Kita sedang memasuki periode yang paling bergejolak di dalam sejarah umat manusia. Mungkin bagi yang hanya melayangkan pandangannya di dalam batasan sempit Indonesia, pernyataan ini tampak absurd dan berlebihan. Bukankah gerakan buruh Indonesia hari ini tidak memiliki gelora yang sama seperti pada periode 2011-2013 tempo hari? Bukankah hari ini elemen-elemen reformis dan konservatif ada dalam posisi yang mendominasi serikat-serikat buruh dan sebagai konsekuensinya menekannya? Jawaban positif atas kedua pertanyaan ini tampaknya memberikan kita gambaran sebuah dunia yang jauh dari bergejolak. Demikian adanya kalau cakrawala kita hanya sebatas apa yang segera dan langsung tampak di depan mata.
Sebaliknya Marxisme mengajarkan kita untuk menganalisa keseluruhan proses-proses molekular dalam kesalingterhubungannya, proses-proses kontradiktif yang saling merasuki, yang tidak bergerak hanya dalam garis lurus tetapi dapat melompat, yang bergerak dari kuantitatif ke kualitatif dan sebaliknya. Bila kita diperlengkapi dengan cara pandang ini, maka tentunya kita dapat melihat jelas bahwa dunia sedang berubah dengan cepat, dimana all that is solid melt into air (semua yang padat meleleh ke udara), seperti kata Karl Marx. Tidak ada satupun hal-hal yang lama yang bertahan. Dengan pemahaman ini kita bisa mengorientasikan dan mempersiapkan kekuatan kita tanpa terombang-ambing.
Situasi Dunia
Krisis finansial yang meledak 7 tahun yang lalu sampai hari ini tak kunjung usai. Ia justru telah membuka pintu ke berbagai macam krisis, tidak hanya krisis dalam bidang ekonomi tetapi juga krisis politik, dan bahkan krisis moral. Kelas borjuasi sudah tidak memiliki kepercayaan diri untuk bisa keluar dari krisis ini. Mereka bahkan sudah tidak lagi berbicara mengenai pemulihan ke keadaan sebelum krisis, ke periode keemasan kapitalisme. Mereka sudah menerima bahwa normalitas yang baru adalah secular stagnation (stagnasi sekuler), yakni pertumbuhan ekonomi yang terus melambat dan hampir-hampir nihil, yang merupakan kondisi permanen dan bukan siklus. (Lihat grafik pertumbuhan GDP yang terus melambat). Sejumlah ekonom memprediksikan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 1% untuk dekade-dekade selanjutnya. Tidak hanya itu, pertumbuhan ekonomi yang rendah ini akan disertai dengan meningkatnya kesenjangan ekonomi di dalam masyarakat.
Dalam hal ini, para ekonom borjuis telah mengukuhkan apa yang telah kita kaum Marxis katakan sejak awal, bahwa kapitalisme telah menjadi penghambat kemajuan umat manusia dan sudah bukan lagi kekuatan progresif yang bisa mendorong peradaban. Untuk bisa mempertahankan tingkat profit mereka, maka kaum kapitalis harus membongkar pasang semua reforma-reforma sosial yang sebelumnya telah mereka berikan (dalam bentuk negara kesejahteraan) paska Perang Dunia II. Bahkan sebenarnya, periode negara kesejahteraan ini, yang hanya terbatas pada negeri-negeri kapitalis maju, adalah sebuah periode khusus di dalam kapitalisme, yang merupakan hasil dari kombinasi unik: kehancuran total akibat perang dunia; meluasnya perdagangan dunia; serta ancaman komunisme dari Uni Soviet yang memaksa kaum kapitalis memberikan reforma kepada kaum buruh di negeri-negerinya guna melindungi mereka dari pengaruh Merah.
Sekarang kaum kapitalis menagih kembali apa yang telah sebelumnya mereka berikan, beserta bunga-bunganya. Program penghematan diluncurkan di seluruh dunia. Tentunya dengan tingkatan yang berbeda-beda, sesuai dengan kapital politik yang mereka miliki dan urgensi dari program penghematan bagi mereka. Namun arah yang sedang ditempuh jelas: penyerangan dalam skala besar dan secara sistematis atas semua pencapaian buruh.
Yunani
Di Yunani, serangan ini telah mencapai tingkatan ekstrem. Yunani yang sebelumnya adalah bagian dari negeri kapitalis maju dengan taraf hidup yang tinggi kini telah menjadi pesakitan, yang dilanda krisis kemanusiaan. Krisis di Yunani memberikan gambaran akan masa depan banyak negeri lainnya. Ia mengekspos tidak hanya kemunafikan dari demokrasi borjuasi tetapi juga limit dari reformisme atau sosial demokrasi.
Pada awal tahun ini rakyat pekerja Yunani menyalurkan aspirasi demokratik mereka dengan memilih partai Syriza. Mereka menyampaikan kehendak demokratik mereka: kami menolak penghematan. Akan tetapi, apa tanggapan dari kelas penguasa? Mereka tidak peduli pada kehendak demokratik. Pasarlah yang berbicara. Tidak peduli apa yang diinginkan oleh rakyat pekerja Yunani, kapitalisme telah memutuskan bahwa penghematan adalah jalan yang harus ditempuh.
Euforia terhadap Syriza dan pemimpin-pemimpin mereka, Tsipras dan Varoufakis terutama, segera menguap. Uni Eropa, IMF dan terutama Jerman tidak bersedia bernegosiasi dengan Syriza. Mereka justru ingin menghukum rakyat pekerja Yunani yang memilih Syriza dengan memaksakan program-program penghematan yang lebih kejam. Mereka memaksakan kehendak mereka dengan sabotase ekonomi. Mereka ingin memberikan contoh kepada seluruh rakyat pekerja di negeri-negeri lain bahwa konsekuensi dari memilih partai Kiri adalah kehancuran ekonomi. Ini bisa mereka lakukan tentunya karena tuas-tuas ekonomi ada di tangan mereka.
Sementara di pihak lain, para pemimpin Syriza adalah kaum reformis yang takut untuk melawan kapitalisme. Mereka mengeluh mengenai kejamnya kapitalisme tetapi pada akhirnya mereka tetap ingin berada di dalam pelukan kapitalisme. Varoufakis, mantan Menteri Keuangan Yunani yang memimpin negosiasi dengan Troika (Komisi Eropa, IMF, dan Bank Sentral Eropa), mengatakan dengan jelas bahwa dia ingin menyelamatkan kapitalisme dari dirinya sendiri. Para pemimpin reformis ini tidak lagi mempercayai kekuatan kelas buruh untuk menumbangkan kapitalisme. Mereka membayangkan bisa meyakinkan Troika agar tidak menerapkan program penghematan dengan argumen-argumen ekonomi yang pintar. Mereka sajikan berbagai skema pintar untuk menyelamatkan kapitalisme, tetapi kelas penguasa menolak skema-skema ini. Bukan karena kelas penguasa bodoh dan tidak paham ekonomi; bukan karena kaum kapitalis tidak memiliki nilai-nilai moral. Tetapi karena logika kapitalisme itu sendiri, yang menuntut kelas buruh untuk membayar untuk krisis ini, yang menginginkan kembali semua konsesi (program-program sosial) yang sebelumnya telah mereka berikan (taraf hidup yang baik, pensiun, pendidikan gratis, layanan kesehatan, dsb.) Semua program sosial ini adalah bagian dari upah buruh, dan Marx telah menjelaskan bahwa dengan cara apapun kelas kapitalis akan selalu berusaha menekan upah guna meningkatkan laba mereka. Karena laba dan upah adalah berbanding terbalik.
