-tanaman sereal modern memiliki “bulir yang tidak akan pecah”, yang berarti bulir ini akan tetap utuh sampai masa panen. Transformasi biologi ini adalah hasil dari intervensi dan inovasi manusia. Di bawah kondisi-kondisi yang tepat, seleksi yang dilakukan oleh manusia akan menghasilkan evolusi spesies gandum dan barley yang baru, dan itu sendiri adalah perkembangan tenaga produksi yang dramatis.
Revolusi Neolitikum
Bersamaan dengan meningkatnya sumber daya dan perbaikan teknik dan alat-alat produksi selama periode ini, pemukiman-pemukiman pertama mulai muncul. Pemukiman-pemukiman ini kemungkinan awalnya bersifat semi-permanen atau musiman, dimana orang-orang akan kembali ke sana secara berkala, seperti Starr Carr di Inggris (sekitar 9.000 SM).[18] Pada akhirnya, pemukiman ini menjadi permanen. Salah satu contoh pemukiman permanen ini dapat ditemukan di situs “Natufian” ‘Ain Mallaha di Israel (sekitar 12.500 SM), dimana manusia menetap secara permanen, dan bergantung pada pemburuan kijang serta budidaya gandum dan barley liar.[19]
Namun, bahkan selama tahap tertinggi Zaman Epipaleolitikum (atau zaman batu tua akhir), pemukiman permanen sangatlah langkah, dan hanya ditemukan di situs-situs dengan kondisi alam yang sangatlah baik, seperti ‘Ain Mallaha, Israel, atau di jalur ikan salmon di Poverty Point, Amerika Serikat. Pada tahapan ini, sangatlah sulit dan dalam beberapa kasus mustahil untuk menciptakan kondisi yang serupa di tempat lain, dan dengan demikian, sampai taraf tertentu, lokasi pemukiman dan sumber makanan ditentukan secara pasif oleh alam. Tetapi perkembangan yang berlangsung pada masa itu tengah membuka jalan untuk transformasi besar, dimana yang sebelumnya adalah pengecualian akan menjadi lazim.
Sering kali dalam sejarah, krisis memicu proses-proses perubahan yang dalam, yang berlangsung di bawah permukaan. Krisis ini dapat bersifat internal dan eksternal. Sebelum perkembangan pertanian di Timur Dekat, iklim dunia tiba-tiba menjadi sangat dingin, dengan kembalinya kondisi iklim glasial yang dikenal sebagai Zaman Younger Dryas (sekitar 11.000 – 9.700 SM). Migrasi ternak dan budidaya rumput-rumput liar terganggu, dan cara hidup yang lama menjadi mustahil. Beberapa kelompok manusia punah, tetapi yang lainnya terpaksa kembali ke kehidupan yang lebih nomaden. Tetapi perkembangan yang sebelumnya, yang sudah terkumpul perlahan-lahan selama ribuan tahun, tidaklah menghilang.
Ketika orang-orang meninggalkan pemukiman mereka yang sekarat, mereka membawa serta biji-bijian yang mereka panen, dan menaburnya di lokasi-lokasi yang sepenuhnya baru. Penciptaan petak-petak baru dan penggunaan sabit batu untuk memanen tanaman-tanaman sereal mempercepat proses seleksi alam dan artifisial, yang akhirnya melahirkan tanaman gandum domestik.[20] Dan dengan itu, manusia menemukan cara untuk melampaui limit-limit pemukiman pemburu-peramu yang lama. Kita dapat melihat proses ini dengan jelas di Abu Hureyra, Suriah, dimana orang-orang merespons iklim yang dingin dengan membudidaya gandum hitam liar, yang lalu menghasilkan tanaman sereal domestik tertua, yang berumur sekitar 10.500 SM.[21]
Dari sekitar 9.500 SM, orang-orang di Levant dan Turki Tenggara kembali ke kehidupan menetap, tetapi kali ini di tingkatan yang secara kualitatif lebih tinggi, yang berdasarkan tanaman-tanaman sereal dan binatang-binatang domestik seperti domba dan kambing, yang juga telah berevolusi karena intervensi manusia. Pada 8.000 SM, cara hidup baru ini telah menyebar ke Timur Dekat dan mulai diadopsi di Eropa dan Asia Selatan. Pemukiman pertanian juga muncul secara independen di tempat lain, seperti China, beberapa wilayah Afrika dan Amerika. Arkeolog Marxis, Gordon Childe, menyebut proses ini sebagai “Revolusi Neolitikum”.
Bagi para akademisi borjuis, kata “revolusi” terdengar terlalu Marxis untuk sebuah buku teks arkeologi. Alih-alih, mereka berpendapat bahwa domestikasi dan perkembangan pertanian sebaiknya disebut “transisi Neolitikum” karena ini adalah sebuah proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Ini adalah cara memahami sejarah yang kekanak-kanakan. Ledakan Kambrium – sebuah periode diversifikasi yang pesat dalam kehidupan binatang multiseluler yang kompleks – berlangsung selama 10 juta tahun, tetapi tetap merupakan sebuah ledakan dibandingkan dengan miliaran tahun evolusi yang sangatlah lambat sebelumnya. Revolusi Neolitikum adalah transformasi serupa yang pesat dari sudut pandang masyarakat manusia. Homo sapiens telah eksis selama sekitar 300.000 tahun, tetapi Revolusi Neolitikum berlangsung hanya selama beberapa ribu tahun, dan merupakan perkembangan yang mengguncang dunia, yang melahirkan cara hidup yang sepenuhnya baru, sebuah moda produksi yang baru, dan dengan itu sebuah tahapan baru dalam sejarah umat manusia.
Peran gagasan
Satu lagi keberatan terhadap konsep Revolusi Neolitikum menyasar pada kesimpulan materialisnya. Menyaksikan proses ini dari kejauhan 10 ribu tahun, sangatlah mudah untuk melihat dampak mendalam perkembangan teknik dan kerja manusia terhadap alam dan masyarakat. Tetapi seperti halnya kata “Revolusi” terlalu berbau Marxisme bagi tatanan akademisi hari ini, konfirmasi atas ide-ide dasar materialisme historis ini terlalu sulit diterima oleh beberapa “ilmuwan”. Misalnya, Anthony Giddens, seorang sosiolog yang menggagas konsep “Jalan Ketiga”nya Tony Blair, berpendapat, karena pemukiman manusia mendahului tibanya pertanian di beberapa tempat, maka perkembangan tenaga produksi tidak dapat dianggap sebagai faktor penentu dalam Revolusi Neolitikum, dan sejarah umumnya. Giddens menulis:
“Kehidupan sosial manusia tidak dimulai dan tidak berakhir dalam produksi. Ketika Mumford menyebut manusia sebagai ‘binatang yang membuat pikiran, menguasai-diri-sendiri, dan mendesain-diri-sendiri’ (mindmaking, self-mastering, and self-designing animal), dan ketika Frankel melihat di dalam kehidupan manusia sebuah ‘pencarian atas makna’, mereka lebih dekat dalam menyediakan landasan filsafat bagi antropologi kebudayaan manusia dibandingkan Marx.”[22]
Penemuan situs Gobekli Tepe di Anatolia tenggara, Turki, baru-baru ini telah diklaim sebagai bukti untuk konsepsi sejarah yang idealis ini. Situs ini diperkirakan dari 9.600 SM, di awal periode Neolitikum, dan ditemukan altar-altar batu besar yang menunjukkan adanya spesialisasi dan surplus waktu-kerja untuk membangun altar-altar tersebut. Ada juga banyak bukti yang menunjukkan bahwa situs ini digunakan sepanjang tahun. Namun, ditemukannya banyak tulang belulang binatang liar dan absennya binatang domestik menunjukkan bahwa orang-orang yang membangun “kuil” ini adalah pemburu-peramu.
Penemuan yang luar biasa ini telah menghasilkan tumpahan artikel-artikel yang menyatakan kematian materialisme. Alih-alih menetap karena perkembangan pertanian, atau perkembangan produksi lainnya, argumen baru ini menyatakan bahwa manusia pertama-tama menetap karena alasan religius dan baru setelah itu mengembangkan pertanian untuk memberi makan para umat. “Saya pikir apa yang kita pelajari di sini adalah bahwa peradaban adalah produk dari pikiran manusia,” kata arkeolog utama di situs tersebut, Klaus Schmidt.[23]
Tetapi gagasan bahwa peradaban adalah “produk dari pikiran manusia” bukanlah sesuatu yang sedalam apa yang dibayangkan oleh sang akademisi ini. Mesin uap juga merupakan produk pikiran, begitu juga sistem pabrik. Sabit batu adalah produk pikiran. Bahkan bila seorang materialis yang paling militan menyiapkan makanannya sendiri, dia melakukan itu karena dia memiliki pikiran untuk melakukan itu. Ini tidak memberitahu kita apapun, selain fakta yang biasa-biasa saja bahwa semua benda telah diciptakan oleh manusia yang sadar.
Seperti yang Engels katakan dalam Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Jerman Klasik: “Semua yang menggerakkan manusia haruslah melalui pikiran mereka; tetapi apa bentuk yang akan diambilnya dalam benak manusia akan sangat tergantung pada situasi.” Kita harus bertanya, mengapa orang yang membangun Gobekli Tepe memilih untuk membangun tempat ibadah permanen yang begitu besar sejak awal, dan lalu mengapa mereka memilih mengandalkan budidaya gandum untuk pasokan pangan mereka. Aktivitas ritual adalah penting sepanjang masa Paleolitikum dan seterusnya, sebagai sarana untuk memahami dan mengendalikan dunia alam, dan panen gandum liar sudah ada sejak 23.000 tahun yang lalu, jadi mengapa perkembangan yang serupa tidak terjadi selama Zaman Es yang terakhir? Penjelasan untuk ini pada analisa terakhir dapat ditemukan di dalam perkembangan tenaga produksi: hubungan manusia dengan alam yang diperantarai oleh kerja, alat-alat kerja, organisasi dan teknik.
Sarana untuk membudidayakan tanaman dan binatang domestik secara permanen telah dikembangkan di dalam masyarakat berburu-meramu selama ribuan tahun sebelum dibangunnya Gobekli Tepe. Seperti yang telah dicatat di atas, gandum hitam domestik telah ditemukan setidaknya sejak 10.500 SM. Terlebih lagi, ekskavasi lebih lanjut di situs Gobekli Tepe telah menemukan bukti adanya bangunan-bangunan pemukiman domestik[24] dan konsumsi gandum-gandum liar,[25] yang telah terlewatkan atau diabaikan oleh pendekatan idealis Schmidt. Ini berarti, Gobekli Tepe bukan hanya kuil, tetapi pemukiman, yang akhirnya beralih ke pertanian sebagai sarana untuk mengatasi keterbatasan produksi berburu-meramu. Ini hanya memperkuat kesimpulan bahwa altar-altar dan praktik-praktik religius yang dilakukan oleh orang-orang Gobekli Tepe memiliki basis material. Seperti orang-orang Tell Abu Hureyra, yang beralih ke budidaya intensif gandum hitam ketika dihadapkan dengan kesulitan, kebudayaan yang menciptakan Gobekli Tepe menandai titik penting dalam Revolusi Neolitikum, dimana bentuk organisasi sosial yang baru tercerminkan dalam aksi sadar manusia. Demikianlah jalan dari setiap revolusi sosial. Gagasan, hasrat, dan konsep religius tidak lahir secara pasif atau secara langsung dari alat-alat manusia, tetapi adalah produk dari pikiran manusia yang nyata dan hidup, dan jelas memiliki dampak penting terhadap bentuk yang diambil proses tersebut. Tetapi konten sesungguhnya dari proses ini disediakan oleh perubahan-perubahan yang ada di lingkungan sekitar mereka, masyarakat mereka, dan kerja mereka. Seperti kata Marx, “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi keberadaan sosial mereka-lah yang menentukan kesadaran mereka.”
