Dalam hitungan jam, apa yang mungkin bermula sebagai demonstrasi semi-insureksioner seminggu yang lalu dengan cepat berubah menjadi pemberontakan revolusioner terbuka. Roda revolusi telah berputar di Indonesia, dan tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Setiap menit berlalu, ia berputar semakin cepat, melindas semuanya dan meninggalkan jejak-jejak kehancuran di manapun ia berlalu. Revolusi tidak hanya menghancurkan gedung-gedung pemerintah dan kantor polisi, tetapi yang lebih penting, ia menghancurkan kelembaman yang lama telah membelenggu pikiran rakyat. Revolusi telah dimulai di Indonesia.
Pemandangan gedung parlemen, kantor pemerintah, dan terutama, kantor polisi yang terbakar telah membanjiri media. Namun, yang paling mencolok adalah siaran-siaran langsung dari jutaan demonstran di lapangan, yang sungguh menangkap semangat revolusioner saat itu. Gambar-gambar ini mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa periode revolusi 1998-1999.
Gedung DPRD pertama yang dibakar oleh rakyat adalah di Makassar, sehari setelah polisi membunuh Affan Kurniawan. Pembakaran segera menyusul di Tegal, Solo, Surakarta, Bandung, dan NTB. Daftarnya bertambah panjang setiap harinya, seiring dengan semakin banyaknya demonstrasi dan eskalasi yang terjadi. (Saat kami menulis baris-baris ini, massa telah menambahkan Brebes, Pekalongan, Cilacap, Kediri ke dalam daftar ini. Saya pun kesulitan mengikuti kabar-kabar perlawanan yang begitu pesat, yang merupakan hakikat revolusi). Di Pekalongan, aksi awalnya dimulai sebagai aksi damai di mana orang-orang berduka dan menabur bunga untuk Affan Kurniawan. Namun, aksi itu segera berubah menjadi kobaran api, ketika amarah massa yang meluap-luap meloncat keluar dari dada mereka.
Ratusan kantor polisi telah diserbu dan dibakar. Polisi, yang brutal terhadap para demonstran di hari-hari pertama, kini terpaksa mundur dengan tergesa-gesa. Ketika berhadapan dengan anak-anak di bawah umur, mereka menunjukkan kebrutalan mereka dengan “keberanian” yang luar biasa. Namun kini, ketika lapisan besar rakyat pekerja telah memasuki arena perjuangan, tiba-tiba merekalah yang terpojok dan dikejar-kejar. Di beberapa kota, mereka bahkan takut menampakkan batang hidung mereka.
Untuk meredakan amarah massa yang telah meluap tak terkendali, pemerintah berjanji akan mengusut dan mengadili polisi brimob yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Affan. Presiden Prabowo dan media menggelar pertunjukan dagelan dengan mengunjungi keluarga Affan, memeluk mereka, dan memberi mereka Rp 200 juta dan sebuah rumah sebagai upaya menenangkan massa. Namun, ayah Affan mengatakan bahwa hadiah ini tidak meredakan dukanya: “Uang miliaran ini tidak dapat menggantikan anak saya.” Perasaan yang sama dirasakan oleh masyarakat.
Pada akhirnya, tujuh polisi brimob “dihukum” dengan patsus selama 20 hari, yang berarti mereka tidak akan dipenjara, melainkan hanya ditempatkan di ruang terpisah di kantor polisi. Penghinaan terhadap keadilan ini semakin membuat marah rakyat.
Sementara pertempuran jalanan terus meletus di seluruh negeri, media mengalihkan kamera mereka ke apa yang disebut proses peradilan para tersangka ini, mencoba meninabobokan massa agar percaya bahwa keadilan sedang ditegakkan. Namun, segera menjadi jelas bahwa keadilan ini busuk.
Kebencian massa terhadap seluruh sistem sekarang diarahkan ke parlemen, lembaga yang paling menghadap publik yang kebusukannya ditampilkan setiap harinya tanpa rasa malu oleh para anggotanya. Pada Sabtu malam, rumah Ahmad Sahroni diserbu dan dijarah oleh massa. Video yang disiarkan langsung menunjukkan barang-barang mewahnya diangkut oleh massa, termasuk jam tangan Richard Mille seharga 11 miliar itu. Pernyataan provokatif dan arogannya – menyebut para demonstran sebagai “orang-orang terbodoh di bumi” karena menuntut pembubaran DPR – telah menjadi karma. Sahroni sendiri melarikan diri ke Singapura untuk menghindari kemarahan massa.
