Masalah Perang Gerilya
Pada periode 1905-06, ada elemen “perang gerilya” dalam gerakan revolusioner, dengan detasemen-detasemen partisan, ekspropriasi bersenjata (misalnya perampokan bank), dan bentuk-bentuk perjuangan bersenjata lainnya. Tetapi pasukan-pasukan tempur ini selalu terikat erat dengan organisasi buruh. Komite militer Moskow tidak hanya melibatkan PBSDR, tetapi juga SR, aktivis serikat buruh dan mahasiswa. Seperti yang telah kita lihat, kelompok-kelompok partisan ini digunakan untuk pertahanan dari kaum pogrom dan geng-geng Black Hundred. Mereka juga membantu melindungi pertemuan-pertemuan dari penggerebekan polisi, dimana kehadiran detasemen bersenjata buruh sering kali adalah faktor penting dalam mencegah kekerasan. Kadang-kadang detasemen-detasemen ini dapat melakukan ofensif, tetapi targetnya bukan angkatan bersenjata rejim (sebuah pertempuran yang tidak mungkin dapat mereka menangkan), tetapi kaum fasis dan preman pembubar pemogokan. Sebuah kelompok buruh bersenjata menyerang geng Black Hundred di hotel Tver di Petersburg pada Januari 1906. Bila ada benturan dengan polisi, ini biasanya untuk membebaskan tapol, seperti penyerbuan kantor polisi Riga untuk membebaskan kaum revolusioner Latvia. Persis di Latvia gerakan gerilya mencapai puncaknya, ketika pada Desember 1905 sejumlah kota direbut oleh detasemen bersenjata kaum buruh, tani, dan buruh tani, sebelum pemberontakan di Latvia ini ditumpas secara brutal dengan ekspedisi militer yang dipimpin oleh para jenderal tsaris.
Tugas-tugas lain kelompok bersenjata ini adalah merebut persenjataan, membunuh mata-mata dan agen polisi, dan juga perampokan bank untuk dana juang. Inisiatif untuk membentuk kelompok gerilya semacam ini sering kali diambil oleh buruh sendiri. Kaum Bolshevik berusaha memenangkan kepemimpinan atas kelompok-kelompok ini, guna memberi mereka bentuk yang terorganisir dan disiplin, dan memberi mereka sebuah rencana aksi yang jelas. Tentu saja ada risiko besar. Berbagai elemen avonturir, lumpen dan tidak jelas dapat masuk ke dalam detasemen bersenjata ini, yang, seketika detasemen ini terpisah dari gerakan massa, cenderung mengalami degenerasi, dan akhirnya tidak dapat dibedakan dari geng-geng bandit. Selain itu, detasemen ini mudah diinfiltrasi oleh agen provokator. Biasanya jauh lebih mudah bagi intel untuk menginfiltrasi organisasi militer dan teroris dibandingkan partai revolusioner, karena partai revolusioner terdiri dari kader-kader terdidik yang terikat oleh ideologi. Ini bukan berarti partai revolusioner imun dari infiltrasi, seperti yang akan kita lihat nanti. Namun Lenin sangatlah mafhum akan bahaya degenerasi dari kelompok-kelompok bersenjata ini. Disiplin baja dan kontrol ketat dari organisasi partai dan kader-kader revolusioner yang berpengalaman dapat secara parsial mencegah kecenderungan degenerasi ini. Tetapi satu-satunya kontrol yang sesungguhnya adalah gerakan massa revolusioner.
Selama unit-unit gerilya berfungsi sebagai pendukung gerakan massa (yakni selama periode kebangkitan revolusioner), mereka dapat memainkan peran yang berguna dan progresif. Tetapi, ketika kelompok gerilya terpisah dari gerakan massa revolusioner, mereka pasti akan mengalami degenerasi. Untuk alasan ini, Lenin mengatakan bahwa keberadaan kelompok-kelompok bersenjata ini sama sekali tidak boleh diperpanjang ketika sudah jelas kalau gerakan revolusioner mengalami penurunan dan tidak ada kemungkinan untuk bangkit dalam waktu dekat. Dia segera menyerukan pembubaran semua kelompok gerilya ketika sudah jelas bahwa gerakan sudah memasuki periode pasang surut. Pada tahapan awal revolusi mereka memainkan peran yang positif. Ada banyak figur heroik dan berani berkorban yang terlibat, yang bekerja di bawah komando ketat Partai. Salah satunya adalah Simon Arshaki Ter-Petrosan, atau dikenal dengan nama Kamo, seorang revolusioner yang terkenal dari Armenia.
Salah satu alasan utama untuk meneruskan taktik gerilya setelah kekalahan pemberontakan Desember adalah karena partai mengalami kesulitan keuangan. Sebelumnya partai menerima banyak donasi dari para simpatisan yang kaya. Selama periode agitasi konstitusional sebelum Revolusi 1905, dan selama periode awal revolusi, sebagian besar kaum borjuis “progresif” dan kaum inteligensia mendukung kaum Sosial Demokrat dan bahkan mengagumi mereka. Mereka cenderung melihat Sosial Demokrasi sebagai ekspresi gerakan borjuis demokratik yang lebih radikal. Mereka bersimpati pada aktivitas kaum pelajar dan buruh revolusioner, dan bahkan ada rasa kagum yang datang dari nostalgia masa muda mereka yang telah lama berlalu. Dan seperti yang biasanya dilakukan oleh kaum kapitalis, ada perhitungan ketika mereka memberikan donasi. Kaum borjuasi berharap menggunakan gerakan revolusioner sebagai tuas untuk bernegosiasi dengan rejim autokrasi supaya mereka bisa kebagian posisi dalam pemerintah. Tetapi setelah Oktober 1905, sikap kaum borjuasi liberal mulai berubah. Manifesto Tsar telah memenuhi tuntutan-tuntutan dasar mereka, dan antusiasme mereka dengan cepat kempis. Pemberontakan Moskow akhirnya meyakinkan mereka akan bahaya yang datang dari gerakan revolusioner kaum buruh. Reaksi menunjukkan gigi taringnya, dan seperti Pontius Pilatus, kaum liberal mencuci tangan mereka. “Kami telah memberi tahu kalian agar jangan bergerak terlalu jauh! Jangan memprovokasi reaksi! Mengapa kalian tidak menerima apa yang sudah ditawarkan? Bagaimanapun juga, separuh roti adalah lebih baik daripada hukuman penjara.”
