Dunia sedang memasuki sebuah periode baru, yakni periode yang dipenuhi dengan revolusi – dan juga konter-revolusi – yang keduanya saling susul menyusul. Inilah kenyataan yang sedang kita hadapi hari ini. Di bulan Juni dan Juli saja, dalam waktu yang sangat singkat, kita saksikan gerakan massa yang besar bertubi-tubi, awalnya di Turki, lalu Brazil, Portugal, dan kemudian lagi di Mesir. Hal seperti ini tidak pernah terlihat dalam 50 tahun terakhir, dan mungkin tidak pernah terlihat dalam sejarah kapitalisme.
Yang menjadi landasan bagi situasi yang meledak-ledak ini adalah krisis kapitalisme yang diawali dengan krisis finansial pada 2007. Enam tahun sudah berlalu dan krisis ini belum juga terselesaikan, dan justru semakin mendalam dan meluas. Sudah menjadi takdir dari sistem ekonomi kapitalisme kalau ia akan selalu mengalami siklus boom and bust, yakni kenaikan ekonomi yang lalu disusul resesi ekonomi. Krisis overproduksi adalah nama permainan ini.
Tetapi kali ini krisis kapitalisme yang sedang kita lalui bukanlah krisis siklus boom and bust yang normal. Krisis kali ini adalah sebuah krisis organik, yang berbeda dari krisis-krisis sebelumnya. Satu faktor yang membedakan krisis ini dari krisis-krisis sebelumnya adalah globalisasi yang sudah begitu merasuk ke semua sendi perekonomian dan semua sudut bumi. Marx dan Engels sejak 1848 telah menggambarkan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang mengglobal, yang selalu ingin “bersarang dimana-mana, bertempat dimana-mana, mengadakan hubungan-hubungan dimana-mana”. Namun Marx dan Engels mungkin tidak pernah memimpikan kapitalisme yang begitu mengglobal seperti hari ini. Kapital atau modal sudah bersarang di seluruh pelosok dunia.
Ketika Uni Soviet jatuh pada 1991, para kapitalis bersorak-sorai dan mengumumkan kemenangannya. Ofensif ideologis dilancarkan dengan membabi-buta untuk membuktikan bahwa Marxisme sudah tidak lagi relevan. Ratusan ribu profesor, akademisi, dan pengamat politik dikerahkan untuk menggempur Marxisme dari berbagai arah, dari akademisi yang jelas-jelas anti-Marxis, sampai yang berpura-pura Marxis tetapi ingin memperkenalkan berbagai “koreksi”, yakni makhluk-makhluk Marxis Akademik, Neo-Marxis, Post-Marxis, dan berbagai Marxian-Marxian lainnya. Sementara, Partai-partai Komunis “Stalinis” di hampir semua negara hancur luluh lantak, secara organisasional maupun ideologis. Marxisme ala “Stalinis” mereka yang sempit dan dangkal tidak bisa memahami apapun.
Melemahnya gerakan Marxis sedunia juga punya landasan material yang nyata, yakni boom ekonomi kapitalis pada 2 dekade selanjutnya. Jatuhnya Uni Soviet berarti masuknya populasi lebih dari 1,3 milyar ke dalam sistem kapitalisme. Walaupun China tidak runtuh seperti Uni Soviet, tetapi pada periode yang sama para birokrat Partai Komunis China membuka negeri ini ke kapitalisme.
Selain itu, runtuhnya Uni Soviet juga mendorong banyak negeri eks-kolonial lainnya – yang sebelumnya cenderung menutup diri dari kapitalisme Barat dan bersandar pada poros Timur – untuk membuka dirinya ke pasar kapitalisme dunia. India, dengan populasi lebih dari 900 juta pada 1991, setelah jatuhnya Uni Soviet segera melakukan reforma liberalisasi ekonomi, yang mengikat ekonominya pada kapitalisme dunia.
Masuknya ke dalam kapitalisme lebih dari 2 milyar orang, dengan daratan yang luasnya lebih dari separuh dunia, memberikan kapitalisme ruang yang sangat besar untuk tumbuh. Ini berarti ada 2 milyar lebih rakyat pekerja yang bisa ditindas, lebih banyak nilai-lebih yang bisa diperas, dan pasar yang sangat luas untuk komoditi dan kapital. Inilah landasan bagi perkembangan ekonomi kapitalisme selama dua dekade terakhir sebelum dihantam krisis pada 2007. Globalisasi mencapai tingkat yang tak pernah terlihat sebelumnya. India dan China menjadi pabrik dunia yang menyediakan tenaga kerja murah dan super profit kepada kapitalisme.