Khawatir nasib Sahroni akan segera menimpanya, Eko Patrio yang pernyataannya juga provokatif terhadap para demonstran buru-buru mengunggah video permintaan maaf, sampai-sampai hampir menangis. Namun massa mempercayainya. “Ini cuma settingan, ayo tancap gas ke rumahnya,” timpal sebuah akun. Dan benar saja, dalam hitungan jam, rumahnya juga digerebek. Tak lama kemudian, rumah Uya Kuya mengalami nasib yang sama.
Saat kami menulis ini, satu lagi rumah mewah milik para politisi yang dibenci ini telah diserbu dan dijarah – kali ini milik Menteri Keuangan Sri Mulyani, arsitek utama kebijakan penghematan yang telah mencekik rakyat. Tak ada seorang pun yang aman dari teror massa.
Media dan pemerintah telah mencoba menggambarkan para demonstran sebagai penjarah dan anarkis yang brutal. Namun, keliru besar jika kita juga mengutuk penjarahan ini seolah-olah merupakan cacat moral dari sebuah revolusi yang kita harapkan entah bagaimana mesti murni. Bagi massa, mereka hanyalah merampas kembali kekayaan haram para politisi korup ini. Sejumlah kaum Kiri bahkan telah mulai menyerukan kepada para demonstran untuk tidak menjarah barang-barang milik warga negara lain, dengan peringatan bahwa kita tidak boleh mengulangi apa yang terjadi pada Mei 1998. Namun, khotbah moral yang abstrak seperti itu sebenarnya hanyalah menyerah pada tekanan opini publik borjuis. Untuk setiap kecaman dari rezim dan medianya tentang penjarahan, kita harus mengatakan seribu kali lebih keras: penjarah terbesar dari semuanya duduk di gedung DPR, di Istana Presiden, dan di ruang-ruang dewan direksi korporasi yang kepentingannya dilayani dengan loyal oleh para politisi ini.
Kebencian terhadap anggota DPR begitu intens sehingga tak satu pun dari mereka berani bertemu langsung dengan massa, meskipun terus-menerus mengeluarkan siaran pers dan pernyataan di media sosial yang menjanjikan akan mendengarkan aspirasi massa. Wajar saja, karena jika mereka muncul di depan umum, mereka akan dicabik-cabik massa. Apa pun yang mereka katakan pasti salah dan akan semakin memperburuk situasi. Dulu, rezim setidaknya bisa mengutus beberapa anggota DPR yang lebih populer, biasanya dari PDI-P, untuk berdialog dengan para demonstran. Kini, hal itu pun mustahil.
Apa itu revolusi dan di fase manakah kita berada?
Yang kita saksikan adalah sebuah revolusi, yang bergulir dengan semua kehijauan pohon kehidupan. Massa telah mengenalinya, karena seruan revolusi, terutama dari kaum muda, semakin sering terdengar dalam demonstrasi-demonstrasi ini. Seperti yang dikatakan Trotsky, revolusi adalah “masuknya massa secara paksa ke dalam wilayah kekuasaan atas nasib mereka sendiri”. Dan memang massa masuk secara paksa, tak mungkin tidak. Ini adalah pertama kalinya kita menyaksikan gerakan massa sebesar ini sejak Revolusi 1998 (Lihat karya Ted Grant, Revolusi Indonesia 1998 Telah Dimulai).
Dengan masuknya rakyat pekerja, semua perhitungan sebelumnya bubar. Inilah mengapa rezim kesulitan meredam gerakan dengan taktik-taktik yang biasanya mereka gunakan, seperti yang telah dilakukan sebelumnya dengan gerakan-gerakan massa yang lebih kecil dalam beberapa tahun terakhir: Indonesia Gelap pada 2025, Peringatan Darurat pada 2024, atau Reformasi Dikorupsi pada 2019 – dan semua gerakan ini kini tampak sangat pucat jika dibandingkan dengan yang kita saksikan hari ini.
Ini juga menjelaskan kesulitan yang dihadapi banyak kaum Kiri dalam mengorientasikan diri mereka pada gerakan revolusioner ini. Banyak yang awalnya terkejut ketika para pemuda secara spontan menyuarakan slogan “Bubarkan DPR”, sebuah tuntutan yang mereka cibir sebagai ultra-kiri. “Jika kita bubarkan parlemen, apa yang akan menggantikannya?” “Bukankah ini akan membuka pintu bagi presiden untuk menjadi diktator?” “Membubarkan parlemen adalah tuntutan yang tidak rasional. Kita seharusnya menuntut pemilu ulang.” Dan tiba-tiba kaum Kiri ini terdengar persis seperti pemerintah.