Sebuah Dunia Baru
Marx menulis di Kapital: “Seperti halnya dengan epos-epos geologi, epos-epos dalam sejarah masyarakat tidaklah dipisahkan dari satu sama lain oleh garis-garis demarkasi yang kaku dan abstrak.” Desa-desa awal zaman Neolitikum akan tampak sangat mirip dengan pemukiman-pemukiman pemburu-peramu yang muncul pada akhir zaman Paleolitikum. Di beberapa kasus, komunitas Neolitikum bisa relatif mobil, yang menetap sementara untuk mengolah sepetak tanah, dan lalu pindah ke petak tanah baru karena petak tanah yang lama telah menjadi tandus setelah ditanami beberapa musim. Praktik ini diamati oleh Morgan di antara suku Iroquois. Berburu, memancing, dan meramu bersandingan dengan praktik budidaya gandum. Dibutuhkan ratusan tahun sebelum perubahan-perubahan fundamental ini menjadi tampak jelas.
Salah satu perubahan ini adalah peningkatan tajam ukuran dan jumlah pemukiman. Pemukiman Natufian rata-rata berpenduduk 100 sampai 150 orang, yang merupakan jumlah yang relatif besar dibandingkan dengan kelompok berburu-meramu, tetapi kecil bila dibandingkan dengan pemukiman-pemukiman Neolitikum yang akan muncul pada 9.500 SM. Bahkan sebuah desa kecil Neolitikum biasanya berpenduduk sekitar 250 orang[26], hampir dua kali lipat dari rata-rata pemukiman Natufian. Yerikho, yang mungkin adalah pemukiman tertua yang kita ketahui, memiliki penduduk sampai 1000 orang pada tahun 9.000 SM, hanya beberapa ratus tahun setelah permulaan zaman Neolitikum. Ini hanya bisa dicapai atas dasar lompatan dramatis dalam tenaga produksi.
Pemukiman pertanian tidak hanya memungkinkan konsentrasi penduduk, tetapi juga mendorong pertumbuhan penduduk lebih lanjut. Keunggulan reproduksi ini secara substansial diimbangi oleh tingginya tingkat mortalitas anak-anak dan pendeknya harapan hidup para petani Neolitik, yang disebabkan oleh asupan makanan yang lebih sempit dan ledakan penyakit-penyakit yang sebelumnya tidak dikenal. Ini adalah sisi gelap dari kehidupan sedentari (menetap) dan pemukiman yang menempatkan ribuan orang dan ternak dalam jarak dekat. Akan tetapi, kendati semua problem yang menyertai kehidupan menetap yang baru ini, tingkat kelahiran yang lebih tinggi terus menghasilkan desa-desa pertanian yang semakin besar, yang terus menyebar luas, dan menggantikan kehidupan berburu-meramu yang nomaden. Di Inggris, kaum migran dari dataran Eropa diperkirakan telah memperkenalkan pertanian pada tahun 4.000 SM, menggantikan cara hidup lama di seluruh pulau ini dalam rentang waktu 2.000 tahun,[27] sebuah rentang waktu yang singkat menurut standar prasejarah.
Dengan berubahnya moda produksi, bentuk-bentuk ideologi dan religius baru juga mengambil bentuk. Salah satu contohnya adalah muncul tradisi pemujaan leluhur, seperti plester tengkorak di Yerikho dan penguburan kerabat yang meninggal di lantai rumah.[28] Gagasan bahwa nenek moyang seseorang tetap berada dengan keluarga, terkadang secara harfiah berada di dalam rumah, dan melindungi kerabat mereka yang masih hidup, sangatlah kental dalam kebudayaan China sejak jaman kuno. Ini sangat sesuai dengan kontinuitas dan kepermanenan rumah tangga, yang mengolah lahan yang sama.
Transisi ke pertanian juga mulai mempengaruhi pembagian kerja dalam keluarga. Tingkat kelahiran yang sangat tinggi berarti perempuan menghabiskan lebih banyak waktu hamil, melahirkan, dan merawat anak, yang berarti mereka lebih tidak punya waktu untuk melakukan kerja di ladang. Bukti dari sejumlah situs Neolitikum menunjukkan bahwa di banyak tempat, perkembangan ini, bersamaan dengan kerja yang intensif dan pengawasan terus-menerus yang dibutuhkan untuk mengerjakan ladang dan menjaga ternak, menghasilkan pembagian tanggung jawab yang lebih kaku dalam keluarga.
Dengan semakin pentingnya budidaya sereal, maka kerja mengolah gandum dan barley juga menjadi semakin penting. Di Tell Abu-Hureyra, tulang perempuan menunjukkan radang sendi di jari-jari kaki mereka karena mereka berjam-jam berlutut, bergoyang maju dan mundur dan menggunakan berat tubuh mereka untuk menggiling biji-biji gandum menjadi tepung.[29] Pembagian kerja yang serupa ditemukan di sebuah situs Neolitikum di China, pada 5.000-6.000 SM, dimana kuburan laki-laki cenderung menyertakan “alat-alat batu untuk bertani dan memburu”, sementara kuburan perempuan “tidak memiliki artefak-artefak semacam itu, tetapi menyertakan alat-alat penggiling biji-bijian”.[30] Bukti ini, bersama dengan studi-studi lain, telah membuat banyak antropolog menarik hubungan antara munculnya pertanian menetap dan kecenderungan perempuan untuk melakukan “kerja domestik” di rumah.
Namun, “kerja domestik” sama sekali bukanlah kerja yang sekunder atau penyokong kerja laki-laki. Rumah-rumah neolitikum sering kali ditemukan dengan ruang menenun mereka sendiri. Pembuatan-alat, walaupun biasanya digambarkan sebagai “kerja laki-laki”, juga dilakukan di sekitar rumah atau desa, dan di banyak kasus adalah tugas perempuan. Studi antropologis etnik Konso, sebuah kelompok etnik di Ethiopia yang sebagian besar bercocok tanam, yang pekerja kulitnya adalah salah satu dari orang-orang terakhir di dunia yang menggunakan alat batu dalam skala massa, menunjukkan bahwa perempuan di komunitas ini biasanya adalah pembuat alat.[31] Rumah tangga neolitikum adalah rumah dan juga sanggar kerja, dan bukti menunjukkan bahwa perempuan merupakan jantungnya.
Pergeseran pembagian kerja dalam keluarga bukanlah proses yang otomatis ataupun absolut. Ada banyak bukti masyarakat-masyarakat dimana laki-laki dan perempuan melakukan kerja yang setara di dalam dan di luar rumah, seperti situs Neolitikum Catalhoyuk di Turki.[32] Ada juga banyak masyarakat dimana pertanian cenderung dilakukan oleh perempuan dan bukannya laki-laki, seperti suku Iroquois yang didokumentasikan oleh Morgan. Oleh karenanya, akan terlalu simplistis dan keliru untuk menarik hubungan otomatis dan langsung antara pertanian dan kecenderungan perempuan untuk bekerja di rumah. Terlebih lagi, kita tidak dapat menafsirkan perubahan pembagian kerja dalam keluarga ini sebagai bukti kuat adanya penindasan sistematis terhadap perempuan dan patriarki, yang di kemudian hari akan menjadi ciri khas dari masyarakat-masyarakat “beradab” nantinya. Walaupun tampaknya perempuan lebih cenderung bekerja di rumah, kerja mereka sangatlah dihargai dalam masyarakat mereka dan mereka menikmati status yang sama seperti laki-laki. Banyak kuburan Neolitikum yang telah ditemukan mengandung jumlah laki-laki dan perempuan yang setara, tanpa adanya perbedaan kekayaan dan status yang mencolok di antara mereka, seperti Midhowe Cairn di Orkney, Skotlandia.[33]
Apa yang ditunjukkan oleh Tell Abu-Hureyra dan situs-situs Neolitikum lainnya adalah kemunculan awal dan embrionik dari relasi-relasi baru dalam masyarakat Neolitikum, yang cenderung menempatkan perempuan lebih sering di dalam rumah. Dalam dirinya sendiri, pergeseran pembagian kerja ini tidaklah menempatkan perempuan dalam posisi ketertindasan atau ketergantungan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ketika kerja dan pengawasan yang dibutuhkan untuk produksi pertanian menjadi semakin intensif, kecenderungan ini menjadi semakin kuat, dan akhirnya meletakkan fondasi untuk pergeseran yang lebih besar dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Tetapi ini tidak terjadi selama masa Neolitikum. Dibutuhkan kelahiran masyarakat kelas sebelum perkembangan-perkembangan ini bertransformasi menjadi penindasan sistematis terhadap perempuan.
Desa Komune
Walaupun ada tanda-tanda embrionik ketidaksetaraan yang ditemukan pada periode Neolitikum, relasi-relasi sosial masihlah komunistik. Kita melihat sedikit atau tidak ada bukti kepemilikan pribadi, eksploitasi kelas atau kekayaan turun temurun. Engels menguraikan struktur sosial dari masyarakat-masyarakat tanpa kelas ini di Asal Mula Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara:
“Tidak ada tentara, tidak ada polisi, tidak ada bangsawan, raja, bupati, pejabat atau hakim, tidak ada penjara, tidak ada tuntutan hukum – dan semuanya berjalan dengan tertib … rumah tangga dikelola oleh sejumlah keluarga yang setara, dan bersifat komunistis, tanah adalah milik suku, hanya kebun-kebun kecil yang dialokasikan untuk sementara kepada rumah tangga – namun tidak dibutuhkan sama sekali aparatus administrasi yang kompleks dengan segala konsekuensinya. … Tidak ada fakir miskin – rumah tangga komunal dan gens [keluarga marga] memahami tanggung jawab mereka terhadap yang tua, yang sakit, dan yang cacat dalam perang. Semua setara dan bebas – termasuk perempuan. Tidak ada budak atau penundukan terhadap suku-suku lain.”
Engels, dengan mengikuti Morgan, menyebut tahapan perkembangan masyarakat ini “barbarisme”, yang dimulai dengan perkembangan pertanian, domestikasi binatang, dan seni tembikar. Bagi orang-orang yang hidup di dalam komunitas pertanian awal ini, yang mempertahankan norma-norma moral dan budaya komune, dan cara hidup lain pasti tak terbayangkan.
