Debat capres terakhir kemarin (5/2) menyinggung masalah liberalisasi pendidikan sebagai akar dari tingginya biaya kuliah di Indonesia. Capres Ganjar Pranowo menekankan ini dalam debatnya. Dia mengatakan liberalisasi pendidikan harus dihentikan. Pasangan capres lain mengiyakan, tapi seperti tanpa memahaminya. Tapi apa itu liberalisasi pendidikan? Apakah debat kemarin telah menjawab problem mahalnya pendidikan hari ini?
Masalah mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi memang sedang mengemuka beberapa minggu ini. Banyak mahasiswa perguruan tinggi kesulitan membayar UKT. Di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ada 1.900 mahasiswa mengajukan banding UKT.
Bahkan di kampus ITB Bandung, rektorat memutuskan menggandeng pinjaman online sebagai solusi pembayaran UKT, yang pada dasarnya adalah rentenir. Masalah tingginya UKT di perguruan tinggi sudah menjadi masalah umum. Banyak mahasiswa menunggak dan belum menemukan solusinya. Ketua Yayasan Beasiswa Luar Biasa ITB menyebutkan total tunggakan telah mencapai Rp 4,3 miliar.
Masalah ini dieksploitasi oleh Ganjar Pranowo dalam debat capresnya. Dia mengatakan masalah utamanya adalah liberalisasi pendidikan. Tetapi setelah mengatakan menolak liberalisasi pendidikan, dia tidak melanjutkan lebih jauh. Dia hanya mengatakan bahwa pemerintah perlu mengintervensi dan memberikan klaster-klaster besaran UKT sesuai kemampuan ekonomi mahasiswa.
Liberalisasi pendidikan adalah upaya memberikan keleluasaan sektor swasta untuk mengelola pendidikan. Artinya pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar. Ganjar Pranowo tidak menyebut ini.
Saat ini liberalisasi sudah menjadi praktik umum. Semenjak tahun 2000 pemerintah telah mendorong otonomi perguruan tinggi dengan mengesahkan UU PTN-BHMN. Perguruan tinggi negeri diharuskan mencari sumber dana mandiri. Dengan dalih besarnya biaya operasional serta tuntutan jaminan mutu pendidikan, banyak perguruan tinggi menaikkan uang kuliah. Salah satunya dengan menerapkan jalur mandiri, yang dikenal luas sebagai “jalur orang kaya” karena UKT jalur mandiri yang tinggi dan hanya bisa diakses oleh yang mampu.
Sejak saat itu wajah pendidikan tinggi berubah. Seleksi penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri menjadi umum. Sebagai contoh, di 2016 ada perubahan kuota seleksi melalui jalur SNM PTN 40 persen, SBMPTN 30 persen, dan jalur mandiri 30 persen. Artinya, dengan liberalisasi seperti ini, persaingan seleksi penerimaan melalui jalur SNM PTN dan SBM PTN semakin ketat. Padahal jalur ini sebelumnya menjadi jalur alternatif bagi keluarga miskin. Perguruan tinggi negeri semakin sulit dijangkau oleh kaum miskin.
Masalah pendidikan terikat dengan perekonomian secara keseluruhan. Membuat pendidikan murah saja tidak cukup ketika hari ini banyak lulusan sarjana yang menganggur. Bahkan program Ganjar Pranowo satu keluarga miskin satu sarjana tidak menyentuh persoalan. Selama pendidikan masih diserahkan pada mekanisme pasar, pendidikan akan sulit diakses oleh semua orang. Pendidikan menjadi barang mewah dan hanya orang-orang kaya yang mendapatkannya. Memberikan klaster sesuai kemampuan ekonomi ini tidak ubahnya seperti bantuan sosial. Gagasan ini tidak lebih dari omong kosong.
Program menghentikan liberalisasi pendidikan yang konsisten hanya mungkin di bawah sosialisme. Di bawah sosialisme sekolah-sekolah dan perguruan tinggi akan dinasionalisasi. Sistem pasar akan dihapus dan digantikan dengan ekonomi terencana di bawah kontrol pekerja. Ada banyak uang yang bisa kita sediakan bila kita menyita kekayaan dari para kapitalis dan bankir. Dengan ini kita dapat menggratiskan pendidikan dari tingkat dasar ke perguruan tinggi.