Sumber dana partai yang tiba-tiba mengering menaruh partai dalam posisi yang sulit. Diserang dari segala arah, Partai sungguh kekurangan sumber daya, terutama setelah kaum liberal borjuis memalingkan punggung mereka ke revolusi. Banyak pengusaha kaya dan para sahabat petualang intelektual, yang sebelumnya siap memberikan uang kepada kaum revolusioner untuk berbagai alasan, sekarang mulai menjauhi kaum revolusioner. Tiba-tiba mereka ingat kalau mereka punya karier dan keluarga yang harus mereka khawatirkan. Akan tetapi bagi kelas buruh tidak ada jalan mundur. Ini adalah perjuangan hidup mati. Pada momen seperti inilah masalah ekspropriasi (perampokan bank) menjadi sangat penting. Kamo sudah memiliki pengalaman aktivitas revolusioner yang panjang, termasuk masuk penjara dan kabur dari penjara di Baku, sebelum dia menjadi terkenal karena perannya dalam perjuangan bersenjata. Berkepala dingin, berani, dan efisien, Kamo adalah personifikasi dari tipe aktivis Bolshevik yang terbaik. Setelah pemberontakan tentara di Sveaborg dan Kronstadt, gerakan tani menjadi semakin intens. Tampaknya revolusi sedang memasuki sebuah tahapan yang baru. Masalah mengumpulkan senjata menjadi urgen. Kamo diberi tanggung jawab mengumpulkan senjata, tetapi ada masalah uang. Di Kongres Stockholm kaum Menshevik menguasai Komite Pusat, dan mereka tidak terlalu antusias dengan gagasan pemberontakan bersenjata. “Surat-surat dan telegram-telegram untuk Komite Pusat tidak dibalas. Permohonan dana seperti jeritan di tengah hutan belantara.”[1]
Kamo tidak ragu untuk melakukan apa yang diperlukan untuk mempersenjatai partai. Lewat serangkaian perampokan bank yang spektakuler, sejumlah besar uang “diekspropriasi”. Namun Kamo sendiri hidup dengan sangat bersahaja dengan upah 50 kopek per hari. Seperti kaum partisan Bolshevik lainnya, dia sepenuhnya berbakti pada partai dan perjuangan kelas buruh. Keberaniannya yang legendaris ditunjukkan di perampokan bank di Tiflis pada musim panas 1907. Dengan paspor palsu sebagai seorang bangsawan Georgia, Kamo berangkat ke Tiflis untuk mengorganisir perampokan bank besar. Pada pagi hari 23 Juni, berpakaian sebagai seorang perwira militer, walaupun dia masih terluka dari kecelakaan ledakan sebelumnya, Kamo memimpin sebuah serangan yang luar biasa dan 250.000 rubel raib dari Bank Negara. Pengalaman-pengalaman Kamo adalah seperti novel petualangan. Setelah kabur ke Jerman, Kamo tertangkap di Berlin dengan tas penuh dinamit. Dia telah dikhianati oleh seorang agen provokator, Zhitomirsky.
Dituduh dan dihukum sebagai “teroris-anarkis”, selama 4 tahun dia berpura-pura gila. Sebagai hukuman, dia dikurung tanpa pakaian di sel bawah tanah dengan temperatur di bawah nol selama 9 hari. Dia lalu dikirim ke penjara untuk tahanan dengan gangguan jiwa. Selama 4 bulan dia tidak dibiarkan rebah, tetapi dipaksa berdiri menghadap tembok, berdiri dengan satu kaki. Perlakuan kejam yang dialaminya antara lain adalah pemaksaan makan, dimana beberapa giginya dipatahkan. Di dua kesempatan dia mencoba bunuh diri dengan gantung diri dan menyilet pembuluh darahnya dengan sebuah tulang tajam. Awalnya polisi mengira kalau dia pura-pura gila, tetapi setelah enam bulan penyiksaan, mereka mulai percaya kalau dia benar-benar gila. Akhirnya, pada Maret 1909, para dokter memutuskan kalau kondisi mental dari “teroris-anarkis” Ter-Petrosan ini cukup baik. Dia berperangai tenang dan rasional, dan bahkan mampu melakukan kerajinan tangan dan berkebun. Setelah dikembalikan ke penjara, Kamo berpura-pura sakit jiwa lagi dan disiksa dengan lebih kejam. Para dokter Jerman yang “beradab” menusuk jarum ke bawah kukunya, badannya dibakar dengan besi panas, tetapi sia-sia. Badan Kamo penuh dengan luka, tetapi dia mempertahankan kepura-puraannya sampai akhirnya pihak otoritas Jerman memutuskan kalau biaya untuk menahan orang gila dari Rusia ini tidak boleh ditanggung oleh pajak orang Jerman. Dia diekstradisi ke Rusia. Akhirnya dia berhasil kabur dari rumah sakit jiwa di Tiflis.
Di buku biografi Lenin, Krupskaya ingat bagaimana Kamo mengunjungi mereka di Paris: “Dia sangat khawatir mendengar kalau perpecahan telah terjadi antara Ilyich dan Bogdanov dan Krassin. Dia sangatlah dekat dengan mereka bertiga. Lagi pula, dia tidak mampu memahami situasi yang telah berkembang selama tahun-tahun dia mendekam di penjara. Ilyich memberitahunya bagaimana situasi sekarang.”
“Kamo meminta saya untuk membelinya kacang almond. Dia duduk di dapur kami di Paris sembari makan almond, seperti di kampungnya di Georgia, dan menceritakan kepada kami bagaimana dia ditangkap di Jerman, bagaimana dia berpura-pura gila, mengenai burung pipit yang dipeliharanya di penjara, dsb. Mendengar cerita-ceritanya, Ilyich merasa sangat pilu terhadapnya, seorang yang pemberani, setia, naif seperti anak kecil, dan memiliki hati yang hangat, yang begitu penuh semangat untuk melakukan aksi-aksi yang heroik tetapi sekarang tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Rencana-rencananya fantastis. Ilyich tidak berdebat dengannya, tetapi mencoba secara halus membawanya kembali ke permukaan bumi dengan berbagai usulan seperti mengorganisir transportasi literatur. Akhirnya diputuskan Kamo akan pergi ke Belgia untuk melakukan operasi mata (matanya belo, dan ini selalu membuat polisi curiga), dan lalu dari sana berangkat ke Rusia dan Kaukasus. Ilyich memperhatikan jaketnya Kamo dan mengatakan: ‘Kau tidak punya jaket yang hangat? Kau akan kedinginan di atas dek kapal.’ Ilyich sendiri selalu berjalan-jalan di atas dek perahu ketika bepergian dengan kapal. Mendengar kalau Kamo tidak punya jaket lain, Ilyich mengeluarkan jaket abu-abu muda yang diberikan ibunya sebagai hadiah di Stockholm dan yang sangat dia sukai, dan memberikannya kepada Kamo. Pembicaraannya dengan Ilyich, dan kebaikan hati Ilyich, membuat tenang Kamo.”[2]
Seperti banyak lainnya yang telah memainkan peran aktif dalam revolusi, selama periode reaksi Kamo sekarang seperti ikan di luar air. Ketidakaktifan, keterisolasian, tekanan dari kehidupan eksil, semua membuatnya depresi dan frustrasi. Dia segera kembali ke aktivitas bawah tanah di kampung halamannya Kaukasus, dimana gerakan revolusioner sedang mengalami kebangkitan baru. Ditangkap lagi, Kamo dijatuhi empat hukuman mati, yang lalu dikurangi menjadi 20 tahun kerja paksa, sebagai tanda kemurah-hatian Tsar pada peringatan 300 tahun dinasti Romanov. Kamo dikirim ke penjara kerja paksa di Kharkov dimana selama Perang Dunia I dia kerja menjahit pakaian, pakaian dalam dan sepatu bot, bersama-sama dengan para penjahat yang menghormatinya dan memanggilnya “Big Ivan”. Bahkan di neraka seperti ini, semangat memberontaknya tidak padam. Supaya dia tidak harus mengangkat topinya untuk para sipir penjara, dia tidak mengenakan topi bahkan selama musim dingin. Kamo dibebaskan dari penjara oleh Revolusi Februari, dan dia segera bergabung kembali ke Partai Bolshevik dan memainkan peran heroik selama Perang Sipil. Setelah melalui semua pengalaman yang keras dan penuh cobaan ini, ironisnya dia mati dalam kecelakaan motor pada 1922.