Ketika revolusi meletus, kita sering kali, jika tidak selalu, mendapati massa jauh lebih revolusioner daripada para pemimpin mereka, daripada aktivis berpengalaman yang terbiasa dengan perjuangan-perjuangan kecil yang berada dalam kendali mereka. Dihadapkan dengan gerakan yang tak terkendali, yang persis merupakan karakter inheren revolusi, terutama pada fase pertamanya, banyak aktivis Kiri yang segera tersandung.
Namun bagi massa, slogan “Bubarkan Parlemen” merangkum kebencian mereka yang mendalam terhadap lembaga korup ini, yang mereka tahu tidak berbuat apa-apa selain membawa kesengsaraan. Di sekitar tuntutan inilah gerakan ini telah bersatu dan terus menguat, sementara massa terus menguji slogan ini dalam tempaan perjuangan.
Tuntutan dan slogan bukan sekadar daftar tujuan yang dapat diwujudkan dan ditindaklanjuti. Para aktivis “senior” dan para pengurus serikat telah terlatih dengan terlalu baik untuk merumuskan apa yang mereka anggap sebagai tuntutan yang dapat diwujudkan, tuntutan yang dapat mereka menangkan dari penguasa dengan perimbangan kekuatan tertentu selama periode yang relatif damai. Namun, revolusi berarti pecah dari periode damai tersebut, pecah dengan sangat tiba-tiba dan penuh kekerasan, dalam sebuah proses yang telah lama dipersiapkan di bawah permukaan, dalam proses molekuler revolusi.
Maka, ketika massa mengumandangkan slogan “Bubarkan Parlemen”, kaum Kiri, yang terbiasa dengan masa damai, dan pada kenyataannya tidak pernah benar-benar percaya pada revolusi, menjadi limpung.
Revolusi bukanlah drama satu babak. Massa baru saja menemukan kekuatan mereka, yang mencengangkan diri mereka sendiri sekaligus meneror kelas penguasa. Setiap kali mereka menyadari betapa kuatnya mereka sebenarnya, mereka semakin berani, yang pada gilirannya menginspirasi dan menarik lapisan-lapisan baru kelas pekerja ke dalam perjuangan. Proses ini kemudian berulang, berputar terus ke atas dan mencapai puncak-puncak baru setiap jamnya. Dengan setiap dorongan baru, massa menemukan bahwa kekuatan mereka itu bak sumur dalam yang bisa terus mereka timba. Untuk pertama kalinya, massa telah mematahkan rantai yang telah lama membelenggu pikiran mereka. Maka tak heran jika kekuatan baru ini meledak-ledak dengan liar dan berserakan. Namun, bahkan dengan berserakan seperti itu, kekuatannya mengguncang seluruh fondasi masyarakat. Inilah revolusi yang sedang beraksi.
Setelah berdemonstrasi siang malam selama lebih dari seminggu, membakar kantor polisi dan gedung DPRD, massa akan belajar bahwa ini saja tidak cukup. Ini mungkin cukup untuk menunjukkan kekuatan mereka dan menunjukkan kepada kelas penguasa bahwa mereka serius, tetapi itu tidak cukup untuk mencapai tujuan akhir mereka: transformasi dasar atas kehidupan mereka dan masyarakat secara luas. Berapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari ini akan bergantung pada banyak faktor, terutama pada kualitas kepemimpinannya. Dengan kepemimpinan yang baik, kita bisa memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk massa belajar. Maka dari itu, kita kaum revolusioner harus terus memperjuangkan tuntutan yang mengejar kesadaran mereka dan terus mendorongnya, tuntutan yang selaras dengan kemarahan mereka dan memberinya ekspresi politik terorganisir yang diperlukan. Jangan sekali-kali meremehkan betapa cepatnya massa belajar dari pengalaman. Hanya dalam tujuh hari mereka telah belajar lebih banyak daripada sepuluh tahun masa damai.
