Buruh migran, secara sederhana, diartikan sebagai buruh yang bekerja di luar negeri atau individu-individu atau kelompok-kelompok yang pindah dari negeri asalnya menuju negeri lain untuk bekerja. Tulisan ini sengaja membatasi diri pada analisis mengenai kondisi material kaum buruh Indonesia yang bermigrasi ke beberapa negara di Asia dengan menjatuhkan titik analisisnya pada perkembangan karakter organisasi-organisasi buruh migran di Hong Kong.
Buruh migran, dalam analisis kelas Marxis, masuk dalam kategori proletariat, namun memiliki posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan proletariat dalam negeri. Mengapa? Karena kaki buruh migran berpijak pada tiga arena yang brutal; secara langsung berada di tiga titik eksploitasi yang nyaris tanpa kontrol sosial: yakni secara langsung berada di dalam pasar kerja internasional, di dalam organisasi industri di negara lain, dan berada di bawah hukum negara lain.
Hal pertama, di dalam pasar kerja internasional, buruh migran berposisi seperti budak yang diperjual-belikan tanpa perlindungan yang berarti; kedua, di dalam organisasi industri di negara lain, posisi buruh migran berada di bawah buruh lokal dengan hak-hak dan fasilitas yang jauh lebih rendah dibanding buruh lokal; ketiga, di dalam hukum negara lain, buruh migran tidak memiliki hak-hak politik yang signifikan.
Kondisi pijak yang tergambar di atas telah memberikan mereka karakter yang pasif dan format organisasi yang temporer. Sifat pasif ini memang disituasikan oleh kapitalisme agar buruh migran dapat dieksploitasi lebih mudah tanpa perlawanan berarti. Kapitalisme bisa dengan mudah mempermainkan buruh migran: mendapatkannya dengan harga murah saat dibutuhkan dan segera membuangnya saat menjadi beban. Ketika suatu industri sedang menghadapi suatu kemunduran, misalnya, buruh migran akan mudah untuk diusir. Karena jika pengusiran ini diberlakukan untuk buruh domestik, maka dampak sosial-politiknya akan sangat berat dan bisa berujung pada ledakan-ledakan sosial.
Lalu bagaimana dengan Konvensi ILO? Konvensi ILO tentang buruh migran ternyata tidak bisa berbuat banyak. Konvensi ILO hanya berarti sebagai sebuah seruan moral belaka yang tidak memiliki kekuatan politik. Negara-negara tujuan buruh migran Indonesia, dengan berbagai dalih, tidak segera meratifikasi seruan lembaga buruh internasional tersebut. Sikap tidak kooperatif dari negara-negara tujuan penempatan BMI — dan keompongan ILO itu sendiri dalam mengimplementasikan konvensi mereka — sudah lumrah dan tidak mengagetkan karena perdagangan tenaga kerja dalam arena internasional sudah masuk dalam skema kerja kapitalisme.
Fakta di atas — dengan tidak adanya akses atas civil right, politik dan hukum di negara tujuan migrasi — melemahkan sikap kritis dan karakter revolusioner buruh migran. Wataknya kemudian menjadi pragmatis dan temporer. Pragmatis, selain karena tidak ada ruang-ruang politik yang terbuka lebar baginya untuk terlibat juga karena perspektif mereka tentang masa kerja: bahwa masa kerja di negara tujuan migrasi tesebut tidak akan lama.
Buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong bisa menjadi titik analisis mengenai seberapa jauh kekuatan kaum buruh Indonesia yang bermigrasi di beberapa negara di Asia, dibandingkan dengan buruh migran Indonesia yang berada di Arab Saudi atau Malaysia yang belum terbangun secara solid organisasi-organisasinya. Wawancara kami dengan salah satu pengurus sebuah organisasi buruh migran di Hong Kong, memperoleh informasi bahwa meskipun terjadi progres-progres pengorganisiran—dengan munculnya organisasi-organisasi buruh migran dan bertambahnya massa yang terlibat di dalamnya—namun kesadaran politik massa BMI masih sangat rendah dan keberorganisasian mereka masih bersifat temporer. Kesadaran politik yang rendah tersebut diindikasikan dengan rendahnya minat untuk mengikuti pertemuan-pertemuan di organisasinya masing-masing; juga, diindikasikan dengan perspektif perjuangannya yang pragmatis: bagaimana posisi kerjanya aman dan segera pulang dengan membawa banyak uang. Sementara temporeritas keberorganisasiannya dindikasikan dengan sering bergantinya anggota dari organisasi-organisasi BMI. Hal demikian karena massa kerja dan keberadaan mereka di negara tersebut dibatasi oleh kontrak kerja, serta kontinyuitas komunikasi mereka dengan BMI sering terputus ketika sudah berada di dalam negeri.
Mungkin sebuah pertanyaan penting akan muncul: apakah BMI di Hong Kong yang sebagian besar bekerja pada sektor rumah tangga (domestik) sangat mempengaruhi karakter politik mereka? Ya, keberadaan BMI di Hong Kong yang sebagian besar bekerja pada sektor domestik juga menjadi variabel yang membentuk karakter politik mereka, bahwa bekerja di sektor domestik membuat para buruh migran ini teratomisasi (terpencar-pencar) dan juga mereka tidak langsung bersinggungan dengan proses produksi kapitalisme.
Analisa Marxis melihat kelemahan-kelemahan buruh migran ini sebagai kondisi yang dikonstruksi oleh kapitalisme. Bekerja di sektor manapun buruh migran akan dibatasi atau diperkecil saluran-saluran politiknya. Buruh migran merupakan komoditas penting bagi kapitalisme. Mereka akan berfungsi sebagai bumper di dalam industri, dipergunakan untuk menekan biaya produksi karena bisa digaji rendah; untuk mengurangi resiko kerugian; untuk memecah kekuatan kelas buruh dengan membenturkan buruh migran dengan buruh domestik dan memunculkan sentimen rasis.