Sikap Lenin Terhadap Gerilya-isme
Masalah perang gerilya terikat erat dengan perspektif bangkitnya kembali revolusi dan kemungkinan kalau gerakan tani dapat memberikan dorongan pada gerakan buruh di kota-kota. Diskusi-diskusi teoretis selama Kongres Keempat mengenai masalah agraria adalah refleksi pucat dari realitas yang ada. Pemberontakan tani sedang dalam pasang naik. Bulan demi bulan ledakan-ledakan kekerasan di desa-desa meningkat dalam jumlah dan intensitas. Tetapi konsolidasi reaksi Stolypin memaksa Lenin untuk mempertimbangkan ulang posisi ini. Titik baliknya adalah kekalahan pemberontakan tentara di Sveaborg dan Kronstadt. Sementara kaum Menshevik telah menyerah sejak awal, taktik Lenin diarahkan untuk memenangkan kaum borjuis kecil kiri, yakni kaum tani miskin, ke gagasan pemberontakan bersenjata, sebuah gerakan di pedesaan yang pada gilirannya dapat berhubungan dengan gerakan di kota untuk menumbangkan rejim tsar. Perspektif ini tidaklah utopis. Walaupun kelas buruh Petersburg dan Moskow telah mengalami kekalahan, gerakan di pedesaan baru saja mulai. Ini pada gilirannya mempengaruhi kaum tani berseragam (tentara) yang merupakan mayoritas angkatan bersenjata Tsar. Terpukul oleh kekalahan militer dan revolusi, mood para tentara semakin hari semakin tidak tenang. Ini memuncak pada malam 17 Juli. Pemberontakan tentara dan kelasi meletus di benteng Sveaborg dekat Helsinki. Ketika komite PBSDR Petersburg mendapat kabar mengenai pemberontakan ini, mereka mengirim perwakilan ke para kelasi untuk membujuk mereka menunda aksi ini. Tetapi sudah terlalu terlambat.
Walaupun organisasi militer PBSDR terlibat dalam pemberontakan ini – dua Letnan, A.P. Yemelyanov dan Y.L. Kokhansky, adalah Sosial Demokrat – pemberontakan ini terutama dipimpin oleh kaum Sosialis Revolusioner. Dari 10 pasukan artileri, tujuh terlibat aktif dalam pemberontakan, dan mengedepankan slogan-slogan demokratik revolusioner: tumbangkan autokrasi, kebebasan untuk rakyat, tanah untuk kaum tani. Buruh Finlandia turun aksi untuk mendukung para pemberontak. Sebuah pemogokan umum dimulai di Helsinki pada 18 Juli, yang menyebar ke kota-kota lain. Gerakan ini berlangsung selama tiga hari, tetapi tidak memiliki persiapan yang baik dan tanpa rencana aksi yang matang. Pemberontakan Sveaborg akhirnya diremukkan oleh dentuman meriam kapal-kapal perang pro-pemerintah. Para pemberontak diadili oleh mahkamah militer. Empat puluh tiga tentara dieksekusi dan ratusan lainnya dikirim ke kamp kerja paksa atau penjara. Ini bukan kasus yang terisolasi. Pemberontakan-pemberontakan tentara lainnya juga terjadi di tempat lain. Berita mengenai peristiwa Sveaborg menciptakan gejolak di benteng angkatan laut Kronstadt. Pemberontakan terjadi di kapal perang Pamyat’ Azova dekat Revel. Tampaknya di sini PBSDR telah merencanakan aksi pemberontakan ini, tetapi berhasil digagalkan dengan digerebeknya organisasi-organisasi buruh dan militer pada 9 Juli. Pemerintah mengetahui rencana pemberontakan ini dari jaringan mata-matanya dan segera bertindak untuk memadamkan pemberontakan ini. Lebih dari 2.500 pemberontak Kronstadt ditangkap. Seperti di Sveaborg, mahkamah militer tidak berbelas kasihan: 36 orang dihukum mati; 130 orang dihukum kerja paksa; 316 dipenjara, dan 935 dikirim ke batalion rehabilitasi.
Pengaruh gerakan tani sangatlah jelas dalam pemberontakan-pemberontakan di atas, yang juga mengandung sisi negatif yang biasa kita saksikan dalam semua pemberontakan tani dalam sejarah: yakni ketiadaan perspektif, yang memungkinkan segelintir perwira yang tegas dan disiplin, yang terbiasa memerintah, untuk memaksakan kehendak mereka ke sepasukan besar tentara yang jauh lebih besar, yang tidak punya disiplin, organisasi dan rencana aksi yang jelas, dan yang telah dikondisikan seumur hidup mereka untuk patuh pada otoritas. Pemberontakan-pemberontakan ini adalah impuls terakhir revolusi. Setelah Sveaborg, tidak ada lagi yang meragukan tahapan apa yang sedang mereka masuki. Reaksi telah menang, dan merayakan kemenangannya dengan cara yang tipikal – dengan gelombang pencidukan, pengadilan militer, penembakan, dan lockout. Tingkat pengangguran melejit. Dan seperti yang dijelaskan Trotsky pada saat itu, peningkatan angka pengangguran ini, yang menyusul kekalahan politik yang parah, tidak akan bisa membangkitkan kembali semangat perjuangan buruh, tetapi justru sebaliknya. Kaum buruh mengalami syok dan menjadi bingung. Butuh waktu yang lama bagi mereka untuk pulih. Trotsky memprediksi – dan dia terbukti benar – bahwa tidak akan ada kebangkitan kembali gerakan revolusioner di Rusia sampai ada semacam kemajuan ekonomi.
Kaum Marxis selalu menganggap perang tani sebagai bantuan bagi buruh dalam perjuangan perebutan kekuasaan. Posisi ini pertama kali dikembangkan oleh Marx selama revolusi Jerman pada 1848. Dia mengatakan bahwa revolusi Jerman hanya bisa menang sebagai edisi kedua Perang Tani. Dalam kata lain, gerakan buruh di kota-kota harus menarik massa tani di belakangnya. Kaum Bolshevik juga menjelaskan bahwa buruhlah yang harus memimpin kaum tani di belakang mereka. Penting untuk diketahui bahwa selama Revolusi Rusia kelas buruh industrial tidaklah lebih dari 10 persen populasi. Namun kaum proletariat memainkan peran kepemimpinan dalam Revolusi Rusia, menarik jutaan massa tani miskin di belakangnya, yang merupakan sekutu alami kaum proletariat. Dalam tulisan Marx, Engels, Lenin dan Trotsky tidak akan kita temui rujukan atau isyarat kalau kaum tani dapat memimpin sebuah revolusi sosialis. Alasannya adalah heterogenitas ekstrem kelas tani. Kelas ini terpecah menjadi banyak lapisan, dari buruh tani yang tidak memiliki tanah (yang sesungguhnya adalah proletariat desa) sampai ke petani kaya yang menggaji petani lainnya sebagai pekerja. Mereka tidak memiliki kepentingan yang sama dan oleh karenanya tidak dapat memainkan peran independen dalam masyarakat. Secara historis mereka telah mendukung kelas-kelas lain di kota. Satu-satunya kelas yang mampu memimpin revolusi sosialis adalah kelas buruh. Ini bukan karena alasan sentimental tetapi karena posisi yang ditempati olehnya dalam masyarakat dan karakter kolektifnya dalam produksi.