Satu bukti penting yang menunjukkan hal ini adalah munculnya pemakaman kelompok, dimana semua individu dikubur secara komunal tanpa memandang status sosial. Midhowe Cairn di Orkney, yang dibahas di atas, memiliki setidaknya 25 orang yang dikubur bersama-sama. Monumen padat-karya seperti ini, dengan kamar-kamar batu yang terpisah, tidaklah mencerminkan kurangnya rasa hormat terhadap individu-individu yang dikubur di dalamnya. Ini sesuai dengan moralitas dari sebuah masyarakat yang sendirinya bersifat komunal.
Bahkan pemukiman-pemukiman Neolitikum yang sangat besar diorganisir secara komunal. Catalhoyuk, yang dibahas di atas, berpenduduk sampai 10.000 orang pada puncaknya, sekitar 7.000 SM. Pemukiman ini terdiri dari rumah-rumah yang rapat, dimana setiap rumah tangga beroperasi sebagai unit individu, dengan pemakaman di bawah lantai, dan bukannya di kuburan umum. Walaupun tiap-tiap rumah tangga relatif mandiri, rumah-rumahnya menunjukkan sangat sedikit perbedaan dalam ukuran, yang memberi indikasi sangat sedikit – atau bahkan tidak ada – perbedaan dalam kekayaan ataupun status.
Watak egaliter dari komune Neolitikum telah membuat sejumlah orang mempertanyakan hubungan antara Revolusi Neolitik dan bangkitnya masyarakat kelas. Banyak komunitas Neolitikum yang bertahan ribuan tahun tanpa adanya kerja paksa, perpajakan, atau bahkan ketidaksetaraan. Jadi, sampai taraf apa kita dapat mengatakan bahwa kebangkitan masyarakat kelas adalah keniscayaan, atau inheren dalam produksi Neolitikum? Marx menjelaskan bahwa perkembangan dalam moda produksi niscaya menghasilkan kondisi-kondisi untuk penggulingannya oleh relasi-relasi baru:
“Tidak ada formasi sosial yang akan pernah hancur sebelum semua tenaga produksi yang mencukupi untuknya telah dikembangkan, dan relasi-relasi produksi baru yang superior tidak pernah menggantikan relasi-relasi yang lebih tua sebelum kondisi-kondisi material untuk keberadaan mereka telah matang di dalam kerangka masyarakat lama.” (Karl Marx, Preface to A Contribution to the Critique of Political Economy)
Keniscayaan masyarakat kelas terletak dalam fakta bahwa perkembangan produksi Neolitikum mempersiapkan kondisi-kondisi yang melandasi kebangkitan masyarakat kelas: pembagian kerja yang semakin kompleks dalam masyarakat, dan di atas segalanya, pertumbuhan produk surplus. Kita akan mengkaji bagaimana proses ini berlangsung di Timur Dekat. Kita tidak mengatakan bahwa setiap perkembangan yang berlangsung di wilayah ini adalah model sempurna untuk kebangkitan semua masyarakat kelas. Tetapi dengan mengkaji proses ini dalam semua fasenya di satu wilayah, kami berharap dapat menunjukkan elemen-elemennya yang paling dasar.
Pertumbuhan surplus
Seiring dengan semakin berkembangnya komune Neolitikum, dengan jumlah penduduk dan kapasitas produksi yang terus tumbuh, ada semakin banyak sumber daya yang perlu dikelola dan semakin banyak keputusan kompleks yang harus diambil. Sesungguhnya, keseluruhan sejarah Neolitikum dapat dirangkum ke dalam satu pertanyaan: “Apa yang harus kita lakukan dengan surplus yang ada?”
Salah satu cara komunitas Neolitikum mengelola hasil surplus mereka adalah menyimpannya untuk hari depan. Desa-desa Neolitikum, seperti Jerf el Ahmar di Suriah,[34] umumnya memiliki gudang-gudang simpanan yang dikelola dan dikendalikan oleh seluruh komunitas. Surplus ini juga mengambil bentuk jumlah waktu-kerja yang lebih besar, yang dapat dicurahkan untuk tugas-tugas lain selain kerja subsisten. Penduduk Yerikho, misalnya, menyalurkan surplus waktu dan energi mereka untuk mengerjakan proyek-proyek komunal besar, seperti membangun menara dan tembok besar,[35] yang diperkirakan ada sejak 8.000 SM. Pertumbuhan surplus juga meningkatkan perdagangan antara komune-komune Neolitikum yang umumnya swasembada, yang mulai meletakkan landasan untuk pembagian kerja dalam tingkatan regional dan kesalingtergantungan antara pemukiman-pemukiman di tahapan selanjutnya.[36]
Respons yang paling signifikan terhadap pertumbuhan produksi surplus adalah munculnya pembagian sosial baru antara kerja mental dan fisik, antara kepala dan tangan. Peningkatan produktivitas kerja telah memungkinkan selapisan kecil masyarakat untuk bebas dari kerja-kerja fisik di ladang. Perkembangan ini, yang merupakan produk akhir dari Zaman Neolitikum, akan menyediakan basis bagi masyarakat kelas pertama dalam sejarah.
Sejak sekitar 7.000 SM, orang-orang Neolitikum di Timur Dekat mulai bermigrasi ke daerah lain yang kurang ramah tetapi lebih subur, seperti Mesopotamia (Irak), dimana negara yang pertama pada akhirnya akan berkembang. Ini mengedepankan pertanyaan mengenai peran lingkungan dalam perkembangan sejarah. Jelas, dalam “metabolisme antara manusia dan alam”, lingkungan alam kita sangatlah penting. Dalam masyarakat prasejarah, kebanyakan perkembangan teknologi dan sosial manusia adalah respons terhadap tekanan eksternal dari lingkungan alam. Akan tetapi, pada akhirnya aktivitas manusialah yang memainkan peran utama.
Sering kali dikatakan, peradaban, atau masyarakat kelas, adalah produk dari tanah-tanah subur di sekitar Sungai Tigris, Efrat, Nil, Kuning atau Indus. Tetapi produktivitas tanah Mesopotamia tidaklah lebih dari potensi belaka bila tidak ada manusia yang mampu mengolahnya. Pada 7.000-6.000 SM, kebanyakan Mesopotamia Bawah tidak dapat dihuni karena rawa-rawa yang menggenanginya. Lebih lanjut, tidak adanya bahan-bahan penting seperti kayu dan tembaga membuat tempat-tempat seperti Mesopotamia Bawah sangatlah sulit dimukimi tanpa akses ke jaringan perdagangan. Bahan-bahan ini disediakan oleh perkembangan tenaga produksi selama Zaman Neolitikum.
Penggunaan irigasi sudah ada di Yerikho dan Catalhoyuk sebagai sarana untuk meningkatkan produksi. Sekitar 7.000 SM, pemukiman-pemukiman ini mengalami kemunduran, tetapi perkembangan yang sudah dicapai tidaklah hilang begitu saja, karena teknologi ini akhirnya menyebar ke dataran Mesopotamia. Bukti paling awal adanya irigasi pertanian ditemukan di Choga Mami,[37] sekitar tahun 6.000 SM. Tetapi pemukiman ini masih memiliki semua ciri khas Zaman Neolitikum awal. Ketika para pendatang ini, yang diperkirakan datang dari dataran Iran, mulai menerapkan teknologi baru ini ke tanah-tanah rawa Mesopotamia Bawah, ini meletakkan landasan bagi perubahan radikal dalam pembagian sosial kerja yang akhirnya berujung pada kelahiran masyarakat kelas.
Revolusi urban
Revolusi urban di Timur Dekat tidaklah dimulai di pemukiman-pemukiman Neolitikum besar seperti Yerikho, tetapi di desa-desa kecil, yang walaupun tampaknya sederhana sesungguhnya memiliki potensi besar. Situs Eridu, di Irak selatan, didirikan pada 5.800 SM. Yang membuat pemukiman ini signifikan bukanlah fakta bahwa ini adalah salah satu pemukiman pertama yang menggunakan kanal untuk mengeringkan rawa, tetapi ditemukannya “bangunan-bangunan yang secara eksklusif didedikasikan untuk kegiatan-kegiatan kultus”.[38] Bangunan ini adalah manifestasi fisik dari perubahan besar dalam relasi sosial, yakni kebangkitan para imam atau pendeta.
Irigasi memiliki dampak besar dalam kehidupan dan kesadaran para pemukim pertama Eridu. Tetapi irigasi ini juga membutuhkan perubahan besar dalam organisasi kerja mereka. Penggalian kanal-kanal membutuhkan tidak hanya tenaga kerja yang besar tetapi juga perencanaan dan pengarahan. Kerja ini tidak dapat secara efektif dilakukan oleh tiap-tiap rumah tangga yang bekerja sendiri-sendiri. Ini membutuhkan kerja sama dari sejumlah besar pekerja di bawah arahan semacam kepemimpinan.
Seperti yang ditulis Marx di Kapital: “Semua kerja sosial atau komunal langsung dalam skala besar membutuhkan, dalam satu atau cara lain, sebuah otoritas yang memberi arahan, guna memastikan kerja sama yang harmonis dari aktivitas-aktivitas individual.” Tidaklah mengejutkan kalau peran ini pertama kalinya dimainkan oleh pendeta. Bahkan dalam masyarakat berburu-meramu, dukun atau pemimpin spiritual lainnya sering kali memiliki posisi yang relatif istimewa dalam pembagian sosial kerja, sehingga mereka dapat mengabdikan diri mereka pada pemahaman dan penguasaan lingkungan alam. Individu-individu ini, yang memiliki pengetahuan terdalam mengenai rahasia-rahasia alam dan ilahi, sewajarnya dianggap sebagai kandidat terbaik untuk menjamin berkat dari para dewa. Tetapi bahkan para dewa ini sendiri adalah produk sejarah. Kepercayaan bahwa ada dewa-dewa mahakuasa yang mengintervensi urusan manusia, dan oleh karenanya harus disembah, adalah hal yang sangat langka di antara masyarakat berburu-meramu, dan tidak ada sebelum Zaman Neolitikum.[39] Pada akhirnya, gagasan tentang dewa sebagai otoritas tertinggi yang memberi arahan adalah cerminan ideologi dari meningkatnya kontrol dari selapisan masyarakat tidak hanya atas kekuatan-kekuatan alam tetapi atas manusia juga.
Perkembangan ini juga bukan sesuatu yang khas Mesopotamia. Tugas penting memprediksi banjir sungai Nil menjadi wilayah para pendeta Mesir, yang lalu menjadi sumber kekuasaan mereka. Para pendeta Maya di semenanjung Yucatan, Meksiko, juga diperlukan untuk memimpin upacara pengorbanan untuk memastikan berkat dari cenotes yang keramat (cenotes adalah sumur-sumur air tanah), satu-satunya sumber air tawar di daerah yang tidak memiliki sungai ini. Kita juga dapat menyaksikan proses serupa dengan bangkitnya kasta Brahmin di India pada Zaman Vedic (1500-500 SM), sebuah kelompok elite yang akan berkuasa selama ribuan tahun.
