Risalah singkat ini akan mengupas bagaimana kapitalisme berfungsi. Dengan menerapkan metode materialisme dialektis ke dalam ranah ekonomi, kita akan dapat melihat bagaimana buruh menjadi objek penindasan kapitalisme. Hanya dengan memahami mekanisme kapitalisme lewat kacamata Marxis maka buruh bisa menjawab kebohongan-kebohongan dan distorsi-distoris yang disebarkan oleh ahli-ahli ekonomi borjuis.
Nilai dan Komoditas
Ketika kita berbicara bahwa kapitalisme menindas buruh, kita harus melihatnya tidak hanya dari kacamata moral. Kita harus mencari dasar material dari penindasan ini. Karena kalau kita hanya terjebak pada moralitas, maka jawaban yang akan kita dapat juga hanya jawaban moral, seperti melakukan zakat atau memberi derma kepada orang miskin.
Semua perusahaan kapitalis memproduksi barang atau jasa, atau lebih tepatnya mereka memproduksi komoditas. Komoditas adalah barang atau jasa yang diproduksi untuk dijual. Sebelum ada kapitalisme, barang atau jasa diproduksi terutama untuk digunakan, bukan untuk dijual. Hari ini di bawah kapitalisme semua barang dan jasa adalah komoditas. Oleh karenanya kita harus memulai penelitian kita dari karakter komoditas itu sendiri.
Setiap komoditas memiliki nilai-guna (use-value) untuk orang-orang. Ini berarti mereka berguna untuk seseorang. Nilai-guna ini terbatas pada karakter fisik dari komoditas itu.
Komoditas juga punya nilai. Misalnya 1 jam tangan = Rp. 50.000. 1 meter kain = Rp. 5.000. 1 kilo jeruk = Rp. 25.000. Kalau kita tinggalkan uang untuk sementara, maka kita bisa juga mengatakan bahwa 1 jam tangan = 2 kilo jeruk = 10 meter kain. Mereka bisa saling dipertukarkan, dan uang hanyalah alat ukur. Satu-satunya hal yang sama di antara semua barang ini adalah mereka hasil kerja manusia. Jumlah kerja yang ada di dalam setiap komoditas bisa diukur dengan waktu: bulan, minggu, hari, jam, menit. Jadi misalnya 10 jam kerja adalah sama dengan 1 jam tangan, 2 kilo jeruk, dan 10 meter kain.
Jadi, nilai komoditas itu ditentukan jumlah kerja rata-rata yang digunakan untuk memproduksinya, atau berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Dilihat dari ini, maka tampaknya sebuah pekerja yang malas akan menghasilkan komoditas yang lebih mahal dibandingkan pekerja yang rajin. Tetapi tidak begitu! Misalnya kalau ada tukang tenun yang menggunakan teknologi usang, yang membutuhkan waktu 5 jam untuk membuat satu meter kain. Di sampingnya ada pabrik garmen yang memakai mesin-mesin moderen, sehingga 1 meter kain hanya butuh 5 menit kerja. Maka tukang tenun ini harus menjual kainnya dengan harga yang sama dengan pabrik garmen, karena kalau dia menjualnya lebih mahal tidak akan ada yang mau membelinya. Jadi, lebih tepatnya, nilai komoditas itu ditentukan oleh jumlah kerja yang diperlukan secara sosial. Jumlah kerja ini terus berubah seiring dengan perkembangan teknik produksi. Juga ketika kita berbicara mengenai waktu kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas, kita tidak hanya menghitung waktu kerja di satu pabrik saja, tetapi jumlah total dari semua cabang industri yang terlibat di dalamnya.
Dari penjelasan singkat di atas ini, kita dapat melihat bagaimana peningkatan tingkat produksi akan meningkatkan jumlah barang yang diproduksi. Ini juga dapat mengurangi nilai komoditas, karena kerja yang dibutuhkan untuk setiap komoditas menjadi semakin berkurang. Kalau 10 tahun yang lalu butuh waktu 1 jam untuk membuat sepatu, mungkin hari ini sepatu yang sama hanya membutuhkan waktu 15 menit karena teknik yang lebih maju.