Kaum reformis berusaha melakukan hal yang mustahil, terutama pada periode krisis hari ini. Mereka ingin agar kaum kapitalis berbaik hati untuk memberikan remah-remah pada kaum buruh. Mereka ingin kembali ke jaman keemasan kapitalisme (pasca PD II, terutama pada periode 1950-1970). Tetapi kapitalisme telah memberikan keputusan final mereka, bahwa periode pasca PD II tersebut adalah masa lalu yang tidak akan kembali lagi. Pada akhirnya, kaum reformis Syriza menjadi agen dari kapitalis untuk meluncurkan serangan terhadap taraf hidup buruh. Mereka menyetujui semua program penghematan yang telah ditolak mentah-mentah oleh pemilih mereka, terutama lewat gerakan OXI yang menggegerkan seluruh bangsa Yunani. Para pemimpin reformis kanan ini mengeluh: “Kami tidak ingin melakukan ini, tetapi apa alternatifnya? Kami terpaksa.” Inilah pelajaran yang harus dipetik, pertama-tama oleh lapisan termaju kelas buruh dan lalu diteruskan ke seluruh lapisan, bahwa inheren di dalam reformisme adalah pengkhianatan.
Setelah pengkhianatan Tsipras terhadap referendum OXI, Syriza segera mengalami krisis internal. Sayap Kiri yang dipimpin oleh Lafazanis pecah dari Syriza dan membentuk partai baru, Popular Unity (Persatuan Kerakyatan). Tsipras segera mengumumkan pemilu yang baru pada 20 September supaya partainya bisa mendapatkan mandat yang baru untuk menggulirkan program-program pemotongan yang didikte oleh Uni Eropa. Pemilu September ini diboikot oleh banyak rakyat Yunani. Jika pada pemilu Januari 63,6% rakyat memilih, pada September hanya 56,6% yang memilih, terendah semenjak restorasi demokrasi pada 1974.
Syriza memenangkan pemilu September dengan 35,5% suara, tetapi mereka kehilangan 320.000 suara dibandingkan pada pemilu Januari sebelumnya. Demoralisasi dan apati rakyat pekerja sangatlah terasa. Bila sebelumnya mereka memberikan suara mereka kepada Syriza dengan semangat yang menggebu-gebu dan harapan mematahkan program penghematan kapitalis, pada pemilu terakhir ini mereka memilih Syriza dengan kepala tertunduk dan hanya untuk memastikan agar partai ND (New Democracy, partai borjuasi Yunani) tidak menang. Setelah melalui periode 5 tahun yang penuh gejolak — lebih dari 30 mogok nasional, ratusan aksi dan demonstrasi massa yang militan, kemenangan elektoral melalui Syriza, dan gerakan OXI yang menakjubkan dan penuh inspirasi — rakyat pekerja telah terkuras energinya dan juga harapannya. Sekarang mereka hanya ingin kembali ke kestabilan dan rutinitas sehari-hari mereka. Inilah konsekuensi dari kepemimpinan yang tidak siap untuk berdiri melawan kelas kapitalis.
Di sisi lain sambutan kelas penguasa Eropa dan dunia terhadap kemenangan elektoral Syriza juga berubah. Pada pemilu Januari ketika Syriza pertama kali menang pemilu, para politisi dan media kapitalis beramai-ramai menyerang partai ini secara membabi buta dengan meluncurkan propaganda hitam. Delapan bulan kemudian, politisi dan media yang sama menabur puji dan selamat pada Tsipras atas kemenangan elektoral Syriza pada pemilu September. Dalam waktu yang singkat Tsipras telah membuktikan bahwa ia adalah seorang politisi terhormat yang akan mematuhi hukum-hukum ekonomi kapitalisme. Ia telah membuktikan kesediaannya untuk menjalankan program penghematan dan memberikannya sepuh humanis.
Para pemimpin reformis Syriza telah terdiskreditkan. Tetapi akan keliru kalau kita berpikir bahwa dengan pengkhianatan ini maka rakyat pekerja otomatis akan segera melompat ke kesadaran revolusioner. Setelah bertahun-tahun mencoba mencari jalan keluar dari kebuntuan kapitalisme, dengan aksi-aksi militan yang menakjubkan, rakyat pekerja kerap terbentur oleh kepemimpinan mereka – tidak hanya Tsipras tetapi dari berbagai spektrum di Kiri – yang tidak memiliki gagasan dan program aksi revolusioner yang tepat. Energi mereka telah terkuras habis.
Pertama, kepemimpinan serikat-serikat buruh. Walaupun para pemimpin ini berpuluhan kali mengorganisir mogok nasional, tetapi mereka tidak punya perspektif untuk keluar dari batas-batas kapitalisme. Mereka tidak memiliki perspektif untuk memimpin kelas buruh ke perebutan kekuasaan. Mogok nasional akhirnya hanya menjadi ajang untuk melepaskan tekanan dari bawah, tanpa bisa menyelesaikan problem rakyat. Ini menunjukkan keterbatasan dari serikat buruh-isme.
Kedua, kepemimpinan Sayap Kiri di dalam Syriza. Walaupun Sayap Kiri ini menentang Tsipras, mereka menentangnya dengan perspektif reformisme Kiri, yakni reforma di dalam batasan kapitalisme. Inilah yang membuat oposisi mereka begitu melempem, impoten, dan ragu-ragu. Sayap Kiri Syriza ini pecah dan membentuk partai baru, Partai Popular Unity (Persatuan Kerakyatan), namun gagal memenangkan kursi dalam pemilu, dan hanya meraup 2,86% suara. Partai ini berdiri di atas program kembali ke mata uang Drachma dan kebijakan-kebijakan proteksionis, tanpa menantang keseluruhan sistem kapitalisme. Ini tidak berbeda jauh dengan apa yang dijanjikan Syriza sebelumnya. Rakyat pekerja yang sudah skeptis tentunya tidak akan memberikan suara mereka kepada sebuah partai kecil yang programnya mengingatkan mereka akan Syriza lama.
Ketiga, kepemimpinan Partai Komunis Yunani (KKE). Selama krisis kapitalis ini KKE membuktikan dirinya tidak mampu tumbuh akibat dari kebijakan sektarianismenya. KKE benar ketika dalam programnya mereka mengatakan bahwa kapitalisme tidak bisa lagi direforma dan harus ditumbangkan oleh kelas buruh. Akan tetapi dalam prakteknya partai ini menggunakan metode dan taktik yang teramat sektarian. Partai ini selalu mengumumkan tanggal aksi dan pemogokan yang berbeda dengan buruh-buruh sosial demokrat. Mereka secara prinsipil menolak untuk membentuk front persatuan dengan serikat-serikat buruh dan organisasi Kiri lainnya dengan alasan bahwa para pemimpin ini adalah reformis dan pengkhianat kelas. Dengan demikian mereka membentuk tembok China yang memisahkan mereka dari buruh-buruh lainnya yang masih terilusi oleh sosial demokrasi, dan tidak mampu memenangkan buruh-buruh ini ke sisi mereka. Mereka pikir kalau mereka berdiri di luar sembari meneriakkan slogan-slogan histeris yang mengecam para pemimpin reformis maka mereka akan bisa memenangkan buruh. Hasilnya jelas: sebagai partai massa yang paling tua, yang eksis sejak 1918, dengan aparatus partai yang boleh dibilang besar, dalam periode krisis kapitalisme yang terdalam ini mereka tidak tumbuh sama sekali. Pada pemilu September 2015, mereka hanya mendulang 301 ribu suara, ini turun dari 338 ribu yang mereka menangkan pada Januari 2015, dan jauh menurun daripada pemilu 2007 sebelum krisis finansial 2008 dimana mereka meraup 583 ribu suara.
