Memasuki kuartal ke-4 tahun ini, gerakan buruh dihadapkan lagi dengan masalah yang kerap menjadi ajang mobilisasi, yakni masalah negosiasi upah minimum. Namun bagi siapapun yang bisa melihat dan ingin melihat, setelah dipatahkan oleh PP78 tahun lalu tidak terlalu besar selera di antara buruh untuk meluncurkan perlawanan sengit tahun ini. Konsekuensi dari kekalahan tahun lalu tidak hanya bersifat ekonomis tetapi juga moral.
Kekalahan di front industrial juga menggerus semangat buruh untuk berlaga di front politik. Setelah dideklarasikan pada 1 Mei kemarin di GBK oleh sejumlah serikat buruh, Rumah Rakyat Indonesia – yang dimaksudkan sebagai cikal bakal partai politik untuk rakyat pekerja – tampak kehilangan momentumnya. Bahkan sejak awal momentumnya sudah kecil karena para pemimpin reformis tidak pernah serius mewacanakan masalah pembangunan Partai Buruh. Bagi selapisan pemimpin buruh semangat dan aspirasi buruh untuk berpolitik digunakan secara sinis dan oportunis (pencalegan lewat partai politik borjuasi pada 2014; pendukungan terhadap capres Jokowi dan Prabowo) sehingga modal ini akhirnya disia-siakan begitu saja. Tidak heran kalau RRI tidak mendapat tanggapan antusias yang semestinya dari massa buruh luas, terlepas dari usaha jujur dan gigih dari selapisan kecil aktivis buruh untuk mendongkraknya.
Ketidakseriusan dari banyak pemimpin buruh dalam membangun RRI ataupun partai politik kelas buruh terungkap sekali lagi ketika KSPI dan Said Iqbal, yakni salah satu deklarator utama RRI, menyampaikan dukungannya terhadap Rizal Ramli, seorang borjuis demokrat, sebagai bakal calon gubernur DKI. Dalam konferensi pers Said Iqbal mengatakan bahwa dia berharap ada partai yang mau mengusung Rizal: “Upaya yang dilakukan kami akan melakukan pendekatan pada parpol supaya mau memerhatikan Rizal Ramli.” (Kompas, 2/8/16)
Mari kita periksa apa konsekuen dari pernyataan di atas. Semua parpol yang ada hari ini, setidaknya yang punya kapasitas untuk mengajukan kandidat untuk pilkada, adalah parpol kelas borjuasi. Mengatakan bahwa serikat buruh siap mendukung pencalonan Rizal Ramli lewat jalur parpol berarti membuka kesempatan bagi serikat buruh untuk mendukung parpol borjuasi. Buruh harus menutup semua pintu dan memotong semua ikatan dengan kelas borjuasi karena kepentingan kedua kelas ini bertentangan.
Katakanlah Rizal Ramli adalah seorang politisi progresif yang sungguh ingin membela wong cilik, atau sebaik-baiknya dia adalah seorang sosial demokrat, bila dia maju ke pilkada sebagai calon dari sebuah atau sekelompok parpol maka niscaya dia akan mewakili kepentingan kelas yang mendasari parpol tersebut. Sampai hari ini belum ada parpol yang berbasiskan kelas buruh, dan inilah mengapa masalah pembentukan partai buruh menjadi problem mendesak bagi gerakan buruh hari ini. Setiap usaha harus diarahkan ke sana, yakni mempersiapkan kapasitas politik dan organisasional buruh untuk melahirkan partainya sendiri. Namun apa yang diajukan oleh KSPI dan Said Iqbal bertentangan dengan usaha ini. Upaya “pendekatan pada parpol supaya mau memerhatikan Rizal Ramli” yang dilakukan oleh pimpinan KSPI tidak lain adalah politik kolaborasi kelas dan bukan politik kemandirian kelas. Semua pembicaraan mengenai membangun kedaulatan dan kemandirian politik buruh setiap kali digadaikan untuk pencapaian praktis pragmatis yang rabun jauh.
