Jembatan dari Upah ke Politik
Tuntutan ekonomi atau tuntutan politik? Begitu kiranya pertanyaan yang diajukan.
Tuntutan ekonomi atau tuntutan politik? Begitu kiranya pertanyaan yang diajukan.
Tahun baru selalu mengedepankan satu pertanyaan yang sama pada semua buruh: berapa upah minimum tahun ini? Nasib jutaan buruh terikat oleh pertanyaan ini. Setiap tahun pula serikat-serikat buruh dan organisasi-organisasi kiri disibukkan dengan perjuangan meningkatkan UMR. Di penghujung tahun 2011 kemarin kita saksikan puluhan ribu buruh turun ke jalan dan mogok untuk menuntut kenaikan upah.
Kalau agama adalah keluh kesah dari makhluk tertindas dan jantung-hati dari dunia yang kejam, maka fundamentalisme agama – dan terorismenya – adalah raungan membabi buta dari makhluk tertindas yang sudah menemui jalan buntu.
Kaum Marxis memperjuangkan sebagai program politiknya “Kebebasan beragama, dan kebebasan dari agama” dan “Pemisahan antara Negara dan agama.” Rakyat harus punya kebebasan sepenuh-penuhnya untuk memeluk agama atau kepercayaan apapun, atau tidak memeluk agama sama sekali. Negara – sebagai badan rakyat yang sepenuhnya – tidak boleh dicampuraduk dengan agama.
Perlawanan buruh Freeport terhadap korporasinya, dan rakyat Papua (dengan front politiknya, Papua Merdeka) terhadap pemerintah Indonesia telah mengambil bentuk perjuangan kelas. Isu perlawanan buruh Freeport tidak boleh berhenti pada isu ekonomik normatif semata, tetapi harus berlanjut menuju isu-isu politik: hak kemerdekaan dan pengambilalihan pabrik oleh buruh sebagai wujud nyata merebut kembali kekayaan tanah papua ke tangan rakyat pekerja Papua.
Kegagalan rejim SBY dalam menangani korupsi harus membuat kita mempertanyakan kemampuan sistem pemerintahan kapitalis ini untuk memberantas penyakit akut ini.
Sifat korupsi tidak lepas dari sifat ekonomi-politik borjuis-kapitalis. Konsep demokrasi borjuis adalah jalan lebar yang dibuat untuk memuluskan gerak roda ekonomi-politiknya yang eksploitatif dan koruptif. Di dalam negara monarki atau totaliter, korupsi memang menjadi tradisi. Tetapi di dalam negara “demokrasi’ borjuis, praktek korupsi memiliki warna lebih buruk lagi.
Front Pembela Islam (FPI), yang dibentuk oleh para perwira tinggi dan para eks perwira tinggi polisi yang sudah kadung bejat dalam jejaring struktural kapitalisme birokrat dan kapitalisme kroni, dengan diberi pakaian Islam konservatif di bawah kharisma feodal seorang habib, para preman dan pengangguran itu benar-benar menjadi alat pemerasan dan penghajar siapa saja yang dipandang tidak seiring sejalan dengan kepentingan setan-setan birokratik dan kroni. Tak ayal lagi, para preman berseragam dan para preman bersorban bahu-membahu menjelma menjadi seekor monster reaksioner berkepala tujuh yang durjana bukan alang-kepalang.
Menjelang May Day, gerakan buruh dihadapkan lagi untuk merefleksi dirinya sendiri. Sudah sampai mana pencapaian yang telah diraih sejak May Day tahun lalu?
Sifat buruk dan destruktif dari demokrasi ala Amerika sedang terkuak lebar hari ini. Intervensi Amerika dan sekutunya terhadap perjuangan rakyat Libia dengan dalih kemanusiaan bukanlah pembenaran yang cerdas. Karena hampir seluruh publik dunia – dari kuli bangunan hingga direktur bank; dari anak baru gede hingga orang kurang waras – tahu bahwa tujuan utama Amerika dan sekutunya atas Lybia adalah untuk kepentingan imperialis. Ungkapan-ungkapan filosofis dari mulut Obama, Sarkozy dan yang lainnya adalah omong kosong “demokrasi”.