Inggris
Setelah kemenangan mutlak Partai Konservatif di Inggris, yang disertai hancurnya basis Partai Buruh di Skotlandia, Partai Buruh Inggris mengalami krisis. Selama 20 tahun terakhir, Partai Buruh telah didominasi oleh sayap kanan, atau kaum Blairite. Ketika berkuasa (1997-2010 di bawah Tony Blair), partai ini menjalankan program-program kapitalis, dan dalam tindak-tanduknya tidak berbeda dengan Partai Konservatif. Partai ini terus ditinggalkan oleh semakin banyak buruh yang kecewa pada kebijakan mereka. Tidak ada lagi dinamika internal di dalam partai ini, dan tampaknya Partai Buruh ini sudah mati dan sudah tidak lagi mewakili kelas buruh.
Krisis di dalam masyarakat Inggris semakin akut. Kemenangan Partai Konservatif semakin membuat kelas buruh yakin bahwa masa depan mereka akan dipenuhi dengan kesulitan. Tidak hanya itu, skandal di sektor finansial juga membuat rakyat semakin jijik dengan status quo. Baru-baru ini terkuat adanya praktek manipulasi suku bunga Libor – atau suku bung pinjaman antarbank di London, yang jadi patokan dalam semua kontrak dan transaksi keuangan senilai triliun dolar AS, bukan hanya di Inggris tetapi juga di dunia. Tom Hayes, seorang bankir berusia 35 tahun yang terjerat hukum karena manipulasi, dengan enteng mengungkapkan bahwa praktek ini adalah praktek umum yang marak dan dilakukan terang benderang oleh semua bankir dan diketahui bahkan oleh para CEO. Dia mengeluh bahwa dia dijadikan kambing hitam sementara para hiu kakap selamat dari jerat hukum. Pengakuan ini menunjukkan kebobrokan inheren dari keseluruhan sistem kapitalis, dan bukan hanya kesalahan dari “oknum tak bertanggung jawab” atau segelintir bankir atau pialang petualang yang serakah. Akhirnya kegeraman rakyat ini terekspresikan di dalam Partai Buruh yang tampaknya sudah bangkrut ini, terutama melalui pemilihan Ketua Partai Buruh.
Awalnya pemilihan Ketua Partai Buruh ini hanya diikuti oleh 3 kandidat sayap kanan, yang semuanya memiliki platform yang sama. Fakta ini semakin membuat pemilih Partai Buruh kecewa dan apatis. Untuk menenangkan kekecewaan ini mereka mengizinkan Jeremy Corbyn, seorang anggota parlemen dari Partai Buruh yang berhaluan Kiri, untuk ikut serta di dalam pemilihan. Mereka membayangkan setidaknya ini akan membuat pemilihan ini tampak demokratik, dan tidak membayangkan kalau Corbyn akan mendapatkan dukungan.
Tetapi seperti kata Hegel, keniscayaan mengekspresikan dirinya lewat kebetulan. Jeremy Corbyn tiba-tiba menjadi kandidat yang sangat populer karena programnya yang menentang penghematan dan menuntut nasionalisasi industri. Ratusan ribu orang mendaftarkan diri mereka ke Partai Buruh supaya bisa memilih Corbyn. Setiap pertemuan yang dihadirinya disesaki dengan ribuan orang yang ingin mendengar apa yang ingin dikatakannya. Tiba-tiba dinasti Blair di dalam Partai Buruh tampak terancam. Kaum buruh menginginkan Partai Buruh ini kembali ke program awalnya, ke akarnya, untuk menjadi Partai Buruh yang sesungguhnya.
Setiap survei menunjukkan kalau Corbyn akan memenangkan pemilihan ini, dan para pemimpin sayap Kanan di dalam Partai Buruh mulai panik. Mereka melemparkan berbagai macam kotoran dan lumpur ke Corbyn. Mereka bahkan mencoba membatalkan pemilihan ini, atau mencegah orang untuk bergabung ke Partai Buruh untuk memilih Corbyn. Inilah nilai demokratik mereka, yang menginginkan demokrasi hanya kalau pihak mereka akan menang. Media kapitalis juga panik dan mulai menyerang Corbyn. Kaum kapitalis takut kalau Partai Buruh ini diklaim kembali oleh kaum buruh dan digunakan oleh buruh untuk melakukan perjuangan kelas.
Pada akhirnya, Jeremy Corbyn menang telak, dengan 60% suara. Sementara kandidat sayap Kanan yang didukung oleh borjuasi, Andy Burnham, hanya memenangkan 19% suara. Kemenangan Corbyn membuat kelas penguasa bahkan lebih panik dan histeris. David Cameron, Perdana Menteri Inggris dari Partai Konservatif, menyambut kemenangan Corbyn dengan mengatakan di akun Twitternya: “Partai Buruh sekarang adalah ancaman bagi keamanan nasional kita, keamanan ekonomi kita dan keamanan keluarga kalian.” Media-media segera meluncurkan kampanye propaganda hitam, misalnya dengan mengingatkan para pembacanya bahwa Corbyn adalah sahabatnya Hugo Chavez dan akan membawa chaos ke Inggris. Seorang jenderal militer mengatakan bahwa bila Partai Buruh di bawah kepemimpinan Corbyn memenangkan pemilu pada 2020 dan menjadi perdana menteri maka para perwira tinggi militer akan melakukan kudeta. Inilah mood yang ada di antara kelas penguasa sekarang, yang dipenuhi kekhawatiran dan kecemasan.
Krisis di dalam masyarakat Inggris akhirnya terekspresikan di dalam Partai Buruh. Walaupun membutuhkan waktu yang lama dan berliku-liku, hubungan organik antara kelas buruh dan Partai Buruh belumlah hilang. Semua usaha kaum sektarian untuk menyatakan kematian Partai Buruh dan usaha mereka untuk meluncurkan partai alternatif yang baru sampai hari ini terus menemui kegagalan. Massa buruh tidak bergerak lewat kelompok atau sekte kecil. Mereka akan terlebih dahulu menguji organisasi massa yang ada di tangan mereka dan mencoba mengubahnya. Kepanikan yang ditunjukkan kelas penguasa terhadap kenyataan bahwa mereka mulai kehilangan kendali atas Partai Buruh sesungguhnya merupakan validasi terhadap orientasi kaum revolusioner ke organisasi massa buruh. Proses radikalisasi yang sekarang mulai berlangsung di dalam Partai Buruh ini akan memiliki signifikansi yang penting bagi masa depan Partai Buruh. Yang pasti, Partai Buruh tidak akan sama lagi seperti dahulu.
Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, kita jumpai proses yang serupa. Dari Partai Demokrat, kita saksikan kemunculan seorang tokoh politik bernama Bernie Sanders yang secara terbuka berbicara mengenai sosialisme. Dia berbicara mengenai kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Dia berbicara mengenai perlunya revolusi politik. Semua ini secara alami mendapatkan gaung di antara jutaan buruh dan kaum muda AS yang sedang mencari jalan keluar dari krisis. Untuk pertama kalinya ada seorang kandidat dari Partai Demokrat yang berbicara mengenai sosialisme, dan ini bukan hal yang kecil di dalam politik AS.