Namun apa yang awalnya menjadi kekuatan pendorong kapitalisme sekarang justru menjadi kutukan yang menyeret kapitalisme ke krisis yang sangat dalam. Kontradiksi dasar kapitalisme, yakni over-produksi, bukannya terselesaikan tetapi justru menjadi semakin dalam dan luas. Masuknya Rusia, China, India, dan banyak negara eks-koloni lainnya ke dalam pasar dunia hanya menunda krisis. Pada saat yang sama, kapitalisme menggunakan sistem kredit dengan skala yang tak terbayangkan untuk terus menunda krisis kapitalisme. Ketika rakyat pekerja terlalu miskin untuk bisa membeli barang-barang yang mereka sendiri produksi, satu-satunya cara adalah memberikan kredit kepada konsumen agar ekonomi bisa terus berjalan. Tetapi kredit pada akhirnya harus dibayar, dan dengan bunga pula. Di AS, rasio hutang dan pendapatan pribadi dari tiap keluarga adalah 77% pada 1990, dan pada 2007 ini telah menjadi 127%. Kredit perumahan meningkat dari 46% GDP pada 1990an, menjadi 73% GDP pada 2008, yakni mencapai 10.5 trilyun dolar AS. Hutang swasta pada 1981 adalah 123% GDP, dan pada 2008 telah mencapai 290% GDP. Seperti pecandu, kapitalisme menggunakan kredit untuk gali lubang tutup lubang, tetapi lubangnya menjadi semakin besar. Sekarang kapitalisme menemukan dirinya di dalam lubang yang begitu dalam sehingga tidak mampu keluar darinya.
Lenin pernah mengatakan bahwa tidak ada krisis akhir kapitalisme. Kapitalisme akan selalu mampu keluar dari bahkan krisis yang paling buruk. Akan tetapi, pernyataan umum ini tidak menjawab hal apapun yang konkrit dan spesifik mengenai situasi hari ini. Ada dua pertanyaan yang harus kita kemukakan. Pertama, berapa lama yang dibutuhkan oleh kapitalis untuk keluar dari krisis ini? Kedua, apa ongkos yang harus dibayarnya? Pada 1930an, ketika kapitalisme mengalami krisis terburuknya pada periode tersebut, ia dapat keluar dari krisis ini setelah melewati Perang Dunia Kedua, dan kita tahu apa ongkos yang harus dibayar oleh ratusan juta rakyat pekerja dan bagaimana Perang Dunia tersebut mengubah seluruh tatanan ekonomi dan politik dunia. Untuk sekarang, Perang Dunia tidak ada di agenda sama sekali, dan kapitalisme harus menggunakan cara lain untuk keluar dari krisis organik ini.
Sejumlah ekonom mengatakan bahwa dibutuhkan 20 tahun untuk keluar dari krisis ini, yakni 20 tahun kebijakan penghematan dimana taraf hidup rakyat pekerja akan terus jatuh. Beberapa tahun terakhir ini, para ekonom, pengamat ekonomi, dan politisi telah mempersiapkan rakyat pekerja untuk masa depan yang akan datang. Dengan berisik dan tak henti-hentinya – di layar televisi dan di lembar koran – mereka serentak mengatakan: tidak akan ada lagi “makan siang gratis” (free lunch), tidak akan ada lagi “hak-hak istimewa” (entitlement). Menurut mereka, jaman keemasan kapitalisme di negeri-negeri maju — yang memberikan kesehatan gratis, pendidikan gratis, pensiun yang layak, jam kerja yang pendek, liburan yang panjang, dan berbagai jaminan sosial lainnya bagi rakyat luas – adalah sebuah kesalahan fatal yang berkontribusi pada krisis hari ini. Jaman keemasan ini harus diakhiri. Kita sedang memasuki periode penghematan, periode pemangkasan anggaran-anggaran sosial dan pencapaian-pencapaian yang telah dimenangkan oleh buruh.
