Kita tengah melalui sebuah titik balik menentukan dalam sejarah. Pada momen seperti ini, wajar kalau kita ingin mencari titik referensi atau paralel sejarah. Tetapi sepertinya tidak ada yang benar-benar cocok dengan apa yang sedang kita alami.
Bank of England mengatakan bahwa ini akan menjadi krisis paling dalam selama 300 tahun terakhir, tetapi pernyataan ini pun tidak memadai. Pada kenyataannya, situasi yang tengah kita alami sangatlah unik.
Untuk menemukan titik referensi yang setidaknya serupa, kita harus kembali sejauh Wabah Hitam pada abad ke-14, yang memusnahkan antara sepertiga sampai setengah populasi Eropa.
Orang-orang mengira saat itu adalah kiamat. Pada kenyataannya, bukan kiamat yang datang, tetapi akhir dari sebuah sistem sosio-ekonomi tertentu yang disebut feodalisme. Ini menandai bangkitnya sebuah kelas revolusioner yang baru, yakni kelas borjuasi, dan awal dari revolusi borjuis di Belanda dan Inggris. Pandemi hari ini, memang benar, belumlah mencapai tingkatan seperti itu. Tetapi pada akhirnya, pandemi ini akan terbukti lebih menghancurkan.
Wabah Covid-19 terus menyebar tanpa henti, memorak-porandakan negeri-negeri miskin yang tidak punya kapasitas untuk memeranginya. Pandemi ini menggila, terutama di Afrika, Asia dan Amerika Lain, tetapi juga di Amerika Serikat. Ini belumlah mencapai jumlah korban jiwa seperti Wabah Hitam. Tetapi jumlah kematian global akan mencapai lebih dari 1 juta pada akhir September [tepat pada 28 September, jumlah korban jiwa di seluruh dunia mencapai 1 juta]. Pada saat dokumen ini ditulis [bulan Agustus], jumlah kasus virus korona yang telah dikonfirmasi mencapai lebih dari 24 juta di seluruh dunia. [Pada awal November, jumlah kasus telah berlipat dua kali dan mencapai 48 juta].
Kendati deklarasi-deklarasi optimis dari sejumlah pemerintah, efektivitas vaksin masih belum teruji. Seperti biasanya, rakyat miskinlah yang paling menderita. Dengan mengekspos ketidakmampuan ekonomi pasar dalam menawarkan solusi terhadap masalah hidup mati yang dihadapi jutaan rakyat, sistem kapitalis semakin dipertanyakan.
Adalah penting untuk menekankan bahwa pandemi ini bukanlah penyebab krisis ekonomi hari ini. Krisis ekonomi ini sudah dimulai jauh sebelum dunia mengenal virus korona. Tetapi pandemi ini jelas merumitkan seluruh situasi dan memperdalam krisis. Secara dialektik, sebab menjadi akibat, dan akibat, pada gilirannya, menjadi sebab.
Proses yang Menjadi Semakin Cepat
Engels mengatakan bahwa ada masa dalam sejarah dimana 20 tahun berlalu seperti satu hari. Tetapi dia menambahkan, ada juga masa lain dimana sejarah 20 tahun dapat diringkas dalam 24 jam.
Pernyataan Engels ini secara akurat mengekspresikan watak dari situasi hari ini, yang ciri-ciri utamanya adalah bagaimana cepatnya peristiwa-peristiwa bergulir. Perubahan yang tajam dan mendadak adalah implisit dalam keseluruhan situasi.
Bila ada orang yang meramalkan pada Januari apa yang akan terjadi enam bulan mendatang, tidak akan ada yang percaya padanya. Bahkan, mereka akan mengira dia sudah benar-benar gila.
Pertama, keruntuhan ekonomi yang terjadi dengan begitu cepat membuat semua orang terkejut. Guncangan terhadap ekonomi dunia yang datang dari Covid-19 jauh lebih cepat dan lebih dalam dibandingkan krisis finansial 2008 dan bahkan Depresi Hebat 1929.
Keruntuhan ekonomi di AS sama parahnya seperti Depresi Hebat. Tetapi, bila kontraksi ekonomi setelah 1929 berlangsung selama periode 4 tahun, kontraksi selama pandemi virus korona terjadi hanya dalam waktu 4 bulan.
Menyusul Keruntuhan Wall Street 1929, bursa saham anjlok lebih dari 50 persen, pasar kredit macet, yang menyebabkan kebangkrutan dan melejitnya angka pengangguran, sementara PDB menyusut dengan tajam. Tetapi semua ini berlangsung dalam jangka waktu sekitar 3 tahun.
Dalam krisis hari ini, kolaps ekonomi dan finansial yang serupa berlangsung dalam waktu 3 minggu. Hanya butuh 15 hari bursa saham AS anjlok dari puncaknya – penurunan paling cepat dalam sejarah. Dan dalam waktu beberapa minggu atau bulan, jumlah pengangguran AS mencapai 40 juta. Konsumsi, pengeluaran kapital dan ekspor tumbang tanpa preseden. Mengutip apa yang dikatakan profesor ekonomi Nouriel Roubini: “Tidak pernah bahkan pada saat Depresi Hebat dan perang dunia kedua mayoritas aktivitas ekonomi benar-benar dimatikan, seperti yang telah terjadi di China, dan di AS dan Eropa hari ini.”
Krisis Dunia
Ini adalah krisis kapitalisme sedunia dalam arti sesungguhnya.
Kebijakan Trump adalah “America First”, dan dia menerapkan kebijakan ini dengan agresif. Dia ingin membuat Amerika hebat kembali, tetapi dia lupa menambahkan: dengan mengorbankan negeri-negeri lain. Nasionalisme ekonomi adalah jumlah total dari pemikirannya, bila memang dia mampu berpikir. Dia dengan berani menyatakan bahwa perang dagang adalah “baik”. Ini hanya akan memperparah krisis.
Serangan ganasnya terhadap China mengancam menghancurkan perdagangan dunia dan globalisasi yang sudah rapuh. Akan tetapi, ini hanyalah satu gejala dari fenomena umum. Trump telah menerapkan tarif terhadap sejumlah negeri lainnya, termasuk negeri-negeri yang seharusnya adalah sekutunya, seperti Uni Eropa, Kanada, dan Jepang. Pandemi virus ini telah memperparah situasi, dan mendorong gelombang proteksionisme baru, dan juga jatuhnya perdagangan dunia sekitar 13 persen.
Ini berarti kita tengah meluncur ke sebuah depresi ekonomi yang dalam. Mari ita ingat bahwa penyebab Depresi Hebat bukanlah Keruntuhan 1929 tetapi gelombang proteksionisme yang menyusulnya, devaluasi kompetitif, dan kebijakan memangsa negeri lain, yang berusaha mengekspor pengangguran ke negeri lain.
Bailout Besar
Untuk menghindari keruntuhan segera, pemerintah menggelontorkan triliunan dolar ke dalam ekonomi. Beberapa hari setelah lockdown, Kongres AS menyetujui paket stimulus terbesar dalam sejarah AS selama masa damai. Kebijakan serupa telah diadopsi di seluruh dunia. Pada akhir Juni, pemerintah G20 telah mengumumkan paket stimulus sebesar 10 triliun dolar, atau setara dengan 12 persen perekonomian dunia. Sejak itu, UE telah menyetujui paket stimulus lainnya sebesar 850 miliar dolar, dan Kongres AS akan menyuntik setidaknya 1 triliun dolar stimulus di atas yang sudah disetujui sebelumnya.
Untuk mengatasi guncangan besar dari lockdown, Federal Reserve memobilisasi likuiditas besar. Dalam 7 tahun menyusul krisis finansial 2008, Federal Reserve dalam beberapa fase membeli sekitar 3,5 triliun dolar aset. Dalam 3 bulan saja selama krisis pandemi, bank sentral AS membeli 3 triliun dolar aset. Setengah dari pembelian aset ini digunakan untuk membeli hutang pemerintah untuk memfasilitasi paket stimulus, setengah lagi dihabiskan untuk surat hutang korporasi dan pasar kredit perumahan.
Dana talangan raksasa untuk korporasi-korporasi besar untuk mengatasi dampak pandemi tidak ada presedennya dalam sejarah. Bahkan dengan jumlah stimulus raksasa ini – yang membuat Marshall Plan tampak kerdil – jelas tidak akan cukup untuk menghentikan kemerosotan ekonomi.
Fakta sederhananya adalah bahwa ekonomi kapitalis hanya bisa bertahan hari ini berkat suntikan dana yang besar dari pemerintah. Semua ini akan menumpuk hutang, dan hutang cepat atau lambat harus dilunasi.
Apakah akan Ada Pemulihan?
Untuk menenangkan hati mereka sendiri, para ahli ekonomi memprediksi pemulihan besar. Ini adalah ilusi. Kenyataannya, untuk menghindari keruntuhan segera, pemerintah-pemerintah di seluruh dunia telah menggelontorkan triliunan dolar ke dalam ekonomi.
Pada 9 April, 2020, situs foreignpolicy.com menulis komentar yang menarik mengenai krisis ini:
“Tindakan pengimbang yang besar dan segera ini sampai sekarang telah berhasil mencegah keruntuhan finansial global yang segera, tetapi sekarang kita menghadapi satu periode panjang dimana jatuhnya tingkat konsumsi dan investasi akan mendorong kontraksi ekonomi lebih lanjut.”