Kepopuleran Bernie Sanders adalah ekspresi dari akutnya krisis ekonomi, politik dan sosial di dalam AS. Situasi ekonomi kelas buruh di AS terus memburuk, bahkan jauh sebelum krisis 2008. Data ekonomi menunjukkan bagaimana sejak 1970 produktivitas buruh (output per hour) telah meningkat lebih dari 2 kali lipat tetapi pendapatan median buruh (median household income) hanya meningkat 11 persen (lihat grafik di bawah, grafik kiri). Sementara bagian yang diterima buruh dari GDP (Produk Domestik Bruto) juga terus menurun (Lihat grafik di kanan). Kesenjangan antara yang kaya dan miskin di AS semakin lebar, sehingga inilah yang melahirkan slogan “We are the 99%” dari gerakan Occupy.
Sementara rasisme di AS semakin akut dan telah menyebabkan ledakan-ledakan sosial. Gerakan kulit hitam semakin radikal dan mengguncang seluruh sendi masyarakat AS. Setiap insiden diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh rakyat pekerja kulit hitam dengan cepat menyebar seperti api liar di media-media sosial dan mengundang kemarahan dari banyak rakyat pekerja. Inilah basis sosial dari munculnya fenomena Bernie Sanders.
Tetapi kita harus jelas. Partai Demokrat adalah partainya kelas borjuis dan oleh karenanya selama Bernie Sanders tidak pecah dari Partai Demokrat maka dia hanya akan berperan sebagai katup pengaman sistem kapitalis. Kita tidak bisa memiliki ilusi pada Sanders, seperti halnya kita tidak memiliki ilusi pada Obama ataupun pada Jokowi sebagai tokoh populis borjuis. Kita tidak boleh terjebak pada argumen “terbaik dari yang terburuk” dan harus menjelaskan dengan sabar kepada kaum buruh. Jalan ke depan bagi kaum buruh AS adalah pecah dari Partai Demokrat dan membentuk partai buruh mereka sendiri. Hanya dengan kemandirian kelas seperti ini maka kelas buruh bisa mulai melangkah maju.
Terlepas dari keterbatasan Bernie Sanders dan gagasan sosialismenya yang penuh dengan kebingungan, ada ruang yang terbuka dengan sangat lebar oleh kampanye Sanders ini. Untuk pertama kalinya diskursus mengenai sosialisme menjadi wacana publik di Amerika Serikat, terutama di antara kaum muda. Kaum revolusioner harus bisa menggunakan peluang ini tanpa terjebak pada sektarianisme yang remeh-temeh. Kaum revolusioner akan mengintervensi gerakan Bernie Sanders ini dengan melakukan pendekatan kepada kaum muda yang mendukung gagasan “sosialisme”nya Bernie Sanders, dan menjelaskan dengan sabar sosialisme ilmiah yang sesungguhnya kepada kaum muda ini. Intervensi ini tidak mengambil bentuk mendukung Bernie Sanders dan Partai Demokrat, tetapi mengintervensi kaum muda dan buruh yang kesadarannya tergerak oleh fenomena Bernie Sanders.
Kanada
Sementara di utara perbatasan AS, yakni Kanada, sebuah perubahan politik yang tajam ada dalam cakrawala. Pada paruh pertama tahun ini ekonomi Kanada menyusut dan secara efektif Kanada telah memasuki resesi ekonomi. Ini disebabkan terutama oleh jatuhnya harga minyak bumi. Kaum kapitalis Kanada yang sebelumnya begitu sombong menyatakan bahwa Kanada imun dari krisis ekonomi sekarang harus menelan kenyataan pahit. Partai Konservatif yang telah memegang kekuasaan selama 10 tahun terakhir tampak mengalami delusi dan menyangkal kesulitan ekonomi yang sedang diderita oleh banyak buruh Kanada. Mereka terus meluncurkan serangan-serangan terhadap tidak hanya standar hidup buruh tetapi juga hak-hak demokrasi mereka. Rejim ini meloloskan Undang-undang Anti-Terorisme yang menggerogoti hak-hak demokrasi rakyat dan memberikan lebih banyak otoritas kepada pemerintah untuk “menjaga keamanan bangsa”.
Di medan politik elektoral, partai buruh Kanada (NDP) terus mendapatkan dukungan yang semakin besar untuk Pemilu Oktober dan diproyeksikan untuk menang. Pada bulan Agustus, survei menunjukkan NDP akan memenangkan pemilu dengan hasil 40% suara. Ini bisa menjadi peristiwa bersejarah di Kanada, karena belum pernah NDP menang pemilu tingkat federal. Sejak negeri Kanada terbentuk, hanya dua partai borjuasi (Liberal dan Konservatif) yang bergantian memegang tampuk kekuasaan. Kegeraman kaum buruh Kanada mulai mendapatkan ekspresi politiknya lewat partai buruh.
Akan tetapi sosial demokrasi kerap menjadi penghalang terbesar bagi kemajuan gerakan buruh. Semakin dekat ke tampuk kekuasaan, semakin moderat para pemimpin NDP. Mereka tidak lagi berbicara kepada buruh, tetapi mulai berbicara kepada kaum kapitalis, untuk meyakinkan para kapitalis kalau NDP akan membentuk pemerintahan yang “bertanggungjawab” dan “moderat”, sebuah pemerintahan yang tidak akan menakut-nakuti investor. Kampanye elektoral yang mereka luncurkan sama sekali membosankan dan tidak mengundang inspirasi. Dukungan terhadap NDP terus menurun dan akhirnya pada Pemilu Oktober kemarin NDP hanya meraup 20% suara (Partai Liberal 40%; Partai Konservatif 20%). Tidak hanya itu, dari 103 kursi yang sebelumnya mereka miliki, sekarang mereka hanya punya 44 kursi di parlemen. Basis dukungan mereka hancur di banyak daerah. Bahkan mereka tidak mendapatkan satu pun kursi di kota Toronto.
Partai Liberal, yakni partai borjuasi utama Kanada, berhasil menyalurkan kekecewaan rakyat dan kebencian mereka terhadap Partai Konservatif. Dengan cerdik Liberal mengusung program-program anti-penghematan. Mereka berkampanye dari kiri dengan menjanjikan program-program stimulus dan subsidi yang akan menciptakan lapangan pekerjaan. Untuk bisa membiayai stimulus ini, Partai Liberal akan mengajukan anggaran yang defisit selama tahun-tahun pertama pemerintahannya. Ini adalah metode Keynesian. Sementara kepemimpinan partai buruh Kanada atau NDP, dalam usahanya untuk menjadi politisi yang bertanggungjawab, justru berbicara mengenai menyeimbangkan anggaran negara. Ini tidak berbeda dengan Partai Konservatif yang juga berbicara mengenai menyeimbangkan anggaran negara, yang konkretnya berarti meluncurkan program penghematan. Buruh jelas menolak segala pembicaraan mengenai menyeimbangkan anggaran dan oleh karenanya tidak ada alasan bagi mereka untuk memilih NDP.
Inilah kebangkrutan dari sosial demokrasi. Mereka bahkan tidak mampu secara konsisten mengedepankan program-program reformis ketika situasi objektif begitu matang bagi mereka. Setelah mengalami kekalahan yang begitu telak pada pemilu kemarin, kepemimpinan NDP juga menolak untuk mengakui kekeliruan mereka. Di antara anggota bawahan NDP ada kegeraman yang mulai berkobar dan mereka mulai menuntut agar pemimpin NDP, Tom Mulclair, untuk turun. Tetapi secara umum sekarang ada euforia di antara rakyat luas yang gembira telah menyingkirkan Partai Konservatif yang mereka benci. Ada ilusi luas terhadap Partai Liberal dan janji-janji reforma mereka. Bulan madu Partai Liberal ini mungkin akan bertahan cukup lama, tetapi tidak untuk selamanya. Logika krisis kapitalisme akan segera memaksakan dirinya ke realitas.