Akan dibutuhkan waktu yang panjang untuk menyelesaikan krisis ini, dan cara penyelesaiannya adalah penghancuran pencapaian-pencapaian kesejahteraan buruh — terutama di negara-negara maju. Ini adalah resep untuk menajamnya perjuangan kelas. Program penghematan ini akan menciptakan sebuah kesadaran yang baru di antara rakyat pekerja. Tidak hanya rakyat pekerja di negeri-negeri maju saja – dimana program penghematan sedang gencar dicanangkan – tetapi juga seluruh dunia. Selama 50 tahun terakhir, pencapaian kesejahteraan buruh Eropa dan AS dijadikan contoh keberhasilan sistem kapitalisme. Rakyat pekerja di negeri-negeri berkembang dan terbelakang diberikan harapan kalau mereka juga akan dapat mencapai kesejahteraan seperti saudara-saudara mereka di Eropa dan AS, bahwa kapitalisme akan dapat membawa Indonesia, India, China, Bangladesh ke tingkatan kemakmuran Eropa dan AS. Namun kenyataannya hari ini justru para ahli ekonomi mengatakan bahwa tingkat kemakmuran buruh Eropa adalah sebuah kekeliruan, bahwa mereka hidup terlalu makmur dan nyaman. Para buruh Eropa dan AS sekarang diharapkan untuk bekerja seperti buruh-buruh di China, dengan jam kerja yang panjang, gaji yang rendah, tanpa jaminan keamanan, tanpa pensiun layak, dan tanpa masa depan. Ini juga akan menggoncang kesadaran rakyat pekerja di negeri-negeri Dunia Ketiga, karena tidak ada lagi harapan perbaikan di bawah sistem kapitalisme, tidak untuk mereka, tidak juga untuk anak-anak dan cucu-cucu mereka.
Dari Turki Sampai Brasil
Tidak ada yang menyangka kalau akan terjadi ledakan insureksioner yang begitu besar di Turki tahun ini. Turki adalah salah satu negeri yang ekonominya tumbuh pesat ketika perekonomian dunia tersendat-sendat. Ia tumbuh rata-rata 8.5% selama 3 tahun terakhir. Kalau kita berpandangan empirik – yakni hanya melihat fakta di permukaan – maka semestinya Turki adalah negeri yang damai dan stabil. Namun kita adalah Marxis. Kita melihat proses yang ada di bawah permukaan. Boom kapitalisme hanya menutupi kontradiksi yang ada di dalam masyarakat, tetapi tidak menyingkirkannya sama sekali. Buah dari pertumbuhan ekonomi ini hanya dinikmati oleh segelintir orang, dan ini menciptakan jurang yang semakin besar antara yang kaya dan yang miskin.
Dalam kata-kata Marx, “Oleh karenanya akumulasi kekayaan di satu kutub adalahpada saat yang sama akumulasi kesengsaraan, penderitaan dari kerja perbudakan, kebodohan, brutalitas, degradasi mental, di kutub yang berlawanan, yakni di sisi kelas yang memproduksi produknya sendiri dalam bentuk kapital.” (Kapital, Vol 1.)
Inilah basis dari ledakan-ledakan sosial yang terjadi di Turki, dan lalu di Brasil tidak lama kemudian. Kedua negeri ini sebelumnya diusung sebagai model pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik dan sosial. Sekarang, semuanya telah berubah menjadi kebalikannya.
Di Turki, ini diawali oleh demonstrasi kecil oleh sekelompok aktivis pencinta lingkungan hidup, yang menentang digusurnya Taman Gezi untuk pembangunan mal. Ini adalah demo kecil yang biasa terjadi, dan biasa juga dibubarkan oleh polisi. Biasanya orang tidak akan menggubris tindakan kasar yang dilakukan oleh polisi untuk membubarkan segelintir aktivis. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Di bawah permukaan masyarakat yang tenang, ada kegusaran dan keresahan yang telah menumpuk, yang datang dari berbagai alasan: pertumbuhan ekonomi yang tidak merata dan hanya dinikmati segelintir orang, terutama kroni-kroni di seputar presiden Erdogan dan partainya; jurang yang semakin dalam antara yang kaya dan miskin; gelombang revolusi Arab yang terjadi di sekitar Turki; krisis ekonomi dunia yang berkepanjangan; dan kemuakan akan berbagai kecongkakan, skandal, korupsi, dan tingkah laku semena-mena para elit. Semua ini meledak dan muncul ke permukaan lewat insiden kecil di Taman Gezi. Bila tidak ada insiden di Taman Gezi, akan ada insiden lainnya yang akan menjadi pemerciknya. Ini hanya masalah waktu.
