Tekanan ekonomi dari pandemi jauh lebih berat daripada yang dirasakan sebelum-sebelumnya. Semua perhitungan ekonomi hancur berantakan. Para ekonom tidak melihat sinyal pemulihan dalam waktu dekat. Dengan menggunakan perhitungan konservatif, dari pengalaman kondisi ekonomi sebelumnya, mereka berkesimpulan bahwa keseimbangan ekonomi akan kembali sekitar dua sampai tiga tahun mendatang. Tapi perkiraan ini tidak pasti.
Keseimbangan ekonomi hari ini berbeda dari sebelum pandemi. Sebelumnya kita menyaksikan sebuah era stagnasi sekuler, sebuah era pertumbuhan melambat selama bertahun-tahun. Sekarang pandemi telah mengubah seluruh keseimbangan sistem kapitalisme dan membawa kekacauan di mana-mana. Tidak ada yang bisa meramalkan kapan tekanan krisis ini berakhir. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengatakan bahwa pandemi telah menyebabkan gangguan yang besar pada bekas luka ekonomi. Ini benar. Kapitalisme belum sembuh dari krisis sebelumnya. Dan sekarang luka ini semakin besar mengancam keberadaan kapitalisme itu sendiri.
Gelembung utang publik telah mencapai angka 332 persen dari seluruh PDB dunia dan ini mencapai angka-angka yang menakutkan di negeri-negeri maju sebagai hasil kebijakan uang murah dari periode sebelumnya. Rasio utang terhadap PDB di Eropa dan Amerika Serikat telah mencapai 383 persen. Di Prancis dan Italia mencapai 99 persen dan 135 persen dari PDB. Di Jepang mencapai 250 persen. Inilah luka menganga yang kita saksikan hari ini, yang cepat atau lambat terefleksikan dalam guncangan-guncangan ekonomi. Semua ini merupakan resep bagi krisis lebih dalam di hari depan.
Ancaman krisis ini telah membuat khawatir Kepala Ekonom OECD Laurence Boone, yang mengatakan: “Pada akhir 2021, hilangnya pendapatan melebihi dari resesi sebelumnya selama 100 tahun terakhir di luar masa perang, dengan konsekuensi yang mengerikan dan lama bagi manusia, perusahaan dan pemerintah.” Dana Moneter Internasional (IMF) mengiyakan fakta ini. “Bahkan resesi tersebut bisa jauh lebih buruk dari krisis keuangan global pada 2008,” tulis IMF dalam situs resminya. Proyeksi terakhir IMF menyebutkan pada akhir tahun ini pendapatan per kapita 170 negara turun dibanding tahun lalu dan rata-rata 90 persen penduduk dunia menjadi lebih miskin.
Negara-negara di seluruh Asia Tenggara juga mengalami pukulan yang berat. Dampak ini setara dengan Krisis Keuangan Asia 1997-98, bahkan kemungkinan jauh lebih besar. Di Singapura pertumbuhan minus berturut-turut ini telah membawa resesi terdalam sepanjang sejarah negara mereka. Di samping itu ada Thailand dan Filipina. Bila Asia Tenggara tidak lepas dari bayang-bayang resesi apalagi negara-negara tetangganya. Krisis ini akan menjadi katastropik.
Di Indonesia sendiri pemerintah masih bergelut dengan persoalan ini. Penularan virus yang makin tinggi di tengah perekonomian yang makin terpuruk memaksa mereka membuka ekonomi meskipun mereka mengetahui jelas siapa yang akan menanggung risikonya, yakni jutaan populasi miskin dan rentan. Pertumbuhan ekonomi tahunan Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 persen, ini jauh dari perkiraan yang diharapkan sebesar 4 persen. Kondisi kritis ini terus digambarkan dalam pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II/2020 yang akan mengalami kontraksi yang berkisar -3,5 persen hingga -5,1 persen, dengan titik tengah -3,8 persen.
Ekonomi di ambang kehancuran. Di mana-mana investasi anjlok dan pengangguran naik dengan tajam. Pabrik-pabrik banyak yang gulung tikar. Bank-bank terancam banyak yang gagal bayar. Bila tidak diatasi efek ini akan menyebabkan macetnya kredit perbankan hingga inflasi. Mengkhawatirkan hal tersebut Jokowi mengatakan, “terus terang saya ngeri”.