Krisis Timur Tengah
Sejak awal abad ke-20, yakni sejak lahirnya imperialisme sebagai tahapan tertinggi kapitalisme, daerah Timur Tengah selalu dicabik-cabik oleh kepentingan-kepentingan imperialis yang saling berbenturan, dengan mengorbankan rakyat luas Timur Tengah. Dengan semakin membusuknya kapitalisme hari ini, demikian juga situasi di Timur Tengah yang niscaya mencerminkan situasi kapitalisme juga.
Revolusi-revolusi yang sebelumnya meledak di Timur Tengah pada 2010-2011, terutama di Mesir, Libia, dan Suriah, segera berbalik menjadi konter-revolusi dan reaksi hitam yang mengerikan. Di Mesir, setelah usaha-usaha heroik dari rakyat pekerja gerakan revolusioner akhirnya menemui jalan buntu. Rejim militer al-Sisi berhasil menstabilkan situasi, tetapi bukan karena kemampuannya untuk menjawab problem-problem fundamental rakyat (kesejahteraan ekonomi dan hak-hak demokrasi) tetapi karena terkurasnya energi revolusioner rakyat. Oleh karenanya kestabilan rejim al-Sisi didirikan di atas pasir dan cepat atau lambat akan runtuh. Pelajaran dari Revolusi Mesir begitu mencolok mata, bahwa tanpa kehadiran sebuah partai revolusioner (Partai Bolshevik) maka energi perlawanan rakyat akan tersia-siakan dan bahkan situasi bisa berbalik dengan cepat dari revolusi menjadi reaksi.
Di Libia, gerakan revolusioner yang awalnya muncul dari akar rumput untuk menumbangkan rejim Gaddafi yang diktatorial dan korup dengan cepat dibajak dan ditelikung oleh kekuatan imperialis. Kaum imperialis takut akan Revolusi Arab yang bisa-bisa menyebar seperti api liar di luar kendali mereka dan mereka mencoba mengendalikannya. Alih-alih kestabilan, yang dituai oleh kaum imperialis setelah kejatuhan Gaddafi adalah kekacauan. Negeri Libia tercabik-cabik oleh kekerasan sektarian. Pemerintahan boneka yang disokong oleh NATO di Libia tidak punya otoritas sama sekali. Berbagai faksi militer dan kelompok-kelompok milisi Islamis bersaing satu sama lain untuk memperoleh sepotong kue jarahan. Kekacauan di Libia juga menjadi pemicu krisis pengungsi di Eropa. Absennya pemerintahan sentral yang mampu menjaga perbatasan Libia membuka lebar Libia sebagai negeri transit bagi ratusan ribu pengungsi yang ingin menyebrang Laut Tengah dan mencapai Uni Eropa. Pada Juni 2015, dilaporkan ada sekitar setengah juta pengungsi yang berkumpul di sepanjang pantai utara Libia, menunggu untuk mencoba menyebrang Laut Tengah yang telah menelan ribuan korban itu.
Sementara di Suriah, lebih dari 300 ribu nyawa telah melayang sejak pecahnya perang saudara 4 tahun yang lalu. Seperti di Libia, apa yang awalnya adalah gerakan revolusioner dari akar rumput untuk menumbangkan rejim Assad dengan cepat dibajak oleh kekuatan imperialis. Di bawah kedok revolusi, AS dan sekutu-sekutunya memberikan dukungan dana dan militer pada kekuatan-kekuatan Islamis reaksioner dan menciptakan perpecahan sektarian guna mematikan api revolusi dan mendompleng rejim Assad . Tetapi taktik ini menjadi senjata makan tuan. Kekuatan-kekuatan reaksioner yang didukung oleh AS punya kepentingan mereka sendiri yang berseberangan dengan AS. Seperti halnya dulu AS mendukung kekuatan islam fundamentalis di Afghanistan untuk melawan pengaruh komunisme di Timur Tengah, yang mana kekuatan ini menjelma menjadi Al-Qaeda, maka di Suriah hari ini AS mendukung kelompok-kelompok Islamis anti-Assad yang lalu bergabung atau mendukung ISIS.
Imperialis AS sudah sungguh kehilangan akal akan apa yang harus mereka lakukan di sana. AS dan sekutunya tidak bisa mengirim tentara begitu saja karena terlibat langsung dalam petualangan militer di Timur Tengah adalah kebijakan yang tidak populer di dalam negeri. Mereka telah membakar jari mereka selama perang di Afghanistan dan Irak kemarin. Mereka hanya bisa memberikan dukungan politik, diplomasi, finansial dan militer kepada kekuatan-kekuatan atau kelompok-kelompok yang mereka anggap bisa diandalkan untuk menjadi boneka mereka. Tetapi masalahnya tidak ada satupun dari kelompok ini yang bisa mereka andalkan. Para politisi lokal di Timur Tengah begitu korup dan tidak kompeten mereka justru memperburuk situasi. Di Irak, miliaran dolar peralatan militer yang diberikan ke pemerintahan Irak jatuh ke tangan ISIS. Di Suriah, suplai militer yang diberikan ke kelompok-kelompok Islamis “moderat” ternyata berpindah tangan ke kelompok-kelompok Islamis fundamentalis. AS dan sekutunya telah menciptakan monster Frankenstein yang tidak bisa lagi mereka kendalikan.
Petualangan imperialis dari AS dan sekutu-sekutunya di Irak menciptakan kekacauan tanpa preseden di wilayah tersebut. Kendati semua intervensi dan bantuan militer dan kucuran uang yang mereka berikan pada kacung-kacung mereka di Irak, mereka tidak mampu menstabilkan daerah ini. Para politisi Irak ini lebih mementingkan kepentingan sempit mereka dan mengobarkan kekerasan sektarian untuk mencapai gol-gol mereka. Ini menciptakan kondisi dimana kekuatan-kekuatan Islamis reaksioner seperti ISIS bisa berkembang subur.
Imperialisme Rusia sekarang mencoba menunjukkan kekuatannya. Mencium kelemahan AS dan sekutunya, Rusia langsung melakukan kampanye pemboman di Suriah untuk mendukung rejim Assad. Rejim-rejim Barat dan media mereka menangis air mata buaya, mengecam bom-bom Rusia yang memakan korban sipil. Tetapi, bukankah ini juga dilakukan oleh bom-bom AS dan sekutunya? Kemunafikan mereka sungguh tidak ada batasnya. Tentu saja Putin dan Assad tidak peduli pada korban sipil karena mereka sedang mempertahankan kepentingan mereka sendiri. Tetapi puluhan ribu rakyat telah menjadi korban perang sipil ini jauh sebelum Rusia memutuskan untuk mengintervensi, dan kebanyakan adalah korban dari kekuatan-kekuatan Islamis yang dibangun dan didukung oleh AS dan sekutu-sekutu mereka.
Seratus tahun yang lalu Rosa Luxemburg mengatakan bahwa pilihan yang dihadapi oleh umat manusia adalah Sosialisme atau Barbarisme. Hari ini pilihan tersebut telah menjadi kenyataan di Timur Tengah, dimana Barbarisme secara harfiah telah menjadi realitas hidup bagi rakyat pekerja Timur Tengah. Dalam jumlah jutaan mereka mencoba melarikan diri dari barbarisme ini dan mencapai “tanah suci” di Uni Eropa. Dengan tidak mengindahkan keselamatan mereka menyeberangi gurun pasir, mengarungi lautan yang berbahaya, menerobos kawat-kawat berduri, berlari dari kejaran polisi. Menurut UNHCR, ada 60 juta pengungsi di dunia hari ini, jumlah tertinggi sejak Perang Dunia II dan dengan kenaikan 40% semenjak 2011.