Peperangan gerilya, pada dasarnya, adalah senjata klasik kaum tani, dan bukan kelas buruh. Perang gerilya cocok untuk kondisi perjuangan bersenjata di daerah-daerah pedalaman yang sulit diakses – pegunungan, hutan, dsb. – dimana medan yang sulit ini mempersulit operasi tentara reguler, dimana dukungan dari massa pedesaan menyediakan dukungan logistik dan perlindungan yang dibutuhkan oleh para gerilyawan untuk beroperasi. Selama revolusi di sebuah negeri terbelakang dengan populasi tani yang besar, peperangan gerilya dapat menjadi bantuan berguna bagi perjuangan revolusioner kaum buruh di kota-kota. Tetapi tidak pernah terpikirkan oleh Lenin untuk mengajukan gagasan gerilya-isme sebagai pengganti gerakan kelas buruh yang sadar. Taktik-taktik gerilya, dari sudut pandang Marxis, hanya diperbolehkan sebagai bagian subordinat dan bantuan bagi revolusi sosialis. Inilah posisi Lenin yang sesungguhnya pada 1905. Ini tidak sama dengan taktik-taktik terorisme individualnya Narodnaya Volya dan penerus mereka, Partai Sosialis Revolusioner, apalagi dengan taktik-taktik gila teroris modern dan organisasi “gerilya urban” yang adalah antitesis dari kebijakan Leninis yang sejati.[3]
Dalam artikelnya mengenai perang gerilya, Lenin memaparkan secara grafik situasi pada saat itu:
“Fenomena yang ingin kita kaji adalah perjuangan bersenjata. Perjuangan ini dilakukan oleh individu-individu dan oleh kelompok-kelompok kecil. Beberapa dari mereka adalah bagian dari organisasi revolusioner, sementara yang lain (mayoritas di beberapa daerah di Rusia) bukanlah bagian dari organisasi manapun. Perjuangan bersenjata memiliki dua tujuan berbeda, yang harus dibedakan secara ketat. Pertama, perjuangan ini bertujuan membunuh individu-individu, pemimpin-pemimpin serta bawahan-bawahan mereka dalam angkatan bersenjata dan kepolisian. Kedua, perjuangan ini bertujuan menyita uang dari pemerintah dan individu-individu. Uang yang disita ini sebagian ditujukan untuk kas partai, dan sebagian untuk mempersenjatai dan mempersiapkan pemberontakan, dan sebagian lainnya untuk membiayai orang-orang yang terlibat dalam perjuangan bersenjata ini. Ekspropriasi-ekspropriasi besar (seperti di Kaukasus, yang melibatkan lebih dari 200.000 rubel, dan Moskow, 875.000 rubel) terutama dilakukan untuk kas partai-partai revolusioner – ekspropriasi kecil kebanyakan, atau hampir seluruhnya, untuk membiayai ‘para perampok’. Bentuk perjuangan ini berkembang lebih luas dan dalam hanya pada 1906, yakni setelah Pemberontakan Desember. Intensifikasi krisis politik sampai pada titik perjuangan bersenjata, dan terutama, intensifikasi kemiskinan, kelaparan dan pengangguran di kota dan desa, adalah salah satu penyebab penting dari berkembangnya perjuangan bersenjata oleh elemen-elemen avonturir, lumpenproletariat, dan kelompok-kelompok anarkis.”
Lenin menekankan bahwa perjuangan bersenjata harus menjadi bagian dari gerakan massa revolusioner, dan menetapkan sejumlah syarat untuknya: “1) sentimen massa harus dipertimbangkan; 2) kondisi-kondisi gerakan kelas buruh di daerah tertentu harus dipertimbangkan, dan 3) langkah-langkah harus diambil untuk menjaga agar kekuatan proletariat tidak disia-siakan.” Dan dia juga memperjelas bahwa perang gerilya bukanlah obat mujarab, tetapi hanyalah salah satu bentuk perjuangan yang hanya boleh diluncurkan “ketika gerakan massa telah mencapai titik pemberontakan.”
Bahaya degenerasi yang inheren dalam aktivitas semacam ini menjadi satu keniscayaan yang absolut ketika kelompok-kelompok gerilya terisolasi dari gerakan massa. Pada periode menyusul 1906, ketika gerakan buruh sedang dalam pasang surut dan kaum revolusioner sedang mengalami disorientasi akibat serangkaian pukulan balik dari rejim, organisasi-organisasi gerilya semakin menunjukkan tanda-tanda kalau mereka sudah bukan lagi organ pembantu yang berguna bagi partai revolusioner, dan semakin menjelma menjadi sekelompok avonturir, atau bahkan lebih parah. Bahkan ketika Lenin membela kemungkinan taktik-taktik gerilya sebagai semacam aksi defensif terhadap reaksi, dimana dia masih mengharapkan kebangkitan kembali gerakan revolusioner, ia memberi peringatan akan “anarkisme, Blanquisme, terorisme tempo dulu, aksi-aksi individu yang terisolasi dari massa, yang merusak moral buruh, yang membuat selapisan rakyat luas justru menjauhi gerakan, yang mengacaukan gerakan dan melukai revolusi,” dan menambahkan bahwa “contoh-contoh yang mendukung pertimbangan ini dapat dengan mudah ditemui di peristiwa-peristiwa yang dilaporkan setiap hari di koran-koran.”[4]
Dengan berlalunya waktu, Lenin menjadi mafhum kalau taktik ekspropriasi sudah tidak lagi berguna. Dia sudah menyadari ini sebelum perampokan Tiflis. Tetapi, karena partai sangat kekurangan dana, dia membuat pengecualian. Namun uang dari perampokan ini tidak membantu partai karena uang besaran 500 rubel mustahil untuk ditukar di Rusia. Uang ini dikirim ke luar negeri, tetapi juga tidak membantu. Agen provokator Zhitomirsky, yang menempati posisi kunci dalam organisasi Bolshevik di luar negeri, memberitahu polisi mengenai rencana ini. Litvinov, yang setelah Revolusi Oktober menjadi duta besar Soviet di London, ditangkap ketika sedang mencoba menukar uang ini di Paris. Nasib yang sama juga menanti Olga Ravich, yang di kemudian hari menjadi istrinya Zinoviev, di Stockholm. Tetapi walaupun hasil rampokan dari Tiflis ternyata tidak bisa digunakan oleh kaum Bolshevik, kaum Menshevik menggunakan ini sebagai skandal selama bertahun-tahun. Masalah ekspropriasi juga diperdebatkan dengan sengit di dalam faksi Bolshevik, yang merusak banyak perkawanan. Akhirnya, dengan tekanan dari Menshevik, masalah ekspropriasi dimasukkan ke dalam agenda komisi kontrol Partai pada Januari 1910. Komisi menelurkan sebuah resolusi yang menyatakan aksi ekspropriasi tidak sesuai dengan disiplin partai, tetapi mengakui bahwa para partisipan aksi-aksi ini tidak berniat merusak gerakan buruh, namun mereka hanya melakukan ini karena “pemahaman yang keliru mengenai kepentingan Partai.”[5]