Terciptanya sebuah lapisan masyarakat, yang ditopang oleh produk surplus dari seluruh komunitas dan memiliki tugas mengarahkan kerja dari seluruh komunitas, menandai titik balik dalam sejarah umat manusia. Dengan ini, Zaman Neolitikum di Mesopotamia berakhir, dan kita saksikan awal dari apa-yang-disebut Gordon Childe “Revolusi Urban”. Akan tetapi, Eridu pada 5.800 SM bukanlah masyarakat kelas. Produksi dan distribusi di sana masih bersifat komunistis umumnya. Satu-satunya metode pemaksa yang dapat diandalkan oleh para pendeta adalah persetujuan dari seluruh komunitas, atau setidaknya mayoritas anggotanya. Di semua contoh di atas, peran yang dimainkan oleh ‘kasta’ pendeta awalnya berguna bagi seluruh komunitas, dimana para pendeta berperan sebagai pelayan komunitas, walaupun pelayan dengan privilese-privilese tertentu. Pada tahapan tertentu, pelayan ini akan berubah menjadi perampas.
Organisasi kerja baru yang ditemukan di Eridu menyediakan stimulus selanjutnya bagi perkembangan tenaga produksi. Lahan-lahan tani yang besar, yang telah dimungkinkan oleh sistem irigasi, memungkinkan penggunaan kerbau secara efektif untuk membajak lahan. Ini lalu meningkatkan produktivitas kerja lebih lanjut. Persediaan air yang membaik juga memungkinkan eksperimen pertama dalam arborikultur (budidaya pohon kayu), dengan budidaya pohon kurma.[40] Atas dasar perkembangan ini, “budaya Ubaid” tumbuh berkembang, yang mendapatkan namanya dari situs Tell al-‘Ubaid di Irak, dari 5.100 sampai 4.000 SM. Periode ini menyaksikan menyebarkan pemukiman-pemukiman pertanian di sepanjang kanal-kanal irigasi, dan semua pemukiman ini memiliki seni tembikar yang serupa, yang berkualitas sangat tinggi. Banyak pemukiman ini yang memiliki bangunan kuil pusat, seperti situs Eridu, tetapi kuil-kuil periode Ubaid jauh lebih besar.
Jelas dari bukti arkeologi, peningkatan besar dalam produksi surplus, terutama dalam bentuk biji-bijian gandum, berkontribusi tidak hanya pada meningkatnya kekayaan dan jumlah penduduk komunitas secara keseluruhan, tetapi juga bobot sosial dari organ kepemimpinan sentralnya. Awalnya kaum pendeta mungkin saja tidak memperoleh kekayaan pribadi untuk diri mereka, tetapi institusi kuil menerima porsi kerja sosial dan produk surplus yang semakin besar setiap harinya. Ini tidak langsung tampil sebagai perpecahan fundamental dari norma-norma egaliter masa lalu. Bila para dewa pelindung telah memberi berkah lahan-lahan baru dan panen yang berlimpah, lalu siapa yang pantas menerima produk surplus sebagai tanda terima kasih bila bukan dewa tersebut?
Para pendeta ini tidak menyia-nyiakan kekayaan yang diterima para dewa. Pada periode Ubaid, kita menemukan bukti kerajinan tangan yang semakin terspesialisasi, dan di akhir periode ini muncul selapisan pengrajin penuh-waktu, dengan sanggar-sanggar kerajinan yang menjadi bagian dari kompleks kuil.[41] Dari sini, kita dapat menyimpulkan adanya hubungan kesalingtergantungan, dimana para pengrajin secara efektif dipekerjakan oleh kuil untuk menghasilkan produk-produk seperti tembikar, artefak tembaga dan batu-batu semi-mulai. Di sini sekali lagi, kita saksikan perkembangan relasi-relasi produksi baru di dalam rahim relasi produksi yang lama.
Budaya Ubaid menyebar ke sebagian besar Mesopotamia dan bahkan lebih jauh lagi. Namun, Ubaid bukanlah sebuah “kerajaan” yang tersentralisir, atau bahkan sebuah negara. Tidak ada bukti bahwa berbagai pemukiman yang terinspirasi oleh budaya Ubaid yang ditemui di sepanjang wilayah Mesopotamia adalah koloni atau daerah jajahan pemukiman Ubaid asli. Yang jauh lebih mungkin adalah, bersamaan dengan jaringan perdagangan yang semakin kompleks, yang menukarkan produk tembikar, tembaga, obsidian (batu vulkanik untuk mengasah pisau), batu-batu semi-mulia, dan barang lainnya, tumbuh interaksi budaya yang semakin erat, dimana kekayaan pemukiman seperti Eridu menginspirasi komunitas lainnya untuk menyerap teknik-teknik produksi yang serupa, tanpa pernah “dijajah” oleh siapapun.
Masyarakat Ubaid sudah sangatlah berbeda dari desa-desa Neolitikum awal. Tetapi, dalam hal-hal yang fundamental, masyarakat Ubaid lebih memiliki karakter komunisme primitif ketimbang karakter masyarakat kelas. Walaupun distribusi kekayaan semakin tidak setara, dan kekuasaan kaum pendeta sebagai penjaga surplus semakin menguat, komunitas ini masih mandiri, demokratik, dan bebas dari kerja paksa. Apa yang kita saksikan di periode Ubaid akhir dapat dicirikan sebagai semacam masyarakat transisi, yang mengandung elemen-elemen masyarakat kelas dan komunisme primitif pada saat bersamaan. Dan dari relasi-relasi yang berkembang dalam masyarakat Ubaid, akan bangkit masyarakat kelas pertama, yang berdasarkan kekuasaan kota atas desa, kekuasaan manusia atas manusia: kota Uruk.
Masyarakat kelas pertama
Uruk adalah salah satu negara pertama di dunia, yang bersaing hanya dengan Mesir Kuno dalam menyandang gelar masyarakat kelas tertua. Kota Uruk memulai hidupnya sebagai beberapa desa Ubaid sekitar tahun 5.000 SM. Seperti pemukiman lainnya selama periode tersebut, mereka berpusat di sekitar kompleks-kompleks kuil yang relatif besar: satu kuil untuk Anu (“Surga), dewa langit; satu kuil untuk Innana (“Dewi Surga”), dewi cinta. Seiring waktu, pertumbuhan desa-desa ini mendorong mereka untuk menyatu menjadi satu kota besar, yang pada sekitar 3.100 SM berpenduduk 40.000 orang, jumlah yang luar biasa.
Seiring dengan tumbuhnya kota Uruk, bersamaan dengan populasi para pengrajin spesialis mereka, komune-komune mulai kehilangan kemandirian dan swasembada mereka. Pemusatan produksi kerajinan tangan di sentra-sentra urban dan produksi pangan di desa-desa berarti bahwa pemukiman-pemukiman besar tidak bisa lagi mengandalkan populasi mereka sendiri untuk produksi pangan dan oleh karenanya mulai mengambil produk surplus dari desa-desa di sekitarnya.[42] Pergeseran dramatis dalam pembagian sosial kerja ini memunculkan separasi pertama kota dan desa. Marx menganggap separasi ini begitu penting bagi perkembangan masyarakat kelas, dan mengatakan di Kapital: “seluruh sejarah ekonomi masyarakat dirangkum dalam gerakan anti-tesis ini.”
Surplus dari desa kemungkinan mengambil bentuk sajen atau persembahan untuk para dewa yang tinggal di kuil-kuil mereka, tetapi juga ada semacam elemen “kontrak”. Para petani menerima produk-produk kerajinan tangan dan komoditas dagang yang sebelumnya tidak dapat mereka akses. Akhirnya, hubungan ini berubah dari kesalingtergantungan menjadi eksploitasi, dalam bentuk “upeti”[43] yang wajib diberikan ke kuil-kuil di Uruk oleh desa-desa sekitar, yang dibayar oleh para petani terlepas mereka menerima imbalan balik atau tidak, dan bila perlu upeti ini ditarik dengan paksa.
Selain produk surplus, birokrasi kuil juga mengklaim waktu-kerja surplus penduduk. Di Uruk, kita saksikan perubahan kuantitas menjadi kualitas, dengan kontrol langsung dan eksploitasi kerja secara massal, tidak lagi melalui struktur-struktur komunal lama (desa dan keluarga), tetapi oleh sebuah kelas yang terpisah, yang berdiri di atas komune dan merenggut kekuasaan darinya.
Titik balik ini terekspresikan secara fisik dalam tembikar dari periode tersebut. Berbeda dengan mangkuk dan vas budaya Ubaid yang indah, artefak keramik yang biasa ditemukan di Uruk adalah “mangkuk berpinggiran miring” yang kasar. Tetapi ini bukan disebabkan oleh kemunduran budaya. Uruk sangatlah maju dan para pembuat tembikarnya sibuk membuat barang produksi-massal pertama dalam sejarah. Dengan menggunakan cetakan standar, para pengrajin dapat membuat ribuan mangkuk ini dalam waktu singkat.
Tetapi, siapa yang menggunakan mangkuk ini? Penjelasan yang paling diterima luas adalah bahwa mangkuk-mangkuk kasar ini digunakan untuk membagi-bagi jatah makanan ke gerombolan pekerja paksa, atau pekerja “korve”, yang kemungkinan besar adalah petani dari desa-desa sekitar yang dikenakan wajib kerja untuk mengerjakan proyek-proyek seperti menggali kanal-kanal irigasi atau mendirikan tembok kota, atau melakukan kerja musiman di lahan-lahan kuil.[44] Banyaknya mangkuk seperti itu yang ditemukan di Uruk dan situs-situs lain selama periode tersebut menunjukkan ukuran tenaga kerja dan skala proyek yang dikerjakan. Para pekerja mungkin saja direkrut dari berbagai desa dan keluarga, untuk bekerja demi orang-orang yang tidak mereka kenal, mengerjakan proyek yang memberi sedikit manfaat atau tidak sama sekali bagi mereka atau keluarga mereka. Relasi-relasi kelas baru, di luar struktur-struktur komunal lama, mulai mengambil bentuk.
Perubahan yang berlangsung dalam relasi-relasi produksi mulai menghasilkan perubahan dalam relasi-relasi kepemilikan. Sebelum periode Uruk, semua tanah dimiliki secara kolektif oleh keluarga dan tidak dapat berpindah tangan. Ini berarti, tanah selalu berada di bawah kepemilikan dan kendali komune desa, yang terdiri dari beberapa kelompok keluarga besar, yang serupa dengan gens dari Zaman Yunani Homerik (1600 SM – 800 SM). Bukti dari kepemilikan tanah klan atau gens ini bahkan dapat disaksikan jauh di kemudian hari, selama Zaman Dinasti Awal (Dinasti Mesir Purba, sekitar 2.500 SM). Dalam “kontrak” untuk membeli tanah, pembeli harus membagikan “hadiah” kepada seluruh kerabat keluarga sang pemilik tanah sebelum dia dapat mendapatkan ijin untuk melepaskan tanah dari kontrol kolektif mereka.[45] Tetapi relasi baru yang muncul dari kota ini merupakan ancaman besar terhadap relasi lama.
