Kita tengah hidup di dunia dengan perubahan cepat dan mendadak. Lihat saja apa yang terjadi di Bangladesh baru beberapa minggu yang lalu. Kini, gerbang gedung DPR jebol, tak mampu membendung amarah kaum muda dan rakyat pekerja. “Revolusi, revolusi, revolusi!” teriak sejumlah demonstran muda di Jakarta, Bandung, Semarang, dan banyak kota lainnya. Kita memang belum memasuki revolusi, tetapi semangat revolusioner sudah mulai terpatri dalam jiwa dan benak semakin banyak kaum muda yang geram menyaksikan kebusukan demokrasi.
Situasi tampaknya adem-ayem saja selepas pemilu yang penuh kontroversi kemarin. Kelas penguasa yakin seyakin-yakinnya bahwa peralihan pemerintah pada bulan Oktober nanti akan berjalan mulus. Bagaimana tidak? Baru tiga hari yang lalu PKS menyatakan bergabung dengan KIM Plus, dengan demikian koalisi Prabowo-(Jokowi) telah mengamankan mayoritas super, dengan lebih dari 75 persen kursi. Ironisnya, hanya PDI-P yang berada di luar koalisi ini, yaitu partai yang sebelumnya bertanggung jawab meletakkan Jokowi di tampuk kekuasaan dan mengonsolidasikan posisinya. Dalam survei terakhir Jokowi masih merupakan presiden paling populer, kendati kontroversi cawe-cawe dan dinasti politik, dengan tingkat kepuasan 75% menurut Litbang Kompas pada Juni kemarin. Namun ada baiknya penguasa sadar bahwa di tengah krisis kapitalisme yang mendalam jajak pendapat dan hasil pemilu adalah cerminan buruk dari realitas yang ada dan kesadaran rakyat.
Ada akumulasi kekecewaan dan kegeraman di antara rakyat yang terpendam, yang jelas tidak tertangkap oleh indikator-indikator kuantitatif seperti polling dan kotak suara. Sinisme publik selama pemilu; gelombang PHK di industri garmen dan lainnya yang telah berdampak pada puluhan ribu buruh; krisis biaya hidup dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok; KKN tak-tahu-malu yang semakin tak terkendali; semua ini tumpah ruah di jalanan ketika dengan seenaknya DPR menganulir keputusan MK. Demonstrasi ini dalam esensinya bukan hanya mengenai masalah RUU Pilkada, walau di permukaan tampaknya demikian. Kontroversi RUU Pilkada jadi satu percikan yang memusatkan semua kegeraman rakyat.
Seperti kata Hegel, keniscayaan mengekspresikan dirinya lewat aksiden, dan di dalam masyarakat yang penuh dengan kontradiksi ini kita tidak kekurangan aksiden. Ingat, bulan lalu rejim Hasina pun awalnya hanya digoyang isu kuota pekerjaan publik, isu yang tampaknya hanya berdampak pada mahasiswa yang baru lulus. Tetapi isu kuota ini jadi ekspresi dari semua yang salah dengan rejim Hasina dan kapitalisme, dan segera berubah menjadi revolusi yang mencakup seluruh lapisan rakyat pekerja tertindas. Tidak mustahil isu ambang batas dan usia pencalonan gubernur dapat memantik sesuatu yang lebih besar.
Seperti di Bangladesh, mahasiswa dan kaum muda berdiri di garis depan. Kaum muda selalu merupakan barometer mood masyarakat yang sensitif. Putra-putri kelas buruh ini mengekspresikan tidak hanya keresahan generasi mereka akan masa depan yang kian kelam tetapi juga keluh-kesah bapak ibu mereka yang terimpit oleh kapitalisme. Mereka tidak takut pada apapun dan tidak punya rasa hormat pada tatanan yang ada.
Ketika demonstrasi tidak ada tanda-tanda akan reda bahkan setelah represi keras polisi, dan justru semakin militan dan menarik simpati rakyat luas, kelas penguasa berupaya meredamnya dengan memberi konsesi. Para politisi PDI-P, sebagai oposisi resmi, dikerahkan. Masinton Pasaribu menemui para mahasiswa di depan gerbang DPR yang sudah roboh itu, untuk meyakinkan mereka kalau fraksi PDI-P akan berjuang bersama mereka menolak revisi UU Pilkada. Tidak disangka, mereka justru dicecar oleh mahasiswa. “Apa jaminannya? Apa jaminannya?” begitu respons membangkang para demonstran yang terus menyahuti Simonton dan para anggota parlemen PDI-P.
Benar, tidak ada jaminannya. Tidak ada satupun kata dari mereka yang bisa dijadikan jaminan. Tukang gadai pun tidak akan ada yang sudi menerima kata manis mereka sebagai jaminan. Satu-satunya jaminan adalah kekuatan kaum muda dan buruh di jalanan. Hanya bahasa aksi massa yang dipahami oleh kelas penguasa.