Tidak semua orang yang terlibat dalam gerakan gerilya adalah Kamo. Bahaya kalau gerakan ini jatuh ke tangan elemen-elemen lumpen dan kriminal menjadi semakin serius seiring dengan semakin dalamnya periode reaksi dan menurunnya gerakan buruh. Koba atau Stalin adalah salah satu anggota Bolshevik yang bersikeras ingin melanjutkan taktik gerilya-isme dan ekspropriasi bahkan setelah syarat-syarat untuk taktik ini sudah tidak ada. Taktik ini melemahkan gerakan secara serius. Olminsky, yang dekat dengan Lenin pada saat itu, menulis: “Tidak sedikit kaum muda bertalenta yang mati di tiang gantung; yang lainnya mengalami degenerasi; yang lainnya lagi kecewa dengan revolusi. Pada saat itu rakyat luas mulai menyamakan kaum revolusioner dengan bandit. Di kemudian hari, ketika gerakan buruh mulai bangkit kembali, gerakan berkembang paling lambat di kota-kota dimana aksi ekspropriasi paling banyak dilakukan. (Contohnya, di Baku dan Saratov.)”[6]
Reaksi Stolypin
Reaksi Stolypin dimulai dengan kebijakan-kebijakan yang drakonian. Pada 19 Agustus 1906 dia mensahkan pembentukan pengadilan militer lapangan, yang memberikan hukuman yang kejam bagi siapapun yang terlibat dalam aktivitas revolusioner. Ribuan orang disiksa, dieksekusi dan diasingkan. Ribuan petani disidang di pengadilan militer lapangan. “Keadilan” diterapkan dengan singkat. Kebanyakan sidang ini selesai dalam waktu 4 hari. Hukuman yang biasa dijatuhkan adalah hukuman mati, dan 600 orang dihukum mati pada periode pertama. Perdana menteri “reformis” ini mengorkestra kampanye teror tanpa-preseden bahkan dalam sejarah berdarah-darah tsarisme Rusia. Selama periode 1907-09 lebih dari 26.000 orang diadili. Dari jumlah ini, 5.086 dihukum mati. Pada 1909, penjara-penjara meluber dengan 170 ribu tahanan. Tetapi Stolypin cukup pintar untuk menyadari bahwa gerakan revolusioner tidak bisa dipadamkan dengan kekerasan saja. Tidak akan ada solusi yang kekal kalau masalah agraria tidak diselesaikan. Stolypin mencoba melakukan reforma agraria dari atas. Untuk mengkonsolidasikan dirinya reaksi membutuhkan basis sosial yang lebih luas. Kaum borjuasi dan oligarki tuan-tanah, yang tergabung dalam sebuah blok reaksioner, mencari sekutu di pedesaan.
Relasi tanah di Rusia sangatlah terbelakang. Kaum tani bermukim di 120.000 komune desa, dan mengais eksistensi di atas basis ekonomi subsisten dengan tingkat produktivitas yang sangatlah rendah. Mereka tidak punya hak sama sekali. Sisa-sisa feodalisme masih bisa ditemui, walaupun sistem perhambaan sudah dihapus pada 1861. Kaum tani masih diharuskan memberikan jasa tenaga kerja feodal pada tuan tanah. Mentalitas kaum hamba masih kental. Hasrat untuk memiliki tanah dan kebencian terhadap tuan tanah adalah seperti api dalam sekam. Tetapi karena tidak dapat menemukan ekspresi yang terorganisir, api ini tetap laten seperti gunung berapi yang tidak aktif. Pada awal abad ke-20, kaum tani mendengar gaung pemberontakan dari kota-kota dan ada sesuatu yang bergolak dalam hati mereka: “‘Saya tidak mendengar apapun mengenai buku-buku kecil ini (propaganda revolusioner),’ seorang tani mengaku setelah ledakan-ledakan pada 1902. ‘Saya pikir bila saja hidup kita lebih baik, buku-buku kecil ini tidak akan menjadi penting, tidak peduli apa isinya. Yang jadi masalah bukanlah buku-buku kecil ini, tetapi tidak ada sesuatu pun yang bisa kita makan.”
Lenin mengajukan program penyitaan tanah milik kaum tuan tanah besar secara revolusioner. Reforma Stolypin, di sisi lain, adalah solusi borjuis reaksioner terhadap problem agraria. Sebuah undang-undang baru dirancang yang membubarkan secara paksa komune desa dengan cara yang menguntungkan kaum tani “borjuis” yang minoritas, atau yang disebut kulak. Undang-undang ini, mengutip sang perancang, adalah “diperuntukkan bagi yang kokoh dan kuat, bukan untuk yang miskin dan pemabuk.” Syarat untuk memperkenalkan sistem pertanian kapitalis di Rusia adalah membubarkan komune-komune desa dan membentuk sebuah kelas tani kaya. “Pengimbang alami prinsip komunal,” tekan Stolypin, “adalah kepemilikan pribadi. Kepemilikan pribadi juga adalah jaminan ketertiban, karena pemilik tanah kecil adalah sel-sel yang menjadi fondasi bagi semua tatanan yang stabil dalam negara.”[7] Rencana undang-undang ini diajukan pada akhir 1906 dan akhirnya menjadi hukum pada 14 Juni 1910. Pasal utama dari UU ini adalah memberi kaum tani hak untuk meninggalkan komune desa (obshchina), walaupun dalam praktiknya hanya kaum tani kaya yang bisa mandiri. “Reforma ini diterapkan dengan penuh semangat,” tulis Kerensky, “tetapi juga dengan seenaknya tanpa memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang paling elementer. Pemerintah, yang ‘mendukung yang terkuat’, menyita tanah milik komune dan memberikannya ke kaum tani kaya yang memilih keluar dari komune. Mereka diberi tanah yang terbaik, dengan melanggar hak guna tanah komune. Dan para pemilik tanah yang baru ini diberi pinjaman, sebesar 90 persen dari total yang dibutuhkan untuk pembiayaan usaha tani mereka.”