Seiring dengan tumbuhnya kota Uruk, tanah-tanah desa terus dikelola di bawah sistem keluarga lama. Akan tetapi, meluasnya sistem irigasi, yang dibangun oleh kerja korve di bawah arahan kuil, telah membuka lahan-lahan baru yang kepemilikannya tidak bisa diklaim oleh keluarga atau desa. Ini berarti lahan-lahan baru ini jatuh di luar sistem komunal lama. Lahan-lahan baru ini diserahkan ke kuil. Seiring waktu, lahan-lahan baru ini diserahkan ke individu-individu sebagai imbalan atas jasa yang mereka berikan kepada kota. Secara alami, orang-orang ini datang dari lapisan elite penguasa. Pemberian tanah ini tidak memberikan kepemilikan absolut dan dianggap sebagai tunjangan sementara yang bisa ditarik kembali, namun ini tepat menciptakan semacam kepemilikan pribadi dan kontrol pribadi atas tanah, yang terpisah dari desa.
Terurainya tatanan komunal lama juga dapat dilihat di dalam kota Uruk itu sendiri. Tidak semua warga kota Uruk mendapatkan keuntungan yang setara dari surplus yang diambil dari desa-desa. Kuil memegang kendali eksklusif atas produk surplus, yang mengambil proporsi yang semakin besar untuk dirinya. Apa yang tidak dikonsumsi oleh birokrasi kuil disimpan, didistribusikan, dan diperdagangkan di bawah kendalinya. Di sisi lain, disintegrasi sistem keluarga telah menciptakan orang-orang kelas bawah yang tidak memiliki sarana untuk menghidupi diri mereka sendiri. Beban ekstraksi surplus semakin berat dan membebani desa-desa, dan mulai mendorong para petani yang tidak mampu memberi “upeti” ke dalam hutang. Mereka yang tidak mampu membayar hutang mereka dapat diperbudak oleh kreditur mereka, bersama dengan istri dan anak-anak mereka. Pada periode akhir Uruk, kita mulai melihat bukti adanya bentuk kerja paksa di antara janda dan anak yatim piatu, untuk memproduksi tekstil di sanggar-sanggar kerja yang ada di dalam kuil.[46] Hasil produksi dari sanggar-sanggar kerja ini lalu diperdagangkan, kadang-kadang di tempat-tempat yang jauh, untuk mendapatkan barang-barang yang permintaannya tinggi, seperti tembaga dan obsidian.
Produk baru “peradaban” ini memberi kita indikasi kuat sampai mana status perempuan telah terpuruk di periode Uruk pada saat itu. Di kota, upah atau tanah diberikan kepada para pengrajin, pendeta, dan yang lainnya, yang selalu adalah laki-laki. Di pedesaan, pertanian sereal yang menggunakan bajak kerbau juga menjadi pekerjaan laki-laki secara eksklusif. Kerja pertanian menjadi semakin penting, dan demikian juga posisi laki-laki dalam masyarakat.
Posisi perempuan sebagai produsen yang setara dalam keluarga “direndahkan dan menjadi perbudakan.” Mereka menjadi “budak nafsu [laki-laki] dan hanyalah alat untuk memproduksi anak,” seperti yang ditulis Engels. Ini diakui sendiri oleh orang Sumeria (di Mesopotamia), seperti yang tertulis dalam kisah Epik Gilgamesh (2100-1200 SM): “Bentangkan jubahmu supaya dia bisa berbaring di atasmu, dan penuhi tugas perempuan yang primitif ini!” Munculnya hak waris laki-laki membuat perempuan bergantung sepenuhnya pada suami atau kerabat laki-laki mereka. Bila suami mereka meninggal, satu-satunya keselamatan yang ditawarkan oleh kuil adalah bekerja di sanggar kerja kuil, melakukan “kerja perempuan” di bawah kondisi kerja yang buruk, hanya untuk memperluas kekayaan kelas penguasa. Bukan tanpa alasan Engels mengatakan bahwa “penindasan kelas yang pertama terjadi bersamaan dengan penindasan kaum perempuan oleh laki-laki.”[47]
Melihat kembali ke lahirnya masyarakat kelas di Uruk, sangatlah sulit dipercaya kalau perampasan kekuasaan sebegitu besar dapat ditoleransi. Tetapi ini tidak mungkin dilakukan hanya dengan kekerasan saja. Seperti yang ditulis Trotsky, “Justifikasi historis bagi setiap kelas penguasa adalah ini – bahwa sistem eksploitasi yang mereka kepalai dapat meningkatkan perkembangan tenaga produksi ke tingkatan yang baru.”[48] Atas dasar perkembangan ini, standar hidup dan tingkat kebudayaan dari selapisan besar populasi meningkat, terutama di kota-kota. Perkembangan ini dapat disaksikan dalam kelahiran tulisan dan uang, dua inovasi paling penting dalam sejarah manusia.
Tulisan dan Uang
Ada hubungan yang dekat antara perkembangan uang, tulisan, dan masyarakat kelas. Tulisan berkembang kurang lebih bersamaan di Mesopotamia dan Mesir. Tetapi kita akan fokus pada Mesopotamia saja. Simbol-simbol yang tertera di batu liat, yang dikenal sebagai token akuntansi, mulai muncul di Iran seawal 4.000 SM. Orang yang ingin menghitung tiga domba akan membuat tiga token “domba” dan mengikatnya menjadi satu pada seutas tali. Seiring waktu, dengan semakin banyak ternak, mereka menciptakan simbol-simbol yang mewakili jumlah ternak yang berbeda.[49] Tablet-tablet pictografik dari situs seperti Tell Brak di Suriah, yang menunjukkan gambar binatang di samping angka, menunjukkan sejauh mana penggunaan simbol ini berkembang sebelum sistem menulis yang lengkap muncul.
Di Uruk, sebuah sistem menulis berkembang, yang memungkinkan para birokrat kuil untuk mengkomunikasikan konsep-konsep yang kompleks dengan satu sama lain, berdasarkan pictogram dari periode sebelumnya. Awalnya, tulisan digunakan untuk mengorganisasi sumber daya ekonomi Uruk. Dari sekitar 3.200 SM, tulisan “cuneiform” mulai muncul dalam catatan arkeologi. Dari tablet-tablet cuneiform kota Uruk, sekitar 85% adalah catatan ekonomi dan administrasi. Sistem menulis yang kompleks seperti cuneiform mensyaratkan keberadaan sebuah lapisan dalam masyarakat yang memiliki waktu untuk belajar menulis dan membaca, yakni juru tulis. Keahlian juru tulis ini menjamin mereka posisi penting dalam kelas penguasa Mesopotamia dan Mesir. Seperti yang diceritakan dalam Satire of the Trades (2.025-1.700 SM) dari zaman Mesir Kuno: “Lihat, tidak ada kantor yang bebas dari pengawas selain kantornya juru tulis. Dialah pengawasnya!”
Walaupun tulisan awalnya dikembangkan untuk keperluan ekonomi, ini akhirnya digunakan untuk beragam keperluan. Cuneiform lalu digunakan di seluruh Mesopotamia selama ribuan tahun. Pada akhirnya, sastra dan puisi yang paling awal, seperti Epik Gilgamesh yang terkenal itu, Hurrian Hymn to Nikal yang merupakan lagu tertua, dan undang-undang Hammurabi, semua ditulis dalam bentuk cuneiform.
Seperti halnya pertumbuhan surplus dan birokrasi kuil telah menciptakan kebutuhan untuk menyampaikan informasi lewat tulisan, maka spesialisasi dan kesalingtergantungan yang semakin meningkat mensyaratkan pertukaran konstan dari produk-produk yang semakin beragam. Di Uruk, pertukaran ini sebagian besar difasilitasi oleh kuil. Misalnya, seorang tukang tembikar yang menghasilkan mangkuk akan menerima jatah gandum dari kuil, yang berasal dari upeti desa.
Skala dan kompleksitas distribusi yang dilakukan oleh kuil jauh melampaui batas-batas pertukaran pribadi yang biasanya dilakukan selama Zaman Neolitikum. Oleh karenanya dibutuhkan sistem pengukuran yang lebih objektif. Berat logam perak diukur dalam unit grain, shekel, mina, dan talent [Mina adalah unit ukur paling tua, yang berakar dari bahasa Semit kuno yang berarti “menghitung”. Shekel berarti “menimbang”. 1 talent = 60 mina = 360 shekel = 30.2 kg. Satu grain = berat rata-rata satu biji gandum = 64 miligram]. Sistem ini lalu digunakan untuk menciptakan unit-unit akuntansi, yang memungkinkan para birokrat kuil untuk membandingkan nilai-nilai dari beragam komoditas yang keluar masuk gudang mereka, dan ini melahirkan uang dalam bentuknya yang paling awal dan dasar, uang sebagai “alat ukur universal”.[50] Awalnya, volume gandum dan berat logam mulia memainkan peran ini, misalnya 300 liter gandum setara dengan 1 shekel perak. Bentuk-bentuk uang awal ini tidaklah digunakan secara umum oleh penduduk sebagai koin atau mata uang. Pada kenyataannya, kuantitas gandum dan perak ini adalah perwakilan konkret dari pengukuran nilai abstrak yang dilakukan di dalam kuil. Tetapi seperti tulisan, uang tidak bisa dibatasi di meja birokrat kuil untuk selama-lamanya. Uang ditakdirkan memainkan peran yang lebih besar dalam sejarah peradaban. Mata uang, kredit, dan semua bursa saham hari ini dapat menarik garis keturunan mereka dari berat perak dan volume gandum yang bersahaja ini.
Pengukuran waktu juga distandarisasi, dengan menggunakan sistem hitungan sexagesimal yang secara akurat membagi tahun menjadi 12 bulan dan 360 hari. Sistem ini juga menetapkan 1 jam berisi 60 menit. Ukuran jarak yang standar juga diperkenalkan untuk membantu perencanaan lahan pertanian dan kanal irigasi. Semua inovasi ini, yang dengan gemilang dipahami oleh Aristoteles sebagai produk dari dibebaskannya para pendeta dan juru tulis dari kerja fisik, memberi dorongan besar bagi perkembangan sains, dan melahirkan ahli-ahli astronomi dan matematika pertama.
Kelahiran Negara
Pada 3.100 SM, kita memiliki cukup bukti adanya kelas pendeta dan juru tulis, yang berpusat di kuil-kuil, yang memiliki kontrol eksklusif atas produksi dan distribusi kekayaan masyarakat, yang mulai mengamankan untuk diri mereka sendiri cadangan kekayaan pribadi yang dapat mereka wariskan. Kita juga dapat melihat bagaimana kelas ini menjadi semakin sadar-diri, dalam artian bahwa mereka melihat diri mereka sebagai lapisan yang terpisah dan lebih superior daripada seluruh lapisan masyarakat lainnya dan menyebarkan ideologi kekuasaan yang mencerminkan kepentingan mereka.
Satu lagi fitur dari kemunculan kelas penguasa baru di Uruk adalah kebangkitan “raja pendeta” yang pertama, yang muncul di patung-patung dan desain-desain segel-tanah-liat selama periode ini. Identitas penguasa tidak-bernama ini tidak dapat diverifikasi secara historis ataupun lewat catatan-catatan sejarah. Bahkan nama “raja pendeta” pun mungkin tidak terlalu tepat, karena titel paling awal yang dapat kita temukan untuk penguasa Uruk adalah En, yang berarti “imam besar”. Apakah raja ini dapat dianggap sebagai kepala negara dalam artian yang sepenuhnya, ini masih diperdebatkan. Akan tetapi, yang pasti kemunculan “raja pendeta” ini menandai pergeseran kualitatif dalam disintegrasi sistem sosial komunal lama, dan awal dari bentuk organisasi politik yang baru.
