Selasa sore acara diskusi umum “Krisis Yunani dan Jalan Keluarnya” dibuka dengan membuka stan literatur. Stan ini menyajikan buku-buku serta koran-koran revolusioner. Meskipun agenda utama belum dimulai, diskusi-diskusi dan pembicaraan-pembicaraan kecil sudah terjadi di lingkaran-lingkaran pengunjung. Tidak banyak memang yang hadir dalam diskusi ini. Bisa dihitung tidak lebih dari sepuluh orang. Peserta diskusi ini datang dari berbagi kota, mulai dari: Malang, Jombang, dan Gresik yang sangatlah antusias untuk menghadiri diskusi ini. Betapa tidak, para kamerad-kamerad ini menempuh jarak tidak kurang dari setengah jam untuk menuju lokasi diskusi ini. Ada pertanyaan-pertanyaan besar yang dibawa oleh peserta yang hadir dalam diskusi ini. Semua pertanyaan itu tertumpahkan dalam diskusi ini.
Energi rakyat Yunani yang berjuang untuk mengakhiri pengetatan anggaran telah memasuki diskusi ini. Meskipun dalam hal ini kita terbatas pada lingkaran-lingkaran kecil, peserta yang hadir dalam diskusi ini menyaksikan dengan kecemasan akan masa depan rakyat pekerja Yunani, bagaimana jalannya revolusi ini dan bagaimana pula rakyat pekerja Yunani memenangkan pertarungan ini. Akan sangat sulit bagi pejuang revolusioner yang berjuang untuk mengubah masyarakat tanpa mempelajari pengalaman perjuangan kelas di berbagai negeri termasuk Yunani. Dan diskusi ini adalah bentuk solidaritas dan juga menggali pelajaran dari perjuangan rakyat Yunani menentang pengetatan anggaran.
Diskusi dimulai dengan presentasi yang menerangkan bahwa peristiwa di Yunani merupakan peristiwa berharga yang bisa disandingkan dengan situasi revolusioner di Venezuela, Mesir, dan Tunisia. Meskipun antara situasi Yunani, Venezuela, Mesir dan Tunisia terdapat banyak perbedaan penting, namun proses revolusioner ini mengambil bentuk yang sama.
Situasi revolusioner bisa dicirikan dimana mayoritas rakyat telah mengambil nasib di tangan mereka sendiri. Tidak berhenti pada ini saja, situasi revolusioner biasanya membangkitkan lapisan yang sebelumnya pasif mulai melibatkan diri mereka ke dalam arena perpolitikan. Situasi di Yunani diwarnai mood yang serupa. Kemenangan referendum kemarin membuktikan bahwa rakyat masih ingin berjuang.
Reaksi Media Borjuis Terhadap Revolusi Yunani
Media-media dan pers borjuis diwarnai dengan cemoohan bahwa rakyat Yunani bodoh telah memilih opsi “TIDAK” pada referendum kemarin. Pernyataan ini tidak mengejutkan kita sama sekali. Telah berulang kali diungkapkan oleh para akademisi, pers, media dan literatur-literatur borjuis dari modern sampai masa lalu, menyebutkan bahwa revolusi adalah sebuah kegilaan orang-orang bodoh. Bahkan lembaran-lembaran koran borjuis Indonesia mulai dari Kompas dan Jawa Pos, tidak kalah menjijikkan, dengan menyajikan hal yang sama, dengan memberi gambaran kesengsaraan rakyat Yunani bila memilih opsi “TIDAK”. Ditambah pula tulisan Dahlan Iskan, Ibarat Moncong Pistol Sudah di Pelipis, Jawa Pos (9/7), yang mencoba menebar kebencian di antara rakyat pekerja Jerman dan Yunani dengan sentimen-sentimen nasional mereka.
“Enak-enak aja menikmati utang. Lalu tak mau bayar.”
“Mentang-mentang Jerman kaya. Mentang-mentang memberi utang. Padahal utang itulah yang menyebabkan rakyat Yunani sengsara. Tidak tuntas. Dincrit-incrit. Tidak secara tuntas menyelesaikan persoalan”
Begitulah kata-kata Dahlan Iskan dalam kolom korannya itu.