Tentunya ada barang-barang yang punya nilai-guna tetapi tidak punya nilai, yakni barang-barang berguna yang tidak membutuhkan kerja dalam memproduksinya: udara, air sungai, hujan. Oleh karenanya kerja bukanlah satu-satunya sumber kekayaan (atau nilai-guna), tetapi juga alam. Juga ada barang-barang yang punya nilai tetapi tidak ada nilai-gunanya, seperti barang-barang seni antik dan langka. Namun barang-barang ini hanyalah sebagian kecil (teramat kecil) dari jumlah total komoditas yang diproduksi di dunia sehingga mereka tidaklah memainkan peran penting di dalam ekonomi kapitalisme.
Uang
Metode perdagangan dengan pertukaran barang atau barter menjadi semakin sulit dilakukan seiring dengan meningkatnya frekuensi perdagangan. Oleh karenanya digunakanlah sebuah komoditas umum yang bisa menjadi alat tukar. Selama periode berabad-abad, emas dijadikan alat tukar universal ini. Alih-alih mengatakan bahwa sebuah barang harganya setara dengan sekian-sekian meter kain, sekian-sekian kilo daging, dsbnya., harga barang diekspresikan dengan emas. Ekspresi uang dari nilai komoditas adalah harga.
Emas digunakan karena kualitasnya. Dia mengkonsentrasikan nilai yang besar, mudah dibagi-bagi menjadi koin, dan juga tahan lama. Seperti komoditas lainnya, nilai emas juga ditentukan oleh jumlah kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Misalnya, kalau dibutuhkan waktu 100 jam untuk menambang dan memproduksi 1 gram emas, maka 1 gram emas akan setara dengan komoditas lain yang membutuhkan waktu kerja yang sama. Menggunakan perhitungan di atas, maka 1 gram emas dapat memberikan kita 10 jam tangan, 20 kilo jeruk, dan 100 meter kain.
Harga Komoditas
Hukum nilai mengatur harga barang. Secara teori, nilai komoditas setara dengan harganya. Tetapi pada kenyataan harga komoditas biasanya berfluktuasi di atas dan di bawah nilai sesungguhnya. Fluktuasi ini ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Kalau ada surplus komoditas di pasar, maka harga barang itu akan lebih rendah daripada nilainya. Kalau ada kekurangan, maka harganya akan naik. Tetapi pada dasarnya kalau kita lihat harganya dalam kurun waktu yang panjang ia selalu berfluktuasi di sekitar sebuah nilai, dan nilai ini ditentukan oleh jumlah kerja yang dihabiskan untuk memproduksi komoditas itu. Misalnya, sebuah mobil pasti akan selalu mahal daripada sepeda.
Dari mana Laba Datang?
Kalau kita tanya seorang kapitalis dari mana dia mendapatkan labanya, dia kemungkinan besar akan mengatakan kalau labanya di dapat dari membeli murah dan lalu menjual mahal. Tetapi ini sangatlah keliru. Kalau semua orang melakukan ini, membeli murah dan menjual mahal, maka tidak akan ada laba yang datang. Laba kapitalis datang dari kerja yang dilakukan oleh buruh.
Kita sudah mengatakan di atas bahwa nilai dari sebuah komoditas ditentukan oleh jumlah kerja yang dibutuhkan, yakni sekian-sekian jam kerja. Seorang kapitalis yang ingin memproduksi komoditas harus memperkerjakan buruh untuk melakukan kerja ini. Sang kapitalis mencari ini di “pasar buruh”, yang juga sama seperti pasar komoditas. Bila ada banyak buruh, maka gaji buruh akan murah. Kalau persediaan buruh sedikit, maka gaji buruh akan mahal.