Di tengah ancaman krisis ini Jokowi melalui videonya geram dan mengancam menterinya dengan reshuffle bila tidak betul-betul bekerja menyelesaikan krisis. Jokowi merasakan bahwa ada ancaman krisis ekonomi, yang bila tidak mengambil pendekatan yang serius dari para menteri bisa mengancam keutuhan rezim. Ini dipahami baik oleh kelas penguasa di manapun.
Mereka berharap dengan membersihkan rezim dari menteri-menteri yang tidak becus, Jokowi berharap mampu membeli kembali popularitas mereka yang sudah mulai tergerus. Ini tidak mudah. Sementara pandemi masih membayangi seluruh dunia, upaya menyeimbangkan masalah ekonomi hanya akan merusak keseimbangan politik. Sekarang mereka bergegas ingin menyelesaikan masalah yang sebenarnya sudah terlalu terlambat untuk diselesaikan. Pandemi yang berkepanjangan di tengah ketidak-becusan pemerintah jelas menimbulkan masalah yang bisa merembet ke sektor ekonomi yang lebih serius. Bagaimana mereka menyelesaikan krisis adalah pertanyaan sentral kita sekarang.
Skema Ekonomi
Bank Dunia baru saja menyetujui pinjaman sebesar 300 juta dolar (Rp 4,95 triliun) kepada pemerintah Indonesia. Kebijakan ini diikuti dengan langkah pemerintah untuk melonggarkan kebijakan moneter dengan memangkas suku bunga acuan. Ini adalah program quantitative easing sama yang telah dilakukan selama 10 tahun terakhir untuk menyelamatkan ekonomi. Dekade sebelumnya kita menyaksikan stimulus ekonomi dari bank sentral tidak pernah membantu ekonomi pulih secara permanen. Kendati ada pertumbuhan di beberapa negara namun sangat rapuh. Kelas kapitalis berusaha menghidupkan ekonomi dengan terus-menerus memberi suntikan stimulus ekonomi. Mereka beranggapan bahwa problem krisis ini hanya bisa diselesaikan ketika ada dorongan konsumsi. Meskipun kita mendukung peningkatan konsumsi masyarakat, gagasan bahwa peningkatan konsumsi akan menyelesaikan krisis kapitalisme sama sekali keliru.
Dalam Kapital Jilid 3 Marx, menjelaskan bahwa “alasan utama krisis sebenarnya adalah kemiskinan”. Di atas itu semua, kekuatan produksi yang dilahirkan kapitalisme telah menabrak batas-batas pasar. Inilah sumber utama krisis dari sepanjang sejarah. Krisis ini dalam manifestasinya adalah krisis overproduksi. Taraf hidup jutaan orang penghuni planet ini telah jatuh. Periode penghematan sebelumnya telah memperparahnya. Kondisi ini bukan menunjukkan bahwa mayoritas populasi tidak ingin membeli atau tidak ingin mengkonsumsi, tapi mereka tidak mampu membeli. Kenyataannya pasar telah jenuh. Pasar tidak bereaksi lagi. Ini seperti mayat hidup. Kendati keinginan kelas kapitalis untuk lepas dari krisis dihiasi optimisme, tapi nada-nada pesimis dari para pakar ekonomi mereka terus mengalir melalui jurnal-jurnal ekonomi mereka. Upaya memompa uang ke perekonomian merupakan upaya terakhir dan putus asa. Alih-alih menyelesaikan krisis, ini adalah langkah menunda krisis yang lebih besar di hari depan. Bila mereka mengatakan telah belajar menangani krisis ini sebenarnya mereka tidak belajar sama sekali.
Siapa yang membayar?
“Membayar pandemi akan menimbulkan semua pertanyaan. Kembali ke penghematan adalah kegilaan,” begitu ujar Financial Times.
Stimulus ekonomi jelas akan meningkatkan utang publik. Skema pembayaran akan diperas dari pembayar pajak. Siapa pembayar pajak utang-utang ini? Jelas kaum kaya tidak mau membayar krisis ini. Mereka akan beralasan bahwa bisnis turun dan tidak ada uang untuk membayar pajak. Negara terancam defisit bila tidak ada pemasukan. Dengan alasan ancaman kejatuhan ekonomi, pemerintah akan melonggarkan semua aturan, untuk menarik sebanyak mungkin investor. Namun dalam situasi krisis, tidak ada kapitalis manapun yang ingin berinvestasi. Bagaimana mereka berinvestasi ketika pasar tidak mampu menyerap barang-barang mereka. Krisis ini akan jauh lebih besar skalanya di hari depan. Kesejahteraan pekerja akan diserang dari berbagai sisi. Tidak cukup bagi kelas kapitalis membuat kelas pekerja mengetatkan ikat pinggang saja, bila mungkin mereka akan mencekik leher pekerja sampai tidak ada yang bisa diperas lagi.