Kita mengetahui bahwa borjuis Jerman “yang kaya” itu tidak bisa memberikan utang bagi negara-negara di bawahnya tanpa menghisap kerja kaum buruh serta menjarah pasar-pasar di negeri-negeri Eropa yang ekonominya lebih kecil seperti: Yunani, Spanyol, Italia, dll. Kerja sama ekonomi yang berujung pada penyatuan mata uang bersama hanyalah usaha dari imperialisme Jerman untuk memeras negeri-negeri di bawahnya, yang pada akhirnya kebangkitan Jerman membawa pula kebangkrutan bagi negeri-negeri di bawahnya semenjak penyatuan mata uang ini. Seperti seorang yang menderita kutukan, negeri-negeri lemah seperti Yunani tiap tahun harus menanggung beban defisit perdagangan, yang membuat utang mereka semakin tak tertanggungkan. Ini membawa Yunani kepada krisis ekonomi, dan bahkan krisis ini mengancam kapitalisme Eropa secara keseluruhan. (Baca Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Krisis Uni Eropa)
Borjuis Yunani yang kalah bersaing dengan imperialisme Jerman terpaksa menutup usaha-usaha mereka. Kondisi ini mengakibatkan gelombang PHK besar-besaran. Tercatat bahwa pengangguran usia produktif saja mencapai 25%, belum lagi ditambah mereka-mereka yang terpaksa kehilangan pekerjaan mereka akibat krisis ini yang membuat situasi semakin eksplosif. Perkembangan ini membuat pemerintah Yunani harus menyelamatkan borjuis yang sedang hancur dengan jalan membuat utang-utang baru. Namun jalan membuat utang baru tidak akan menyelamatkan situasi. Jalan membuat utang baru sama saja menenggelamkan rakyat pekerja Yunani ke dalam kubangan utang, dan untuk membayarnya, rakyat pekerja Yunani harus mengalami era panjang pengetatan anggaran, yakni sebuah era standar hidup rendah yang panjang dengan penurunan upah serta tanpa kepastian kerja.
Di sisi lain, imperialisme Jerman yang terkenal sebagai ekonomi pasar sosial (Soziale Marktwirtschaft) pasca Perang Dunia Kedua, dimana kebijakan ini menjamin kehidupan para pekerjanya, pada dekade 90-an telah mereka kikis sepenuhnya. Selanjutnya reformasi tenaga kerja, privatisasi, dan deregulasi mulai diperkenalkan yang mengakibatkan tumbuhnya pekerjaan paruh waktu dan outsourcing yang menggerogoti semua posisi pekerja. Di samping ketidakpastian kerja, tidak jarang rakyat pekerja Jerman terutama yang bekerja di sektor swasta menikmati pembayaran yang tidak kalah buruknya dengan keamanan kerja mereka. Ini memberikan kenyataan lain bahwa yang kaya di Jerman bukanlah rakyat pekerja Jerman melainkan para borjuis Jerman dan para bankir.
Semenjak krisis yang menghantam perekonomian Yunani, rakyat pekerja di sana telah melakukan serangkaian perjuangan heroik melawan kebijakan penghematan brutal ini. Mereka tidak akan membiarkan begitu saja standar hidup mereka diserang. Rakyat pekerja Yunani mengetahui dengan baik, bahwa ketika mereka memilih “YA”, berarti “YA” terhadap penghematan, “YA” terhadap penurunan upah dan “YA” terhadap kenaikan pajak. Untuk memutuskan ini seseorang tidak harus lulus ujian doktoral seperti yang diharapkan kaum borjuis. Kaum borjuis bermimpi bahwa mereka masih di masa-masa indah, dimana mereka masih bisa mempertahankan kepatuhan rakyat pekerja akan sistem mereka. Sekarang situasi telah membangunkan mereka bahwa masa-masa indah itu telah berakhir. Kekacauan di mana-mana dan rakyat pekerja mulai mempertanyakan sistem yang mereka huni sekarang. Bila rakyat pekerja Yunani lepas dari cengkeraman borjuasi, ini akan menjadi preseden buruk bagi borjuasi Eropa dan dunia keseluruhan.