Yang sebenarnya dibeli oleh kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya (labour) tetapi daya-kerjanya (labour power). Daya-kerja adalah komoditas juga dan hukum-hukum komoditas yang sama juga berlaku. Nilai daya-kerja seorang buruh ditentukan oleh waktu-kerja yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Jadi nilai daya-kerja seorang buruh ditentukan oleh apa saja yang dibutuhkan untuk menjaga keberadaan, kesehatan, dan kekuatan sang buruh untuk bekerja. Contoh konkritnya adalah bagaimana pemerintah kapitalis menghitung UMK, yakni dengan menghitung biaya minimum untuk hidup cukup seorang buruh: cukup sandang, pangan, dan papan, dan juga cukup reproduksi agar kelas buruh bisa kawin dan punya anak dan menjamin generasi buruh selanjutnya bila ia mati. Nilai kemampuan-kerja ini disebut gaji.
Besaran gaji tiap-tiap daerah dan negara berbeda-beda, tergantung dari banyak faktor. Misalnya di Amerika. karena perjuangan buruh yang lebih lama dan juga karena tingkat produksi yang lebih tinggi (dan banyak faktor historis lainnya), maka gaji buruh di sana lebih tinggi. Ini karena pabrik-pabrik dan tempat-tempat kerja di Amerika sangat canggih sehingga membutuhkan buruh terdidik. Buruh Amerika harus diberi gaji yang cukup supaya mampu bersekolah tinggi. Berbeda dengan di India misalnya, yang mana tidak dibutuhkan buruh terdidik, sehingga gajinya rendah. Tetapi pada dasarnya gaji secara umum tetap merupakan nilai minimum untuk mempertahankan keberadaan sang buruh. Dengan globalisasi, justru sekarang gaji buruh Amerika semakin tertekan karena persaingan dengan buruh India. Bila kapitalis Amerika dapat memberikan gaji India kepada buruh Amerika, ia akan melakukan ini. Tetapi tidak semudah itu karena kapitalis Amerika akan menghadapi perlawanan buruh yang sengit.
Penindasan kaum buruh datang dari kenyataan bahwa dia menjual daya-kerjanya. Setelah menjualnya, kaum kapitalis dapat menggunakan daya-kerja si buruh sesuka hati. Daya-kerja adalah sebuah komoditas yang unik. Ia dapat menghasilkan nilai baru yang lebih daripada nilainya sendiri.
Mari kita ambil contoh seorang pekerja pabrik sepatu. Ia digaji Rp 50.000 untuk bekerja satu hari (8 jam). Setelah bekerja 4 jam, dia dapat menghasilkan sepasang sepatu yang memiliki nilai Rp 200.000. Nilai ini terdiri dari: bahan baku Rp 130.000, depresiasi mesin dan lain lain Rp 20.000, dan nilai baru Rp 50.000.
Dalam waktu 4 jam sebenarnya kaum kapitalis telah balik modal. Ia telah mendapatkan nilai baru yang cukup untuk membayar gaji sang buruh untuk satu hari. Tetapi ia telah membeli daya-kerja sang buruh selama satu hari penuh, selama 8 jam. Dalam 4 jam berikutnya sang buruh memproduksi satu pasang sepatu lagi, dan menciptakan nilai baru sebesar Rp 50.000. Inilah nilai-lebih (surplus value) yang didapati oleh sang kapitalis. Dari sinilah kaum kapitalis mendapatkan profit. Ini yang disebut Marx sebagai kerja buruh yang tak dibayar.
Rahasia dari nilai-surplus atau laba kapitalis adalah buruh terus bekerja walaupun dia sudah memproduksi nilai yang cukup untuk menjaga kebutuhan hidupnya (atau membayar gajinya). Teknik produksi hari ini sebenarnya sudah memungkinkan buruh untuk hanya bekerja selama kurang dari 8 jam untuk mencukupi kebutuhannya, tetapi justru buruh masih diharuskan bekerja lebih dari 8 jam (sampai bahkan 12 jam) sehari untuk mendapatkan gaji minimum. Inilah rahasia dari laba sang kapitalis. Untuk terus meningkatkan labanya, kaum kapitalis harus terus menurunkan pengeluaran gajinya dengan: memperpanjang hari kerja, meningkatkan produktivitas mesinnya, dan menahan atau menurunkan gaji buruh (atau memperparah kondisi kerja buruh).