Profesor Nouriel Roubini dari New York University Stern School of Business menulis: “Hanya pemerintah pusat yang punya anggaran yang cukup besar dan kuat untuk mencegah kolapsnya sektor swasta.” Tetapi dia lalu menambahkan: “Tetapi intervensi pembiayaan defisit ini harus secara penuh dimonetasi. Bila ini dibiayai lewat hutang standar pemerintah, suku bunga akan melejit tinggi, dan pemulihan akan tercekik.” Dalam kata lain, bank sentral harus terus mencetak uang untuk membiayai anggaran pemerintah.
Roubini mengecam prediksi pemulihan bentuk V yang terlalu percaya diri: “Kontraksi yang tengah berlangsung tidak seperti V, atau U, atau L (penurunan tajam yang disusul dengan stagnasi). Justru, ini tampak seperti I: sebuah garis vertikal yang mewakili jatuhnya pasar finansial dan ekonomi riil.”
Ini adalah perspektif yang tidak sepenuhnya mustahil, bahkan tanpa adanya gelombang pandemi yang baru. Alih-alih pemulihan ekonomi yang dijanjikan, massa di semua negeri akan dihadapkan dengan puluhan tahun pemotongan yang dalam atas taraf hidup mereka, pengangguran dan kebijakan penghematan.
Siapa yang akan Membayar?
Siapa yang akan membayar? Ini adalah pertanyaan yang tidak ingin dilontarkan oleh siapapun, apalagi dijawab. Martin Wolf, ekonom utama dari koran Financial Times, menulis:
“Pandemi ini telah memaksa pembiayaan fiskal yang bahkan jauh lebih besar ketimbang krisis finansial [2008]. Ini kini telah memunculkan pertanyaan bagaimana mengelola hutang ini dan siapa yang akan membayarnya.”
Jawabannya jelas. Seluruh beban krisis ini akan diletakkan di pundak lapisan yang paling tidak mampu membayarnya: yang miskin, tua, sakit, menganggur, dan kelas buruh umumnya. Tapi kelas menengah juga tidak akan lolos dari ini.
Sejumlah kaum reformis kiri (misalnya, Podemos di Spanyol) telah dengan bodoh menarik kesimpulan bahwa dana talangan besar dari anggaran negara yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan untuk membayar upah buruh yang dirumahkan menandai perubahan fundamental dalam watak kapitalisme. Mereka melihatnya sebagai akhir dari “model neo-liberal” dan kembalinya kapitalisme dengan wajah tersenyum (Keynesian), yang sangat mereka nanti-nanti.
Dan Tuan Nyonya ini berani-beraninya menuduh Marxis sebagai kaum utopis! Mereka akan menyanyikan lagu yang berbeda ketika pemerintah yang telah menggelontorkan begitu banyak uang, yakni uang yang tidak mereka miliki, lalu mencoba menutup defisit ini dengan menghisapnya dari rakyat lewat kenaikan pajak dan pemangkasan besar anggaran sosial.
Beban finansial yang berat ini akan dirasakan selama bertahun-tahun ke depan, dan mungkin puluhan tahun, dan ini akan mencegah pemulihan yang serius. Dan cepat atau lambat, defisit besar ini akan menghasilkan inflasi tinggi, kredit macet, dan kontraksi besar dalam pinjaman, dan keruntuhan yang baru. Inilah perspektif sesungguhnya untuk hari depan. Ini adalah resep jadi untuk perjuangan kelas di semua negeri.
Ini dipahami oleh perwakilan kelas penguasa yang lebih bijak, seperti yang kita baca di Financial Times pada 9 Maret: “Membiayai ongkos pandemi akan mengedepankan semua pertanyaan yang sama. Kembali ke kebijakan penghematan akan menjadi kegilaan, yang akan mengundang gejolak sosial yang luas, bila bukan revolusi, dan berkah bagi kaum populis. Dalam jangka panjang, hutang fiskal ini harus dibayar. Akan tetapi, demokrasi liberal bisa selamat dari guncangan ekonomi besar kedua ini hanya bila ada perubahan dalam konteks sebuah kontrak sosial yang baru yang mengakui kesejahteraan mayoritas di atas kepentingan kaum berprivilese.”
Bagaimana mukjizat ini dapat dicapai tidak dijelaskan oleh Financial Times. Tetapi kalimat-kalimat di atas sangatlah membuka mata kita, bahwa ahli strategi kapital mencapai kesimpulan yang sama seperti kaum Marxis. Kaum borjuasi ada dalam kondisi terjepit. Mereka paham bahwa revolusi adalah implisit dalam situasi hari ini. Dan mereka tidak keliru.
“Meluncur ke Bencana”
Pada 1938, Leon Trotsky mengatakan bahwa kelas penguasa dunia “meluncur ke bencana dengan mata tertutup.” Inilah yang terjadi juga hari ini. Kaum borjuasi dan para politisi bayaran mereka merespons pandemi virus korona dengan kepanikan buta.
Di masa lalu, bahkan dalam momen krisis dan perang, rakyat dapat merasa bahwa pemerintah mereka, walaupun tidak punya kendali penuh atas situasi, setidaknya punya semacam rencana untuk keluar dari krisis.
Tidak demikian hari ini. Ahli strategi kapital sepenuhnya goyah. Editorial dari pers borjuis yang serius mencerminkan perasaan bingung dan khawatir, dan hampir putus asa.
Dunia sedang mengalami keruntuhan ekonomi yang paling tajam dalam sejarah, dan buku-buku teori ekonomi yang tua dalam sekejap masuk tong sampah. Perusahaan tidak bisa meramalkan masa depan mereka, investasi kolaps, dan ekonomi tengah menderita krisis yang lebih parah dan menyebar lebih cepat dibandingkan pada 1930an. Ramalan ekonomi IMF dan Bank Dunia tidak ada gunanya, karena tidak ada seorangpun yang dapat memprediksi akhir dari pandemi virus korona hari ini.
Situasi ini bahkan lebih parah kalau kita berbicara mengenai para pemimpin politik. Ada pepatah tua yang mengatakan bahwa rakyat mendapat pemerintah yang layak mereka terima. Ini tidak sepenuhnya benar. Tetapi benar bahwa kelas penguasa di tengah krisis hari ini mendapat pemerintah yang layak mereka terima.
Donald Trump di AS, Boris Johnson di Inggris, dan Bolsonaro di Brasil mewakili personifikasi dari kebangkrutan intelektual dan moral dari kelas borjuasi di masa uzurnya. Mereka dengan suka cita membawa bangsa mereka ke tepi jurang, dan lalu melemparnya ke jurang. Kepemimpinan yang buruk membuat situasi yang buruk 1000 kali lipat lebih parah. Borjuasi menjambak rambut mereka dan mengeluh dengan keras mengenai situasi yang buruk, tetapi tidak dapat melakukan apapun mengenainya.
Amerika Serikat
Ekspresi paling mencolok dari semua ini dapat ditemukan di AS, negeri terkaya di dunia.
Ada cerita yang mengatakan Kaisar Roma memainkan kecapinya saat kota Roma terbakar. Sekarang Kaisar Trump mengikuti jejak pendahulu Romawinya, walaupun dia akhirnya setuju untuk memakai masker, yang setidaknya adalah perbaikan.
Jutaan warga AS telah dipecat atau dirumahkan. Pekerja fast-food dan supermarket mempertaruhkan nyawa mereka untuk upah minimum, sementara pandemi berkobar tanpa kendali, dan jutaan rakyat jadi korban dan meninggal.
Pendaftaran baru untuk tunjangan pengangguran di AS melejit ke tingkatan yang tak pernah terdengar sebelumnya, yang mengindikasikan tingginya jumlah buruh yang dipecat dan pasar tenaga kerja yang menyusut dengan cepat.
Keruntuhan yang mendadak ini mengejutkan jutaan buruh Amerika. Tunjangan tunai dari pemerintah untuk sementara meringankan penderitaan mereka. Tetapi jumlah korban virus korona terus bertambah.
Dan pandemi ini memukul paling keras wilayah-wilayah yang dimukimi oleh warga kulit berwarna yang miskin dan etnik-etnik minoritas lainnya, dan ini membuat ketidaksetaraan rasial yang sudah lama ada bahkan semakin mencolok.
Gerakan Insureksioner
Kekecewaan dan kegeraman jutaan rakyat miskin yang mendidih, terutama rakyat kulit hitam, di AS akhirnya meledak dipicu oleh terbunuhnya George Floyd. Gerakan ini bukanlah jatuh dari langit. Ini adalah hasil dari puluhan tahun eksploitasi, opresi, kemiskinan, perumahan buruk, rasisme dan kekerasan polisi.
Sejarawan dan profesor Rice University Douglas Brinkley mengekspresikan situasi ini dengan sangat terang: “Benang-benang kehidupan sipil kita dapat mulai terurai, karena semua orang hidup di dalam kotak pemantik api.”
Selama puluhan tahun terakhir sudah banyak sekali pembunuhan seperti ini, yang tidak memicu protes dengan skala seperti hari ini. Tetapi bagi jutaan rakyat miskin AS, pembunuhan George Floyd adalah jerami yang mematahkan punggung unta. Video kekerasan polisi yang memuakkan ini seperti korek api menyala yang jatuh ke tong mesiu.
Di Minneapolis, dimana gerakan ini dimulai, polisi harus melarikan diri dari kerumunan demonstran yang marah, yang lalu membakar kantor polisi. Ini adalah adegan dengan karakter insureksioner. Tetapi apa yang bahkan lebih signifikan adalah betapa pesatnya peristiwa-peristiwa ini berkembang.
