Ketika kehidupan rakyat miskin begitu suram, tampaknya mereka harus berterima kasih pada para politisi karena telah disuguhkan sebuah drama politik yang sangatlah menggairahkan, yang setidaknya membuat kehidupan mereka sedikit lebih berwarna. Babak “cawapres” dalam drama pilpres 2019 kali ini sungguh membuat semua orang tegang. Menunggu deklarasi cawapres dari kedua kubu sungguh seperti menunggu sampai menit-menit terakhir siapa yang akan diumumkan sebagai “Miss Indonesia” dalam kontes kecantikan. Tentunya tidak adil bagi para kontestan Miss Indonesia untuk disamakan dengan para politisi ini. Dalam hal integritas, moralitas, prestasi serta talenta, pemudi-pemudi ini jauh di atas yang belakangan.
Sekilas posisi wakil presiden dalam pemerintah tidaklah menentukan. Selama 5 tahun terakhir, siapa yang ingat dengan Jusuf Kalla atau wapres-wapres lainnya? Namun, proses penunjukan cawapres mencerminkan sesuatu yang lebih dalam. Proses yang penuh drama ini – yang hampir terjadi di setiap kampanye pilpres – mencerminkan alotnya transaksi politik di antara partai-partai dan kepentingan-kepentingan politik mengenai bagaimana membagi-bagi kue kekuasaan. Jabatan dan privilese dijual beli dan dipertukarkan dalam apa yang sekarang ini disebut “politik transaksional.” Yah, dalam kapitalisme, tentu semua hal adalah komoditas untuk diperdagangkan.
Kubu Jokowi membuat geger ketika Ketua MUI dan Rais Aam PBNU Ma’ruf Amin yang ditunjuk jadi pendamping Jokowi. Sampai pada hari H nama Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, sudah pasti akan disiarkan jadi cawapres. Baju Mahfud kabarnya sudah diukur untuk acara deklarasi. Sudah diatur pula akan boncengan motor dengan Jokowi ke Gedung Joang. Tapi baju ini akhirnya tidak pernah dikenakan dan terlipat rapi di satu sudut di istana presiden, terlupakan atau lebih tepatnya tersisihkan oleh realitas politik.
Betapa terkejutnya Mahfud ketika bukan namanya yang terucap di bibir Jokowi pada jumpa pers pengumuman cawapres. Walau mengatakan bahwa dia tidak terluka, bahwa dia sudah menerima kenyataan ini,kekesalannya dia curahkan lewat acara Indonesian Lawyers Club (ILC). Dia katakan kalau dia “dijegal” dari posisi cawapres, bahwa ada “intrik” dan “ancam-ancaman”. Demikianlah perpolitikan Indonesia. Tidak ada demokrasi dalam semua partai politik yang ada hari ini. Bagaimana seorang capres, cawapres, dan caleg dipilih oleh partai tidaklah melalui mekanisme demokrasi yang melibatkan anggota, tetapi melalui kongkalikong di tingkat atas, melalui jegal menjegal, intrik dan ancam-ancaman. Kebusukan dari apa yang disebut demokrasi terpampang begitu jelas hari ini.
Hampir semua politisi dari kubu Jokowi – dan tidak ketinggalan juga para pengamat politik – mencoba menggambarkan kisruh cawapres ini sebagai “bagian dari dinamika politik,” sebagai hal yang biasa dalam politik.Mereka sungguh benar. Praktik-praktik yang dibeberkan oleh Mahfud adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika politik kapitalis, yang busuk karena para pemainnya busuk pula. Terlalu terbiasa mereka dengan praktik kotor saling menjegal, mengintrik, dan menikam di belakang, mereka hanya bisa katakan pada publik: “Ini sudah biasa.” Rakyat pekerja yang melihat ini akan merekam dalam ingatan mereka apa watak sesungguhnya dari politik penguasa.
Tidak berhenti di sini saja curhatan kekesalan Mahfud. Merasa ditelikung oleh orang-orangnya sendiri dari NU yang menyangkalnya dari status “kader NU”, dia beberkan kebusukan dari apa yang disebut “kader-kader” NU ini. Misalnya ia ceritakan bagaimana saat menjabat sebagai mantan ketua MK dia diminta untuk menyelamatkan ketua umum PKB Muhaimin Iskandar dari kasus korupsi, yang dikenal sebagai kasus kardus durian pada 2011 yang lalu. Mahfud tidak bodoh untuk mengatakan secara eksplisit di depan TV bahwa dia membantu menyelamatkan Muhaimin.Tetapi fakta bahwa Muhaimin masih bebas — dan Mahfud merasa perlu mengingatkannya akan hutang budinya ini –bisa segera memberi kita jawaban mengenai keterlibatan Mahfud.