Skala perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Turki selama 3 minggu bulan Juni lalu sungguh luar biasa. Ini bisa dilihat dari jumlah gas air mata yang ditembakkan oleh polisi dalam kurun waktu 3 minggu tersebut, yakni 130.000 tabung gas air mata. Ini berarti setiap jam polisi menembakkan 260 tabung gas air mata. Udara di kota Istanbul dan puluhan lainnya pekat dengan gas air mata.
Tidak lama kemudian, rakyat Brazil dalam jumlah jutaan turun di lebih dari 100 kota. Mereka menentang dinaikkannya harga karcis bis. Yang terjadi di Brazil bahkan mempunyai signifikansi yang lebih besar. Di Brazil ada Partai Buruh (PT) yang memiliki pengaruh besar, dengan ribuan anggota perwakilan rakyat di berbagai tingkatan pemerintah. Partai Buruh Brazil telah memenangkan pemilihan presiden 3 kali berturut-turut, 2 periode dari 2002-2010 oleh Lula, dan 2010 hingga sekarang oleh Dilma. Selama sepuluh tahun terakhir, Partai Buruh memiliki tingkat popularitas yang tinggi. Di bawah kepresidenan Lula, yang adalah ketua Serikat Buruh Metal, buruh Brazil memenangkan reforma-reforma yang besar. Selain kemenangan materiil, buruh Brazil juga meraih kemenangan moral. Untuk pertama kalinya, seorang buruh menjadi Presiden Brazil dan ini merupakan kebanggaan yang teramat besar. Partai Buruh Brazil dilihat sebagai model dan inspirasi bagi buruh-buruh di banyak negeri lain, termasuk juga buruh-buruh Serikat Pekerja Metal di Indonesia (FSPMI).
Akan tetapi, selama 10 tahun terakhir, Lula dan Partai Buruh Brazil dapat memberikan banyak reforma kepada buruh karena pada saat itu ekonomi Brazil relatif tumbuh pesat akibat permintaan bahan mentah dan produk pertanian dari China. China adalah mitra dagang terbesar Brazil. Namun serupa dengan Turki, pertumbuhan ekonomi ini tidak merata. Mayoritas besar profit dikantungi oleh kapitalis Brazil. Kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin sangatlah besar. Koefisien Gini (indikator kesenjangan ekonomi, dimana angka 0 berarti kesetaraan penuh dan 100 berarti ketidaksetaraan penuh) di Brazil adalah 54.7 sementara di Indonesia 34.0. Kesenjangan ekonomi di Brazil jauh lebih besar dibandingkan Indonesia.
Sementara Partai Buruh Brazil telah melakukan kebijakan kolaborasi kelas dengan partai-partai borjuasi lainnya, dan mulai bergerak dari reforma ke konter reforma. Kenaikan harga karcis bis di kota Sao Paulo yang menjadi pemicu ledakan massa baru-baru ini adalah salah satu konter reforma ini. Kenyataannya adalah ini, selama Partai Buruh Brazil tidak ingin mendobrak batas-batas kapitalisme dan terus ingin berfungsi dalam kerangka sistem pasar, maka ia akan menjadi budak dari logika kapitalisme. Lula dan Dilma sebenarnya mewakili sayap reformis konservatif di dalam tubuh Partai Buruh, yang sudah tidak punya niat sama sekali untuk menggantikan kapitalisme dengan sosialisme, dan oleh karenanya mereka — sadar atau tidak sadar — telah menjadi pelayan modal. Lama berkuasa, sebagian besar jajaran kepemimpinan Partai Buruh Brazil dipenuhi dengan elit-elit politik yang sudah tidak lagi peka pada situasi rakyat pekerja, terutama kaum muda. Sementara situasi ekonomi Brazil semakin memburuk. Pertumbuhan ekonomi 7,5% pada 2010 menukik tajam menjadi 0,9% pada 2012. Penyebabnya sangat sederhana. Kalau AS dan Eropa tidak mengkonsumsi akibat krisis mereka, maka China tidak akan berproduksi. Kalau China tidak berproduksi, maka permintaan atas bahan mentah Brasil menurun.