Seolah digerakkan oleh tangan tak kasat mata, gerakan protes menyebar ke seluruh penjuru AS, melompat dari satu kota ke kota lain. Setidaknya 10 persen populasi ikut demo, dan banyak lagi yang mendukungnya. Yang mengejutkan, mayoritas warga Amerika, 54 persen, berpendapat bahwa membakar kantor polisi Minneapolis adalah hal yang dibenarkan. Bahkan yang lebih signifikan dan berpotensi adalah fakta bahwa 29 pelabuhan mogok sebagai tanda solidaritas, sementara di sejumlah kota para sopir bus menolak mengantarkan polisi anti huru-hara.
Negara lalu menumpas gerakan demo ini dengan amat brutal, dan jam malam diberlakukan di 200 kota. Namun, protes terus berlanjut selama berminggu-minggu. Ini adalah indikasi apa yang akan datang di masa depan, semacam geladi resik untuk revolusi Amerika.
Peristiwa semacam ini tidak ada presedennya dalam sejarah Amerika baru-baru ini. Gerakan ini adalah jawaban final bagi semua orang yang skeptis dan pengecut, yang berpendapat bahwa kelas buruh tidak akan pernah bergerak, apalagi di Amerika Serikat.
Perpecahan di antara Kelas Penguasa
Perpecahan di antara kelas penguasa adalah indikasi pertama dari situasi revolusioner yang sedang berkembang. Trump ingin menggunakan tentara untuk meremukkan gerakan. Tetapi ini memprovokasi pembangkangan dari para pemimpin militer, dan bahkan sebagian kaum Republiken.
CNN mengutip pejabat Kementerian Pertahanan yang mengatakan bahwa ada “rasa tidak nyaman yang dalam dan berkembang” di antara sejumlah orang di Pentagon bahkan sebelum Presiden mengatakan bahwa dia siap mengirim militer untuk mengembalikan ketertiban di kota-kota AS. Koran Wall Street Journal terbit dengan tajuk: Jangan Kerahkan Tentara, dan menulis: “Sekarang, pemandangan tentara di jalan-jalan AS akan memprovokasi dan bukannya menenangkan …”
Trump kemudian mengirim pasukan dari Homeland Security untuk merepresi demonstrasi di Portland. Seperti yang diramalkan Wall Street Journal, dampaknya adalah memicu gerakan yang bahkan lebih besar dan lebih penuh dengan kekerasan. Ini hampir seperti perang saudara di jalan-jalan. Dengan ini, Donald Trump telah melakukan kerja revolusi dengan sangat efektif!
Ini menunjukkan limit dari kekuatan negara. Ini menunjukkan kepada kita apa yang akan datang.
Limit Spontanitas
Pada 1938, Leon Trotsky menulis bahwa kita bisa mereduksi krisis kemanusiaan ke krisis kepemimpinan proletariat. Kita harus merenungkan dengan seksama apa yang dimaksud oleh Trotsky. Jelas kalau gerakan massa selalu merupakan kekuatan pendorong utama revolusi. Dalam hal ini, kita setuju dengan kaum anarkis. Tetapi kesimpulan mereka mentok di sini ketika problem riil revolusi dimulai.
Apa yang ditunjukkan oleh peristiwa-peristiwa di Amerika Serikat? Mereka mengungkapkan potensi luar biasa dari massa. Mereka menunjukkan bahwa ada kekuatan dalam masyarakat yang lebih kuat daripada negara, tentara atau polisi yang paling kuat sekalipun. Ya, ini sungguh benar. Gerakan spontan massa adalah prasyarat revolusi sosialis. Tetapi dalam dirinya sendiri, gerakan spontan ini tidaklah memadai untuk menjamin keberhasilan.
Seperti halnya tenaga uap juga merupakan kekuatan yang besar. Tenaga uap adalah tenaga yang mendorong Revolusi Industrial, dan terus mendorong kehidupan ekonomi sampai hari ini. Tetapi tenaga uap hanya menjadi kekuatan bila ia dipusatkan ke satu titik tunggal, dalam sebuah kotak piston, yang memusatkan kekuatannya dan melipatgandakannya seribu kali lipat. Tanpa ini, uap hanya akan menghilang ke udara begitu saja.
Ini sama seperti revolusi. Tanpa organisasi dan kepemimpinan, kekuatan besar kelas buruh hanya tetap menjadi potensi saja, dan bukan kekuatan riil.
Sejarah perang memberi kita banyak contoh bagaimana pasukan besar dengan tentara yang berani dikalahkan oleh pasukan yang jauh lebih kecil, tetapi disiplin dan dipimpin oleh perwira yang berpengalaman. Dan perang antar kelas memiliki banyak kesamaan dengan perang militer.
Apa yang kita saksikan di AS menunjukkan batas kekuatan negara ketika dihadapkan dengan kebangkitan massa. Gerakan massa spontan ini adalah prasyarat untuk revolusi sosialis. Tetapi dengan sendirinya ini tidak cukup untuk menjamin kemenangan. Ada yang kurang, dan yang kurang adalah organisasi dan kepemimpinan yang mampu menerangi jalan ke depan.
Tanpa organisasi dan kepemimpinan yang memadai, gerakan protes ini cepat atau lambat akan meredup. Hal yang mengejutkan adalah betapa lamanya gerakan ini bertahan. Apakah ini revolusi? Jelas ini bukan revolusi. Tetapi ini jelas dapat dilihat sebagai geladi resik untuk revolusi di masa depan.
Semua telah Berubah
Ada perubahan besar dalam kesadaran rakyat di AS. Survei-survei menunjukkan meningkatnya dukungan untuk sosialisme. 67% orang muda akan memilih seorang presiden sosialis. Bahkan yang lebih mengejutkan, 30% orang lansia di atas 65 tahun juga akan mendukung seorang kandidat presiden sosialis, bila diberi kesempatan. Tetapi mereka tidak diberi kesempatan sama sekali.
Bernie Sanders, setelah menggugah harapan jutaan rakyat, menolak untuk memajukan diri sebagai kandidat sosialis, walaupun ada dukungan besar untuk sebuah partai baru. Sebaliknya, dia memilih untuk mendukung Joe Biden sebagai kandidat Demokrat, dengan dalih kita harus mengalahkan Trump. Argumen ini jelas cukup meyakinkan bagi mereka yang begitu putus asa ingin menyingkirkan Trump. Tetapi banyak lainnya yang meninggalkan Bernie karena muak.
Pilpres AS akan berlangsung November nanti, dan banyak hal yang bisa terjadi dari sekarang sampai November nanti. Tetapi kampanye telah dimulai. Trump mencoba menggambarkan dirinya sebagai kandidat penegak hukum dan ketertiban. Tetapi ini telah menjadi bumerang. Sekarang dia terus mengatakan bahwa pemilu ini akan dicurangi karena pemilihan lewat pos. Fakta ini adalah indikasi jelas bahwa dia sendiri tahu dia akan kalah. Survei-survei memang menunjukkan dukungan terhadapnya menurun. Akan tetapi, ini tidak berarti dia pasti akan kalah. (Untuk analisa hasil pilpres AS, baca artikel kami Kekacauan Elektoral dan Krisis Demokrasi Borjuis Amerika)
Banyak orang yang telah menarik kesimpulan bahwa pilihan antara Partai Demokrat dan Partai Republik bukanlah pilihan sama sekali. Dan bersamaan dengan ini dukungan terhadap gagasan sosialis, dan bahkan komunis, meningkat. Ini ditunjukkan oleh pertumbuhan pesat organisasi di Amerika Serikat dan juga oleh pertumbuhan keanggotaan DSA di ranting-ranting di seluruh penjuru Amerika. Sekitar 10.000 orang telah bergabung dengan DSA sejak Maret, dan jumlah anggota telah mencapai 66.000 menurut laporan internal.
Satu hal yang jelas. Tidak peduli siapapun yang duduk di Gedung Putih tahun depan, semuanya telah berubah dan tidak akan sama lagi. Masa-masa pergolakan menanti AS. Akan ada kemenangan bagi gerakan, dan juga kekalahan. Tetapi, untuk keseluruhan periode di hari depan, pendulum akan mengayun dengan tajam ke kiri.
Perlunya Dialektika
Hanya dengan menggunakan metode dialektika Marxis maka kita dapat melihat melampaui apa yang hanya tampak di permukaan (yang kerap disebut “fakta”) dan meraih pemahaman akan proses-proses riil yang tengah berkembang dan menjadi matang dengan perlahan di bawah permukaan.
Para pengamat yang empiris, impresionistik, dan dangkal terhenyak oleh gerakan-gerakan ini, yang tampaknya tiba entah dari mana, seperti petir di siang bolong. Tetapi pergolakan-pergolakan baru-baru ini tidaklah jatuh dari langit. Mereka telah dipersiapkan oleh seluruh periode sebelumnya.
Tidak mampunya berpikir secara dialektika menjelaskan impotensi dari para ahli strategi kapital, yang tidak mampu menjelaskan krisis hari ini, atau menyediakan solusi untuknya. Begitu juga dengan kelas menengah dan kaum intelektual, yang terjerat dalam keputusasaan yang gelap, yang tercerminkan dalam pengaruh post-modernisme di antara mereka, yang menyangkal adanya progres secara umum, hanya karena progres di bawah kapitalisme telah mencapai batas akhirnya.
Secara dialektik, semuanya cepat atau lambat akan berubah menjadi kebalikannya. Kesadaran kelas buruh tidaklah bergerak dalam garis lurus. Untuk waktu yang lama, kesadaran dapat tertinggal di belakang peristiwa. Tetapi cepat atau lambat, kesadaran akan melompat mengejar ketertinggalan ini. Inilah revolusi. Sekarang kita sedang menyaksikan proses ini berkembang di depan mata kita.
