Pembubaran FPI oleh pemerintah Jokowi belum lama ini menyebabkan kekisruhan di antara para “pejuang demokrasi” dari semua spektrum politik. Tetapi, bila kita berani menerobos kabut kekisruhan ini, serta tidak teralihkan oleh kesan-kesan yang impresionistik dan dangkal, kita bisa mengenali garis demarkasi yang membedakan pandangan Marxisme dari tendensi-tendensi politik lainnya dalam masalah demokrasi.
Voltaire, filsuf Prancis yang dikenal sebagai pejuang kebebasan berpendapat, konon pernah berujar, “Saya tidak setuju dengan pendapat Anda, tetapi saya akan bela sampai mati hak Anda untuk berpendapat.” Berbekal kutipan tersohor ini, tidak sedikit kaum demokrat yang nilai keadilannya merasa terusik oleh tindakan pembubaran FPI. Bahkan mereka yang sebelumnya melihat FPI sebagai ancaman terbesar terhadap demokrasi turut menyumbangkan suara mereka membela kebebasan berorganisasi FPI dari apa yang mereka lihat sebagai kesewenang-wenangan pemerintah.
Di ujung spektrum lainnya adalah kaum demokrat yang bersorak-sorai atas diberangusnya FPI. Mereka melihat tindakan pemerintah sebagai penegakan hukum yang sah-sah saja, dan bahkan diperlukan untuk menjaga nilai-nilai demokrasi dari intoleransi. Seperti halnya kasus pembubaran HTI beberapa tahun silam, kaum demokrat ini bersandar pada perangkat hukum negara – pengadilan, polisi serta jeruji penjaranya – sebagai penjaga gerbang demokrasi, yang mengawasi dengan ketat siapa yang punya hak berorganisasi atau siapa yang tidak, demi menjaga hak berorganisasi itu sendiri.
Kaum Marxis revolusioner menolak sepenuhnya kedua posisi ini, serta varian-varian tengahnya. Walau tampak berdiri di dua kutub yang berseberangan, kedua kubu demokrat ini sebenarnya adalah dua sisi dari koin yang sama. Perbedaan di antara mereka tidaklah fundamental, tetapi hanya sekunder. Ada tiga alasan utama mengapa kaum Marxis menolak argumen kedua kubu demokrat ini.
Pertama, kedua posisi ini sesungguhnya datang dari premis yang sama. Mereka membela demokrasi sebagai prinsip abstrak, sebagai proposisi umum yang berdiri di atas segalanya, alih-alih melihat demokrasi sebagai manifestasi historis dari kekuatan-kekuatan ekonomi, sosial, dan politik yang riil, yang saling bersilang, tarik ulur, dan berbenturan. Negara pun dilihat dan diimpikan sebuah institusi yang berdiri netral di atas semua kekuatan ini, sebagai penengah yang menaungi berbagai kepentingan. Pada kenyataannya, demokrasi yang ada adalah demokrasi yang melayani kelas yang berkuasa. Demokrasi – dan negara yang menaunginya – bukanlah sebuah konstruksi yang netral, tetapi berpihak pada kelas yang mendominasi, yaitu kelas yang menguasai alat-alat produksi.
Kendati semua pasal dalam UU atau Konstitusi dari setiap negara republik demokratik yang ada di muka bumi, bahwa setiap warga negara dijamin penuh hak-hak demokratiknya, dalam praktiknya tidak demikian. Lewat berbagai perangkat hukum dan sistem pemerintahan yang kompleks – misalnya, sistem tiga lembaga negara yudikatif, eksekutif dan legislatif yang tumpang tindih; sistem parlementer kamar atas dan kamar bawah; sistem monarki konstitusional; atau berbagai varian dan kombinasi lainnya – yang telah dirancang dan disempurnakan selama ratusan tahun, selalu ada lubang dimana negara bisa melangkahi Konstitusi dan hak-hak demokratik warganya. Sistem pemerintah telah dirancang sedemikian rupa sehingga aspirasi rakyat dalam hal-hal yang fundamental tidak pernah tersampaikan, seperti tertelan lubang hitam. Tetapi bila menyangkut kepentingan pemodal, roda-roda gir demokrasi bisa berputar dengan lancar. Kita diingatkan betapa giatnya para wakil rakyat kita bekerja di tengah badai pandemi untuk meloloskan Omnibus Law. Aktivis buruh, tani, dan lingkungan hidup ditangkapi dan hak-haknya diinjak-injak, sementara pelaku korupsi dan pengusaha yang melanggar ketentuan pemerintah bebas. Tidak hanya hukum berpihak pada yang kelas properti, dengan uang mereka bisa membayar pasukan pengacara untuk membengkokkan hukum seturut kehendak mereka.