Para perwakilan mahasiswa ini juga menegaskan kemandirian mereka dari parpol-parpol borjuis yang ada, dan bahkan rasa jijik mereka. “Kami akan tetap memperjuangkan ini tanpa embel-embel partai politik,” tegas mereka ke Masinton. Ini adalah sikap yang tepat. Sejatinya pro-kontra MK dan DPR ini adalah bagian dari pertarungan antar-elite dalam pilkada nanti. Keputusan MK jelas menguntungkan PDI-P untuk bisa bertarung di pilkada Jakarta, dan tidak mustahil ada tekanan dari partai besar ini ke MK.
Prospek calon tunggal pada pilkada Jakarta telah menuai banyak kritik dan merusak legitimasi demokrasi yang memang sudah sangat tipis di mata rakyat. Ini mendorong MK untuk turun tangan mengubah ambang batas. Padahal pada pilkada 2017 kemarin, ambang batas 20 persen berlaku dan tidak ada satupun parpol yang mengeluh karena memang semua sudah kebagian ikut pilkada. MK pun bergeming saat itu. Bila memang sejatinya MK peduli pada demokrasi, maka ambang batas seharusnya dihapus sepenuhnya jauh-jauh hari sehingga setiap orang bisa berlaga dalam pemilu. Tetapi perubahan ambang batas ini – dari 20% ke 10% – hanya cukup agar PDI-P (yang punya 14 persen suara di DPRD Jakarta) bisa berlaga dan memastikan ada calon kedua dari parpol yang juga berdiri untuk kepentingan kelas kapitalis.
Entah dengan UU Pilkada versi DPR atau MK, entah dengan satu, dua, sampai 10 calon pun, rakyat sebenarnya tidak punya pilihan sama sekali karena semua calonnya adalah perwakilan kapitalis. Politik uang yang berkuasa. Tetapi untuk memberikan ilusi adanya demokrasi, penting untuk setidaknya memberikan pilihan pada rakyat. Inilah yang mendasari keputusan MK kali ini.
Masalah batas usia juga menjadi sorotan MK karena lembaga ini khawatir akan persepsi negatif yang semakin luas di antara rakyat terhadap pembangunan dinasti politik Jokowi. Setelah skandal Gibran pada pilpres baru-baru saja, akan menjadi kelewatan bila UU Pilkada dikangkangi lagi oleh koalisi Jokowi untuk memajukan anak bungsunya sebagai cagub Jateng. Koalisi Jokowi yang merasa pijakannya sangat mantap itu jelas hanya peduli pada kepentingan sempit dan jangka-pendek mereka, bahkan bila ini mengancam keberlangsungan seluruh sistem yang ada. Di sini kita saksikan perpecahan dalam aparatus negara borjuis.
PDI-P kali ini menampilkan dirinya sebagai oposisi, sebagai pembela demokrasi. Tetapi kemunafikan ini segera tercium oleh para mahasiswa. “Lahirnya Jokowi kali ini juga karena PDI-P,” teriak salah satu perwakilan mahasiswa kepada Masinton, yang langsung disambut dengan sorak-sorai. Demikianlah demokrasi borjuis, yang sebelumnya lawan jadi kawan, yang kawan jadi lawan, dan seterusnya bergantian. Sejak reformasi 1998, lusinan partai telah muncul tetapi mereka semua mewakili politik borjuis yang sama. Politik dagang sapi antar parpol-parpol ini telah membuat muak rakyat, yang tidak melihat perubahan fundamental dalam kehidupannya setelah Reformasi 1998 yang menjanjikan banyak hal itu. Fakta inilah yang mendasari popularitas Jokowi 10 tahun yang lalu ketika dia muncul di gelanggang politik sebagai sosok yang dilihat rakyat berdiri di luar semua parpol yang busuk. Parpol-parpol ini tidak punya pilihan, terutama PDI-P saat itu, selain memberikan lebih banyak kekuasaan kepada Jokowi, karena seluruh legitimasi sistem ini bertumpu pada ilusi rakyat kepadanya sebagai Ratu Adil yang akan membawa perubahan. Si Tukang Kayu menjelma menjadi Raja Jawa, menjadi Bonaparte Kecil yang mengkonsentrasikan kekuatan di tangannya dan menyeimbangkan berbagai kepentingan. Dia menjadi patron besar, yang membagi-bagi jabatan dan privilese kepada kliennya. Dalam hal ini dia belajar dengan sangat baik dari patronnya yang sebelumnya, Megawati. Bahkan Prabowo dan Gerindra pun yang lama menjadi musuh bebuyutannya akhirnya sungkem pada Raja Jawa ini.