Kita harus ingat bahwa pergolakan revolusioner sudah dimulai sejak tahun lalu, di Sudan, Lebanon, Irak, Ekuador, Chili, dll. Di atas segalanya, radikalisasi ini tercerminkan dalam perubahan kesadaran massa yang pesat.
Bagaimana Kesadaran Berubah
Ketertinggalan kesadaran massa di masa lalu kini digantikan dengan ledakan besar. Di mana-mana kita saksikan kekecewaan, kemarahan, kegeraman dan kebencian yang semakin besar terhadap tatanan yang ada.
Ini terekspresikan dengan cara yang berbeda-beda di berbagai negeri. Tetapi di mana-mana, kita saksikan massa, buruh, dan anak-anak muda mulai bergerak dan menantang orde lama dan melawannya.
Mari kita ambil dua contoh yang penting: Israel dan Lebanon. Bila ada sebuah negara di dunia yang dianggap oleh banyak orang tidak ada perjuangan kelas, ini adalah Israel. Bagi kebanyakan orang, tampaknya Netanyahu memegang kendali penuh. Tetapi sekarang krisis telah menghantam Israel. Standar hidup anjlok dan pengangguran melejit. Dan massa telah turun ke jalan menuntut turunnya pemerintahan Netanyahu.
Di Lebanon, ini bahkan lebih mencolok. Menyusul gerakan revolusioner yang menyapu negeri ini pada akhir tahun lalu, ledakan di pelabuhan Beirut, yang menghancurkan kota ini dan membuat 300.000 rakyat kehilangan rumah mereka, telah memercikkan sebuah gerakan revolusioner yang baru dan bahkan lebih tegas. Belum lama yang lalu, tampaknya gerakan seperti ini mustahil, karena perpecahan sektarian yang tajam dalam masyarakat Lebanon. Tetapi, sekarang kita saksikan kebangkitan revolusioner yang besar, dengan semua lapisan kelas buruh bersatu dalam perjuangan.
Ledakan-ledakan kemarahan rakyat ini tidaklah jatuh dari langit. Mereka telah dipersiapkan oleh periode sebelumnya, terutama oleh kebijakan penghematan sepuluh tahun terakhir.
Belarus dan Rusia
Perubahan dramatis yang serupa tengah berkembang di Belarus, dimana gerakan protes menentang Lukashenko telah mengambil karakter yang masif. Benar kalau gerakan ini dipenuhi dengan kebingungan dan kontradiksi.
Kepemimpinan borjuis kecil dari gerakan ini ingin mempercepat proses privatisasi dan membangun relasi yang lebih erat dengan UE. Tetapi munculnya kelas buruh sebagai kekuatan kunci, yang bergerak ke arah pemogokan umum, telah menjadi elemen penting dalam gerakan. Buruh-buruh di industri milik negara tidak memiliki antusiasme yang sama untuk privatisasi dan ekonomi pasar dengan kaum liberal.
Situasi di Belarus tidak sama seperti di Ukraina, dimana gerakan di Ukraina didominasi oleh elemen-elemen nasionalis ekstrem yang reaksioner dan elemen-elemen fasis. Di Belarus, tidak ada sentimen anti-Rusia di antara populasi. Belarus sangatlah terintegrasi dengan Rusia dalam hal ekonomi, bahasa dan sejarah, sehingga sulit untuk melihat Belorusia pecah dari Moskow dan bergeser ke Barat.
Tidaklah mungkin memprediksi bagaimana gerakan ini akan berakhir. Putin akan mengawasi peristiwa di Belorusia dengan cemas. Tetapi opsi Putin di sana terbatas. Intervensi militer akan memprovokasi rakyat dan menciptakan semacam sentimen anti-Rusia yang dapat mendorong mereka ke Barat. Bagaimanapun, Putin tidak punya niat untuk menyelamatkan Lukashenko. Justru sebaliknya.
Tak diragukan lagi klik Kremlin akan bersekongkol dengan petinggi-petinggi birokrat di Minsk untuk menemukan figur “reformis” yang cocok untuk menggantikan Lukashenko yang sudah terdiskreditkan, dan mencapai kesepakatan dengan Moskow. Apakah manuver ini akan berhasil akan tergantung pada evolusi gerakan massa ini di hari depan.
Gerakan di Belarus akan memiliki konsekuensi serius di Rusia. Putin merasa takut, dan bukan tanpa alasan, bahwa gerakan yang serupa dapat meledak di Rusia. Peristiwa di Khabarovsk memberi indikasi bahwa ketakutan ini bukan tanpa alasan. Diracunnya oposisi liberal Navalny mungkin saja adalah reaksi panik. Kontradiksi-kontradiksi di Rusia semua mengarah ke semakin matangnya situasi yang eksplosif.
Eropa
Nasionalisme, dan bukan kerja sama internasional, adalah fitur dominan dalam periode hari ini. Ini mengancam seluruh sistem perdagangan internasional yang rapuh, yang telah dengan susah payah dibangun oleh borjuasi selama dekade-dekade menyusul berakhirnya Perang Dunia Kedua
Perang dagang antara AS dan China hanyalah satu gejala dari fenomena umum ini. Tetapi juga ada perang dagang antara AS dan Eropa. Dan bahkan di antara bangsa-bangsa Eropa, ada keretakan yang berbahaya yang terus muncul.
Sejak awal kami telah mengatakan bahwa kaum borjuasi Eropa hanya dapat mempertahankan integrasi ekonomi Eropa untuk sementara saja, tetapi bila terjadi krisis ekonomi yang dalam, proses ini bisa mengalami kemunduran. Inilah yang sekarang terjadi.
Jerman
Jerman adalah motor pendorong utama perekonomian Eropa, tetapi Jerman telah dihantam dengan keras oleh krisis. Kekuatan utama Jerman adalah kemampuan ekspornya. Tetapi kekuatan ini kini berubah menjadi kelemahan utamanya. Perlambatan ekonomi China dan krisis di seluruh Eropa telah menyebabkan anjloknya ekspor Jerman, terutama di sektor otomobil yang kunci.
Sedari kuartal keempat 2019, PDB Jerman sudah menurun. Sekarang PDB Jerman diramalkan akan menurun lebih besar dibandingkan PDB AS, terseret oleh ketergantungannya pada ekspor. Ada over-produksi mobil, yang menyebabkan ditutupnya banyak pabrik, PHK, dan hilangnya pekerjaan di sektor-sektor lainnya. Setidaknya ada tiga juta yang menganggur. Dan ini tidak termasuk pekerja yang self-employed dan mahasiswa.
Semua ini telah mengekspos garis-garis keretakan yang mengancam keutuhan UE.
Uni Eropa Terpecah-Belah
Ada perpecahan yang semakin membesar dengan anggota-anggota negara Eropa Timur. Brussels berpendapat negeri-negeri seperti Polandia dan Hungaria boleh mendapatkan uang bila mereka menghentikan kebijakan-kebijakan reforma yudisial yang dilihat oleh kritikus mereka sebagai serangan terhadap supremasi hukum.
Akan tetapi, perpecahan utama sekarang adalah antara negeri-negeri yang paling terhantam oleh virus korona (seperti Italia dan Spanyol) dengan anggota-anggota UE yang ingin mempertahankan uang mereka. Italia terutama adalah salah satu negeri Eropa yang paling awal terimbas pandemi dan telah mencatat 35.000 korban jiwa, salah satu negeri dengan jumlah korban tertinggi di dunia. Ketegangan ini terungkap dalam pertemuan baru-baru ini dimana pemimpin-pemimpin Uni Eropa bersitegang menegosiasikan paket stimulus untuk membantu anggota-anggota UE pulih dari pandemi saat mendiskusikan anggaran UE.
Swedia, Denmark, Austria, Belanda, dan Finlandia dengan keras kepala menolak menyediakan 500 miliar Euro bantuan ke negara-negara yang terhantam paling parah oleh COVID-19. Mereka mengatakan bahwa paket stimulus ini terlalu besar, dan juga tidak boleh diberikan sebagai bantuan tetapi hutang yang harus dibayar. Para pemimpin yang katanya terhormat ini, dan mayoritas dari mereka adalah kaum Sosial Demokrat, bertingkah seperti tengkulak.
Di akhir pertemuan yang panjang dan penuh pertengkaran ini, dengan para pemimpin UE saling mencerca dan Macron menggebrak meja dan mengancam akan walkout, pada akhirnya mereka mencapai sebuah kesepakatan yang labil. Mereka tidak punya pilihan lain selain mencapai sebuah kompromi. Tetapi selama proses pertemuan ini, idealisme solidaritas Eropa dibuang ke luar jendela.
Italia
Di tengah-tengah semua keributan ini adalah masalah Italia. Kegagalan untuk mencapai kesepakatan akan menyebabkan tumbangnya pemerintahan koalisi di Italia, dan kemungkinan bangkitnya Savini dan Liga Anti-Eropa.
