Bangladesh dicengkeram pemberontakan massa. Pemberontakan yang dipimpin oleh mahasiswa ini telah membuat rezim kelabakan. Aparat merespons gerakan ini dengan timah panas dan penangkapan massal. Sejauh ini, lebih dari 170 orang tewas dan ribuan orang lainnya ditangkap. Jauh dari redup, gerakan ini telah menjadi api dalam sekam bagi rezim Hasina.
Gerakan ini awalnya dipicu dari keputusan Mahkamah Agung yang menetapkan sistem kuota pada 56% lapangan pekerjaan sektor pemerintah. Dari total kuota tersebut, 30 persen diantaranya diberikan kepada “anak dan cucu pejuang kemerdekaan” selama Perang Kemerdekaan 1971. Sistem ini jelas digunakan untuk melayani pembantu setia rezim Perdana Menteri Sheikh Hasina.
Kaum muda Bangladesh menghadapi pengangguran yang parah. 39 persen dari kaum muda Bangladesh yang menganggur. Ditambah dengan rezim korup dan membusuk, kesabaran mereka habis. Mereka marah. Mahasiswa dengan segera melakukan aksi protes pada 1 Juli yang awalnya dilakukan secara damai di kampus-kampus. Tetapi ini direspons pemerintah dengan panik. Pemerintah menggunakan preman-preman bayaran dari Sayap Pemuda Liga Awami untuk menyerang dan mengintimidasi mahasiswa. Alih-alih meredupkan gerakan, represi pemerintah justru membangkitkannya.
Pada 17 Juli, aksi protes telah menyebar ke kota-kota besar Bangladesh. Gerakan mahasiswa segera membangun badan nasional yang disebut “Gerakan Pelajar Anti-Diskriminasi”. Melihat serangan preman dan fitnah sudah tidak mempan, pemerintah segera mengerahkan polisi. Pemadaman internet massal dilakukan, diiringi dengan dikerahkannya polisi dan paramiliter negara dengan senjata lengkap, pengangkut personel lapis baja (APC), dan helikopter. Penembakan dan penangkapan massal terjadi tiada henti.
Situasi ini cerminan dari krisis di tubuh rezim Hasina. Selama bertahun-tahun rezim ini merepresi saluran ketidakpuasan dan oposisi. Dengan amarah memuncak, massa sudah kehilangan rasa takut. Massa telah menunjukkan heroisme dan potensi kekuatan yang luar biasa.
Salah satu contoh heroisme ini ditunjukkan oleh tewasnya koordinator mahasiswa Abu Sayed. Menolak mundur dari serangan polisi, dia berdiri tegak merentangkan dada sebagai simbol perlawanan. Polisi langsung menghujam 4 peluru ke dadanya. Dia mati sebagai martir. Kematian Abu Sayed mengubah demonstrasi menjadi insureksi. Dengan segera kantor polisi dan gedung pemerintah dijarah dan dibakar oleh massa.
Di saat yang bersamaan, rezim Hasina berusaha memberikan remah-remah reforma. Mereka sadar bahwa legitimasi mereka menguap dengan cepat. Badan Gerakan Pelajar segera menolak reforma tersebut dengan tegas. Melalui pernyataan publik, mereka menjelaskan “Reforma kuota belaka tidak akan menyelesaikan masalah.”
Dengan cepat gerakan ini memasuki tahap penting. Baik dari massa maupun pemerintah siap bertarung hingga penghabisan. Rezim Hasina juga semakin meningkatkan brutalitas, khususnya dengan menangkap dan menyiksa Nahid Islam, Koordinator Gerakan Pelajar Anti-Diskriminasi. Tetapi tidak berselang lama Nahid Islam dibebaskan dan menyerukan gerakan untuk mundur sejenak.
Walau demikian, kemunduran ini bukanlah akhir. Massa masih mempertahankan tuntutan mereka. Kesempatan aksi kembali memanas masih terbuka lebar. Namun, untuk mencapai kemenangan, massa revolusioner harus menentukan langkah selanjutnya dengan tepat.
Nahid Islam sudah benar dalam menyadari perlunya “penutupan total”. Gerakan mahasiswa perlu melakukan kerja sistematis untuk menarik gerakan buruh ke dalam perjuangan, khususnya buruh garmen. Industri garmen adalah salah satu penghasil profit besar bagi kapitalis Bangladesh. Buruh garmen tahun lalu juga melakukan pemogokan revolusioner, meskipun berakhir dengan represi.
Dengan bersatu dalam sebuah komite revolusioner, kaum muda, buruh dan lapisan tertindas lainnya dapat melakukan mogok nasional yang terkoordinir di pabrik-pabrik dan kampus-kampus. Aksi ini akan segera mencekik rezim Hasina. Komite revolusioner juga dapat membangun milisi mereka sendiri untuk melindungi gerakan dan melawan brutalitas aparat.
Selain itu, Organisasi Gerakan Kuota Bangladesh 2024 juga menyerukan kekuasaan diserahkan kepada “pihak ketiga yang netral, baik militer atau pemerintahan sementara”. Menurut kami, seruan tersebut kurang tepat. Dalam situasi revolusioner, mustahil untuk bersikap netral. Saat ini hanya ada 2 kubu: pendukung rezim atau gerakan pelajar dan rakyat tertindas.
Memang benar saat ini ada keraguan di jajaran aparat militer untuk tidak melanjutkan represi. Ini karena ada simpati yang tumbuh di antara para prajurit bawahan terhadap aksi protes ini. Gerakan massa ini jelas telah mempengaruhi selapisan prajurit dan ini telah membuat cemas para petinggi militer.
Nahid Islam juga benar dalam menekankan perlunya solidaritas internasional. Tetapi solidaritas internasional yang kita butuhkan bukanlah dari apa yang disebut “komunitas internasional”, tetapi dari kaum muda dan buruh di seluruh dunia. Pemerintahan kapitalis baik di Barat maupun Timur secara sistematis berusaha merepresi berita insureksi Bangladesh karena mereka takut gerakan ini dapat menginspirasi perlawanan di negeri mereka sendiri. Meski demikian, aksi solidaritas dari buruh migran dan rakyat lokal telah muncul di London, New York, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Inilah yang kita harapkan. Revolusi yang berhasil di Bangladesh akan menyulut revolusi internasional.
Dengan langkah dan perspektif yang tepat, yakni dengan menggulingkan kapitalisme sebagai dasar rezim Hasina, rakyat tertindas Bangladesh dapat sepenuhnya bebas dan merdeka. Atas dasar sosialisme, rakyat pekerja dan kaum muda dapat melanjutkan kemerdekaan yang selama ini dicuri oleh rezim Hasina.
Dari Indonesia, kami sampaikan solidaritas bagi perjuangan mahasiswa Bangladesh yang heroik! Dari Dhaka sampai Jakarta, kaum muda, buruh dan tani punya musuh yang sama: kaum kapitalis dan negara mereka!
Batalkan sistem kuota!
Bebaskan semua mahasiswa yang ditangkap!
Adili para pembunuh mahasiswa!
Gulingkan rezim Hasina!
Gulingkan kapitalisme!