Lantas, bagaimana masa depan Timur Tengah? Di dalam batas-batas kapitalisme, jelas tidak ada jalan keluar bagi rakyat pekerja Timur Tengah. Bisa kita tambahkan, di dalam batas-batas nasional juga tidak akan ada jalan keluar bagi rakyat pekerja Timur Tengah. Hanya sosialisme dan internasionalisme proletarian yang bisa memberikan jalan keluar. Basis industri dan kelas buruh di Irak, Libia, Suriah, dan Afghanistan telah hancur lebur. Tidak hanya itu, bahkan apapun peradaban yang tersisa di sana sudah dihancurkan oleh perang dan kekuatan reaksi gelap yang lahir darinya. Gerakan di wilayah tersebut telah terlempar jauh ke belakang tanpa satu pun kekuatan progresif yang mampu berkembang. Yang ada hanyalah kebingungan, demoralisasi, keputusasaan, dan sinisme. Sebagai konsekuensi, pembebasan rakyat Timur Tengah tidak akan datang dari dalam batas-batas nasional. Hanya gerakan revolusioner di luar negeri-negeri ini, terutama di Mesir, Iran, dan Turki, dimana kelas buruhnya masih eksis dan gerakan buruh dapat berkembang, yang bisa mengubah situasi di Timur Tengah. Terlebih lagi hanya gerakan revolusioner oleh kaum buruh di negeri-negeri imperialis utama — seperti AS, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia – yang bisa mengguncang imperialisme dan membebaskan Timur Tengah dari rantai imperialis yang membelenggu dan mencekiknya. Inilah mengapa perspektif internasional sangatlah penting bagi perjuangan.
Perubahan-perubahan politik yang tajam juga sedang kita saksikan di banyak negeri lainnya, entah sudah mulai bergulir atau sedang dipersiapkan. Semua yang padat meleleh ke udara, inilah periode yang sedang kita masuki.
Indonesia dan Ekonominya
Angka terbaru pertumbuhan ekonomi Indonesia baru saja dirilis, dan hasilnya tidak menggembirakan. Pada triwulan ke-2 tahun ini, pertumbuhan ekonomi melambat, menjadi 4,67 persen. Ini adalah pertumbuhan terendah sejak triwulan ke-4 2009. Kalau kita teliti, pertumbuhan ekonomi terus melambat selama 3-4 tahun terakhir. Angka ini telah membuat khawatir pemerintahan Jokowi. Kita juga melihat lemahnya daya beli masyarakat, yang terlihat dari indikator-indikator utama seperti penjualan mobil, motor dan semen. Selain itu, ini juga terlihat dari penjualan mobil secara kredit, yang saat ini porsinya 83-85%, padahal tahun lalu 75%.
Akibat perlambatan ekonomi, DKI Jakarta pesimistis bisa capai target penerimaan pajak daerah Rp 36 triliun. Pihaknya hanya berharap bisa merealisasikan penerimaan sebesar 32 triliun, yakni 15 persen lebih rendah dari target. Ini berarti banyak program sosial yang dijanjikan oleh pemerintahan DKI Jakarta tidak akan terealisasi. Hal yang sama pasti juga dialami oleh pemerintahan-pemerintahan daerah lainnya, dimana perlambatan ekonomi berimbas pada penerimaan pajak.
Untuk menalangi lambatnya pertumbuhan ekonomi, pemerintah mengharapkan belanja negara dapat membantu. “Presiden meminta percepatan belanja dipastikan dapat terjadi di semester II ini. Jadi, harapan beliau, belanja pemerintah akan mengompensasi perlambatan ekonomi. Jangan sampai belanja terkendala,” kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (5/8). Menteri PUPR Basuki juga mengeluarkan instruksi untuk mempercepat proyek infrastruktur yang dikerjakan melalui Kementerian PUPR, seakan-akan ekonomi bisa tumbuh hanya dengan instruksi saja. Gagasannya adalah kalau pemerintah menggelontorkan uang lewat proyek-proyek dan belanja negara, ini akan bisa memompa ekonomi, semacam stimulus tidak langsung.
Akan tetapi semua usaha ini adalah harapan sia-sia. Penyebab utama dari melambatnya perekonomian Indonesia adalah lesunya perekonomian dunia secara umum, dan lesunya perekonomian China khususnya. Ekonomi China mulai mengalami kesulitan. Pasar sahamnya anjlok lebih dari 30 persen selama beberapa bulan terakhir. Pemerintah China baru saja melakukan devaluasi mata uang Yuan guna membantu ekspor mereka, serta meluncurkan berbagai kebijakan stimulus. Ini semua menunjukkan bahwa ekonomi China sedang dalam masalah, dan imbasnya jelas bagi ekonomi-ekonomi seperti Indonesia yang bersandar padanya.
BI sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2015 berkisar 5-5,4 persen. Namun prediksi ini jelas tidak akan bisa terealisasi. Agar bisa tumbuh 5 persen sepanjang 2015, ini berarti semester II (paruh kedua) perekonomian harus tumbuh setidaknya 5,3 persen. Tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia bisa mencapai tingkat tersebut pada paruh kedua. (Angka pertumbuhan kuartal ke-3 baru saja diterbitkan, yakni sebesar 4,73%) Kalaupun bisa, ini berarti pemerintah dan kapitalis harus melakukan serangan besar-besaran terhadap kelas buruh guna meningkatkan tingkat laba mereka. Ini berarti penajaman perjuangan kelas, terutama dengan fakta bahwa Jokowi naik ke tampuk kekuasaan dengan janji-janji populis.
Statistik ekonomi yang mengkhawatirkan ini telah mendorong Jokowi untuk melakukan reshuffle kabinet. Belum satu tahun di pemerintah, Jokowi mengganti 6 menterinya karena kinerja yang tidak baik. Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional diganti, yang merefleksikan kekhawatiran pemerintah mengenai ekonomi Indonesia. Jokowi sendiri mengatakan bahwa ia membutuhkan sosok menteri yang berpengalaman menghadapi krisis, terutama masalah ekonomi, dan bahwa pergantian itu dilakukan lebih karena antisipasi menghadapi krisis. Lenin pernah mengatakan, bahwa salah satu indikator akan semakin dekatnya situasi revolusioner adalah krisis di dalam tubuh kelas penguasa, dan kita sudah mulai menyaksikan ini. Diawali dengan terpilihnya Jokowi sendiri, dan lalu dengan reshuffle baru-baru ini.
Terus melambatnya perekonomian Indonesia cepat atau lambat akan berimbas pada gerakan buruh. Kapitalis akan semakin gencar menyerang buruh guna mempertahankan tingkat laba mereka di tengah kelesuan ekonomi. Demo dan aksi mogok biasa sudah tidak akan bisa lagi memaksa kapitalis untuk memberikan konsesi pada buruh. Di sini buruh akan belajar bahwa mereka perlu meningkatkan militansi metode perjuangan mereka, dan mereka akan belajar pula watak dari krisis kapitalisme yang ada. Sementara para pemimpin reformis mereka dalam setiap langkah akan menegakkan hambatan bagi mereka. Benturan antara para buruh dan pemimpin mereka adalah niscaya dalam periode ke depan.