Dengan pertumbuhan besar produk surplus, dan konsentrasinya dalam kuil-kuil, menjadi semakin perlu bagi kota-kota seperti Uruk untuk mendirikan tembok kota dan mengorganisir semacam kekuatan militer, guna menghadang serangan dari suku-suku penggembala nomaden atau bahkan kota-kota saingan lain. Namun, organisasi militer ini membutuhkan seorang komandan. Segel tanah liat dari periode ini menunjukkan bagaimana peran komandan militer ini dipenuhi oleh raja-raja imam Uruk dan kemudian monarki-monarki Sumeria.[51]
Di bawah raja juga ada unkin, sebuah majelis komunal. Namun ini bukan sekadar kelanjutan dari organisasi komunal lama. Majelis desa lama adalah badan pengambil keputusan yang menyelesaikan problem-problem dalam keluarga. Sebaliknya, negara yang baru lahir ini, atau proto-negara, mengklaim otoritas absolut tidak hanya atas kota tempat tinggal raja pendeta, tetapi juga wilayah sekitarnya. Majelis unkin ini dapat memberi nasihat, seperti “Para Tetua” di Epik Gilgamesh, yang memperingatkan sang raja yang sembrono sebelum pertempurannya dengan sang raksasa Humbaba. Tetapi pada akhirnya, sang raja-imam hanya menjawab pada dewa pelindung kota, dan pada kenyataannya hanya menjawab pada kepentingan kelas penguasa yang dia wakili.
Tidak lama setelah kemunculan raja-raja imam, Uruk mengalami periode krisis dan keruntuhan, yang menandai akhir dari apa-yang-disebut “urbanisasi pertama”. Setelah 3.100 SM, dari bukti-bukti arkeologi, kita menemukan tidak hanya “retrogresi signifikan”[52] dalam budaya Uruk, tetapi juga kemunduran permanen dan bahkan menghilangnya kota-kota lain di wilayah tersebut, kota-kota yang telah berkembang bersama dengan Uruk selama milenia ke-4 SM. Misalnya, di situs Arslantepe, di Mesopotamia utara, kita temukan bukti bagaimana kompleks kuil besar di kota tersebut hancur terbakar dan tidak pernah dibangun kembali.[53]
Bukti yang ada sampai sekarang masih terlalu langka untuk bisa memberikan satu penjelasan definitif mengapa terjadi keruntuhan yang begitu luas ini. Salah satu faktor yang dapat menjelaskan ini adalah dampak kekeringan atau dampak intensifikasi pertanian. Tetapi ada faktor-faktor sosial lainnya yang juga memainkan peran penting, dan bahkan peran menentukan. Seperti yang dapat dilihat sepanjang masyarakat kelas, termasuk era kita sendiri, kelas penguasa cenderung mengalihkan beban krisis ke pundak kelas yang berproduksi. Ketika produksi tumbuh, kontradiksi-kontradiksi kelas dalam masyarakat dapat dikaburkan sampai taraf tertentu. Tetapi dengan anjloknya produksi pertanian, konflik antara desa-desa tani dan kelas penguasa di kota kemungkinan mencuat secara mencolok.
Mario Liverani, dalam bukunya The Ancient Near East, berpendapat bahwa terbakarnya kuil di kota Arslantepe disebabkan oleh perjuangan yang penuh kekerasan. Apa yang bisa kita ketahui dengan pasti adalah, kuil yang terbakar ini digantikan oleh beberapa rumah sederhana, tanpa kembali ke struktur kuil yang tersentralisir. Ada kemungkinan bahwa perjuangan yang serupa meledak di wilayah Uruk, dengan desa-desa yang menolak memberi surplus mereka (upeti) ke kuil, atau bahkan berusaha melepaskan diri mereka dari dominasi kuil.
Menyusul krisis pada akhir milenia ke-4 SM, sebuah struktur yang sepenuhnya baru muncul dalam bukti-bukti arkeologi: istana. Uruk dan pemukiman-pemukiman yang serupa berpusat pada kompleks kuil, yang mengapropriasi dan mengendalikan produk surplus. Pemukiman-pemukiman selanjutnya, seperti Jemdet Nasr, memiliki kompleks kuil dan juga kompleks istana, dengan gudang dan sanggar kerja, seperti kuil-kuil zaman Uruk.[54] Istana ini, yang disebut e-gal (berarti “rumah besar”), menjadi sentra produksi dan juga administrasi, dan merupakan tempat tinggal Iugal (secara harfiah berarti “orang besar”). Dari titik ini, keberadaan negara, dalam artian sepenuhnya, sudah tak terbantahkan.
Peran kekerasan
Krisis yang dialami di Uruk, dan keruntuhan penuh kota-kota lain seperti Arslantepe, menunjukkan bahwa kekuasaan pendeta, walaupun mereka memiliki kekuatan ideologi yang kuat, tidak memiliki kekuatan kekerasan yang dibutuhkan untuk merepresi warga ketika diperlukan. Angkatan bersenjata yang pertama tidaklah lebih dari rakyat yang dipersenjatai, yang dikenakan wajib militer. Bila rakyat memberontak, kaum pendeta tidak memiliki kekuatan yang bisa mereka andalkan. Apa yang dibutuhkan untuk mempertahankan relasi kelas yang ada adalah sebuah institusi permanen yang beranggotakan “pekerja penuh waktu, khusus untuk aktivitas militer”[55], yang dipisahkan dari populasi umumnya, tidak hanya untuk melindungi kota dari pasukan asing, tetapi juga untuk melindungi kelas penguasa dari massa tertindas. “Badan khusus orang-orang bersenjata” ini lalu menjadi negara, dengan “orang besar” sebagai pemimpinnya. Seperti yang dijelaskan Engels di Asal Mula Keluarga:
“Negara oleh karenanya bukanlah sebuah kekuasaan yang dipaksakan ke masyarakat dari luar; seperti halnya negara bukanlah ‘realitas dari ide moral’ … Sebaliknya, negara adalah produk masyarakat pada tahapan perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini telah terjerat dalam kontradiksi-diri yang tak terpecahkan dan terpecah belah ke dalam antagonisme-antagonisme tak-terdamaikan yang tak mampu ia singkirkan. Tetapi agar antagonisme-antagonisme ini, yaitu kelas-kelas dengan kepentingan ekonomi yang bertentangan, tidak lantas menghancurkan diri mereka sendiri dan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, sebuah kekuasaan, yang tampaknya berdiri di atas masyarakat, telah menjadi diperlukan untuk memoderasi konflik tersebut dan menjaganya dalam batas-batas ‘ketertiban’, dan kekuasaan ini, yang muncul dari masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atasnya dan semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat, inilah negara.”
Berkebalikan dengan penjelasan yang dikemukakan Engels, para teoretikus anarkis sering kali berpendapat bahwa negara adalah akar dari semua kejahatan, termasuk masyarakat kelas, ketidaksetaraan, dan uang, yang entah bagaimana muncul di atas dasar kekerasan yang terorganisir oleh para raja dan negara. David Graeber, misalnya, berargumen bahwa “asal usul uang yang sebenarnya dapat ditemukan dalam kejahatan dan balas jasa, perang dan perbudakan, martabat, hutang dan penebusan.”[56] Tetapi ini dengan jelas dibantah oleh bukti arkeologi, yang sangat memihak gagasan Engels.
Kaum anarkis benar ketika mereka mengatakan bahwa ada kesalingtergantungan yang absolut antara negara dengan masyarakat kelas. Pengalaman Uruk menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat kelas yang bisa bertahan untuk waktu yang sangat panjang tanpa adanya negara untuk melindungi dan meregulasinya. Namun, bila kita lantas menafsirkan bahwa eksploitasi kelas adalah produk negara, maka ini seperti menaruh kereta di depan kuda. Bila kita mendefinisikan negara sebagai kekerasan atau kontrol dalam bentuk apapun, maka definisi negara seperti demikian sangatlah tidak berguna. Dari penelitian negara-negara zaman kuno, masyarakat kelas sudah ada dalam proses pembentukan sebelum raja dan negara pertama muncul.
Kebangkitan masyarakat kelas membutuhkan pembentukan negara secara paksa, dan ini mencerminkan fakta bahwa kehancuran akhir relasi-relasi komunal lama – yang telah dipersiapkan selama ribuan tahun – tidak dapat tercapai secara damai dan gradual. Masih ada selapisan besar masyarakat yang kepentingannya berbenturan langsung dengan relasi penindasan baru yang mulai muncul. Pada saat yang sama, jelas ada lapisan lainnya yang meraih keuntungan besar dari tatanan yang baru. Ini menghasilkan konflik, yang pada titik menentukan memecah belah seluruh masyarakat ke dalam kubu-kubu yang bertentangan, yang pada akhirnya hanya bisa diselesaikan oleh kekerasan. Seperti kata Marx: “Kekerasan adalah bidan dari semua masyarakat lama yang sedang hamil dengan masyarakat yang baru.”
Perkembangan tak-berimbang dan tergabungkan
Proses pembentukan negara di Mesopotamia menyediakan sebuah contoh yang menakjubkan bagaimana masyarakat kelas berkembang dari masyarakat Neolitikum yang komunal. Gordon Childe membuat daftar “ciri-ciri” penting yang dia temukan dalam masyarakat-masyarakat kelas awal ini, termasuk “pengrajin tangan, pekerja transportasi, pedagang, pejabat dan pendeta penuh-waktu”, ekstraksi surplus, tulisan, dan “sebuah organisasi negara yang berdasarkan domisili dan bukan ikatan keluarga.”[57]
Banyak kritikus Childe yang telah memelintir penjelasannya yang berharga ini mengenai salah satu proses paling penting dalam sejarah manusia, dan menjadikannya semacam “resep” untuk pembentukan negara, dimana negara tidaklah lebih dari masyarakat manapun yang memiliki kota plus ciri-ciri di atas. Dengan cara ini, mereka mengklaim bahwa analisa Marxis mengenai negara terlalu kaku, dan sesungguhnya hanya dapat diterapkan di Mesopotamia. Akan tetapi, argumen ini tidak berlandasan. Kaum Marxis memahami bahwa masyarakat kelas bukan sekedar sebuah daftar ciri-ciri. Ada peradaban, seperti Inca, yang tidak pernah mengembangkan tulisan; dan yang lainnya seperti Mesir Kuno dimana kota memainkan peran ekonomi yang lebih kecil. Alih-alih mengklasifikasi masyarakat secara empiris, secara taksonomi, berdasarkan ciri-ciri di permukaan, kita harus mengkaji asal usul mereka, perkembangan mereka, dan hubungan mereka dengan masyarakat lainnya pada saat itu.