Bagi banyak pengamat politik, dan bahkan banyak orang-orang Kiri, apa yang terjadi di Brasil adalah seperti petir di siang bolong. Tetapi tidak bagi kaum Marxis. Yang terjadi di Brasil adalah bagian dari proses radikalisasi massa di seluruh dunia. Tidak ada satupun rejim yang stabil, bahkan rejim yang dipimpin oleh Partai Buruh sekalipun. Pada tahun 2012, tingkat pemogokan di Brasil adalah tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Ini sendiri sudah menunjukkan keresahan kaum buruh terhadap pemerintahan PT.
Keresahan ini tumpah ruah pada bulan Juni, dimana jutaan rakyat Brasil turun ke jalan dan bahkan tidak lagi menggubris turnamen sepak bola Confederation Cup yang terjadi berbarengan. Rakyat luas lebih tertarik dengan apa yang terjadi di jalan-jalan ketimbang di rumput hijau lapangan sepak bola. Di negeri dimana sepak bola mengalir pekat di dalam darah setiap orang, ini sungguh adalah revolusi. Pada kenyataannya, rakyat Brasil meluapkan kemarahannya juga terhadap penghambur-hamburan uang dan skandal korupsi dalam pembangunan stadium-stadium sepak bola untuk Confederation Cup 2013 dan Piala Dunia 2014. FIFA menuntut standar yang sangat tinggi, yang berarti stadium-stadium multi-milyar dolar di tengah kemiskinan mayoritas rakyat. Rakyat Brasil mencintai sepak bola mereka. Tetapi sepak bola hari ini adalah bisnis besar kapitalis. Kita harus menyadari bahwa ini bukan masalah perut saja, tetapi juga kegeraman rakyat atas korupsi dan skandal, atas kecongkakan para elit, atas tindakan semena-mena dari yang berkuasa.
Revolusi Mesir Babak Kedua
Kalau insureksi revolusioner di Turki dan Brasil sudah begitu mengejutkan bagi banyak orang, ini lalu disusul dengan cepat oleh babak kedua dari Revolusi Mesir. Dua tahun yang lalu, Revolusi Arab mengguncang dunia. Hosni Mubarak ditumbangkan oleh gerakan rakyat revolusioner. Namun, karena tidak adanya kepemimpinan revolusioner, Ikhwanul Muslimin berhasil membajak Revolusi ini dan naik ke tampuk kekuasaan. Banyak orang yang lalu mengira ini adalah akhir dari Revolusi Mesir. Apa yang awalnya Musim Semi Arab telah menjadi Musim Dingin Arab, demikian ujar banyak orang.
Tidak sedikit Kiri yang lalu menjadi skeptis terhadap rakyat Mesir dan mencibir Revolusi ini. Namun Kiri-kiri setengah matang ini hanya dapat melihat pantat sejarah saja, dan tampaknya mereka punya sedikit obsesi dengan bagian tubuh ini. Mereka tidak memahami dialektika revolusi. Sedari awal kaum Marxis telah mengatakan bahwa rejim IM dan Morsi ini adalah rejim krisis, yang tidak akan dapat bertahan lama. Ilusi rakyat terhadap IM – terutama dari lapisan terbelakang dari rakyat Mesir — akan segera punah ketika mereka menyadari bahwa IM tidak lain adalah partainya kaum borjuasi berjenggot, bahwa IM tidak akan dapat bisa menyelesaikan masalah roti dan pekerjaan. Kaum Marxis menyatakan dengan tegas bahwa proses Revolusi Mesir belumlah selesai dan akan ada ledakan yang menyusul, dan ledakan ini bahkan akan lebih besar dalam skalanya.
Hanya dalam satu tahun, pemerintahan Morsi ditumbangkan oleh 17 juta rakyat yang turun ke jalan-jalan di seluruh Mesir. Jutaan yang memberikan suaranya kepada IM dan Morsi tahun lalu sekarang berbalik menentang mereka. Rakyat mengepung dan menyegel gedung-gedung pemerintahan, dan menaruh tanda yang bertuliskan “Disegel atas perintah rakyat revolusioner”. Kekuasaan sebenarnya sudah ada di tangan rakyat pekerja Mesir, tetapi mereka tidak punya kepemimpinan yang sadar akan ini dan dapat merebut kekuasaan ini. Para pemimpin kelompok Tamarod — yakni kelompok yang mengorganisir gerakan ini — adalah borjuis-borjuis kecil yang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Sementara, Militer Mesir, setelah mengetahui bahwa Morsi dan IM secara de fakto sudah tidak lagi punya kekuasaan, segera bergerak untuk menyelamatkan seluruh situasi. Kalau mereka biarkan Morsi yang keras kepala untuk terus bercokol, maka kemarahan rakyat bisa menyapu bersih seluruh kekuasaan kapitalis dan militer di Mesir.