Mari kita berandai-andai di sini untuk menjawab masalah yang bahkan lebih penting. Bila Rizal Ramli maju sebagai calon independen, apa sikap yang harus diambil oleh buruh umumnya dan kaum revolusioner khususnya? Sayangnya saya harus mengecewakan mereka yang menginginkan jawaban absolut, yang mengharapkan jawaban ya ya, tidak tidak, dalam kondisi apapun. Jawaban untuk pertanyaan di atas akan tergantung pada banyak variabel yang hanya akan menjadi konkret seiring dengan bergulirnya peristiwa (beberapa di antaranya mood kaum buruh, perimbangan kelas, keadaan gerakan buruh, program politik yang diajukan, dsb. yang saling bertautan). Tetapi terlepas dari semua variabel atau faktor ini, umumnya kita bisa mengujinya dengan satu pertanyaan: apakah ini akan memajukan kesadaran kelas buruh atas tugas historisnya? Semua hal yang mendorong dan mengarahkan kesadaran kelas buruh ke sosialisme, yakni konkretnya ke tugas perebutan kekuasaan dan penumbangan sistem kapitalisme secara revolusioner, adalah baik adanya. Sebaliknya, semua hal yang menghambat dan bahkan memundurkan kesadaran buruh adalah buruk.
Namun ini tidak berarti kita tidak bisa punya opini mengenai politik dan ideologinya Rizal Ramli. Pendeknya RR adalah seorang borjuis demokrat, yang program kerjanya boleh dikatakan adalah campuran kenaifan kanak-kanak dan romantisme akan jaman keemasan kapitalisme. RR mengecam apa yang dia lihat sebagai neoliberalisme, tanpa pemahaman bahwa neoliberalisme hanyalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling logis hari ini. Dia mengeluh mengenai bankir-bankir yang terus disubsidi oleh negara tanpa memahami bahwa dalam era kapitalisme hari ini, yakni kapitalisme finansial, bank-banklah yang berkuasa dan tidak ada lagi sekat yang memisahkan antara kapital finans (bank, institusi finansial, dsb.) dan negara.
Kenaifannya semakin menjadi-jadi ketika dia mengatakan bahwa Indonesia bisa membangun tanpa menggunakan dana atau hutang luar negeri. Selama Indonesia masih beroperasi di bawah sistem kapitalisme dunia, maka ia akan dijerat oleh perekonomian dunia dan kapital luar negeri. Bahkan bila Indonesia dikatakan punya sumber daya alam yang luar biasa besar, tetapi ia tidak memiliki kapasitas industri dan teknologi untuk bisa mengeruk dan mengolahnya. AS, Jepang, Jerman, dan negeri-negeri kapitalis maju lainnya tidak akan “memberikan” bantuan teknologi cuma-cuma. Selain itu kapitalis Indonesia terlalu menghamba pada kapital luar negeri. Satu-satunya cara untuk membebaskan Indonesia dari hutang luar negeri yang membebani rakyat pekerja adalah transformasi sosialis: nasionalisasi perbankan dan semua tuas-tuas ekonomi penting milik kapitalis domestik dan asing, yang secara efektif berarti menganulir hutang luar negeri. Beranikah Rizal Ramli dan borjuis demokrat macamnya melakukan ini? Mereka biasanya akan ketakutan diboikot oleh komunitas internasional, secara ekonomi dan politik. Kalau Indonesia menjadi sosialis maka negeri-negeri lain tidak akan lagi mau investasi dan berdagang dengan kita, begitu pikir mereka biasanya. Tetapi bukankah dia mengatakan bahwa Indonesia bisa membangun tanpa hutang luar negeri (yang secara efektif di bawah sistem kapitalisme dunia hari ini berarti tanpa hubungan ekonomi dengan negeri lain)?