Di Kapital, Marx menulis panjang lebar mengenai perkembangan kapitalisme di Inggris, dimana kapitalisme mengambil “bentuk klasik”, dan hanya menyentuh sedikit negeri-negeri lain. Pada saat yang sama, dia tidak berargumen bahwa proses yang berlangsung di Inggris adalah satu-satunya proses yang dapat terjadi. Apa yang membuat Inggris sebagai negara kapitalis klasik juga membuatnya khas. Fakta bahwa Inggris adalah negara pertama yang mengembangkan ekonomi kapitalis dari perkembangan feodalisme berarti bahwa proses ini berlangsung selama ratusan tahun dan mengambil banyak bentuk peralihan dan transisional. Ini memungkinkan kajian cermat terhadap proses-proses umum yang berlangsung tidak hanya di Inggris tetapi juga sejumlah negeri lainnya. Tetapi, ini tidak berarti bahwa setiap negeri harus melalui periode produksi wol untuk pasar, diikuti oleh manufaktur dan lalu, akhirnya, sistem pabrik untuk mengembangkan kapitalisme.
Hal yang sama juga bisa kita katakan mengenai negara-negara “asli” yang ditemukan di Sumeria, Mesir, dan China misalnya. Masyarakat-masyarakat kelas ini sangatlah “tidak rapi” dan penuh kontradiksi, dan membawa serta sisa-sisa relasi komunistis dari masa lalu. Masyarakat kelas yang lalu berkembang di kemudian hari – yang berada di bawah pengaruh peradaban ini – tumbuh berkembang jauh lebih pesat dan tanpa membawa serta sisa-sisa prasejarah yang dapat ditemukan di Uruk misalnya. Negara-kota Sumeria yang berkembang di kemudian hari, seperti kota Ur (3.800 – 500 SM), dapat melompat lebih maju dibandingkan pendahulu mereka. Fenomena ini terdokumentasi secara luas sepanjang sejarah, termasuk sejarah perkembangan kapitalisme. Privilese menjadi yang pertama dengan cepat disusul oleh “privilese keterbelakangan”, dimana masyarakat-masyarakat yang lebih terbelakang secara ekonomi dapat berkembang dengan lebih pesat dan lebih rasional dengan mengandalkan pencapaian-pencapaian dari pendahulu mereka yang lebih maju.
Proses yang serupa juga dijelaskan oleh Engels dalam karya Asal usul Keluarga. Dia menjelaskan, asal usul negara Athena dapat ditelusuri kembali ke pergolakan sosial besar yang disebabkan oleh pengaruh “merusak” kepemilikan pribadi, perbudakan dan uang, dan semua ini berkembang di tempat lain. Dalam kondisi ini, kebangkitan masyarakat kelas Athena tidak hanya terjadi dalam rentang waktu yang lebih pendek dibandingkan di Uruk, tetapi juga mengambil bentuk yang sepenuhnya berbeda, tanpa birokrasi kuil yang terpusat atau perpajakan sebagai sarana utama untuk memperoleh produk surplus. Athena adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan moda produksi yang berbeda secara kualitatif, yang dicirikan oleh tingkat kepemilikan pribadi yang tinggi, dan dengan itu perbudakan, persis karena Athena muncul di kemudian hari, atas dasar teknologi Zaman Besi dan bukannya Zaman Perunggu, dan di lingkungan yang berbeda dari Sumeria dan Mesir.
Kaum Marxis sering kali dituduh menggunakan skema yang kaku untuk menjelaskan perkembangan masyarakat kelas. Namun, bila kita menggunakan metode Marxis dengan benar untuk menganalisis kebangkitan negara, kita akan temui justru sebaliknya. Kita bahkan dapat mengatakan, interaksi konstan antar masyarakat yang berada di tahapan-tahapan yang berbeda niscaya menghasilkan lompatan dan keberagaman dalam perkembangan sosial, dan ini adalah sebuah hukum besi materialisme historis. Fenomena ini disebut oleh Leon Trotsky sebagai “perkembangan tak-berimbang dan tergabungkan”.
Apapun perbedaan antara Mesopotamia dan Mesir, orang Mauryan (kekaisaran Pan-India, 322-185 SM) dan Maya, atau Yunani dan Roma, proses yang melandasi perkembangan negara-negara ini adalah sama. Di semua kasus, perkembangan tenaga produksi mengarah ke produksi surplus, yang pada gilirannya memungkinkan sekelompok orang untuk hidup dari kerja orang lain. Dalam perkembangannya, kelompok ini berkembang menjadi sebuah kelas dengan kepentingannya sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan kelas-kelas lainnya dalam masyarakat. Entah karena tekanan eksternal, atau kontradiksi internal dari masyarakat kelas yang baru ini (biasanya karena keduanya), sebuah negara, yang pada akhirnya mewakili kepentingan kelas ini, memisahkan dirinya dari masyarakat dan memainkan peran sebagai penjaga “ketertiban” – yakni kestabilan dan keberlangsungan relasi produksi yang ada. Proses ini dapat berlangsung ribuan tahun atau dalam jangka waktu yang singkat, dan dapat mengambil banyak bentuk. Tetapi pelajaran terpenting adalah bahwa perkembangan negara secara fundamental disebabkan oleh perkembangan kelas-kelas sosial dan kontradiksi-kontradiksi yang mengalir dari sini.
Peran individu
Ini tidak berarti bahwa negara dan kelas-kelas niscaya berkembang secara otomatis di setiap komunitas dimana syarat-syarat ekonomi dasar untuknya sudah mulai mengambil bentuk. Proses ini dapat terinterupsi, berserakan, melambat atau terputar balik sepanjang peristiwa-peristiwa sejarah yang nyata, terutama sepanjang perjuangan kelas yang muncul dari dalam masyarakat tersebut. Seperti yang dijelaskan Marx dalam Keluarga Suci:
“Sejarah tidak melakukan apapun, ia ‘tidak memiliki kekayaan’, ia ‘tidak mengobarkan perang’. Adalah manusia, manusia yang nyata dan hidup yang melakukan semua itu, yang memiliki kekayaan dan berjuang; ‘sejarah’ tidak, seolah-olah seperti seorang yang terpisah, menggunakan manusia sebagai sarana untuk mencapai tujuannya sendiri; sejarah tidak lain adalah aktivitas manusia yang mengejar tujuannya.”
Individu dapat memainkan peran yang sangat menentukan dalam pembentukan negara-negara awal, seperti halnya mereka dapat memainkan peran menentukan dalam perjuangan kelas hari ini. Dalam ilmu arkeologi, satu konsep yang populer untuk menjelaskan lahirnya negara awal adalah “prinsip aggrandiser”. Konsep ini mengatakan, bahwa dalam transisi dari kesukuan ke negara, individu “aggrandiser”, atau “orang besar”, yang termotivasi oleh hasrat untuk meningkatkan kekuasaan mereka sendiri, memainkan peran instrumental dalam pembentukan negara-negara awal. Ini tidak berbeda dengan teori “orang besar”, yang menyajikan tindakan dan kepribadian dari individu-individu hebat sebagai faktor pendorong yang independen dalam sejarah masyarakat. Tetapi dengan pendekatan materialis atas formasi negara, kita dapat meletakkan orang-orang besar ini pada tempatnya. Ini terlihat paling jelas dalam formasi negara Mesir, karena penekanan mereka pada ritual pemakaman raja yang amat terperinci sehingga memungkinkan kita untuk meneliti kuburan-kuburan tiap-tiap raja dengan mudah.
Kita dapat melihat misalnya Raja Narmer (3273-2987 SM), yang menyatukan Mesir Hulu (selatan) dan Hilir (utara), dan proses penyatuan ini bukanlah sesuatu yang otomatis. Pelat Narmer, yang merupakan salah satu catatan sejarah paling tua, menunjukkan Raja Narmer mengenakan mahkota Mesir Hilir (utara), dan memaksa seorang tawanan dari Mesir Hulu (selatan) untuk menyerah kepadanya, dengan tongkat kebesaran di tangannya. Para raja Dinasti Awal tidak mewarisi begitu saja sebuah negara yang sudah jadi; mereka harus mendirikan negara ini dengan paksa.
Bila Narmer adalah seorang pemimpin yang tidak kompeten dan pengecut, maka formasi negara Mesir Kuno kemungkinan tidak akan mengambil bentuk yang sama. Dalam artian, kepribadian dan tindakan individu adalah menentukan. Jalannya peristiwa akan tergantung pada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Namun, individu-individu karismatik dan ambisius telah ada di setiap titik sejarah. Pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap orang yang ingin memahami proses kebangkitan negara adalah: mengapa, pada titik tertentu, individu-individu ini dapat mencapai tujuan mereka dengan cara yang menentukan secara historis?
Individu-individu seperti Raja Narmer di Mesir, Raja Jaguar dari Zapotec (Oaxaca, Meksiko), atau Iugals dari Sumeria, mungkin saja bertindak untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi mereka juga mencerminkan keniscayaan yang mendasari masyarakat kelas yang terpecah belah oleh kontradiksinya sendiri. Plekhanov menulis dalam Peran Individu Dalam Sejarah:
“Seorang tokoh besar menjadi besar bukan karena kualitas pribadinya memberikan ciri-ciri individual pada peristiwa sejarah besar, tetapi karena dia memiliki kualitas yang membuatnya paling mampu untuk memenuhi kebutuhan sosial besar pada masanya, kebutuhan yang muncul sebagai akibat dari sebab-sebab umum dan partikular.”
Seperti para pendiri kuil Gobekli Tepe dan para pemukim Neolitikum yang mengeringkan rawa-rawa Sumeria, “orang-orang besar” pertama adalah individu-individu yang karena tindakan dan kemampuan mereka membuat sejarah. Tetapi mereka tidak membuat sejarah dari nol. Bila visi dan ambisi mereka tampaknya telah mengubah masyarakat hanya dengan kekuatan kemauan semata, ini karena visi mereka mengungkapkan gambaran masa depan yang telah dipersiapkan oleh kekuatan-kekuatan yang jauh melebihi kemauan manusia.
Di fajar masyarakat kelas, penumbangan komune dan formasi negara adalah salah satu “kebutuhan sosial besar” pada masa itu. Sebuah solusi untuk krisis yang telah mencuat dari dalam masyarakat harus ditemukan, dan ini ditemukan dalam kelahiran negara, dimana tindakan-tindakan dari pemimpin seperti Narmer memainkan peran penting. Kesalahan yang dibuat oleh para sejarawan dan arkeolog adalah menyimpulkan bahwa agensi individu (kehendak bebas) dan keniscayaan historis adalah dua hal yang terpisah, ketika pada kenyataannya keduanya berkait kelindan di setiap peristiwa sejarah. Keniscayaan sejarah justru terekspresikan lewat konflik antara kehendak-kehendak individu yang tak terhitung jumlahnya.
Membela progres
Mengingat kehidupan yang amat sukar yang dihadapi oleh para petani Neolitikum dan eksploitasi yang diderita oleh begitu banyak keturunan mereka di bawah masyarakat kelas, beberapa orang telah mempertanyakan apakah kita dibenarkan untuk menggambarkan perkembangan ini sebagai “progres” sama sekali. Tentunya, mitos liberal mengenai “kontrak sosial” yang tercerahkan, dimana di bawahnya semua manusia telah menjalani kehidupan yang lebih damai dan makmur, jelas adalah dusta. Kehidupan kaum tani Sumeria kemungkinan besar “buruk, kasar, dan pendek” seperti halnya nenek moyang Neolitikum mereka. Progres juga tidak terlihat dalam ranah moral, bila kita tengok penindasan perempuan di bawah masyarakat kelas. Satu-satunya konsepsi progres yang dapat mempertimbangkan perkembangan yang jelas telah berlangsung selama ribuan tahun, tanpa terjerat dalam kekusutan kontradiksi-diri yang tak ada harapan, adalah perkembangan tenaga produksi, yakni penguasaan umat manusia atas kekuatan-kekuatan alam dan atas perkembangan sosial kita sendiri.