Reforma Stolypin mengguncang keras relasi tanah di Rusia. Pada akhirnya, mungkin sekitar dua pertiga tanah ada di tangan kaum tani. Namun kendati semua keuntungan yang diberikan pada mereka, pada 1 Januari, 1915, hanya 2.719.000 keluarga tani dapat mengatakan bahwa tanah mereka telah menjadi milik pribadi mereka (sekitar 22-24 persen dari total tanah yang ada). Apa pandangan mayoritas tani terhadap reforma agrarianya Stolypin? Menurut Kerensky, “kebanyakan kaum tani tidak mendukung atau bahkan membenci reforma agraria Stolypin untuk dua alasan. Pertama, dan paling penting, kaum tani tidak ingin menentang komune, dan gagasan Stolypin untuk ‘mendukung yang terkuat’ berlawanan dengan cara pandang kaum tani. Dia tidak ingin menjadi semi-pemilik-tanah dengan mengorbankan para tetangganya.” Kebijakan seperti ini sama sekali tidak menyelesaikan problem-problem mendesak yang dihadapi kaum tani Rusia. Tetapi, pada kenyataannya, hasrat besar kaum tani untuk memiliki tanah terekspresikan dalam serangkaian pemberontakan di desa-desa, yang menjadi peringatan bagi autokrasi bahwa “massa hitam” ini sudah habis kesabarannya. Mereka sudah tidak bisa lagi menanggung beban penindasan dari kaum tuan tanah. Ini adalah bahaya bagi rejim autokrasi dan cadangan tenaga yang besar bagi revolusi. Nasib kaum proletariat terikat pada masalah penyelesaian problem agraria. Kerensky meringkas situasi yang ada dengan suram: “Dengan reforma agrarianya Stolypin telah melempar perang sipil ke daerah pedesaan Rusia.”[8]
Melihat ke belakang ke tahun-tahun reaksi (1907-1910), Lenin menulis pada 1920:
“Tsarisme menang. Semua partai revolusioner dan oposisi remuk. Depresi, demoralisasi, perpecahan, pertikaian, pengkhianatan dan percabulan menggantikan politik. Ada pergeseran yang semakin besar ke arah filsafat idealisme; mistisisme menjadi kedok bagi sentimen-sentimen kontra-revolusioner. Akan tetapi, pada saat yang sama, kekalahan besar inilah yang mengajarkan partai-partai revolusioner dan kelas revolusioner sebuah pelajaran yang riil dan sungguh berguna, sebuah pelajaran dalam dialektika historis, sebuah pelajaran dalam memahami perjuangan politik, dan dalam seni dan sains untuk mengobarkan perjuangan itu. Hanya pada momen-momen seperti inilah kita tahu siapa lawan siapa kawan. Pasukan yang kalah meraih pelajaran mereka.”[9]
Gerakan buruh terpukul dengan parah, dan tidak hanya oleh penangkapan. Dari 1906-10, 500 organisasi serikat buruh dibubarkan. Keanggotaan serikat buruh menukik tajam sementara angka pengangguran membumbung. Keanggotaan serikat buruh legal anjlok dari 246.000 menjadi 50.000, dan lalu 13.000. Jam kerja diperpanjang sampai 12 jam, dan 15 jam di beberapa tempat. Angka pengangguran melejit cepat, yang sebagian merefleksikan krisis ekonomi dunia. Ini membuat posisi buruh semakin parah. Di Moskow, seperempat buruh metal tidak bekerja pada 1907. Situasi yang serupa bisa ditemui di tempat-tempat lain. Menyusul kekalahan politik yang besar ini, pengangguran massal menghancurkan semangat perjuangan kelas buruh. Para majikan membuat daftar hitam aktivis buruh, yang secara sistematis di-PHK dari pekerjaannya. Upah ditekan.
Mundurnya revolusi niscaya menyebabkan serangkaian krisis internal dan perpecahan di semua partai-partai Kiri. Ini berlaku tidak hanya untuk kaum Sosial Demokrat tetapi juga kaum Sosialis Revolusioner. Selain penurunan jumlah anggota dan kesulitan keuangan, juga ada berbagai skandal dan perpecahan. Ketua Organisasi Tempur SR dan pemimpin teroris SR, Evno Azef, terbongkar kedoknya sebagai seorang agen provokator atau intel. Ada perpecahan kanan-kiri di SR antara kaum sosialis popular (kanan) dan kaum Maximalis (kiri) yang menuntut sosialisasi tanah dan pabrik. Perpecahan ini mengantisipasi perpecahan SR Kiri pada 1917. Pada Kongres Kelima SR pada Mei 1909, delegasi dari Petersburg, Andreyev, melaporkan bahwa secara organisasional SR sudah tidak lagi eksis di ibukota; hanya tersisa beberapa individu terisolasi.[10] Bahkan ada perpecahan dalam gerakan anarkis yang kecil, antara pendukung terorisme dan kaum anarko-sindikalis.
Sementara, reunifikasi PBSDR tidak berarti berakhirnya pertikaian internal dalam partai, tetapi justru sebaliknya. Hubungan antara Bolshevik dan Menshevik semakin hari semakin memburuk. Tidak hanya itu saja, bahkan terjadi serangkaian perpecahan internal dalam kedua faksi ini. Menshevik sayap kanan (Axelrod, Cherevanin) tidak hanya mendukung kolaborasi dengan Kadet tetapi juga mengajukan gagasan pembentukan sebuah “kongres buruh” yang berkarakter non-partai, semacam Partai Buruh reformis yang akan menggantikan Sosial Demokrasi revolusioner. Di sini, semenjak awal, kita sudah saksikan embrio tendensi likuidasionisme. Penyakit kolaborasi kelas menyebar luas di antara berbagai tendensi Menshevik. Plekhanov menulis “Open Letter to Conscious Worker” (Surat Terbuka untuk Buruh Sadar Kelas) di koran Kadet kiri, Tovarishch, yang menyerukan kepada buruh untuk mendukung kaum borjuasi liberal. Basilev, seorang Menshevik, bahkan menyerukan merger antara Sosial Demokrat, SR, dan Kadet ke dalam satu partai konstitusional, sebuah proposal yang Lenin sebut “Mont Blanc-nya Oportunisme”. Satu-satunya cara untuk keluar dari kebuntuan ini adalah dengan segera menyelenggarakan kongres partai. Lenin mengobarkan kampanye yang sengit untuk penyelenggaraan kongres partai ini, dengan mendasarkan dirinya pada komite Petersburg.
Reaksi telah memenangkan pertempuran tetapi belumlah terlalu yakin pada dirinya sendiri. Rejim mengkombinasikan represi dengan konsesi. Tsar membuka Duma kedua, sementara pada saat yang sama meningkatkan represi. Sekali lagi, pertanyaan yang serupa diajukan: Haruskah kaum Sosial Demokrat berpartisipasi dalam pemilu Duma? Ya atau tidak? Sekarang, Lenin sudah mengubah pendapatnya dan beranggapan bahwa taktik boikot akan menjadi kekeliruan. Dia telah mencapai kesimpulan bahwa taktik boikot Duma yang pertama (Witte) adalah sebuah kekeliruan, walaupun dia adalah minoritas di antara para pemimpin faksi Bolshevik. Pada September 1906 dia menulis bahwa taktik boikot harus dipertimbangkan kembali. Taktik tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang statis dan kaku. Taktik harus mencerminkan situasi yang ada dalam masyarakat, psikologi massa, dan tahapan yang sedang dimasuki gerakan. Bila revolusi sedang mundur, partai tidak boleh menolak arena perjuangan legal. Partai punya kewajiban untuk menggunakan setiap peluang yang ada, setiap platform yang dapat menjaga hubungan massa dengan partai. Bila tidak maka partai akan menjadi sebuah sekte yang terisolasi. Seorang sektarian hidup di dunia mungilnya tersendiri, terpisah dari massa, dan oleh karenanya masalah-masalah taktik yang konkret tidaklah penting baginya. Karena sang sektarian kita telah menciptakan proletariat imajiner di sebuah dunia imajiner, ia tidak perlu berusaha membangun hubungan dengan kelas buruh yang riil dan organisasi-organisasi buruh yang ada. Dalam artikelnya, “Sectarianism, Centrism, and the Fourth International” (1935), Trotsky menulis ini mengenai kaum sektarian:
“Kaum sektarian melihat kehidupan dalam masyarakat seperti sebuah sekolah besar, dengan dirinya sendiri sebagai sang guru. Menurutnya kelas buruh harus mengesampingkan hal-hal yang tidak penting, dan berhimpun dalam barisan yang rapat di sekitarnya. Dengan begitu tugasnya selesai.”