Bagi kelas penguasa, penumbangan Morsi lewat politik jalanan adalah preseden yang sangat buruk bagi demokrasi borjuasi. Morsi dan IM dipilih oleh proses pemilu yang sudah disahkan oleh seluruh kapitalis dunia sebagai pemilu yang demokratis. Ketika rakyat pekerja lalu turun ke jalan-jalan dalam jumlah jutaan dan menyeret Morsi dan IM keluar dari istana mereka, ini — menurut mereka — adalah pelanggaran kekeramatan demokrasi. Kalau ini dapat terjadi di Mesir, apa yang mencegah ini dapat terjadi di negara-negara demokrasi lainnya?
Oleh karenanya media kapitalis segera mencap penumbangan Morsi sebagai aksi kudeta yang tidak demokratis. Pesan yang ingin mereka sampaikan kepada rakyat pekerja sedunia adalah “Janganlah mencontoh rakyat Mesir”. Yang menyedihkan adalah tidak sedikit Kiri yang menelan bulat-bulat argumen “kudeta” ini, dan mengkerdilkan 17 juta rakyat Mesir yang turun ke jalan sebagai detil kecil yang tidak penting.
Krisis Eropa
Krisis kali ini menghantam pusat kapitalisme di Eropa dan AS. In bukan krisis seperti dulu-dulu dimana yang terimbas adalah negeri-negeri kapitalis kecil, seperti krisis 1997-98 di Asia dan 2001 di Argentina. Terlebih lagi ini adalah krisis yang mendunia, dimana tidak ada satupun negeri yang luput darinya. Globalisasi telah memanifestasikan dirinya dalam krisis global kapitalisme.
Sekarang, krisis Uni Eropa terrefleksikan dan terkonsentrasikan secara penuh di Yunani, sebuah negeri kecil berpenduduk 11 juta. Sungguh ini adalah ekspresi nyata dari globalisasi. Mata uang bersama Euro mengikat nasib seluruh Uni Eropa dan Yunani bersama. Bila Yunani jatuh, maka ia akan dapat menyeret seluruh Uni Eropa bersamanya. Oleh karenanya semua kapitalis dunia berusaha keras menyelamatkan Yunani. Dalam 3 tahun terakhir, IMF, Komisi Uni Eropa (EC), dan Bank Sentral Eropa (ECB) telah memompa sekitar 200 milyar dolar AS, yakni sekitar 75% dari total GDP Yunani.
Mengapa nasib Uni Eropa tergantung pada nasib Yunani? Ini karena Yunani memiliki hutang sebesar 530 milyar dolar AS kepada bank-bank besar dan institusi-institusi finansial di hampir seluruh dunia. Bila Yunani tidak mampu membayar hutang ini beserta bunganya, maka bank dan institusi finansial dunia akan mengalami kerugian besar dan ini akan berarti satu pukulan lagi bagi perekonomian dunia yang sudah tersendat-sendat. Bank-bank dan institusi-institusi finansial tersebut bisa bangkrut dan runtuh.
Tidak hanya itu saja. Bila Yunani keluar dari Euro, ini akan menghancurkan kepercayaan pasar terhadap mata uang Euro dan perekonomian Uni Eropa. Bila Yunani dapat keluar, apa yang mencegah negeri-negeri lain yang juga mengalami krisis untuk keluar dari Euro? Bila Yunani menyatakan bangkrut dan tidak membayar hutang-hutangnya, apa yang mencegah negeri-negeri lain yang juga berhutang besar untuk menyatakan bangkrut dan mangkir dalam hutangnya? Di belakang Yunani mengantri Italia (total hutang $2700 milyar), Spanyol ($2540 milyar), dan Portugal ($530 milyar). Prancis ($5610 milyar) tidak jauh darinya.