Untuk alasan ini, kaum revolusioner tidak punya ilusi sama sekali terhadap prinsip serta bangunan demokrasi borjuasi. Tidak seperti kaum demokrat yang pertama, kami tidak percaya bahwa demokrasi (borjuasi) akan melindungi setiap warga negara dengan setara. Demokrasi yang ada adalah demokrasi yang berpihak pada kelas penguasa, dan tidak akan ada perubahan kosmetik apapun yang dapat mengubah watak inheren ini. Juga tidak seperti kaum demokrat yang kedua pula, kami tidak bersandar pada aparatus negara untuk melindungi hak-hak demokrasi rakyat pekerja.
Ini bukan berarti gerakan kelas pekerja lantas menolak memperjuangkan hak-hak demokrasi sekecil apapun dalam sistem yang ada hari ini. Kaum revolusioner harus menggunakan setiap celah demokrasi — setiap tuas yang ada, bahkan dalam keterbatasannya — untuk memajukan gerakan kelas pekerja dan meningkatkan taraf hidup rakyat. Setiap manfaat yang bisa kita ambil dari perluasan ruang kebebasan harus kita rebut, bahkan bila kita memahami karakter kebebasan borjuis yang sementara, terbatas, dan munafik ini. Kita harus bisa berpikir dan bertindak secara taktis. Setiap kemenangan kecil yang dapat mendorong kita semakin dekat ke tujuan akhir kita harus bisa kita raih. Dan, apa tujuan akhir dari perjuangan kaum Marxis revolusioner? Tujuan kaum revolusioner dalam memperjuangkan hak-hak demokrasi bukanlah untuk mewujudkan realisasi sempurna demokrasi borjuasi – yang telah kami tunjukkan di atas selalu merupakan demokrasi yang cacat dan bias – tetapi justru untuk mengakhiri demokrasi borjuasi itu sendiri dan menggantikannya dengan demokrasi proletariat, yaitu demokrasi yang berpihak pada kelas pekerja dan demokrasi yang mengakhiri dominasi ekonomi, politik, dan sosial kelas borjuasi.
Dalam mengobarkan perjuangan demokratik, kaum revolusioner harus: 1) bertumpu pada kekuatan kelas pekerja sebagai kekuatan utama; 2) menjaga kemandirian kelas pekerja, dengan tidak mencampuraduk panji dan program mereka dengan kelas-kelas asing; 3) tidak mengorbankan tujuan jangka panjang dan prinsip sosialisme demi pencapaian jangka pendek yang impresionistik dan dangkal. Kita harus jeli dalam menyikapi masalah perjuangan demokratik. Tidak semua hak demokratik adalah sama dan patut diperjuangkan. Seorang yang mengatakan dia akan membela tanpa pandang bulu semua hak demokratik kapanpun, dimanapun, dan untuk siapapun adalah seorang yang bodoh dan malas berpikir, atau pembohong. Dalam sejarahnya, kelas borjuasi selalu menutupi kediktatoran kapitalnya dengan klaim-klaim demokrasi. Pada analisa terakhir, dalam mendekati masalah perjuangan demokratik kita harus bertanya: apakah ini akan membangun kesadaran sosialis kelas buruh? apakah ini akan membawa buruh selangkah lebih dekat ke tujuan kemenangan revolusi sosialis? Menjawab kedua pertanyaan ini tidaklah menuntaskan segalanya, tetapi adalah langkah awal yang baik untuk memandu kita.