Kaum Kiri memble yang hari ini mengeluh bahwa revolusi ini bisa saja gagal dan berakhir berdarah-darah karena tidak adanya kepemimpinan revolusioner adalah orang-orang bodoh yang mendambakan revolusi apik dengan jaminan 100 persen. Realisme yang mereka klaim ini hanyalah cerminan pesimisme mereka sendiri – pesimisme yang menjadi sepenuhnya reaksioner justru ketika massa untuk pertama kalinya menemukan tujuan mulia untuk optimis dan mengambil tindakan untuk tujuan tersebut dengan segenap semangat revolusioner mereka. Tidak ada revolusi yang sempurna dan terjamin. Kita mengintervensi proses sebagaimana adanya. Kebiasaan lama kaum Kiri mengorganisir pemogokan dan demonstrasi kecil-kecilan, dengan logistik dan jadwal yang telah dipersiapkan dengan matang, kini berbenturan dengan realitas hidup revolusi yang tidak bisa ditempatkan di kotak-kotak kecil yang rapi.
Pemerintah telah mengerahkan segala cara untuk meredam pemberontakan, menggabungkan konsesi dan represi. Namun, mereka khawatir: jika mereka memberi terlalu banyak konsesi, massa bisa semakin percaya diri dan menuntut lebih banyak; jika mereka memberi terlalu sedikit, hal itu bisa semakin memicu kemarahan massa.
Sejauh ini, banyak kata-kata manis yang telah diucapkan, tetapi belum ada tindakan konkret yang dihasilkan, seperti penghapusan semua pajak yang telah mencekik rakyat, penghapusan semua tunjangan anggota DPR, dan bahkan keadilan bagi Affan Kurniawan. Bahkan, meragukan apakah konsesi-konsesi ini akan cukup untuk membendung gelombang revolusi, karena tuntutan untuk membubarkan DPR yang korup telah semakin terkristalisasi. (Update: Pada hari Minggu, pemerintah mengumumkan pembatalan tunjangan anggota DPR, tetapi ini pun belum menenangkan rakyat.)
Pada saat yang sama, rejim tengah meningkatkan represi. Tentara telah dikerahkan ke kota-kota besar dan titik-titik strategis. Namun, pengerahan tentara justru dapat menjadi bumerang, karena ingatan akan rezim militer Orde Baru masih segar di benak massa.
Revolusi Indonesia baru saja dimulai. Akan menjadi kesalahan fatal jika kita mencampuradukkan fase pertamanya dengan fase akhirnya – tetapi fakta bahwa revolusi itu telah dimulai tidak dapat disangkal.
Setelah hampir tiga hari demonstrasi berturut-turut, gerakan ini sempat berhenti sejenak pada hari Minggu, dengan hanya bentrokan kecil di beberapa daerah. Namun, keliru jika menganggap ini menandakan stagnasi atau kemunduran. Revolusi, seperti kehidupan itu sendiri, memiliki ritmenya sendiri. Massa kini mengevaluasi apa yang telah terjadi, apa yang telah mereka capai, dan yang tak kalah pentingnya, memeriksa reaksi dari pemerintah. Mereka menyerap pelajaran dari tindakan mereka sendiri. Faktanya, demonstrasi-demonstrasi telah direncanakan untuk beberapa hari ke depan di banyak kota besar.
Peran kelas pekerja
Rakyat pekerja telah menunjukkan kekuatan mereka di jalanan. Namun, mereka belum mengambil tindakan kolektif sebagai kelas pekerja, yakni menggunakan kendali mereka atas alat-alat produksi. Pemogokan massa merupakan senjata pamungkas gerakan yang belum mereka gunakan. Semua upaya sekarang harus diarahkan untuk memobilisasi pemogokan umum.
Para pemimpin serikat pekerja telah membuktikan diri tidak hanya tidak mampu memimpin, tetapi juga secara aktif bersekutu dengan pemerintah. Dengan demikian, kemungkinan besar seruan untuk pemogokan umum tidak akan datang dari serikat pekerja. Di satu sisi, serikat buruh hanya mewakili sebagian kecil dari kelas pekerja. Keanggotaan serikat buruh justru menurun selama 10 tahun terakhir karena gerakan buruh mencapai titik terendah di bawah kepemimpinan yang tidak kompeten dari para kolaborator kelas ini. Mereka sangat dibenci oleh kaum muda.
Di sisi lain, struktur serikat yang lembam itu hampir-hampir tidak memadai untuk mengekspresikan gerak revolusi yang sedang berlangsung sangat cepat, yang membutuhkan struktur yang jauh lebih lincah, fleksibel, dan responsif. Bahkan serikat buruh terbaik pun tidak akan memadai, sebagaimana dibuktikan oleh kelumpuhan serikat-serikat yang paling merah sekalipun di Indonesia. Sampai hari ini tidak ada seruan mogok dari mereka.