Pusat krisis Uni Eropa telah pindah dari Yunani ke Italia, yang kini adalah pesakitan Eropa. Italia adalah mata rantai terlemah dalam kapitalisme Eropa. Dibandingkan dengan Yunani sebelumnya, krisis di Italia adalah ancaman yang lebih besar terhadap masa depan UE. Yunani adalah bangsa yang relatif kecil. Tetapi Italia adalah ekonomi yang besar, yang mencakup 11 persen PDB Uni Eropa. Hutang besar Italia yang mencapai 2,5 triliun Euro dapat membuat bangkrut finans Uni Eropa dan keruntuhan ekonomi Italia dapat mengarah ke kehancuran UE itu sendiri. Inilah yang menjelaskan sikap Merkel yang hati-hati. Dengan Italia, mustahil baginya untuk mengadopsi garis keras yang sama seperti yang dia lakukan sebelumnya dengan Yunani. Dia terpaksa secara parsial mengubah nadanya. Ini juga menjelaskan ledakan kemarahan Presiden Macron pada pertemuan puncak pemimpin UE baru-baru ini.
Krisis virus korona telah mengekspos kelemahan besar kapitalisme Italia dan korupsi serta inkompetensi pemerintah. Italia bagian utara dihantam kerja oleh krisis virus korona. Utara menyumbang 50 persen PDB Italia, namun wilayah yang makmur ini menyaksikan gelombang kematian dan kehancuran layaknya negeri Dunia Ketiga.
Cara bagaimana pemerintah merespons pada krisis Covid-19 telah menyebabkan kemarahan dan kebencian rakyat. Para pekerja harus bekerja 12 sampai 14 jam tanpa uang lembur, bahkan pada hari Sabtu, terutama pekerja kesehatan yang mempertaruhkan nyawa mereka. Ini secara kejam mengungkapkan bagaimana kapitalis tidak memedulikan nyawa dan kesehatan buruh.
Perubahan kesadaran yang cepat dan tiba-tiba dapat disaksikan. Guru dan pelajar telah teradikalisasi dan siap berjuang. Ada gelombang pemogokan liar, yang secara spontan diorganisir dari bawah. Tetapi kaum reformis dan para pemimpin serikat mencoba sebisa mungkin merintangi gerakan ini. Kapitalis sedang dalam ofensif, tetapi para pemimpin serikat justru menginginkan perdamaian sosial, walaupun tidak ada kondisi untuk itu.
Kontradiksi ini tengah menyebabkan tergerusnya secara pesat otoritas kepemimpinan serikat buruh, yang menyiapkan jalan ke ledakan-ledakan yang lebih besar di periode mendatang. Panggung tengah dipersiapkan untuk ledakan perjuangan kelas yang belum pernah terlihat sejak 1970an. Ini memiliki implikasi yang serius untuk seluruh Eropa.
Prancis
Walaupun problem yang paling mendesak sekarang adalah krisis di Italia, Prancis sendiri tidak jauh di belakang. Ini menjelaskan reaksi Emmanuel Macron terhadap kekeraskepalaan negeri-negeri Eropa Utara. Dia menggebrak meja dan mengancam walkout, dan menuduh kelompok “frugal four” membahayakan kesatuan Uni Eropa (“Frugal four” adalah negeri-negeri yang menolak paket stimulus untuk membantu anggota UE yang bermasalah: Austria, Denmark, Belanda dan Swedia).
Presiden Prancis mengatakan “tidak ada pilihan lain” kecuali membentuk sebuah badan pendanaan yang “dapat memberikan pinjaman bersama dengan jaminan bersama” untuk membantu anggota-anggota UE seturut keperluan mereka dan bukan seturut ukuran ekonomi mereka. Tetapi proposal ini ditentang oleh Jerman dan Belanda.
Bruno Le Maire, menteri keuangan Prancis, membantah penolakan ini dengan memaparkan tantangan yang sebenarnya:
“Entah zona Euro merespons bersama-sama krisis ekonomi yang ada dan keluar darinya dengan lebih kuat, atau zona Euro akan kacau balau dan terancam menghilang.” (Financial Times, 23/3/20)
Tetapi Eropa tidak sedang merespons bersama-sama. Sebaliknya, krisis ekonomi telah sangat memperburuk perbedaan-perbedaan nasional dan mendorong kelas penguasa dari berbagai negeri ke arah yang berbeda-beda. Brexit hanyalah permulaan dari proses disintegrasi UE yang jauh dari selesai, dan akan menyebabkan serangkaian krisis yang meledak-ledak.
Inggris
Dampak langsung Brexit akan menjadi bencana bagi Eropa dan Inggris. Setelah meninggalkan Uni Eropa, kaum borjuasi Inggris menemukan diri mereka dalam situasi terburuk.
Semua ilusi sauvinis yang bodoh akan dengan kejam terungkap sebagai penipuan sedari awal. Inggris akan menemukan dirinya tersungkur ke peran pulau kecil yang tidak penting di pesisir Eropa. “Relasi spesial” dengan Amerika, yang selalu dibanggakan oleh Inggris, akan terekspos sebagai relasi memalukan antara tuan dan pelayan. Prestise yang dinikmatinya di dunia di masa lalu akan runtuh dalam sekejap seperti rumah kartu.
Martin Wolf memberi penilaian yang muram dalam koran Financial Times:
“‘Inggris yang global’ tidak akan muncul, tetapi yang akan muncul adalah Inggris yang mencari remah-remah yang jatuh dari meja kekuatan-kekuatan ekonomi yang lebih kuat, yang sendirinya juga saling berseteru dengan ganas.” (Financial Times, 21/5/20)
Kontradiksi-kontradiksi nasional sudah mencabik-cabik keutuhan Inggris. Dukungan untuk kemerdekaan Skotlandia sekarang memimpin survei-survei opini dengan 7-9 persentase, seiring dengan meningkatnya kebencian terhadap pemerintah Konservatif.
Boris Johnson bisa saja menemukan dirinya sebagai Perdana Menteri Inggris Kecil, dan bukan Inggris Raya.
China
China adalah salah satu kekuatan utama yang mendorong perekonomian dunia di periode sebelumnya. Tetapi secara dialektik semuanya telah berbalik. China tidak lagi dilihat sebagai bagian dari solusi, tetapi bagian dari problem.
China telah membangun basis industri yang kokoh dengan kapasitas produksi raksasa. Tetapi permintaan internal tidak dapat menyerap potensi produksi yang luar biasa besar ini. China harus mengekspor agar bisa selamat. Tetapi kesuksesannya dalam industri ekspor telah memicu kegeraman dari para kompetitornya, terutama di AS, tetapi juga di Eropa.
Bahkan sebelum krisis pandemi, ekonomi China sudah melambat dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, tetapi krisis pandemi mendorong ekonomi China ke jurang. Di kuartal pertama, JPMorgan Chase memprediksi penyusutan PDB sebesar 40% dari kuartal sebelumnya, kontraksi terbesar dalam 50 tahun.
Angka pengangguran resmi di China 5,9 persen, tertinggi sejak tingkat pengangguran dicatat pada 1990an. Tetapi angka ini jelas tidak memberikan gambaran penuh mengenai krisis di China, karena buruh migran tidak dihitung dalam statistik.
Ini menjelaskan mengapa Xi Jinping mengambil sejumlah langkah untuk memperkuat kekuatan diktatorialnya dan meremukkan gerakan di Hong Kong. Ini adalah persiapan untuk ledakan perjuangan kelas di masa depan, yang tengah bergemuruh di bawah permukaan.
“Horor tanpa Akhir”
Lenin pernah mengatakan bahwa kapitalisme adalah horor tanpa akhir. Sekarang kita dapat melihat kebenaran harfiah dari pernyataan tersebut. UN World Food Programme belum lama ini memperingatkan bahwa lebih dari 265 juta orang terancam kelaparan. Konsekuensi sosial dari pandemi virus korona di negeri-negeri kapitalis maju sudah cukup buruk, tetapi negeri-negeri miskin menghadapi bencana besar.
Bahkan di negeri-negeri terkaya seperti AS, pandemi telah memiliki dampak yang parah terhadap lapisan termiskin dalam masyarakat. Tetapi bagi mayoritas umat manusia, krisis ini adalah di tingkatan yang sepenuhnya berbeda.
Pandemi virus korona telah secara kejam mengekspos tingkat kesenjangan yang mengerikan di dunia. Satu dari dua orang di dunia setiap harinya harus bergumul untuk tetap hidup. Setengah dari populasi dunia tidak punya akses ke pelayanan kesehatan dasar. Bagi rakyat miskin, menjadi sakit bisa menjadi hukuman mati. Di seluruh dunia, dua miliar orang bekerja di sektor informal tanpa tunjangan hari sakit, dan mayoritas ada di negeri-negeri miskin.
Dampak virus akan paling buruk terhadap lapisan miskin, para pekerja informal dengan upah harian, yang kebanyakan adalah perempuan, yang tidak memiliki perlindungan finansial dan sosial. Jutaan orang akan terpaksa bekerja dan menghadapi maut dari virus korona karena mereka tidak mungkin bisa bertahan hidup kalau penghasilannya hilang, sementara harga-harga sembako terus naik. Di negeri-negeri seperti ini, banyak rakyat yang bermukim di kampung-kampung kumuh yang tidak resmi, yang sering kali sangat padat dan buruk sanitasinya. Bila 250 orang harus berbagi satu keran air, bagaimana kita bisa berbicara mengenai pembatasan sosial, mencuci tangan dan melacak kasus untuk menghentikan penyebaran virus lebih lanjut?
Tetapi, alih-alih mendanai sistem pelayanan kesehatan mereka untuk melawan gempuran virus korona, negeri-negeri ini harus menggunakan anggaran mereka untuk mencicil hutang mereka. Pembayaran hutang luar negeri dari 77 negeri termiskin jatuh tempo setidaknya 40 miliar dolar pada tahun 2020 saja. Bahkan ketika separuh dunia diporak-poranda oleh pandemi yang mengerikan ini dan jutaan menghadapi maut entah dari virus korona atau kelaparan, vampir-vampir imperialis terus menghisap kering darah mereka.