“Walaupun dia bersumpah demi Marxisme di setiap kalimatnya, kaum sektarian adalah negasi langsung dari materialisme dialektik, yang selalu berangkat dari pengalaman dan kembali lagi ke sana. Seorang sektarian tidak memahami aksi dan reaksi dialektis antara sebuah program yang lengkap dengan perjuangan massa yang hidup – dalam kata lain, yang tidak sempurna dan belum lengkap… Sektarianisme bertentangan dengan dialektika (bukan dalam kata-kata tetapi dalam tindakan) dalam artian ia memalingkan punggungnya ke perkembangan kelas buruh yang sesungguhnya.”[11]
Bagi seorang Marxis yang sejati, masalahnya sangatlah berbeda. Ia harus mencari jawaban untuk pertanyaan: bagaimana caranya menghubungkan program Marxisme yang lengkap dengan gerakan massa yang niscaya belum lengkap dan penuh kontradiksi? Pertanyaan seperti ini tidak bisa dijawab dengan mengulang-ulang formula yang abstrak. Hubungan ini harus dibangun di setiap tahapan dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi nyata gerakan. Bagi kaum buruh Sosial Demokratik yang maju, jelas kalau Duma tidak akan dapat menyelesaikan satupun persoalan yang dihadapi oleh kaum proletariat dan tani. Tetapi bagi massa luas, terutama di pedesaan, ini jauh dari jelas. Ada ilusi besar kalau reforma dapat dicapai lewat parlemen, terutama reforma yang paling esensial, reforma agraria. Desa-desa mengirim perwakilan mereka ke Duma, yang diwakili oleh Trudovik, dan dengan tidak sabar mereka menunggu hasil dari Duma. Bahkan di antara buruh, walaupun ilusi terhadap Duma lebih sedikit, kekalahan revolusi berarti Duma mulai mendapatkan perhatian yang lebih besar.
Secara umum, kita hanya memboikot parlemen kalau ada prospek yang realistis untuk menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik, seperti halnya pada Revolusi Oktober 1917. Tetapi tidak demikian pada saat itu. Memboikot pemilu berarti partai buruh memboikot dirinya sendiri. Posisi seperti ini tidak ada kesamaan sama sekali dengan Leninisme. Lenin mendukung taktik yang fleksibel, yang mencerminkan situasi yang selalu berubah. Berlawanan dengan kaum Menshevik yang mendukung kerja sama elektoral dengan kaum Kadet (kaum liberal borjuis), Lenin mendukung kerja sama elektoral dengan Trudovik dan SR dalam melawan partai-partai kanan dan melawan kaum liberal. Gagasan Blok Kiri partai-partai proletariat dan borjuis kecil revolusioner dalam melawan kaum liberal borjuis adalah perpanjangan dari kebijakan front persatuan dalam medan elektoral. Di Duma kaum Sosial Demokrat diperbolehkan voting bersama dengan partai-partai lain dalam poin-poin tertentu dimana ada persetujuan yang prinsipil, sementara kaum Sosial Demokrat bebas mengkritik kebijakan-kebijakan partai borjuis kecil yang tidak konsisten, ambigu, dan kontradiktif.
Panduan utama dalam membentuk front persatuan elektoral adalah: setiap saat menjaga kemandirian absolut partai buruh dari semua tendensi (termasuk tendensi borjuis kecil radikal); tidak boleh membentuk blok dalam program partai; tidak boleh mencampur aduk panji; kebebasan penuh untuk mengkritik. Di atas segalanya, kaum revolusioner harus mengobarkan perjuangan yang sengit melawan kaum liberal borjuis. Tujuan utamanya adalah memisahkan perwakilan politik kaum borjuis kecil (SR dan Trudovik) dari kaum Kadet. Fitur-fitur esensial dari kebijakan Lenin pada saat itu – yang dapat ditemui di ratusan pidato, artikel dan resolusinya – adalah penolakan terbuka terhadap ilusi-ilusi reformis dan parlementer dan semua bentuk kolaborasi kelas. Kebijakan ini pada gilirannya adalah refleksi dari strategi jangka panjang, yakni perjuangan untuk meraih kepemimpinan proletariat atas massa borjuis kecil, terutama kaum tani. Hasil dari strategi ini terungkap secara penuh dalam Revolusi Oktober.
Masalah taktik pemilu ini diselesaikan di Konferensi November 1906 yang diselenggarakan di Tammerfors, Finlandia. Ini adalah momen yang menentukan dalam sejarah partai. Kaum Menshevik dan Bund secara terbuka mendukung pembentukan sebuah blok dengan Kadet. Lenin menganggap ini sebagai langkah menentukan yang menandai penyeberangan kaum Menshevik ke oportunisme.[12] Tetapi sekarang ada perubahan mood dalam partai, yang tercerminkan oleh meningkatnya dukungan untuk posisi Lenin, yang mendapat dukungan dari 14 delegasi (65 persen dari delegasi yang hadir di konferensi). “Laporan minoritas” [kubu Lenin] menekankan perlunya kemandirian kelas dan bahwa satu-satunya kolaborasi yang diperbolehkan adalah blok episodik dengan kaum demokrat borjuis kecil revolusioner. Konferensi Tammerfors menunjukkan adanya konflik-konflik internal yang tajam, tetapi ini tidak menyebabkan perpecahan. Lenin memilih menjelaskan gagasan-gagasannya guna memenangkan mayoritas, karena dia yakin kalau pengalaman akan membuktikan dirinya benar. Untuk memecah partai pada saat itu adalah hal yang tidak bertanggung jawab. Dibutuhkan lebih banyak waktu agar masalah-masalah taktik yang diperdebatkan dapat diklarifikasi oleh peristiwa. Akan tetapi situasi internal di dalam PBSDR sangatlah rumit. Perpecahan de facto dalam masalah taktik pemilu terjadi di organisasi St. Petersburg, yang akhirnya diselesaikan di sebuah Konferensi lokal yang diadakan pada awal Januari 1907, yang menolak blok dengan Kadet. Setelah kalah argumen dan pemungutan suara, para delegasi Menshevik melakukan walk out dan menjalankan kebijakan mereka sendiri. Ini adalah antisipasi untuk peristiwa-peristiwa di masa depan. Walaupun secara formal bersatu, ketegangan-ketegangan antar berbagai faksi terus meningkat.