Akan tetapi, kelas penguasa tidak bisa setuju bagaimana menyelamatkan Yunani. Lebih tepatnya mereka tidak bisa setuju siapa yang harus mengeluarkan uang untuk mem-bailout Yunani. Semua mata menuju ke Jerman, ekonomi EU yang terbesar, untuk mengeluarkan uang ini. Tetapi Merkel mengatakan: “Nein!” (Tidak!), karena bila Jerman yang menanggung beban bailout Yunani ini berarti Jerman sendiri harus melakukan program pemangkasan di negerinya sendiri. Ini akan mengancam popularitas Merkel dan partainya, dan memicu krisis sosial di Jerman yang merupakan pusat dari Uni Eropa. Terlebih lagi, kalau hari ini Merkel memberi uang pada Yunani, maka esok harinya akan ada ketukan pintu dari Spanyol, Italia, dan Portugal, “Mana bagian kami?’
Troika IMF, ECB, dan EU menuntut agar pemerintahan Yunani melakukan program pemangkasan besar-besaran. Gaji rakyat pekerja yang katanya terlalu tinggi harus diturunkan. Umur pensiun dinaikkan. Namun, apa lagi yang bisa diperas dari rakyat pekerja Yunani? Tingkat pengangguran sudah mencapai 27,6%. Lebih dari separuh kaum muda di bawah 25 menganggur. Tingkat bunuh diri melonjak tinggi, dan mayoritas mengakhiri hidupnya karena tekanan ekonomi yang sudah tidak tertanggungkan lagi. Uang pensiun sudah dipotong sampai 20%. Gaji pekerja sudah terpangkas hampir 50%. Yunani, yang merupakan pusat kebudayaan umat manusia darimana demokrasi dan filsuf-filsuf besar lahir, telah bergabung dengan jajaran Dunia Ketiga.
Inilah masa depan yang sedang menanti negeri-negeri Eropa lainnya, dan juga AS. Semua negeri ini sedang bergerak ke arah sana, dengan tempo yang berbeda-beda tetapi arahnya jelas. Satu-satunya jalan keluar dari krisis ini adalah dengan menyerang taraf hidup kaum buruh. Tetapi usaha untuk keluar dari krisis ekonomi akan menyebabkan ketidakstabilan politik dan sosial. Rakyat pekerja tidak akan diam saja selamanya ketika kehidupan mereka diporak-poranda. Ada ambang batas kesabaran rakyat. Di Yunani sendiri, sudah terjadi 29 kali pemogokan umum nasional.
Di sini kita sentuh sedikit mengenai pemogokan umum. Yunani telah menunjukkan batasan dari pemogokan umum. 29 kali pemogokan umum 24-jam, dan apa yang sudah dicapai? Tidak ada sama sekali. Justru sebaliknya, pemogokan umum di Yunani telah menjadi taktik yang reaksioner, yang digunakan oleh para pemimpin buruh reformis sebagai katup pengaman untuk melepaskan amarah rakyat. Sebagai kaum Marxis, kita tidak memuja-muja pemogokan umum sebagai sesuatu yang sakral, yang keramat, yang akan dapat menyelesaikan segala sesuatu hal. Pemogokan umum adalah sebuah senjata, yang efektif di satu waktu tertentu, tetapi dapat menjadi tidak-efektif dan bahkan konter-produktif di waktu yang lain. Kita kaum Marxis mendukung pemogokan umum karena ia memberikan kepercayaan diri kepada kaum buruh. Ia memberikan gambaran nyata kepada kaum buruh akan kekuatan mereka sebagai sebuah kelas yang sesungguhnya menggerakkan masyarakat. Namun pemogokan umum hanyalah sebuah tahapan dari proses pembangunan kesadaran kelas buruh, yakni menuju ke perebutan kekuasaan. Yang dibutuhkan sekarang di Yunani bukanlah satu lagi pemogokan umum 24-jam, tetapi pemogokan umum tanpa-batas dengan persiapan perebutan kekuasaan. Disinilah para pemimpin buruh reformis ini menjadi penghambat. Ketika situasi sudah pra-revolusioner, mereka tidak mampu memberikan kepemimpinan revolusioner sama sekali.