Tentu saja, bila progres berarti perbaikan dalam semua aspek kehidupan untuk semua orang, kita akan kesulitan menemukan progres sejati dalam sejarah manusia semenjak berakhirnya Zaman Es terakhir. Namun, progres umat manusia secara keseluruhan selama periode ini adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Dari 5.000 SM sampai 2.000 SM, populasi dunia tumbuh lima kali lipat, dari sekitar 5 juta menjadi 25 juta.[58] Liverani memperkirakan, bahwa bangkitnya negara-kota pertama terjadi bersamaan dengan meningkatnya produktivitas sebesar 10 kali lipat, dibandingkan dengan masa Neolitikum.[59] Pertumbuhan produktivitas ini, yang terdiri dari penemuan sains, matematika, dan seni yang masih kita gunakan sampai hari ini, dicapai di bawah relasi-relasi yang lebih tidak setara dan opresif, dan hanya memperkuat relasi-relasi tersebut. Hal yang sama juga dapat kita katakan mengenai bangkitnya kapitalisme. Apa yang membuat kebangkitan masyarakat kelas dan kapitalisme progresif bukanlah superioritas moral abstrak mereka, tetapi keniscayaan konkret mereka sebagai tahapan-tahapan dalam perkembangan tenaga produksi: satu-satunya bentuk dimana perkembangan selanjutnya dapat berlangsung.
Akan tetapi, fakta bahwa eksploitasi kelas dan penindasan dalam berbagai bentuknya telah menjadi bagian dari perkembangan sosial bukan berarti ini harus demikian untuk selama-lamanya. Komunisme primitif adalah keharusan dan tak terelakkan, namun ia juga harus tumbang pada akhirnya. Maka dari itu, masyarakat kelas tidak berhak mengklaim sebagai ekspresi final dan absolut dari watak manusia. Dalam sejarah, seperti halnya dalam alam, “semua yang ada layak untuk binasa”; apa yang telah membuka jalan ke depan untuk perkembangan pada akhirnya ditakdirkan untuk digulingkan oleh perkembangan itu sendiri.
Setiap pencapaian yang telah kita menangkan dalam pergulatan kita untuk bertahan hidup secara niscaya membawa serta rintangan dan ancaman mereka sendiri, yang harus diatasi oleh pergulatan untuk perkembangan lebih lanjut. Ini terutama benar di bawah masyarakat kelas, dimana, seperti kata Engels, “setiap langkah maju juga relatif merupakan langkah mundur, dimana kemakmuran dan kemajuan bagi beberapa orang dimenangkan lewat kesengsaraan dan frustrasi yang diderita oleh orang lain.” Konten sesungguhnya dari progres, yakni perkembangan tenaga produksi umat manusia, maka dari itu terwujudkan dalam rangkaian suksesif bentuk-bentuk yang terbatas dan kontradiktif. Bila kita menemukan bentuk-bentuk tersebut menjijikkan, ini hanya menunjukkan bahwa bentuk-bentuk tersebut telah menjadi usang. Tetapi ini sama sekali tidak membantah fakta adanya progres secara umum.
Hari ini, kita hidup di dunia dimana tenaga produksi yang telah dikembangkan tengah berbenturan dengan batas-batas kepemilikan pribadi, “pasar bebas”, dan negara-bangsa kapitalis. Krisis ekonomi yang silih berganti, perang imperialis, dan kengerian perubahan iklim, semua ini telah menjadi saksi bahwa kapitalisme sudah tidak dapat menjamin progres bagi umat manusia. Hanya dengan menumbangkan sistem yang sudah uzur dan sekarat ini, kita memiliki harapan untuk membebaskan umat manusia dari mimpi buruk. Tetapi ini hanya bisa dicapai dengan merebut tenaga produksi raksasa yang diciptakan oleh miliaran buruh tanpa-properti yang hari ini hidup di bawah kapitalisme, dan merencanakan ekonomi global secara rasional dan demokratik. Pendeknya, progres umat manusia selanjutnya berarti mengakhiri masyarakat kelas, tidak terkecuali mengakhiri negara.
Friedrich Engels menulis pada 1884:
“Kita sekarang sedang dengan cepat mendekati sebuah tahapan dalam perkembangan produksi dimana keberadaan kelas-kelas ini tidak hanya telah berhenti menjadi keharusan, tetapi telah menjadi rintangan positif bagi produksi. Kelas-kelas ini niscaya akan runtuh, sebagaimana dulu mereka bangkit. Negara niscaya akan runtuh bersama dengan mereka. Masyarakat yang mengorganisir produksi dengan cara yang baru, di atas dasar asosiasi produsen yang bebas dan setara, akan menempatkan mesin negara dimana ia selayaknya berada – ke museum barang antik, di sebelah roda pemintal kapas dan kapak perunggu.”
Hari ini, tahapan tersebut sudah lama tiba. Syarat-syarat untuk menumbangkan kapitalisme dan mewujudkan sosialisme sudah hadir, dan bahkan sudah sangat matang. Hari ini, kita harus berjuang untuk membuat prediksi Engels menjadi kenyataan dan membangun sebuah masa depan yang penuh dengan kebebasan, kemakmuran dan harapan bagi seluruh umat manusia.
[1] Leakey, Richard. The Making of Mankind. BCA, 1981, hal. 107.
[2] Mithen, Steven J. After the Ice: A Global Human History, 20,000-5000 BC. Kiribati. Phoenix, 2004, hal. 323.
[3] Darmangeat, Christophe. L’oppression des femmes, hier et aujourd’hui: pour en finir demain!
[4] Lombard, Marlize, and Katharine Kyriacou. “Hunter-Gatherer Women.” Oxford Research Encyclopedia of Anthropology. 2020.
[5] Haas, Randall, et al. “Female hunters of the early Americas.” Science advances 6.45 (2020): eabd0310.
[6] Habib, Irfan. A People’s History of India, volume 1: Prehistory. Tulika Books, 2015, hal. 66.
[7] Draper, Patricia. “16. Institutional, Evolutionary, and Demographic Contexts of Gender Roles: A Case Study of! Kung Bushmen.” The Evolving Female. Princeton University Press, 1996. 220-232.
[8] Draper, The Evolving Female.
[9] Lombard, Hunter-Gatherer Women.
[10] Knight, Chris. “Did Communism Make Us Human?” The Brooklyn Rail, 28 May 2021.
[11] Moller, Amanda. “The changing women’s rights of Africa’s San people” Unearth Women, 13 August, 2019.
[12] Habib, People’s History of India, 41.
[13] Mithen, After the Ice, 139.
[14] Mithen, After the Ice, 391.
[15] Mithen, After the Ice, 136.
[16] Mithen, After the Ice, 140.
[17] Willcox, George, and Danielle Stordeur. “Large-scale cereal processing before domestication during the tenth millennium cal BC in northern Syria.” Antiquity 86.331 (2012): 99-114.
[18] Milner, N. Star Carr Volume 1. White Rose University Press, 2018.
[19] Mithen, After the Ice, 53.
[20] Mithen, After the Ice, 37.
[21] Hillman, Gordon, et al. “New evidence of Lateglacial cereal cultivation at Abu Hureyra on the Euphrates.” The Holocene 11.4 (2001): 383-393.
[22] Giddens, Anthony. A Contemporary Critique of Historical Materialism, vol 1. (University of California Press 1981), hal 156.
[23] Mann, Charles. “The Birth of Religion.” National Geographic, Juni 2011.
[24] Clare, Lee. “Göbekli Tepe, Turkey. A brief summary of research at a new World Heritage Site (2015–2019).” e-Forschungsberichte (2020): 1-13.
[25] Curry, Andrew. “How Ancient People Fell in Love with Bread, Beer and Other Carbs.” Nature News, Nature Publishing Group, 22 Juni 2021.
[26] Liverani, Mario. The Ancient Near East. Routledge, 2014, hal. 38.
[27] Brace, Selina, et al. “Ancient genomes indicate population replacement in Early Neolithic Britain.” Nature ecology & evolution 3.5 (2019): 765-771.
[28] Mithen, After the Ice, 60.
[29] Molleson, Theya. “The eloquent bones of Abu Hureyra.” Scientific American 271.2 (1994): 70-75.
[30] Hansen, Casper Worm, Peter Sandholt Jensen, and Christian Volmar Skovsgaard. “Modern gender roles and agricultural history: the Neolithic inheritance.” Journal of Economic Growth 20.4 (2015): 365-404.
[31] Belkin, Tara, et al., Woman the Toolmaker: Hideworking and Stone Tool Use In Konso, Ethiopia. Left Coast Press, 2006.
[32] Cockshott, Paul. How the world works: the story of human labor from prehistory to the modern day. Monthly Review Press, 2020, hal. 38.
[33] Henshall, Audrey. “The Chambered Cairns.” The Prehistory of Orkney BC 4000–1000 AD, edited by Colin Renfrew, Edinburgh University Press, 1985.
[34] Arnaud, Bernadette. “First farmers.” Archaeology 53.6 (2000): 56-59.
[35] Mithen, After the Ice, 59.
[36] Mithen, After the Ice, 434.
[37] Liverani, The Ancient Near East, 48.
[38] Liverani, The Ancient Near East, 52.
[39] Peoples, Hervey C., Pavel Duda, and Frank W. Marlowe. “Hunter-gatherers and the origins of religion.” Human Nature 27.3 (2016): 261-282.
[40] Liverani, The Ancient Near East, 53.
[41] Liverani, The Ancient Near East, 53.
[42] M Liverani, The Ancient Near East, pg 62
[43] Liverani, The Ancient Near East, 69.
[44] Liverani, The Ancient Near East, 72.
[45] Liverani, The Ancient Near East, 101.
[46] Scott, James C. Against the Grain: A Deep History of the Earliest State. Yale University Press, 2017, hal 159.
[47] Engels, The Origin of the Family, Private Property and the State, pg 46
[48] L Trotsky, “The USSR in War”, In Defence of Marxism (Wellred, 2020), pg 7
[49] W Hallo & W Simpson: The Ancient Near East (New York: Harcourt, Brace, Jovanovich, 1971) pgs 25-26
[50] Marx, Capital vol. 1, pg 188
[51] Liverani, The Ancient Near East, 75.
[52] Liverani, The Ancient Near East, 88.
[53] Liverani, The Ancient Near East, 88.
[54] Liverani, The Ancient Near East, 89.
[55] Liverani, The Ancient Near East, 80.
[56] Graeber, Debt: The First 5000 Years, (Melville House, 2014), pg 19
[57] Childe, V. Gordon. “The urban revolution.” The town planning review 21.1 (1950): 3-17.
[58] Scott, Against the Grain, 4.
[59] Liverani, The Ancient Near East, 572.