Saat ini, massa berorganisasi secara spontan melalui berbagai saluran media sosial dan kelompok-kelompok yang mereka temukan di lingkungan mereka, sekolah, universitas, dll. Struktur informal ini perlu diperkuat menjadi komite aksi, menjadi organ perjuangan demokratis yang dapat memperdalam dan memfokuskan energi mereka untuk mewujudkan slogan mereka: membubarkan parlemen dan menggulingkan rezim. Komite aksi ini juga dapat berfungsi sebagai embrio organ kekuasaan.
Pemuda saat ini merupakan lapisan paling terorganisir dalam revolusi ini. Mereka harus membangun jembatan menuju kelas pekerja dengan mengunjungi pabrik-pabrik, kawasan-kawasan industri, tempat kerja, dan kampung-kampung buruh untuk menyebarluaskan seruan pembentukan komite aksi buruh dan menjelaskan pentingnya pemogokan. Setelah kekuatan mentah kelas pekerja ini diubah menjadi pemogokan massa, revolusi akan memasuki fase baru yang lebih tinggi.
Langkah maju
Revolusi tidak bisa diam di tempat. Hukum inherennya mendikte bahwa ia harus bergerak maju menuju kemenangan atau mengalami mundur dan kalah – sering kali dengan konsekuensi yang sangat mengerikan. Revolusi ini tidak dapat dituntaskan sebelum ia menyingkirkan kapitalisme, atau ia akan bernasib sama seperti Revolusi 1998 (Baca 25 Tahun Jatuhnya Orde Baru: Bukan Reformasi Tapi Revolusi) Akar kemarahan rakyat dapat ditemukan dalam krisis kapitalisme, yang bebannya telah dipikul oleh rakyat. Maka tujuan akhir revolusi ini hanyalah penggulingan kapitalisme secara revolusioner dan transformasi sosialis masyarakat.
Untuk membawa revolusi lebih dekat ke tujuan akhir ini, kami menyerukan kepada rakyat pekerja dan kaum muda:
Bubarkan DPR dan Turunkan Prabowo! Parlemen dan kursi kepresidenan ini tidak pernah mencerminkan kehendak rakyat pekerja dan kaum miskin. Sebaliknya, merekalah sumber segala kesengsaraan kita. Mereka harus disingkirkan.
Untuk menggantikan lembaga-lembaga busuk ini, bentuk pemerintahan revolusioner kelas pekerja dan kaum miskin! Ini akan menjadi pemerintahan yang belum pernah ada sebelumnya, yang akan melayani kepentingan kaum buruh, petani, kaum miskin kota, dan kaum muda. Pemerintahan ini akan menjalankan demokrasi buruh, dan bukan demokrasi palsu kaum kaya.
Segera bentuk komite-komite aksi sebagai organ demokratik perjuangan rakyat. Dirikan mereka di kampus-kampus, sekolah-sekolah, permukiman buruh, pabrik-pabrik, pangkalan ojek, kedai kopi, dan di mana pun. Komite aksi ini akan memperdalam, memperluas, dan mengarahkan kobaran api revolusioner ini menuju penggulingan rezim. Mereka akan menjadi embrio kekuasaan buruh, fondasi pemerintahan revolusioner kelas buruh dan kaum miskin.
Alasan kelas penguasa masih cukup kuat adalah karena kendali mereka atas ekonomi dan kekayaan masih belum tersentuh sama sekali. Senjata terkuat kita adalah kelas pekerja, yang menggerakkan ekonomi dan menciptakan kekayaan masyarakat. Oleh karena itu, melalui komite aksi, kita harus memobilisasi pemogokan umum! Ini akan memberikan pukulan telak bagi rezim dan membawa kita lebih dekat ke kemenangan.
Bagaimanapun nasib revolusi ini nantinya, yang akan ditentukan oleh perjuangan nyata yang hidup di jalan-jalan dan pabrik-pabrik, ini adalah titik balik dalam sejarah perjuangan proletariat. Segala sesuatu tidak akan pernah sama lagi seperti sebelumnya.
Hidup revolusi Indonesia!
Bubarkan DPR!
Turunkan Prabowo!
Bentuk Pemerintahan Kelas Pekerja dan Kaum Miskin!
Bentuk komite-komite aksi sebagai organ demokratik perjuangan rakyat pekerja dan kaum muda!
Luncurkan Mogok Nasional! Hentikan roda produksi!