Afrika
Afrika Selatan, yang jumlah kasus per-harinya terus meningkat, mencatat jumlah infeksi tertinggi di benua Afrika. Kasus di Mesir juga meningkat pesat pada pertengahan Mei. Begitu juga Lesotho dan Namibia dalam beberapa hari terakhir.
Ada kekhawatiran yang membesar akan situasi di Nigeria, dengan jumlah kasus ketiga terbesar di benua Afrika. Untuk tingkat kematian per kasus, lima terbesar adalah Chad, Sudan, Niger, Liberia dan Burkina Faso. Di Malawi, hanya ada 25 tempat tidur pelayanan intensif dan 16 ventilator untuk populasi lebih dari 18 juta. Di Zambia, hanya ada 1 doktor per 12.000 warga.
Di banyak negeri, pasar mengalami disrupsi dan karantina komunitas telah menyebabkan hilangnya mata pencaharian. Jutaan buruh sudah dirumahkan tanpa upah. Yang lain, dengan pekerjaan yang paling tak pasti dan berupah rendah, tidak bisa mengisolasikan diri mereka dari virus. UN memperingatkan bahwa separuh dari semua pekerjaan di Afrika terancam.
India dan Pakistan
Pandemi virus korona telah memorak-porandakan Pakistan, tetapi situasi telah mencapai level yang dramatis di India. Seberapa besar jumlah kasus dan kematian yang disebabkan oleh Covid-19 baru saja mulai dipahami. Angka dari pemerintah mencatat lebih dari 2 juta orang telah terinfeksi. Ini jelas jauh lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya.
Para ilmuwan juga telah memperingatkan bahwa kasus Covid-19 di India masih belum mencapai puncaknya, dan bisa mencapai ini dalam beberapa bulan, walaupun sekarang sudah mencatat jumlah kasus tertinggi ketiga di dunia. [Ketika artikel ini ditulis pada Juli 2020, jumlah kasus per hari sekitar 30 ribu. Pada pertengahan September, jumlah kasus meningkat mencapai 95 ribu per hari] Rumah-rumah sakit di kota-kota yang paling terdampak, termasuk Mumbai dan Bangalore, telah sesak dengan pasien. Narendra Modi mencoba “mengatasi” pandemi ini dengan mengirim jutaan rakyat miskin yang tinggal di jalan-jalan kota Delhi, Mumbai, dan kota-kota lain ke kampung halaman mereka. Tetapi ini justru menyebar pandemi ini ke desa-desa dan daerah-daerah yang tidak memiliki pelayanan kesehatan memadai. Jumlah korban yang jatuh akan benar-benar mengerikan.
Dari 471 juta tenaga kerja India, hanya 9 persen yang memiliki tunjangan sosial. 90 persen tidak memiliki kontrak kerja resmi, dan 139 juta adalah buruh migran. Banyak dari buruh migran ini telah dikirim pulang ke desa-desa mereka. Sejak partisi pada 1947, tidak ada migrasi besar-besaran seperti ini.
Modi dan geng sauvinis Hindunya mencoba mengalihkan perhatian dari krisis ini dengan mengobarkan isu sauvinisme dan komunalisme Hindu, yang menyebabkan lebih banyak kesengsaraan dan kekerasan bagi massa rakyat tertindas India. Tidak puas dengan represi kejam di Kashmir, yang memicu konflik dengan Pakistan, Modi lalu memprovokasi perang perbatasan dengan China. Tetapi ini berakhir dengan hidungnya yang berdarah.
Amerika Latin
Di Amerika Latin, virus korona menyebar dengan buas dan ganas. Di negeri-negeri seperti Brasil, Chili, Ekuador dan Peru, pandemi tak terkendali. Di sejumlah kota di Ekuador, kuburan penuh dan mayat-mayat dibiarkan tergeletak di jalan-jalan.
Pemerintah-pemerintah sayap kanan telah terbukti tidak mampu mengatasi ancaman terhadap nyawa rakyat ini. Sebaliknya, dengan kebijakan mereka yang kejam dan tidak bertanggung jawab, mereka membuat krisis ini bahkan lebih parah. Tetapi mood rakyat di Amerika Latin telah mendapat dorongan dari perkembangan di Amerika Serikat.
Protes-protes massa dan gerakan Black Lives Matter telah membangkitkan semangat rakyat di Amerika Latin, yang sebelumnya tidak percaya bahwa gerakan semacam ini bisa terjadi di pusat imperialisme. Massa siap berjuang. Tetapi sekali lagi masalahnya adalah ketiadaan kepemimpinan.
Brasil dan Chili
Di Brasil, kendati histeria bodoh dari kaum Kiri dan sekte-sekte, yang membayangkan fasisme telah menang dengan terpilihnya Bolsonaro, justru basis dukungan Bolsonaro telah menyusut dan partainya terpecah belah.
Di Brasil, hampir 4 juta orang telah terinfeksi virus korona, termasuk sang presiden, yang tidak perlu kita ratapi. Dia punya akses ke tim dokter terbaik. Tetapi bagi banyak rakyat miskin di Brasil, virus korona berarti hukuman mati.
Krisis virus korona untuk sementara meredam gerakan. Tetapi di bawah permukaan, ada kemarahan besar terhadap pemerintah, dan segera setelah lockdown dilonggarkan, ini akan mengekspresikan dirinya dalam kebangkitan revolusioner besar.
Kasus di Brasil sangat diketahui. Tetapi kelakuan otoritas di Chili tidaklah lebih baik. Pemerintah sayap-kanan Pinera tengah dilanda bencana nasional.
Di Chili, yang menyaksikan gerakan protes massa revolusioner pada musim gugur 2018, ada permulaan gerakan protes baru yang terutama diarahkan untuk menentang dana pensiun yang telah diprivatisasi – yang diwarisi dari kediktatoran Pinochet. Rakyat yang sangat membutuhkan uang untuk bertahan hidup menuntut haknya untuk bisa menarik uang mereka dari perusahaan-perusahaan dana pensiun swasta (AFP).
Pemerintah menolak, tetapi telah menderita 2 kekalahan di parlemen. Sebuah gerakan yang baru dapat dengan mudah menumbangkan pemerintah ini. Baru-baru ini ada pemogokan pekerja pelabuhan sebagai protes terhadap skandal ini. Sekarang pekerja tambang mengancam mogok.
Pemerintah Pinera terpaksa membuat konsesi terhadap masalah dana pensiun, dengan memperbolehkan warga menarik 10 persen dana pensiun mereka sekarang. Ini menunjukkan betapa lemahnya pemerintah ini. Rejim ini hanya bisa tetap berkuasa karena sikap kompromis dari para anggota parlemen kiri dan pemimpin serikat buruh. Tetapi tidak ada satupun problem fundamental yang telah terpecahkan dan sebuah ledakan sosial yang baru sedang dipersiapkan.
Krisis reformisme
Peluang revolusioner adalah implisit dalam seluruh situasi ini. Kenyataan ini ditunjukkan oleh radikalisasi yang semakin menajam, terutama di antara lapisan kaum muda. Tendensi ini membuat khawatir para ahli strategi kapital. Financial Times berkomentar:
“Krisis finansial telah membentuk cara pandang kaum milenial dalam cara yang sudah mendorong politik di Amerika dan Eropa, termasuk kesediaan yang lebih besar di antara orang-orang yang lebih muda untuk menyebut diri mereka sebagai sosialis.”
“Kaum milenial mendorong Jeremy Corbyn ke tampuk kepemimpinan Partai Buruh dan Bernie Sanders hampir menjadi kandidat presiden Demokrat. Kemungkinan besar virus korona akan mempertajam cara pandang ini.”
Ini adalah artikel yang sungguh menunjukkan bagaimana ahli strategi kapitalis yang serius mencapai kesimpulan serupa dengan kaum Marxis. Mereka juga memahami bahwa, pada awalnya, lapisan-lapisan yang baru saja terbangkitkan ini akan bergerak ke kaum reformis kiri. Perkembangan seperti ini sepenuhnya dapat dimaklumi di bawah kondisi seperti ini.
Reformisme Kiri
Karena lemahnya kekuatan Marxisme, pada awalnya lapisan-lapisan yang teradikalisasi akan berpaling ke politisi reformis kiri, yang tampaknya menawarkan jalan keluar dari krisis.
Mencerminkan tekanan dari massa, kaum reformis kiri dapat mengadopsi retorika yang terdengar sangat radikal. Tetapi pada analisa terakhir, mereka tidak memiliki perspektif untuk melampaui kapitalisme.
Mereka percaya kapitalisme bisa direforma, dibuat lebih manusiawi, lebih demokratik, dan seterusnya. Ilusi-ilusi ini akan secara kejam terekspos oleh alur peristiwa, seperti yang telah kita saksikan dalam kasus Tsipras di Yunani.
Bagi kaum reformis, baik kanan maupun kiri, revolusi adalah mustahil. Mereka selalu menemukan seribu satu argumen mengapa revolusi itu mustahil, utopis, dan lain sebagainya.
Massa pada akhirnya terpaksa menghadapi kenyataan. Mereka perlahan-lahan mulai menarik kesimpulan. Inilah kekuatan besar kita, dan kelemahan besar kapitalisme dan reformisme. Ini membutuhkan waktu, tetapi cepat atau lambat ilusi-ilusi lama ini akan dipatahkan oleh kesadaran kelas buruh.