Kedua, kaum liberal demokrat gagal memahami relasi antara FPI (dan berbagai kelompok-kelompok reaksioner lainnya) dengan kelas penguasa serta negaranya. FPI adalah anjing penjaga kelas penguasa, sebuah organisasi paramiliter yang didirikan, dibina, dan dikerahkan oleh kelas penguasa untuk memukul gerakan rakyat pekerja dan membela status quo. Selain memiliki alat-alat kekerasan resmi (polisi dan tentara), kelas penguasa juga sering kali mengandalkan organisasi-organisasi milisi/paramiliter yang bisa bergerak di luar hukum. Selain sebagai aparatus kekerasan, organisasi-organisasi ini juga berguna untuk memecah belah rakyat pekerja dengan menggunakan prasangka-prasangka SARA.
Ada kalanya sang anjing penjaga menggigit tangan majikannya sendiri, dan mulai berani melawan dan mengedepankan kepentingan mereka sendiri yang bertentangan dengan kepentingan sang majikan. Ini lantas memaksa sang majikan untuk sesekali menghukum anjing penjaga mereka, untuk mengingatkan mereka akan tempat mereka. Pembubaran FPI adalah persis ini, untuk memberi peringatan pada Rizieq Shibab. “Ingat tempatmu!” Ini tidak ada sangkut pautnya dengan hak FPI untuk berorganisasi. Ini adalah urusan rumah tangga antara kelas penguasa dengan kacung mereka. Oleh karenanya, kaum demokrat pemuja Voltaire sungguh keblinger bila mereka menemukan diri mereka berbicara mengenai demokrasi dan FPI dalam kalimat yang sama. Argumen mereka, bahwa membiarkan FPI dibubarkan oleh pemerintah akan menciptakan preseden bagi pembungkaman terhadap gerakan rakyat pekerja lainnya, tidak memiliki basis. Pemerintah melakukan persekusi terhadap gerakan rakyat pekerja untuk alasan yang sepenuhnya berbeda, yakni demi menjaga laju profit ke pundi-pundi kapitalis. Mereka tidak perlu preseden dari FPI. Selain itu, “bentrok” antara pemerintah yang berkuasa dan FPI juga merupakan bagian dari perseteruan antara sayap-sayap politik borjuasi yang berbeda.
Sama keblingernya adalah kaum demokrat yang membayangkan kalau tindakan pemerintah dalam membubarkan FPI adalah atas nama demokrasi dan toleransi. Kalau memang pemerintah serius untuk mengakhiri keberadaan organisasi-organisasi reaksioner semacam FPI, maka sedari awal FPI seharusnya ditindak secara hukum karena nyata-nyata telah melakukan pelanggaran hukum dan menyebarkan intoleransi sejak awal didirikan. Nyatanya tidak. Selain itu, pembubaran FPI hanyalah tamparan kecil, karena para pemimpinnya masih bebas dan dengan mudah mengganti nama mereka dan secara de fakto FPI masih utuh dan dapat beroperasi. Sebaliknya, pemerintah jelas lebih tangkas dalam menangkapi aktivis-aktivis buruh, tani, miskin kota dan mahasiswa.
Ketiga, organisasi reaksioner seperti FPI tidak bisa dilawan dengan mengandalkan aparatus penindas negara borjuis. Tugas melawan organisasi reaksioner harus dipenuhi oleh kaum pekerja dengan organisasi dan metode mereka sendiri. Bila kita memberi wewenang dan kepercayaan pada aparatus penindas borjuis, maka cepat atau lambat – dan bahkan sudah menjadi kenyataan sehari-hari – aparatus penindas ini akan digunakan untuk membungkam kaum pekerja.