Mahfud juga dalam acara ILC, bukan sekali tapi dua kali, mengatakan bahwa dari daftar cawapres yang diajukan oleh semua partai koalisi Jokowi, semuanya adalah koruptor dan dia tahu catatan-catatannya. Dengan nada mengancam dia katakan kalau dia ingin bisa dia buru semuanya untuk masuk bui. Ini kembali mengekspos rahasia umum yang sudah lama diketahui publik, bahwa tidak ada satupun politisi yang bersih dari KKN. Tidak terkecuali Mahfud sendiri, yang mengaku bahwa dari daftar cawapres dia adalah satu-satunya yang bersih. Apa seorang bisa dikatakan bersih ketika mengetahui kekotoran orang lain dan dapat melakukan sesuatu mengenai itu lalu tidak melakukan apapun? Ini kita sebut kolusi dan nepotisme.
Mahfud bisa saja mencitrakan dirinya sebagai korban, tetapi dia sendiri telah memainkan permainan politik kotor ini cukup lama. Dia hanya kalah licik kali ini. Terbuai oleh posisi cawapres, yang mungkin akan jadi titik tertinggi karier politiknya, dia silap. Begitu saja.
Kegaduhan yang serupa juga mengunjungi kubu Prabowo ketika Sandiaga Uno yang terpilih jadi cawapres. Rekomendasi Itjimak Ulama ditolak. Ketika sudah ada ancar-ancar bahwa isu agama akan jadi salah satu senjata utama kampanye pilpres Prabowo, dengan berkumpulnya elemen-elemen 212 yang reaksioner di seputar koalisi ini, memasangkan Prabowo dengan tokoh agama atau ulama tampaknya sudah hampir jadi kepastian. Namun, alih-alih ulama, yang ditunjuk adalah salah satu orang terkaya di Indonesia. Justru Jokowi-lah yang disandingkan dengan ulama dari 212. Agama sungguh telah dijadikan alat politik yang bisa dipertukarkan dengan mudah.
Andi Arief dari Partai Demokrat, begitu getolnya ingin menunjukkan kesetiaannya pada para tuannya, segera mengamuk ketika anak bosnya, AHY, tidak terpilih. Tuduhan mahar Rp 500 miliar pun dilontarkannya, dan berbagai cuitan lainnya yang menuduh Prabowo sebagai “Jendral kardus” dan “chicken”, yang memilih uang daripada perjuangan. Andi Arief, mantan pemimpin PRD ini, sungguh perlu bercermin kalau berbicara mengenai sungguh-sungguh meninggalkan perjuangan demi uang.
Tuduhan mahar 500 miliar ini telah ditarik oleh Andi Arief, tentunya setelah ditegur oleh petinggi Partai Demokrat yang menilai ucapannya terlalu membuka borok sendiri. Tidak akan mengejutkan kalau memang ada mahar dan semua pihak terlibat, termasuk Partai Demokrat.
Partai Demokrat sekarang mengambil posisi mengambang dalam komitmennya dengan kubu Prabowo. Mereka memutuskan hanya akan mengkampanyekan Prabowo, tetapi tidak Sandiaga Uno. Ini sungguh aliansi yang bin ajaib, yang hanya akan mendukung satu dari sepasang calon presiden dan wakil presiden.Sementara sejumlah dewan pimpinan daerah PD sudah menyatakan bahwa mereka akan mendukung Jokowi-Ma’ruf. Aliansi semacam ini tidak akan bertahan lama.
Kedua kubu kini telah menyelesaikan babak pemilihan cawapres mereka dan akan memulai babak baru dalam drama pilpres tahun depan. Tim-tim sukses mulai merancang strategi bagaimana bisa mengelabui massa rakyat untuk memilih mereka. Rakyat pekerja hanya jadi penonton saja dalam drama pilpres yang panjang ini.
Politik kelas penguasa selalu sarat dengan tarik menarik antar kepentingan, dengan saling menjegal, saling mengintrik, saling sogok, tetapi pada periode ini intensitasnya semakin tinggi. Para politisi pun tidak segan mempertontonkan drama politik ini di mata publik. Rakyat merasa sinis dan nihilis dengan drama politik ini, bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka merasa beginilah kenyataan politik di Indonesia, dan mau bagaimana lagi. Tetapi kelas penguasa akan salah kalau mengira sentimen ini akan terus melumpuhkan rakyat dan mereka bisa terus melakukan apa yang mereka inginkan tanpa menggubris aspirasi rakyat pekerja. Pada titik tertentu, akan ada lompatan, dan sang penonton akan jadi aktor dalam drama politik yang telah lama mengesampingkan mereka.