Sejumlah besar buruh dan anak-anak muda yang teradikalisasi telah melalui sekolah Tsipras, Sanders, dan Jeremy Corbyn. Elemen-elemen terbaik telah menerima pelajaran berharga dari sekolah ini. Setelah lulus, mereka telah menapak ke tingkat yang lebih tinggi dan sedang mencari pelajaran lebih lanjut dari sekolah Marxisme revolusioner. Kita harus membantu mereka dalam transisi ini. Tetapi bagaimana melakukan ini? Ada dua kesalahan yang mungkin dilakukan di sini.
Kaum oportunis tidak mengkritik para pemimpin reformis kiri dalam gerakan buruh dan secara efektif telah menjadi klub penggemar. Di ekstrem lainnya, kaum sektarian yang membabi buta, yang membayangkan diri mereka sebagai revolusioner hebat karena mereka telah membaca beberapa baris tulisan Trotsky, tanpa memahami barang satu kata pun, membuat deklarasi dengan suara lantang bahwa pemimpin ini atau itu akan berkhianat. Tidak ada ruang dalam barisan organisasi untuk kedua penyimpangan ini, oportunisme ataupun sektarianisme. Sulit dikatakan di antara kedua penyimpangan ini mana yang paling membahayakan gerakan Marxis yang sejati.
Dalam berurusan dengan kaum reformis kiri, kita harus dengan mahir memadukan keteguhan dalam prinsip dengan fleksibilitas dalam mengkritik secara bijak. Mengutip Marx, kita harus “santun dalam penyampaian dan tegas dalam konten”. Hanya dengan cara ini kita dapat memenangkan lapisan buruh dan muda terbaik yang punya ilusi jujur terhadap kaum reformis kiri.
Kita harus menjawab kaum reformis kiri, bukan dengan kutukan-kutukan histeris tetapi dengan penjelasan sabar. Melalui pengalaman mereka, rakyat pekerja akan bergerak ke arah revolusi, dan akan memahami keterbatasan, tidak hanya kaum reformis kanan tetapi juga reformis kiri.
Kapitalisme yang Sekarat
Di manapun kita tengok, kekuatan produktif mengalami kemerosotan, pengangguran meningkat, kemiskinan dan kesengsaraan bertambah parah, perang, krisis, wabah dan kematian. Tetapi ini semua hanyalah manifestasi eksternal dari sebuah penyakit. Dan seperti seorang dokter yang baik, kita harus mampu menganalisis gejala-gejala ini untuk bisa menjelaskan apa penyebabnya/
Orang-orang yang tidak memiliki pemahaman Marxis akan sejarah biasanya menarik kesimpulan pesimis. Tetapi kita telah menyaksikan gejala-gejala serupa dalam sejarah.
Kemunduran Kekaisaran Romawi berlangsung dalam periode berabad-abad, dan ditemani oleh degenerasi mengerikan dalam ranah ekonomi, sosial, moral dan filsafat. Periode kemunduran yang panjang ini, akan tetapi, tidak bergerak dalam satu garis lurus. Ada masa pemulihan, seperti halnya seorang yang sekarat kadang-kadang menunjukkan gejala pemulihan, yang sebenarnya hanyalah pengantar untuk keruntuhan lebih lanjut.
Masa pemulihan seperti ini bukanlah mustahil bagi kapitalisme. Tetapi garis umumnya adalah kemunduran. Tidak akan ada solusi yang permanen. Seperti yang Trotsky katakan, ini adalah kapitalisme yang sekarat, dan kondisi ini mengancam seluruh umat manusia.
Kekuatan Inersia
Dalam menganalisis fenomena, kaum Marxis harus seksama dalam mengkaji semua sisi, dengan mempertimbangkan kekuatan-kekuatan kontradiktif yang menarik ke berbagai arah yang berbeda-beda.
Kita telah memasuki periode yang paling bergejolak dalam sejarah umat manusia. Krisis ekonomi, politik, dan sosial hari ini tidak akan bisa menemukan solusi permanen di bawah sistem yang ada. Tentunya ini bukan berarti kapitalisme tidak dapat memulihkan semacam ekuilibrium yang tidak stabil. Sebaliknya, masa-masa pemulihan sementara adalah tak terelakkan. Tetapi masa-masa pemulihan ini akan pendek durasinya, dan hanyalah pengantar untuk keruntuhan baru yang bahkan lebih curam.
Situasi hari ini dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan yang saling tumpang tindih. Di satu sisi, massa berusaha keras mencari jalan keluar dari krisis. Mereka siap mengambil jalan revolusioner, tetapi mereka tidak memiliki program dan perspektif yang jelas yang dapat menerangi jalan mereka ke depan.
Ledakan-ledakan spontan tidak dapat menyelesaikan problem yang ada. Oleh karenanya, pada tahapan tertentu, ledakan-ledakan spontan ini akan meredup, seperti ombak yang menghantam batu karang, dan akhirnya menyurut.
Tatanan yang ada memiliki benteng pertahanan yang kokoh. Ini memberi rasa percaya diri pada para ahli strategi borjuasi. Sejarawan Amerika Eric Foner baru-baru ini mengatakan:
“Tampaknya ada sebuah inersia yang sangatlah kuat yang mendorong kita kembali ke normalitas. Saya skeptis terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa virus korona ini akan mengubah segalanya.”
Kita harus mempertimbangkan statemen ini dengan sangat hati-hati, karena pernyataan ini mengandung benih kebenaran yang penting.
Tentu saja, kita menganggap penting gelombang perjuangan yang kini menyapu AS dan negeri-negeri lain. Kita menyambut ini dengan semua antusiasme. Tetapi kita juga paham bahwa ini adalah gejala yang mewakili ekspresi embrionik dari peristiwa besar yang tengah dipersiapkan.
Untuk merumuskan perspektif yang tepat dan taktik yang tepat, kita harus memahami sisi lain masalah ini. Kekuatan inersia adalah elemen dasar dalam fisika yang dikenal baik dan sederhana. Tetapi bahkan inersia yang paling kuat sekalipun dapat dihancurkan oleh penerapan dorongan yang besar.
Inersia yang paling kuat adalah kebiasaan, adat, dan tradisi yang membebani kesadaran manusia. Insting yang diwarisi dari masa lalu membuat orang resistan terhadap perubahan dan takut terhadap perubahan. Untuk melompat ke depan, rintangan ini harus dilampaui. Tetapi ini hanya dapat tercapai lewat bencana sosial dan ekonomi yang paling besar, yang memaksa orang untuk mempertanyakan semua hal ihwal yang sampai saat ini mereka anggap sebagai sesuatu yang statis dan tak dapat berubah.
Tugas Kaum Revolusioner
Sistem kapitalis hanya bisa bertahan hidup dengan mesin bantuan hidup. Kapitalisme kini mengandalkan dana talangan raksasa dari pemerintah. Tetapi menurut teori ekonomi pasar, pemerintah tidak boleh memainkan peran apapun dalam kehidupan ekonomi.
Pertanyaan ini oleh karenanya harus diajukan: bila sistem kapitalis tidak dapat bertahan hidup kecuali bila ditopang oleh pemerintah, mengapa tidak kita hapus saja kapitalisme, dan biarkan negara mengambil kendali penuh atas perekonomian untuk menyelamatkannya dari kebangkrutan total dan absolut?
Situasi hari ini adalah kecaman penuh terhadap sistem kapitalis, yang peran historisnya sudah habis dan hanya cocok dibuang ke tong sampah sejarah. Tetapi kita tahu bahwa kapitalisme tidak akan tumbang begitu saja di bawah beban kontradiksinya sendiri. Kapitalisme bahkan dapat keluar dari krisis yang paling dalam sekalipun, dan ia akan bisa keluar dari krisis hari ini. Tetapi pertanyaannya: bagaimana ia akan keluar, dan berapa yang harus dibayar oleh umat manusia?
Walaupun masa pemulihan parsial dan temporer tidaklah mustahil, garis umumnya adalah kemunduran. Pemulihan selanjutnya hanya akan berlangsung sementara, dan membuka pintu ke kolapsnya kekuatan produktif yang bahkan lebih tajam. Di bawah kapitalisme, tidak akan ada solusi.
Kapitalisme hari ini layaknya monster yang sekarat, sakit terminal, uzur dan membusuk. Tetapi ia menolak mati. Dan konsekuensinya bagi umat manusia sangatlah mengerikan. Akan tetapi, ada sisi lain. Di bawah permukaan gejala pembusukan masyarakat kapitalis, sebuah masyarakat baru tengah berjuang untuk dilahirkan.
Tugas kita adalah melakukan segalanya yang kita mampu untuk memperpendek masa kematian kapitalisme, dan mempercepat kelahiran masyarakat baru ini, membantu kelahirannya, supaya dapat terwujud secepat mungkin, dan dengan semudah mungkin.
Determinisme Bukanlah Fatalisme
Marxisme didasarkan pada konsepsi materialis atas sejarah. Kita menolak konsepsi post-modernis (idealis) atas sejarah, yang melihat sejarah sebagai pengulangan aksiden-aksiden yang tidak bermakna. Sejarah memiliki hukumnya sendiri, dan tugas kita adalah memahaminya.
Kita adalah kaum determinis sejarah, dalam artian kami memahami bahwa proses umum sejarah berjalan menurut hukum yang definit. Tetapi determinisme tidaklah sama dengan fatalisme. Marx menjelaskan berulang kali bahwa manusialah yang membuat sejarah mereka sendiri. Ketika sebuah sistem sosio-ekonomi memasuki tahap kemunduran, revolusi sosial ada di agenda.