Krisis over-produksi
Salah satu kontradiksi utama dari ekonomi kapitalisme adalah bahwa kelas pekerja sebagai konsumen tidak dapat membeli semua komoditas yang mereka produksi. Ini karena, seperti yang sudah dijelaskan di atas, buruh tidak menerima nilai penuh dari kerjanya. Kapitalis mencoba menyelesaikan kontradiksi ini dengan mengambil nilai-lebih ini dan menginvestasikannya ke dalam mesin-mesin, guna meningkatkan produktivitas lebih lanjut. Tetapi ini hanya menyiapkan krisis over-produksi yang lebih parah. Dengan mesin yang lebih produktif berarti semakin banyak komoditas yang tidak dapat dibeli oleh buruh. Kaum kapitalis juga mencoba menghambur-hamburkan nilai-lebih ini dengan membangun bangunan-bangunan megah. Inipun tidak cukup untuk menghabiskan nilai-lebih yang diproduksi buruh. Lalu tentu juga mereka juga mencoba mengekspor kapital dan komoditas lebih ini ke luar negeri, seperti yang dilakukan tiap-tiap negara. Namun bumi ini bulat, bukan satu lapang luas tak terbatas. Pasar dunia ada batasannya dan dengan segera habis pula jalan keluar ini. Metode lain yang digunakan oleh kapitalis adalah memberi kredit kepada rakyat pekerja agar bisa membeli produk-produk ini. Namun kredit hanya menunda krisis over-produksi. Kredit pun harus dibayar dengan bunga, dan justru memperparah krisis di hari depan.
Inilah mengapa kapitalisme selalu mengalami siklus boom-and-bust. Kapitalisme yang menjulang tinggi lalu menukik jatuh. Terlalu banyak komoditas yang tidak bisa dijual. Akibatnya pabrik-pabrik harus ditutup karena tidak mungkin lagi memproduksi lebih banyak komoditas. Justru semakin banyak buruh yang tidak punya penghasilan, dan semakin tidak bisa membeli komoditas yang berlebihan ini. Dan terus menerus dalam pusaran ke bawah yang tiada hentinya ini. Pada akhirnya, buruhlah yang harus menanggung beban dari krisis over-produksi ini. Kaum kapitalis dapat menutup pabrik selama setahun dan masih hidup mapan. Buruh yang tidak bekerja satu tahun akan berakhir di kolong jembatan, atau bahkan mati.
Sungguh sebuah sistem ekonomi yang sudah tidak masuk akal lagi ketika krisis terjadi akibat terlalu banyak komoditas yang diproduksi, ketika satu-satunya cara untuk keluar dari krisis ini adalah menutup pabrik, atau dalam kata lain menghancurkan alat-alat produksi. Sungguh ia adalah sebuah sistem yang boros dan barbar. Hanya dengan melenyapkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi maka masyarakat dapat keluar dari kegilaan kapitalisme. Dengan menyita pabrik-pabrik dan bank-bank dari tangan kapitalis, buruh dapat menjalankan ekonomi dengan terencana. Kekuatan besar ekonomi ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Adalah sebuah skandal ketika dapat terjadi krisis over-produksi di dunia yang penuh kemiskinan dan kesengsaraan. Kaum kapitalis dan sistemnya sudah terbukti gagal, bukan hanya sekali tetapi berulang kali. Satu-satunya hal yang kurang adalah kekuatan buruh yang dapat menyapunya dan menggantikannya.
Revolusi sosialis masihlah merupakan tugas terbesar umat manusia, terutama tugas terbesar dari satu-satunya kelas yang dapat memimpinnya: kelas buruh. Kalau tidak ditumbangkan dengan sadar dan secara revolusioner, kapitalisme akan membawa kita ke barbarisme. Jadi pilihan kita adalah: Barbarisme atau Sosialisme. Buruh yang terlengkapi dengan senjata pemahaman Marxisme akan dapat membawa umat manusia ke Sosialisme.
***
Bagian I: Materialisme Dialektis
Bagian II: Materialisme Historis