Tulisan ini tidak sedang menyuguhkan sebuah apresiasi yang underestimate atau tidak pula akan memberikan sebuah prognosis yang overestimate atas kekuatan buruh migran. Tetapi berdasar pada fakta riil, meskipun kondisi obyektif buruh migran membuatnya lebih lemah dibandingkan buruh di dalam negeri, mereka memiliki potensi politik yang strategis. Tulisan ini secara rasional dan realistis akan mengungkapkan dua hal penting yang saling berlawanan: pertama, karakter perjuangan buruh migran masih pragmatis dan temporer serta berposisi sekunder dalam agenda-agenda perjuangan buruh di dalam negeri; (tetapi) kedua, buruh migran memiliki peran yang strategis untuk mewujudkan internasionalisme buruh.
Aksi-aksi BMI di Hong Kong yang sering berkolaborasi dengan organisasi-organisasi buruh Hong Kong mengafirmasi peran politik buruh migran yang strategis ini. Namun aksi-aksi ini akan menjadi sia-sia dan jatuh pada agenda-agenda normatif-ekonomistik jika tidak berperspektif kelas. Juga, kolaborasi ini akan bersifat sementara dan rapuh karena hanya bermakna sebagai solidaritas kemanusiaan belaka. Perspektif kelas ini lah yang akan menjadi kata kunci untuk mengakselerasi lompatan-lompatan politik BMI menuju peran-peran strategisnya karena internasionalisme buruh tidak akan terbentuk jika perspektif kelas tidak segera menjadi dasar pijak bagi perjuangan buruh migran.
Perspektif perjuangan kelas memaparkan bahwa masyarakat ini terdiri dari dua kelas yang saling bertentangan: kelas buruh dan kelas kapitalis. Kedua kelas ini terus berbenturan, kadang tertutup kadang terbuka, dalam usahanya untuk merebut nilai lebih produksi. Penindasan kaum buruh terletak di dalam kenyataan bahwa nilai lebih produksi yang dikerjakannya diambil oleh sang majikan pemilik alat produksi. Inilah “politik upah murah” yang sering kita dengar. Semakin rendah upah, semakin besar nilai lebih yang direbut oleh kaum kapitalis dari sang buruh; dan juga sebaliknya. Secara fundamental, penindasan buruh migran berakar dari fakta ini. Kemenangan akhir dari buruh secara keseluruhan – termasuk buruh migran – hanya dapat diperoleh bila alat-alat produksi kaum kapitalis telah direbut dari tangannya.
Mungkin bagi buruh migran yang bekerja sebagai pekerja domestik, perspektif perebutan alat-alat produksi kaum kapitalis tampak absurd. Sang majikan tidak punya alat-alat produksi, karena pekerja domestik rumah tangga hanya bekerja sebagai pelayan dan bukan bekerja di pabrik-pabrik. Di sinilah perspektif kelas memainkan peran kunci yang tidak mengkotak-kotakkan perjuangan buruh dalam sektor-sektor. Buruh sebagai sebuah kelas secara keseluruhan menasionalisasi industri-industri penting (migas, tambang, perkebunan, transportasi, sandang-pangan-papan, perbankan, dll.), dan dengan sistem ekonomi terencana membawa kesejahteraan bagi seluruh lapisan buruh dan rakyat pekerja (tani, nelayan, dan kaum miskin kota).
Oleh karenanya perspektif politik kelas, yakni perjuangan revolusioner kelas proletar, pada analisa terakhir, adalah satu-satunya agenda ideologis yang mampu menghancurkan pragmatisme vulgar perjuangan buruh migran dan mengubahnya menjadi perjuangan yang politis.
Sosialisme, sebagaimana yang ditulis oleh Trotsky, tidak bisa dibangun hanya di satu negara, tetapi harus melewati batasan-batasan negara. Globalisasi kapitalisme, yang termanifestasikan dalam perdagangan tenaga kerja buruh migran dalam skala global, telah menegaskan kembali perlunya membangun sosialisme sedunia. Buruh migran lewat perjuangannya yang lintas-negara dapat memainkan peran membangun internasionalisme buruh dan membuat konkrit slogan “Kaum buruh sedunia, bersatulah!”. Sebuah organisasi politik yang bersifat sosialis dan internasionalis menjadi kebutuhan. Dalam hal ini, kami, sebagai bagian dari gerakan sosialis internasional, terus mendorong program pembentukan Federasi Sosialis Asia yang kita yakini dapat menjadi batu pijakan kuat untuk menyatukan kaum buruh Asia – migran dan non-migran.
Akan tetapi, deskripsi mengenai karakter buruh migran di atas bukanlah sesuatu yang statis. Kondisi obyektif bukan sesuatu yang abadi dan terpisah dari kondisi subyektif, yakni kepemimpinan para buruh migran. Kepemimpinan dapat memainkan peran penting dalam mengubah situasi obyektif. Situasi menggenaskan yang dihadapi oleh buruh migran – gaji rendah, tidak ada perlindungan, tidak ada pengakuan hukum atas statusnya, tidak ada hak berserikat – justru membuat tuntutan sehari-hari ini memiliki potensi revolusioner. Yang dibutuhkan adalah sebuah kepemimpinan revolusioner yang memahami perspektif kelas dan mampu memasoknya secara sadar ke dalam perjuangan buruh. Teori, gagasan, dan program revolusioner – yang sudah terpapar dalam karya-karya Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky — harus jadi pijakan bagi kaum garda depan buruh migran dalam tindakan-tindakannya.