Kelas Kapitalis Menyerang
Baru satu tahun umur rejim Jokowi-Jusuf Kalla ini, mereka sudah meluncurkan serangan terbesar mereka terhadap kelas buruh dengan disahkannya PP Pengupahan. Pada dokumen perspektif Militan 2014, kita mengatakan:
“Setelah festival “demokrasi” ini bubar dan lampu-lampu neon yang membutakan mata dimatikan dan diturunkan, kaum buruh dengan cepat akan menyadari apa yang telah mereka beli. Pemerintahan yang akan datang akan menemukan dirinya kehabisan ruang untuk melakukan manuver. Tekanan besar dari krisis yang belum usai ini akan mendorong pemerintahan Jokowi untuk menyerang buruh dengan lebih ganas.”
Untuk mengembalikan tingkat profit dari kaum kapitalis, yang tergerus di satu sisi oleh krisis kapitalisme dan di sisi lain oleh kenaikan upah yang dimenangkan oleh buruh terutama pada periode sebelumnya, sejak bulan September rejim Jokowi menelurkan serangkaian kebijakan ekonomi. Kebanyakan isi dari paket-paket ekonomi ini bersifat birokratis dan administratif, seperti mempermudah orang asing untuk membuat rekening bank, menghapus regulasi-regulasi bisnis yang tidak efisien, mempercepat keluarnya perizinan investasi, fasilitas perpajakan untuk bisnis, perampingan izin sektor kehutanan, mempermudah izin usaha, dsb. Intinya paket-paket ini bertujuan melakukan deregulasi dan debirokratisasi.
Akan tetapi kebijakan-kebijakan ini, yang disebut paket ekonomi jilid I sampai III, belumlah berhasil meyakinkan para investor. Majalah The Economist melaporkan:
“Kendati demikian, pasar masih tidak merasa diyakinkan. Rupiah terus menurun setelah dua pengumuman pertama (jilid I dan II)… Tidak ada yang meragukan kalau kebijakan-kebijakan deregulasi ini adalah lebih baik daripada tidak ada sama sekali, tetapi mereka sama sekali tidak ‘masif’
“Seorang pengusaha asing, yang lama tinggal di Indonesia, berpendapat bahwa paket-paket ekonomi ini adalah hasil dari ‘para birokrat yang berbicara di antara diri mereka sendiri bagaimana menjadi birokrasi yang lebih baik, dan bukannya bagaimana menjadi lebih terbuka untuk investasi asing’. Kebanyakan, kebijakan-kebijakan Jokowi menghapus regulasi-regulasi yang semestinya memang tidak pantas diterapkan sejak awal. Kebijakan-kebijakan ini tidak mengubah iklim investasi secara fundamental dan tidak memberikan sinyal kepada para investor kalau Jokowi sedang mempersiapkan reforma-reforma yang lebih besar.” (The unstimulating stimulus, 17/10/2015)
Apa yang dipaparkan di atas jelas, bahwa kapitalis menuntut lebih dari sekedar peningkatan efisiensi regulasi. Regulasi bisnis yang efisien tentu bisa membantu kapitalis, tetapi yang terutama dibutuhkan oleh kapitalis untuk meningkatkan profit mereka adalah menekan upah buruh. Ini karena pada akhirnya, dalam hukum ekonomi kapitalisme, profit dan upah selalu berbanding terbalik. Akhirnya, lewat paket ekonomi jilid IV rejim Jokowi meluncurkan “reforma-reforma yang lebih besar” yang dituntut oleh kaum kapitalis, yakni menyerang langsung upah buruh.
PP Pengupahan adalah serangan terbesar yang diluncurkan oleh rejim penguasa sejak mereka dikejutkan oleh Mogok Nasional 2012. Ini dimotivasi tidak hanya oleh kebutuhan ekonomi, seperti yang dijelaskan di atas, tetapi juga kebutuhan politik. Sejak Mogok Nasional 2012 yang historis, kelas buruh telah memenangkan banyak pencapaian. Walaupun gerakan buruh dalam beberapa tahun terakhir mengalami pelemahan dibandingkan pada puncaknya pada 2012, terutama akibat dari watak reformis dari kepemimpinan buruh yang ada, tetapi secara umum ada kepercayaan diri yang masih tumbuh di antara buruh kalau mereka bisa menang kalau berjuang. Situasi seperti ini secara politik tidak bisa ditolerir oleh kelas penguasa. Melihat semakin melemahnya gerakan buruh dari tahun ke tahun, sekarang kelas penguasa mengambil inisiatif untuk melakukan ofensif, yang tujuannya bukan hanya untuk menyerang upah buruh tetapi juga mematahkan kepercayaan diri dan semangat buruh.
Sehingga tidaklah berlebihan apa yang kita paparkan pada pernyataan Militan:
“Hari ini kaum buruh dihadapkan dengan perjuangan yang akan menentukan tidak hanya kesejahteraan dari tiap-tiap buruh tetapi juga nasib dari keseluruhan gerakan buruh untuk hari-hari ke depannya. Kekalahan tidak hanya akan membuat buruh semakin melarat, tetapi juga memukul gerakan buruh secara keseluruhan, apalagi kalau kalah tanpa mengobarkan perlawanan yang sengit dan gigih. Kemenangan sebaliknya akan menjadi modal penting bagi perjuangan buruh dalam membebaskan dirinya dari belenggu kapitalisme. Inilah yang sedang kita pertaruhkan, masa depan gerakan buruh itu sendiri. Kelas penguasa paham betul akan ini dan bubuhan tanda tangan Jokowi yang mensahkan PP Pengupahan kemarin adalah tabuhan genderang perang kelas dari pihak kapitalis.” (Patahkan PP Pengupahan dengan Mogok Nasional, 27 Oktober 2015)
Perlawanan Buruh dan Kepemimpinan Mereka
Semua indikasi menunjukkan kalau buruh umumnya siap melawan. Ada atmosfer perlawanan yang sudah mulai terbangun sejak diumumkannya RPP Pengupahan, yang semakin memanas ketika RPP ini disahkan dan tidak diragukan lagi mencapai titik didihnya ketika lewat siaran langsung TV jutaan buruh menyaksikan saudara-saudari kelas mereka direpresi di halaman Istana Merdeka. Akan tetapi, dalam setiap langkahnya kaum buruh dihalangi oleh kepemimpinan mereka yang tidak siap dan selalu ragu-ragu. Inilah kontradiksi terbesar di dalam gerakan buruh hari ini, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia: kepemimpinan buruh yang tidak hanya tertinggal di belakang kesadaran buruh yang menuntut untuk bergerak maju dan sudah mengambil langkah maju, tetapi juga menjadi batu penghalang.
Setelah keberhasilan Monas 2012, kepemimpinan serikat-serikat buruh berpikir bahwa ritual aksi dan negosiasi yang sama pada bulan-bulan menjelang penentuan upah minimum akan memberikan hasil yang sama. Sehingga, ketika dihadapkan dengan situasi baru – yakni kelas penguasa yang mengambil posisi ofensif dan menolak tunduk sebelum mematahkan perlawanan buruh – kepemimpinan serikat-serikat buruh tidak siap. Mereka pikir buruh adalah seperti mesin, yang bisa dinyalakan dan digerakkan setiap saat dibutuhkan hanya dengan menekan tombol. Setelah erupsi besar pada 2012, lava dan magma yang sebelumnya panas membara mengeras dan menjadi kerak yang menghalangi erupsi selanjutnya.