Kaum sosialis bukanlah nasionalis, tetapi internasionalis. Kita tidak menginginkan revolusi sosialis hanya dalam batasan Indonesia saja karena sosialisme dalam satu negeri hanya akan mengarah pada degenerasi birokratik. Kita memiliki pengalaman Uni Soviet, Tiongkok, Kuba, Vietnam, Yugoslavia, untuk mencerahkan kita. Satu-satunya cara untuk mendobrak keterisolasian ekonomi dan politik adalah dengan menyebar revolusi sosialis ke seluruh dunia. Hanya dengan demikian maka kita bisa menyelesaikan masalah keterisolasian. Hanya dengan demikian Indonesia bisa membangun perekonomian maju, dengan bantuan dari negeri-negeri sosialis lainnya yang akan memberikan “hutang” bukan untuk mendominasi Indonesia dan mengeruk laba tetapi untuk membangun perekonomian sosialis dunia yang berdasarkan persaudaraan.
Untuk alasan ini program Rizal Ramli tidak hanya utopis tetapi ilusif. Programnya menabur debu ke mata buruh dan memberi buruh ilusi bahwa kapitalisme bisa memberikan kemakmuran kalau saja dipimpin oleh orang pintar seperti Rizal Ramli. Menurutnya seluruh sejarah penindasan dan kemiskinan di bawah kapitalisme tidak harus terjadi kalau saja sejak awal orang kompeten seperti Rizal Ramli memerintah. Semua ini hanya kesalahpahaman. Tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Kapitalisme hari ini dan penindasan yang menyertainya adalah produk sejarah,
Buruh membutuhkan kemandirian kelas mereka sendiri, yang dalam ekspresi politiknya berarti partai politik mereka sendiri. Partai ini harus dilengkapi dengan program yang menjawab kontradiksi dasar kapitalisme, yakni fakta bahwa seluruh kekayaan dunia diciptakan oleh buruh dan tani tetapi kapitalislah yang mengeruknya. Dalam kata lain produksi bersifat sosial, yakni dikerjakan secara kolektif oleh rakyat pekerja, tetapi hasilnya diapropriasi atau dinikmati secara pribadi oleh segelintir pemilik modal. Kontradiksi inilah yang mendasari eksploitasi buruh dan program untuk menuntaskan kontradiksi ini adalah ekspropriasi atau nasionalisasi tuas-tuas ekonomi yang dimiliki oleh kapitalis untuk dijalankan secara demokratik oleh buruh. Partai buruh hanya layak disebut partainya kelas buruh kalau ia berjuang ke arah tersebut.
Kalau memang kali ini buruh belum bisa memajukan kandidat pilkadanya sendiri, dan belum bisa punya partai politiknya sendiri, maka lebih baik tidak berlaga di arena pilkada daripada membonceng parpol-parpol borjuasi atau kandidat dari luar yang programnya bukan program kelas buruh. Kemandirian politik harus dibangun dengan kesabaran dan visi ke depan yang jelas. Setiap usaha mencari jalan pintas atas nama pragmatisme hanya akan terus mengaburkan visi ini dan menunda lahirnya partai buruh yang sejati.
Majunya kawan Obon Tabroni, sebagai kandidat pilkada Bekasi, sebagai calon independen dari buruh yang diorganisir oleh buruh sendiri tanpa membonceng (atau diboncengi) dan berkolaborasi dengan parpol kapitalis adalah satu contoh yang patut ditiru dan dikembangkan lebih lanjut. Lebih dari 140 ribu KTP berhasil dikumpulkan oleh buruh untuk memajukan Obon Tabroni, yang menunjukkan kapasitas buruh bila dimobilisasi. Apa yang berhasil dicapai buruh di Bekasi bisa dan harus ditiru juga di Jakarta dan tempat lainnya, dan ini adalah satu-satunya jalan untuk mulai membangun kemandirian politik kelas buruh.
Perjuangan buruh tidak berhenti hanya dengan memajukan calon independen, tetapi juga memperjuangkan program perjuangan kelas buruh yang mandiri. Kemenangan Obon Tabroni di Bekasi dengan program yang jelas-jelas berbasis kepentingan buruh akan menjadi inspirasi bagi seluruh buruh di Indonesia, dan dapat menjadi momentum yang diperlukan untuk lahirnya partai buruh.