Bertahun-tahun yang lalu kelas pekerja telah membayar krisis ini dengan penghematan, dan sekarang mereka akan diminta kembali membayar krisis ini. Beban krisis ini akan dialihkan kepada rakyat pekerja dengan meningkatkan pajak, menarik subsidi, sampai mereformasi hukum anti-pekerja. “Ini kegilaan,” bahkan menurut Financial Times, media ekonomi kapitalis. Kelas pekerja jelas tidak akan menerima ini. Perjuangan kelas akan semakin sengit. Kelas pekerja akan bangkit kembali dan melawan. Panggung perjuangan kelas tengah dipersiapkan dalam skala dunia. Kapitalisme telah menabur angin, cepat atau lambat sistem ini akan menuai badai. Riak-riak pemberontakan sosial telah terjadi di mana-mana, dari Sudan sampai Chile; dari Hong Kong sampai Amerika. Ketika kehidupan semua orang berangsur-angsur dikesampingkan, saat itulah kapitalisme akan dipertanyakan.
Revolusi ada dalam agenda
Saat ini kita memasuki periode yang tidak ada paralelnya di dalam sejarah. Semua bahan bakar untuk revolusi dalam skala dunia tengah disiapkan oleh krisis kapitalisme. Krisis ini akan membawa ke permukaan semua kegeraman yang selama ini terakumulasi bertahun-tahun.
Bagi Marxis mendekati masalah ekonomi dan krisis kapitalis adalah tugas yang tidak mudah. Ini karena sistem ini penuh dengan kontradiksi. Tugas memahami mekanisme krisis dan revolusi tidak memiliki kesamaan dengan tugas matematis menetapkan tanggal terjadinya gerhana. Seluruh peristiwa terjadi di luar kehendak kita dan sepenuhnya independen dari tindakan kita. Marxisme mendekati masalah bukan dalam bentuk jadinya, tapi dalam proses yang terus berubah-ubah. Marxisme adalah ilmu perspektif.
Setiap kelas pekerja memahami bahwa untuk menciptakan barang yang persis sama tidak selalu memiliki “kesamaan”. Ada toleransi sepersekian mili dari barang satu dengan yang lain. Dalam hal ini menentukan tepat perubahan dari kuantitas ke kualitas adalah tugas yang sulit bagi semua cabang ilmu pengetahuan manapun. Sebab itu kita tidak pernah bisa meramalkan tanggal tepat terjadinya revolusi. Tetapi kita punya kendali atas apa yang kita lakukan hari ini untuk menyambut revolusi yang niscaya akan datang, yang gemuruhnya semakin dekat.
Ketika berbicara mengenai revolusi, itu artinya kita berusaha memanfaatkan konsekuensi dari krisis untuk membangun orientasi politik dan organisasi kita. Hegel pernah mengatakan “tidak ada yang hebat di dunia ini yang dicapai tanpa hasrat”. Sebagai aktor sadar sejarah, studi mengenai revolusi bukan untuk kepentingan akademik semata. Jauh dari itu, tugas melengkapi pemahaman ini adalah tugas organisasi untuk revolusioner mempersiapkan kader-kadernya guna pertempuran di hari depan. Tidak ada lagi ruang bagi rutinisme. Tugas ini harus dilakukan dengan hasrat paling tinggi, gigih dan energetik.
Kapitalisme terus menghancurkan keseimbangannya, mengembalikannya lagi untuk kemudian mengacaukannya kembali. Kesadaran massa akan diguncang sampai ke dasar-dasarnya. Semua tendensi politik akan diuji oleh peristiwa. Manifestasi-manifestasi politik yang mendahului revolusi akan hadir mengelilingi krisis ini. Nukleus revolusioner akan ditempa dan terbajakan oleh peristiwa. Kita akan menjadi saksi dan peserta dalam salah satu peristiwa terbesar dalam sejarah dunia. Kita harus siap dan mempersiapkan diri untuk revolusi yang akan datang. Bukan dengan pistol dan bubuk mesiu di tangan, tapi dengan Marxisme dan organisasi revolusioner!