Pasal empat dari resolusi mengenai taktik pemilu yang disahkan di Konferensi Tammerfors menyatakan bahwa “persetujuan-persetujuan lokal dengan partai-partai revolusioner dan oposisi-demokratik lainnya” diperbolehkan “bila, selama kampanye pemilu, mereka melihat ada bahaya partai-partai Kanan akan menang.” Dalam praktiknya, ini digunakan oleh kaum Menshevik untuk mendukung kandidat-kandidat Partai Kadet di banyak daerah. Sebaliknya, kaum Bolshevik berargumen bahwa “dalam tahapan pertama kampanye elektoral, misalnya di hadapan massa, mereka harus, umumnya, mengedepankan diri sebagai sebuah partai yang mandiri, dan mewakili kandidat-kandidat Partai hanya untuk pemilu.” Pengecualian diperbolehkan “di kasus-kasus urgen, dan hanya dengan partai yang sepenuhnya mendukung slogan-slogan utama dari perjuangan politik kita yang segera, yakni yang mengakui perlunya insureksi bersenjata, dan berjuang untuk sebuah republik demokratik. Selain itu, koalisi-koalisi semacam ini dapat dibentuk hanya untuk mengajukan daftar kandidat bersama, dan sama sekali tidak boleh menghalangi agitasi politik kaum Sosial Demokrat.”[13]
Pemilu Duma kedua berlangsung pada 20 Februari 1907. Komposisi Duma kedua lebih kiri dibandingkan dengan Duma pertama. Kiri diwakili oleh 222 perwakilan dari total 518: 65 kaum Sosial Demokrat, 104 Trudovik, 37 SR, dan 16 kaum “sosialis popular”. Ini dibandingkan dengan hanya 54 dari sayap kanan (kaum monarkis dan Oktobris). Yang paling kalah adalah Kadet, yang kehilangan dukungan dari kanan dan kiri, dan sekarang hanya memiliki 98 deputi, dibandingkan dengan 184 pada Duma pertama.[14] Ada lebih banyak perwakilan tani di Duma kedua daripada Duma pertama. Akan tetapi, komposisi kiri Duma kedua secara paradoks adalah gejala dari melemahnya revolusi dan bukan kebangkitannya. Walaupun massa rakyat – tidak hanya buruh tetapi juga borjuis kecil – berusaha menghantarkan balas dendam ke rejim autokrasi dengan memilih kaum Kiri di pemilu Duma, mereka sudah tidak mampu lagi mengobarkan sebuah insureksi yang baru.
Taktik berpartisipasi dalam pemilu mendapatkan pembenarannya dari hasil yang diperolehnya. Dengan mencampakkan taktik boikot, kaum Sosial Demokrat mendapatkan 65 kursi, kebanyakan dari kursi Kadet. Kaum buruh memilih kandidat-kandidat Sosial Demokrat di surat suara pertama. Di Petersburg, anehnya, Partai SR memenangkan banyak kursi. Di desa-desa banyak kandidat Blok Kiri yang terpilih. Situasi di dalam partai sangatlah cair, dan opini di dalam partai terus berubah dan bergeser ke segala arah. Perbedaan-perbedaan mulai muncul di dalam faksi Menshevik, yang sebagian bergabung dengan Blok Kiri. Dalam praktik perbedaan antara kaum Kanan (monarkis dan Oktobris) dan kaum Kadet sangatlah kecil. Kaum borjuis “liberal” membela kepentingan kaum tuan tanah, sementara menceramahi mereka cara terbaik untuk menundukkan massa. Pada kenyataannya banyak kaum Kadet yang juga adalah tuan tanah besar. Masalah utama di semua pertemuan Duma adalah masalah agraria. Fraksi parlementer Sosial Demokratik memberi kepemimpinan bagi deputi-deputi kiri lainnya. Tetapi fraksi ini masih didominasi kaum Menshevik, yang memiliki 33 deputi plus sejumlah simpatisan.[15] Kaum Bolshevik memiliki 15 deputi dan 3 simpatisan.
Perbedaan antara faksi Menshevik dan Bolshevik segera mencuat. Konsisten dengan kebijakan kolaborasi mereka dengan Kadet, kaum Menshevik mengajukan seorang deputi Kadet sebagai Ketua Duma, sementara kaum Bolshevik mengajukan seorang deputi dari Trudovik atau seorang deputi tani non-partai. Para deputi Sosial Demokratik di Duma memperjuangkan tuntutan-tuntutan kaum tani secara konsisten. Tetapi kehidupan itu sendiri mengungkapkan bagaimana program agraria PBSDR sangatlah tidak memadai. Kongres Partai Keempat membatasi tuntutannya pada munisipalisasi tanah. Tetapi situasi sudah berkembang melampaui kebijakan yang setengah-setengah seperti itu. Kaum tani menuntut nasionalisasi, dan mereka tidak membatasi diri mereka pada pidato. Ada 131 “insiden” [bentrokan di daerah pedesaan] pada bulan Maret, 193 pada bulan April, 211 pada bulan Mei, dan 216 pada bulan Juni. Perdebatan-perdebatan di Istana Tauride disertai dengan nyala api pemberontakan di desa-desa.
___________
Catatan Kaki:
[1] S.F. Medvedeva, Kamo, The life of a great revolutionist, hal. 18.
[2] Krupskaya, Reminiscences of Lenin, hal. 212-3.
[3] Taktik-taktik seperti ini telah mengakibatkan kekalahan demi kekalahan ketika mereka diterapkan dalam praktik, terutama pada tahun 1970an di Amerika Latin. Ini sungguh adalah bukti nyata sejauh mana gerakan telah terlempar ke belakang semenjak Perang Dunia Kedua, dimana gagasan-gagasan dari pra-sejarah gerakan, yang dulu kala sudah dibuang ke tong sampah sejarah, muncul kembali dan memperagakan dirinya sebagai sesuatu yang baru dan orisinal.
[4] LCW, Guerrilla Warfare, vol. 11, hal. 216, hal. 222 (footnote), hal. 219 dan hal. 216-7.
[5] Trotsky, Stalin, hal. 110.
[6] Dikutip di Trotsky, Stalin, hal. 98-9.
[7] Dikutip di B.H. Sumner, A Survey of Russian History, hal. 115 dan 116.
[8] Kerensky, Memoirs, hal. 97 dan 98.
[9] LCW, ‘Left-wing’ Communism—An Infantile Disorder, vol. 31, hal. 27-8.
[10] See McKean, op. cit., hal. 62.
[11] Trotsky, Writings, 1935-36, hal. 153.
[12] Lenin, Collected Works in Russian, vol. 14, hal. 125.
[13] Dikutip di Piatnitsky, op. cit., hal. 146-7.
[14] Jumlah perwakilan dari partai-partai di Duma telah dihitung dengan cara yang berbeda oleh penulis yang berbeda. Kadang-kadang perbedaannya hanya satu atau dua, tetapi kadang-kadang perbedaannya cukup besar. Misalnya, Istoriya melaporkan jumlah deputi Trudovik 104, Kochan 98, dan Pares 201! Ini mungkin karena garis pemisah antara “kanan” dan “kiri” yang tidak stabil. Misalnya Pares mungkin mencampur aduk jumlah seluruh perwakilan tani dengan perwakilan yang diorganisir oleh kelompok Trudovik. Angka yang digunakan di buku ini adalah dari Istoriya.
[15] Di sini ada perbedaan jumlah lainnya. Istoriya melaporkan 3 simpatisan untuk kaum Menshevik, sementara Kochan melaporkan 11.