Kaum liberal yang kini begitu gencar mengkritik Jokowi adalah orang-orang sama yang sebelumnya begitu terpana olehnya. Kita tidak lupa bagaimana kaum liberal ini menebarkan begitu banyak puja puji untuknya, yang berkontribusi memperkuat ilusi rakyat kepadanya dan sebagai konsekuensinya posisinya untuk memusatkan kekuasaan. Kini kaum liberal yang sama berharap Anies bisa menjadi calon gubernur lain dalam pilkada, atas nama demokrasi. Padahal pada pilkada sebelumnya Anies mereka kecam keras karena memobilisasi kekuatan Islam reaksioner dan memainkan politik identitas untuk memenangkan posisi gubernur. Anies kini menjadi lesser evil.
Dalam gerakan ini, kaum liberal memajukan slogan “selamatkan demokrasi”. Namun, demokrasi untuk siapa? Untuk kelas mana dan kepentingan siapa? Ini yang luput dari mereka. Bagi mereka, demokrasi akan lebih baik bila PDI-P bisa berlaga dan bisa menjadi oposisi, yaitu partai yang berulang kali terjerat dalam kasus korupsi, yang bertanggung jawab menciptakan Raja Jawa yang mereka benci itu, yang meloloskan Omnibus Law dan berbagai kebijakan pro-modal lainnya, yang telah mengkhianati Reformasi 1998. Inilah demokrasi bagi kaum liberal, yaitu demokrasi borjuis.
“Kawal keputusan MK,” ajak kaum liberal kita, “karena keputusan MK bersifat final dan mengikat.” Tetapi tentunya ketika MK memutuskan Gibran bisa ikut pilpres tiba-tiba keputusan MK tidak lagi dikawal oleh kaum liberal kita, tidak lagi disebut final dan mengikat. Kemunafikan kaum liberal ini tidak kalahnya dengan kemunafikan DPR yang kini mereka kecam. Pada kenyataannya, MK bukanlah lembaga demokratik, melainkan berisikan hakim-hakim yang ditunjuk oleh kelas penguasa untuk mewakili kepentingan kaum kaya. Kita patut bertanya, di mana MK ketika banyak sekali UU anti-rakyat yang berpihak pada pemodal? MK, MA, DPR, presiden, polisi, tentara, mereka semua adalah lembaga kelas penguasa yang sama busuknya.
Rakyat pekerja tidak boleh menaruh kepercayaan pada lembaga-lembaga ini. Sama pentingnya, gerakan mahasiswa hari ini harus menarik garis pemisah yang jelas dari kaum liberal yang impoten itu.
Pada akhirnya, kesewenang-wenangan DPR yang seenaknya menginjak-injak demokrasi bukanlah penyimpangan. Kebijakan dan tindakan anti-demokratik kelas penguasa ini merupakan sesuatu yang inheren dalam sistem kapitalisme. Terutama kapitalisme yang sedang sakit-sakitan tidak bisa lagi menjamin demokrasi bagi rakyat. Untuk mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya bagi rakyat pekerja, kita harus menyingkirkan kapitalisme secara revolusioner. Tidak ada jalan lain, dan semakin banyak kaum muda yang mulai mencapai kesimpulan ini. Bukan karena kaum revolusioner menjelaskan kesimpulan ini kepada mereka, tetapi karena pengalaman nyata mereka sendiri melihat kebusukan demokrasi yang ada.
Setelah dihadapkan dengan aksi massa yang meledak-ledak, DPR terpaksa membatalkan revisi UU Pilkada. Ini bukti kekuatan nyata aksi massa. Rejim yang berkuasa mungkin berharap konsesi ini akan meredakan gerakan, namun massa yang telah mencicipi buah kemenangan ini jelas telah meraih kepercayaan diri dan bisa bergerak lebih lanjut lagi. Buyarlah harapan rejim Prabowo bahwa transisi kekuasaan mereka akan berjalan mulus dan koalisi gemuk mereka bisa melakukan apapun yang mereka inginkan. Hasil pemilu mereka hanyalah secarik kertas yang dapat dianulir oleh kekuatan aksi massa, karena inilah kekuatan demokrasi yang sesungguhnya.
Babak pertama ini telah dimenangkan rakyat, dan akan ada babak-babak selanjutnya karena krisis kapitalisme yang ada tidak menyisakan ruang untuk kestabilan. Apa yang telah diberikan oleh kelas penguasa sebagai konsesi akan dengan cepat direnggutnya kembali secepat mungkin ketika kesempatan menyajikan dirinya. Kemenangan kecil ini belum menjawab semua keresahan kaum muda dan rakyat pekerja, tetapi telah memberi mereka secercah harapan dan kepercayaan diri bahwasanya perubahan ada di tangan mereka sendiri dan mereka bisa menang.
Gulingkan Politik Dinasti!
Mereka semua korup! Tendang keluar mereka semua!
Tuntaskan Revolusi 1998!
Akhiri Kapitalisme!