Jalannya peristiwa ini telah memberitahu kita bahwa akar dari krisis ini bukanlah utang Yunani, melainkan berakar dari krisis di tubuh kapitalisme itu sendiri. Selama kelas borjuasi masih ada, dengan kata lain, selama kepemilikan pribadi masih belum dihancurkan, maka krisis ini akan memaksa kelas buruh ke posisi yang tak berdaya, untuk menerima syarat-syarat hidup terendah yang ditentukan oleh borjuasi terhadap kelas buruh.
Kapitalisme sedang meluncur ke jurang dan bila tidak dirobohkan ia akan menyeret seluruh umat manusia ke jurang ini. Seperti Marx ungkapkan di dalam Manifesto Komunis, “… bahwa kaum borjuasi sudah tidak lagi layak untuk menjadi kelas penguasa di dalam masyarakat, dan sudah tidak lagi layak untuk memaksakan syarat-syarat eksistensinya terhadap masyarakat sebagai sebuah undang-undang yang berkuasa. Ia tidak lagi pantas berkuasa karena ia tidaklah kompeten dalam menjamin penghidupan bagi para budaknya di dalam perbudakannya, karena ia tidak bisa tidak menenggelamkan para budaknya ke dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga ia harus memberi makan budaknya, dan bukannya diberi makan oleh budaknya. Masyarakat sudah tidak bisa lagi hidup di bawah borjuasi ini, dengan perkataan lain, adanya borjuasi tidak dapat didamaikan lagi dengan masyarakat.”
Usaha yang dilakukan media dan pers borjuis untuk membangkitkan nasionalisme di antara rakyat pekerja Yunani dan Jerman adalah usaha untuk memecah-belah persatuan kelas buruh internasional. Mereka mencoba membalikkan pertentangan tak terdamaikan antara borjuasi dan proletariat dengan proletariat dengan proletariat itu sendiri. Ini adalah reaksi borjuis terhadap revolusi, ketakutan bahwa “kegilaan orang-orang bodoh ini” akan menelan mereka dan sistem yang mereka pertahankan itu.
Jalan Keluar Sosialis!
Yunani yang telah terpukul oleh krisis selama 5 tahun terakhir masih menciptakan situasi yang dramatis. Perjuangan rakyat Yunani menghadapi tekanan dari Troika untuk mengadopsi paket reformasi ekonomi telah membuat situasi sulit semakin berkepanjangan. Kepemimpinan reformis dan sayap kanan dari Syriza sebelumnya mungkin tidak membayangkan bahwa seruan referendum yang ditawarkan ke rakyat pekerja akan menuai banyak dukungan dari mayoritas rakyat. Mereka juga mungkin mengira bahwa manuver-manuver mereka untuk berkapitulasi dengan Troika akan membuat rakyat apatis, dan mendukung kebijakan-kebijakan reformis mereka. Namun kenyataan berkata lain, rakyat Yunani masih mempunyai keinginan untuk berjuang. Rakyat Yunani mungkin saja tidak tahu dengan jelas apa yang mereka inginkan, tapi mereka sangat mengetahui apa yang tidak mereka inginkan, yakni: penghematan anggaran.
Sayangnya, kepemimpinan reformis dari Syriza – Tsipras, Varoufakis, dan kolega-kolega mereka – tidak mempunyai keinginan untuk lepas dari kapitalisme. Pemerintahan Kiri yang telah berkuasa berkat slogan anti penghematan ini berusaha menggelincirkan perjuangan rakyat Yunani. Namun langkah mereka terbatasi karena rakyat pekerja Yunani masih berkeinginan mengubah keadaan. Meskipun kecenderungan sayap kanan di dalam partai menguat, tapi mood revolusioner rakyat di jalan-jalan merupakan kekuatan yang tidak bisa mereka taklukkan begitu saja tanpa menemui perlawanan.
Lantas apa yang harus dilakukan?