Tetapi apakah revolusi ini akan berhasil atau tidak akan tergantung pada keterlibatan aktif faktor subjektif, yang dalam ungkapan modernnya adalah partai revolusioner dan kepemimpinannya.
Pada abad ke-17, revolusi borjuis pertama Inggris dikobarkan di bawah panji agama. Kaum Puritan percaya bahwa kiamat sedang datang dan Kerajaan Allah akan tiba. Mereka percaya ini tak terelakkan.
Kaum Calvinis sangat mempercayai takdir. Semua sudah ditakdirkan olah kehendak Tuhan, yang jauh lebih besar daripada kehendak individu manusia. Tetapi kepercayaan ini sama sekali tidak mengurangi semangat dan keteguhan revolusioner mereka untuk mengusung dunia baru ini secepat mungkin.
Sebaliknya, kepercayaan mereka akan takdir mendorong mereka ke keberanian dan ketegasan revolusioner. Tugas yang sama menghadapi kaum revolusioner hari ini. Dan kita akan mendekati tugas ini dengan jiwa keteguhan revolusioner yang sama. Perbedaannya, tidak seperti mereka, kita akan dipersenjatai dengan teori ilmiah Marxisme revolusioner.
Revolusi Dunia
Apa signifikansi sesungguhnya dari situasi hari ini? Ini adalah periode persiapan untuk revolusi. Globalisasi, dan intensifikasi divisi kerja internasional yang merupakan konsekuensi darinya, telah meningkatkan interkoneksi internasional sampai ke tingkatan yang tidak pernah terlihat di masa lalu.
Sampai baru-baru ini, globalisasi mendorong perkembangan kapitalisme ke ketinggian baru. Sekarang, hal yang sama akan mendorong meluasnya revolusi dalam skala dunia.
Dalam periode ini, kelas buruh akan memiliki banyak kesempatan untuk mengambil kekuasaan ke dalam tangan mereka. Cepat atau lambat, di satu negeri atau lainnya, mereka akan berhasil. Ini akan mengubah situasi dalam skala dunia.
Mustahil untuk mengatakan dimana revolusi ini akan terjadi. Bisa di Brasil, Italia, Lebanon, Yunani, Rusia atau China – atau bahkan, cukup mungkin, di Amerika Serikat. Tetapi setelah revolusi ini bergulir, pengaruhnya akan menyebar ke seluruh dunia jauh lebih cepat daripada sebelumnya dalam sejarah.
Revolusi 1848-49 terbatas hanya di Eropa saja, dengan gaung terbatas di luar Eropa. Revolusi Oktober 1917 menyebabkan gelombang revolusi tidak hanya di Eropa, tetapi juga di Asia, dimana ini menandai awal sesungguhnya dari perjuangan rakyat terjajah untuk kemerdekaan mereka. Tetapi sekarang kita menyaksikan gerakan-gerakan revolusioner di mana-mana: dari Prancis sampai Lebanon, dari Belarus sampai Thailand, dari AS sampai Chili. Dalam kata lain, kita sudah melihat guratan revolusi dunia.
Kesabaran Revolusioner
Di masa lalu, situasi pra-revolusioner tidak berlangsung lama. Krisis mencapai titik penyelesaiannya sering kali dalam hitungan bulan, dengan kemenangan revolusi atau kontra-revolusi, yang mengambil kedok fasis atau Bonapartis. Tetapi korelasi kekuatan-kekuatan kelas hari ini tidak mengizinkan resolusi secepat itu. Tergerusnya basis massa reaksi (kaum tani, pedagang kecil, dsb.) berarti kelas penguasa di kebanyakan negeri tidak bisa langsung menggunakan reaksi fasis atau Bonapartis.
Di sisi lain, kelas buruh dicegah dari mengambil kekuasaan oleh para pemimpin organisasi massa mereka. Untuk alasan ini, krisis kapitalisme dapat berlanjut untuk waktu yang lama, bertahun-tahun, barangkali puluhan tahun, dengan pasang naik dan surut.
Periode ini akan ditandai dengan ayunan tajam opini publik, baik ke kiri maupun ke kanan, yang mengekspresikan usaha massa untuk mencari jalan keluar dari krisis. Koalisi-koalisi yang labil akan susul menyusul. Semua partai dan pemimpin akan diuji. Massa akan menguji partai demi partai, sebelum akhirnya mencapai kesimpulan revolusioner.
Proses ini jelas sudah dimulai. Ini adalah fakta yang paling penting. Tetapi ini hanyalah awal proses. Agar proses ini menjadi matang dan berkembang sepenuhnya, massa harus melalui serangkaian pengalaman, karena hanya lewat pengalaman massa akan belajar. Dan mereka akan belajar. Hasil akhirnya belum kelihatan.
Kaum Marxis adalah orang yang sabar. Kami tidak keberatan kalau proses ini berlangsung lebih lama, untuk satu alasan sederhana: kami belumlah siap. Orang-orang sekarang lebih terbuka pada gagasan Marxis. Ada mood anti-kapitalis yang berkembang di mana-mana. Gagasan Marxis dianggap relevan karena gagasan ini secara akurat menjelaskan situasi yang ada.
Kondisi objektif untuk revolusi sosialis dunia, seperti yang ditunjukkan oleh Trotsky, bukan hanya sudah matang, tetapi bahkan membusuk. Tetapi selain kondisi objektif, kita juga butuh faktor subjektif. Tugas kita adalah membangun faktor subjektif ini.
Bangun Organisasi Revolusioner!
Selama satu periode kesejarahan, kekuatan revolusioner sejati terpukul mundur. Kelemahan tendensi revolusioner di seluruh dunia adalah alasan mengapa mustahil bagi massa untuk segera merapat ke barisan kita.
Pada tahapan ini, audiens kita terbatas pada lapisan-lapisan buruh dan muda yang paling maju, untuk alasan sederhana: kita belum punya kekuatan yang memadai untuk meraih telinga massa secara langsung. Tetapi melalui lapisan buruh dan muda sadar-kelas inilah maka kita bisa meraih massa. Tidak ada jalan lain.
Tentu saja, dimana ada peluang besar, kita harus siap mengambil inisiatif berani. Sering kali, intervensi berani dari satu kamerad kita saja di sebuah pertemuan massa dapat menentukan apakah pemogokan akan terjadi atau tidak. Mungkin saja, inisiatif berani dapat mendorong kita ke kepemimpinan gerakan massa yang penting. Bagaimanapun juga, kita harus merenggut peluang seperti ini dengan kedua tangan kita. Tetapi di setiap saat, kita harus bisa mengukur kekuatan diri sendiri dan situasi. Kita tidak boleh melebih-lebihkan kekuatan kita, dan kita harus memahami apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin di satu waktu tertentu.
Lenin sering menekankan pentingnya kesabaran revolusioner. Kita tidak boleh melangkah terlalu maju di depan kelas buruh. Kita tidak boleh berteriak lebih keras daripada kekuatan tenggorokan kita. Trotsky memberi peringatan pada pengikutnya, kita tidak bisa memanen apa yang belum kita semai. Tidak ada jalan pintas untuk berhasil. Bila kita mencari jalan pintas, ini adalah resep pasti untuk penyimpangan oportunis ataupun ultra-kiri. Keduanya sama-sama berbahaya.
Kita harus menapak selangkah demi selangkah, menetapkan untuk diri kita sendiri target-target yang ambisius tetapi juga dapat direalisasikan, dan lalu memastikan bahwa target-target ini dilaksanakan secara konsekuen. Pembangunan sebuah organisasi revolusioner terdiri dari serangkaian langkah-langkah kecil. Tetapi langkah-langkah maju kecil ini mempersiapkan hal yang lebih besar di masa depan.
Kita tengah tumbuh dengan mantap. Ini diakui oleh kawan-kawan kita dan juga musuh-musuh kita. Sekolah Dunia 2020 menunjukkan bahwa gagasan kita sudah menjangkau ribuan buruh dan anak muda yang paling maju, yang sedang mencari jalan revolusioner.
Ini adalah satu langkah maju yang besar, tetapi hanya permulaan saja. Ribuan akan berubah menjadi puluhan ribu, dan yang akhirnya akan memungkinkan kita menjangkau jutaan. Memasuki tahapan baru revolusi dunia dengan sebuah organisasi dengan ribuan anggota tidaklah sama bila dengan organisasi yang hanya beranggota 20 orang. Ini adalah tugas yang sulit, tetapi kita tidak menampiknya.
Tugas tersulit adalah tumbuh dari segelintir anggota dan mencapai 100 anggota. Dari seratus ke seribu juga tidaklah sederhana, tetapi ini jauh lebih mudah. Tetapi untuk berangkat dari seribu anggota ke sepuluh ribu, ini akan lebih mudah lagi. Dan dari 10 ribu ke 100 ribu, ini hanya satu langkah saja.
Dengan meminjam ungkapan dari ilmu fisika, kita harus mencapai massa kritis, yakni titik dimana kita dapat benar-benar masuk sebagai faktor menentukan dalam situasi yang ada. Di atas segalanya, kita harus memberi perhatian pada pendidikan kader. Kita memulai dengan kualitas, yang pada titik tertentu akan berubah menjadi kuantitas, yang pada gilirannya menjadi kualitas.
Inilah tugas yang ada di depan mata kita. Hanya dengan memenuhi tugas ini maka kita dapat mengakhiri mimpi buruk kapitalisme, dan menyongsong dunia baru yang lebih baik di bawah sosialisme.
13 September, 2020