Jauh-jauh hari sudah jelas kalau pemerintah dan kapitalis tengah mempersiapkan ofensif besar. Sejak tahun lalu, di bawah SBY, sudah ada pembicaraan mengenai merancang PP Pengupahan yang akan mengubah secara drastis proses penentuan upah, yang lalu perancangan ini dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi. Oleh karenanya kalau hari ini para pemimpin buruh berkelit bahwa belum ada persiapan yang cukup matang untuk bisa melakukan mogok nasional, bahwa buruh tidak siap untuk menghentikan produksi, maka kesalahan ada di tangan para pemimpin ini, bukan massa buruh. Semua orang yang punya mata akan bisa melihat dengan terang benderang kalau PP Pengupahan ini akan diluncurkan. Eskalasi aksi dan persiapan mogok nasional seharusnya sudah harus diluncurkan jauh-jauh hari, tanpa harus menunggu diumumkannya RPP ini (15 Oktober) dan ditandatanganinya RPP ini (23 Oktober).
Bahkan setelah diumumkannya RPP Pengupahan, Said Iqbal, pemimpin FSPMI, dan para pemimpin buruh lainnya masih belum menentukan secara pasti apakah akan dilakukan mogok nasional atau tidak. Yang ada hanya gertakan dan perkiraan entah itu November atau Desember mogok nasional akan diluncurkan. Rejim Jokowi tidak menggubris gertakan mogok nasional ini dan langsung mensahkan RPP ini. Segala protokoler mengundang para pemimpin buruh untuk duduk bersama tidak lagi dilakukan. Tujuannya jelas: menggembosi semangat buruh dan mencolong start. Baru pada 29 Oktober tanggal mogok nasional yang pasti diumumkan, 18-20 November. Ini sesungguhnya sudah sangat telat.
Perjuangan kali ini mengambil karakter yang berbeda dibandingkan sebelum-sebelumnya, dimana rejim ada dalam posisi ofensif dan gerakan buruh dalam kondisi defensif. Seperti kata orang bijak, pertahanan yang terbaik adalah menyerang. Dalam hal ini inisiatif ada di tangan rejim penguasa. Yang sekali lagi tidak harus demikian bila kepemimpinan serikat-serikat buruh yang ada telah siap.
Ini bukan masalah karakter pribadi pemimpin ini atau itu, bukan masalah amanah, keberanian, atau kejujuran dalam kepribadian seorang pemimpin. Ini adalah masalah perspektif politik yang dimilikinya. Para pemimpin serikat buruh yang kita miliki hari ini adalah reformis dari atas kepala sampai ujung kakinya. Mereka percaya bahwa kapitalisme bisa direforma untuk menjadi sistem yang mensejahterakan buruh, kalau dalam batas-batas kapitalisme buruh bisa sejahtera. Tidak mampu berpikir di luar bingkai kapitalisme, maka mereka harus menerima logika kapitalisme juga, secara sadar atau tidak sadar. Selain itu, para pemimpin ini juga jatuh di bawah tekanan kapitalis, untuk menjadi pemimpin yang “bertanggung jawab” dan “bisa diterima”. Mereka beradaptasi pada tata krama yang dominan di dalam masyarakat kapitalis ini.
Kapitalisme hari ini tidak akan bisa lagi memberikan konsesi seperti dahulu. Kemenangan besar pada 2012 adalah hasil dari kombinasi unik beberapa faktor: 1) pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama periode 2010-2012 (yang mencapai 6,5% pada 2011). Sebagai akibatnya, ada investasi besar-besaran di sektor industri berat, terutama di sektor otomotif dan kimia. Ini menciptakan batalion buruh yang kuat, memberi buruh posisi tawar yang lebih kuat dan menumbuhkan kepercayaan diri mereka. Selain itu kondisi ekonomi yang sangat baik saat itu memungkinkan kaum kapitalis untuk memberikan konsesi. 2) Ketidaksiapan rejim penguasa dalam mengantisipasi mogok nasional ini, yang merupakan mogok nasional pertama sejak PKI dan SOBSI dihancurkan. Elemen kejutan ini memberi buruh posisi yang menguntungkan. Seperti dalam perang, elemen kejutan sangatlah penting. Boleh dikatakan para pemimpin buruh reformis dari berbagai serikat kuning juga terkejut dengan gelombang radikalisasi dari para anggotanya, dan mereka terpaksa dengan setengah-hati mengakomodir gerakan ini.
Tetapi hari ini situasi sudah berubah. Kondisi ekonomi terus memburuk, seperti yang telah kita jelaskan di atas. Kelas penguasa telah lebih siap dalam mengantisipasi aksi-aksi buruh. Mereka juga belajar dari pengalaman mereka. Oleh karenanya metode-metode yang sama tidak akan bisa memberikan hasil yang serupa seperti sebelumnya.
Membusuknya Reformisme
Lagi dan lagi kita saksikan masalah yang kerap merudung gerakan buruh, yakni absennya kepemimpinan sadar yang bisa membuka jalan ke kemenangan. Dalam setiap kesempatan para pemimpin reformis di dalam gerakan buruh menelikung gerakan buruh yang sedang melangkah maju. Para pemimpin reformis ini bisa merasakan adanya gemuruh di bawah permukaan, dan mereka memainkan peran historis mereka untuk menyalurkan gemuruh ini ke saluran yang aman, entah dengan menyerukan berbagai aksi yang tujuannya adalah sebagai katup pengaman untuk melepaskan kegeraman buruh, atau dengan seruan partai buruh pada May Day kemarin. Mengenai partai buruh, kita telah mengatakan ini dalam artikel kita sebelumnya:
“Seberapa serius mereka sungguh-sungguh ingin membentuk sebuah Partai Buruh yang tujuannya adalah membela kepentingan buruh? Seserius keinginan mereka untuk menumbangkan kapitalisme! Dalam kata lain, jangan berharap terlalu banyak. Kita tidak perlu pintar-pintar amat untuk mencapai kesimpulan ini. Namun alasan utama dari deklarasi ini adalah tekanan dari bawah, yakni kekecewaan para buruh terhadap berbagai kebijakan para pemimpin ini selama 2-3 tahun terakhir – dari mengerem laju gerakan buruh sampai ke kebijakan pemilu mereka yang menyedihkan. Para pemimpin reformis ini lantas harus memberikan layanan bibir pada gagasan partai buruh guna menenangkan kekecewaan para anggotanya.”
Prognosis ini semakin terbukti kebenarannya. 6 bulan setelah seruan GBI tersebut, belum ada hal-hal konkret dan serius yang diinisiasi oleh para pemimpin reformis ini untuk memulai proses pembangunan Partai Buruh. Tampaknya gagasan partai buruh ini mulai dikubur oleh mereka. Namun selama apa para pemimpin reformis ini bisa menenangkan kekecewaan para anggotanya hanya dengan layanan bibir? Masalah fundamental ini akan terus mengedepankan dirinya, mendorong dan merangsek ke permukaan.
Penghalang terbesar bagi kemajuan umat manusia adalah kapitalisme. Namun penghalang terbesar bagi kaum buruh untuk menumbangkan kapitalisme bukanlah kapitalis itu sendiri tetapi reformisme atau sosial demokrasi yang menjangkiti gerakan – ideologi maupun personifikasi ideologi tersebut di dalam jajaran kepemimpinan buruh. Ini bukan masalah amanah ataupun keberanian dan heroisme, tetapi masalah ideologi. Menjelaskan dengan sabar masihlah merupakan tugas kaum revolusioner. Perjuangan ideologi di dalam gerakan buruh masihlah merupakan tugas yang paling krusial bagi buruh yang sadar kelas, untuk mengekspos keterbatasan dan pengkhianatan yang inheren dari reformisme.
Di seluruh dunia reformisme dan sosial demokrasi sedang mengalami pembusukan. Tidak ada lagi masa depan bagi reformisme. Tetapi selama tidak ada kekuatan revolusioner, yakni Marxisme, yang bisa memberikan jalan terang bagi buruh, maka reformisme akan terus menjadi beban mati bagi gerakan buruh.