Sekarang kita harus memahami bahwa persoalan di Yunani bukan tetap atau masih bertahan di dalam mata uang Euro. Persoalan Yunani adalah permasalahan sistem kapitalisme yang sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Selama dalam batasan kapitalisme, jalan kembali ke Drachma sama saja mempertajam krisis ini. Kekeringan likuiditas akan mengancam negeri ini; nilai tukar dan harga obligasi akan merosot tajam; diikuti pengangguran, inflasi, utang luar negeri, dan harga barang impor akan melambung tinggi. Ancaman inilah yang tidak diinginkan oleh pemerintahan Syriza sehingga membuat mereka tetap ingin bertahan di dalam Euro.
Namun apakah bertahan dengan Euro akan menyelamatkan Yunani?
Bertahan di dalam Euro berarti sepakat terhadap paket reformasi ekonomi yang akhirnya harus sepakat terhadap pengetatan anggaran. Pengalaman pemerintahan Zambia pada dekade 80-an menunjukkan, meskipun mereka mengambil obat untuk mencegah gagal bayar yang diresepkan oleh IMF, tetap tidak mampu mencegah kemerosotan yang lebih dalam. Sampai 15 tahun kemudian, rasio utang mereka meningkat dua kali lipat dari PDB negara tersebut. Konsekuensi parah dari ini adalah resep paket reformasi ekonomi yang ditekankan oleh Troika kepada Yunani tidak bisa bekerja, yang hanya membuat gelombang utang akan semakin berlanjut, seperti halnya seorang pecandu narkoba yang sedang sakau. Di tengah basis perekonomian yang rapuh seperti ini, sulit membayangkan Yunani untuk melunasi utang-utang mereka. Menyepakati program yang diajukan Troika, berarti pemerintahan Kiri Yunani akan mempermalukan diri mereka sendiri di hadapan rakyat pekerja. Ini akan memberikan peluang besar bagi pihak kapitalis untuk mengkampanyekan bahwa di bawah pemerintahan Kiri pun rakyat Yunani tidak bisa keluar dari krisis selain mengambil kebijakan penghematan.
Untuk melepaskan horor yang diciptakan oleh kapitalisme ini, jalan satu-satunya adalah nasionalisasi cabang-cabang industri penting dan bank-bank di bawah kontrol demokratik rakyat pekerja, yang tanpa itu mustahil menutup segala luka yang diakibatkan oleh kapitalisme. Pengangguran yang terus naik ditambah dengan gelombang migrasi besar-besaran yang mencapai Eropa saat ini merupakan bubuk mesiu yang setiap saat bisa tersulut meledakkan perekonomian di wilayah ini.
Seperti setiap situasi revolusioner yang terjadi di sepanjang sejarah, rakyat yang telah bangkit dari situasi ini tidak bisa bertahan di dalam kondisi pergolakan terus-menerus. Bila kelas pekerja tidak merebut kekuasaan, maka reaksi akan datang. Bila ini terjadi maka situasi revolusioner yang menguntungkan bisa berbalik menjadi kerugian yang bisa mendemoralisasi kelas pekerja. Dalam kondisi ini, bukan tidak mungkin, kelas reaksioner, karena ketidakpuasan dari hasil revolusi, bangkit mendirikan ordenya. Inilah kenyataannya, dan rakyat pekerja Yunani menghadapi 2 pilihan: Sosialisme atau Barbarisme! Satu-satunya cara untuk mempertahankan kemenangan OXI adalah dengan menempuh jalan sosialisme. ***
Catatan: Tidak lama setelah diskusi ini, kita melihat bagaimana para pemimpin reformis Syriza telah mengkhianati sekali lagi mandat dari rakyat pekerja. Hasil OXI segera dikudeta menjadi kapitulasi terhadap Troika dan penerimaan paket pengetatan anggaran yang bahkan lebih memalukan. Sayap Kiri revolusioner di dalam Syriza — yang mana kamerad-kamerad Yunani yang tergabung dalam Tendensi Komunis Syriza adalah bagian darinya — sedang melakukan perjuangan yang menentukan sekarang di dalam tubuh partai ini. Tendensi Komunis Syriza telah mengeluarkan sebuah seruan peperangan terbuka melawan Tsipras, Varoufakis, dan semua anasir-anasir kariris reformis Syriza.