Periode Bergejolak Berkepanjangan
Tidak cukup bagi kita untuk hanya menyatakan bahwa ada radikalisasi, bahwa ada revolusi di sana dan di situ, bahwa ada kegeraman rakyat yang akan membawa ledakan-ledakan. Kenyataannya adalah bahwa tidak ada kepemimpinan revolusioner – yakni partai yang setara dengan Partai Bolsheviknya Lenin – yang mampu membawa buruh ke gerbang kemenangan. Ini merupakan faktor subjektif yang menentukan.
Tidak adanya kepemimpinan revolusioner berarti bahwa proses revolusi dunia ini akan berkepanjangan, dan juga akan mengambil berbagai bentuk yang “aneh”. Ada tekanan besar di dalam masyarakat, dan tekanan masif ini tidak bisa menunggu saluran yang tepat. Rakyat tidak bisa menunggu datangnya Partai Bolshevik. Mereka akan mengekspresikan keresahan mereka dengan cara apapun. Gerakan Occupy misalnya adalah salah satu bentuk ekspresi tersebut, yakni gerakan untuk menduduki taman-taman dan alun-alun, yang meledak seketika dan menghilang juga dalam sekejap. Lalu di Italia, kita saksikan munculnya sebuah partai yang dipimpin oleh seorang pelawak, Beppe Grillo, yang hari ini adalah partai ketiga terbesar dengan 25% suara. Ini tidak jauh dari partai terbesar di Italia, Partai Demokrat, yang meraih 29% suara.
Sebagai Marxis, kita tidak boleh terkejut dengan berbagai manifestasi politik dan sosial yang akan muncul di hari depan. Kita tidak boleh bertingkah seperti Kiri lainnya, yang hanya bisa mengekor, yang meloncat kegirangan dengan mata bersinar-sinar ketika ada ledakan gerakan baru dan lalu menjadi sinis dan pesimis segera setelah gerakan baru ini surut atau dikalahkan. Kiri-kiri ini selalu mencari hal-hal yang baru, hal-hal yang trendi. Sedangkan kita Marxis punya perspektif yang panjang Kita ulangi lagi, kita sedang memasuki periode revolusi dan konter-revolusi, kenaikan yang disusul dengan kemunduran, pasang naik dan surut yang saling kejar mengejar. Dalam proses yang berkepanjangan ini, sebuah generasi yang baru akan tercipta. Kesadaran akan tergoncang dimana-mana. Ini mungkin tidak terlihat langsung, tetapi kita sebagai Marxis tahu bahwa di bawah permukaan ada sebuah proses radikalisasi yang sedang berlangsung.
Kekuatan Marxis revolusioner masih terlalu kecil untuk bisa mengintervensi periode ini, apalagi menentukan hasil dari gerakan-gerakan yang akan datang. Kita masih adalah minoritas di antara minoritas di antara minoritas. Kita sekarang tidak berbicara kepada massa luas, dan tidak punya kemampuan demikian. Kita harus mencari elemen-elemen yang paling revolusioner dan mendidik mereka dalam gagasan Marxisme. Di dalam situasi revolusioner, sebuah kelompok kecil dengan gagasan yang tepat dapat tumbuh dengan cepat. Sekarang kita sedang membangun kelompok kecil tersebut, untuk mencapai 50, 100, atau 200 anggota yang telah terlatih sebagai kader Bolshevik, yang akan menjadi tulang punggung dari Marxisme Indonesia.
Tidak ada alasan objektif apapun yang dapat mencegah kita untuk merekrut. Radikalisasi kaum muda — pelajar, mahasiswa, maupun buruh — adalah hal yang nyata. Ini sedang terjadi di seluruh dunia. Satu-satunya halangan untuk tumbuh adalah kita sendiri, dan oleh karenanya kita harus memperbaiki diri kita sendiri. Tanam semangat revolusioner ke dalam diri kita sendiri. Persenjatai diri kita dengan pendidikan teori dan politik, yang tanpanya kita bukanlah apa-apap.
Ada peluang-peluang besar di luar sana. Terutama, kaum muda yang sekarang mulai bergerak mencari gagasan-gagasan Marxisme. Mereka tidak lagi terbebani oleh momok G30S/PKI seperti generasi sebelumnya. Mereka sedang mencari gagasan revolusioner hari ini, bukan esok hari dan bukan lusa. Kita harus mencari mereka, berdialog dengan mereka dan memenangkan mereka ke Marxisme dan organisasi kita.