Selain itu, bila kita mengandalkan pemerintah, organisasi rakyat pekerja sendiri akan menjadi lengah dalam kesiapannya untuk menghadapi organisasi-organisasi reaksioner ini. Ketika FPI mengintimidasi PAPERNAS, menyerang kantor Komnas HAM, menteror umat non-Islam, menyebar kebencian rasial, dan berbagai tindak kekerasan lainnya selama hampir 20 tahun keberadaannya, tidak ada tindakan serius dari pemerintah. Bahkan dalam banyak kesempatan, polisi hanya jadi penonton dan terkesan melindungi mereka. Aksi-aksi reaksioner FPI dan ormas semacamnya hanya bisa dihadapi dengan kekuatan aksi massa dengan organisasi mereka sendiri. Serikat buruh harus ada di garis depan dalam melawan organisasi-organisasi reaksioner ini. Tugas ini terlalu penting untuk dipercayakan pada perangkat-perangkat hukum yang sudah terbukti keberpihakannya pada modal.
Bila ada gereja yang diteror oleh FPI dan makhluk-makhluk serupa, serikat buruh harus bisa mengerahkan massa mereka untuk menghadang para preman berjubah ini. Mereka hanya berani menteror rakyat karena mereka belum pernah berhadapan dengan massa buruh. Di tempat-tempat dimana warga setempat turun unjuk rasa untuk menolak kehadiran FPI, preman-preman ini lari kocar-kacir. Gerakan buruh memiliki massa dan organisasi yang jauh lebih kuat, dan sejujurnya dengan menjentikkan jari saja gerakan buruh bisa membuat Rizieq dkk. gemetar ketakutan dan mengirimnya kembali ke pengasingan di Arab Saudi. Tetapi ini hanya mungkin bila gerakan buruh memiliki kepemimpinan revolusioner, dan bukan kepemimpinan reformis-konservatif yang selalu penuh keraguan, yang pandangannya hanya sampai gerbang pabrik saja.
Inilah yang membedakan pendekatan kaum Marxis dari semua kaum demokrat. Kami tidak kegenitan membela hak demokrasi FPI, tetapi juga tidak bersorak-sorai melihat pemerintah memberangus FPI. Sebaliknya, kami pahami betul cacatnya demokrasi borjuis dan melayangkan pandangan kami ke masa depan demokrasi proletariat.
Ratusan tahun setelah puncak dari semua revolusi demokratik – yaitu Revolusi Prancis 1789 – tuan nyonya liberal demokrat kita masih belum menemukan realisasi sempurna demokrasi yang mereka impikan. Memasuki 2021, krisis demokrasi mengguncang Eropa dan Amerika Utara yang seharusnya menjadi mercusuar demokrasi di dunia. Pemimpin-pemimpin dan kelompok-kelompok yang “anti-demokratik”, “otoriter” dan “iliberal” bermunculan di mana-mana dan pengaruhnya semakin luas. Demokrasi terancam dan kaum demokrat tampak kehabisan akal bagaimana mempertahankannya. Kita hanya perlu saksikan komedi putar pilpres AS. Semua pengamat politik, profesor dan guru-guru besar ilmu politik, serta para “filsuf” kontemporer terpuruk dalam kebingungan tanpa akhir. Mereka hanya bisa menyalahkan delusi megalomania Trump (atau Bolsonaro, serta pemimpin-pemimpin “otoriter” dan “iliberal” lainnya), intervensi Rusia, dan bahkan media sosial sebagai biang kerok tergerusnya demokrasi. Mereka berharap demokrasi akan pulih setelah Trump keluar dari Gedung Putih, atau setelah media sosial mengganti algoritma mereka, atau bila Twitter dan Facebook giat menghapus konten-konten hoaks, tetapi harapan mereka yang naif ini akan pupus. Krisis demokrasi ini adalah refleksi dari krisis kapitalisme yang semakin mendalam. Oleh karenanya, perjuangan untuk demokrasi yang sejati – yaitu demokrasi yang menyentuh secara riil kehidupan rakyat pekerja, bukan hanya dalam kata-kata saja – harus dikobarkan dengan pandangan yang melampaui batas-batas kapitalisme dan demokrasi borjuis.