Dalam waktu 100 hari ke depan, nasib seluruh rakyat pekerja Indonesia akan ditentukan oleh RUU Sapu Jagat, atau yang juga disebut Omnibus Law. Seluruh perhatian bangsa kini terpaku pada rancangan undang-undang ini.
Bagi Jokowi ini akan menjadi legacy-nya. Semua celotehnya dulu mengenai revolusi mental yang mengawang-awang, yang sepoi anginnya menyejukkan hati kaum liberal yang terusik, kini telah turun dari ketinggian langitnya dan berpijak di bumi yang nyata. Dan di bumi yang nyata ini mental tidak ada harganya bagi kaum investor, sang empunya bumi. Revolusi Mental telah berubah menjadi Sapu Jagat, dan kita akan lihat tidak ada satupun lapisan rakyat pekerja yang tidak kena sapu: buruh, tani, perempuan, masyarakat adat, dll.
Investasi untuk penciptaan lapangan kerja
Beberapa blunder dalam omnibus law, seperti insiden “salah ketik”, memang membuat banyak orang mempertanyakan kompetensi dari Perancangnya. Tetapi dibalik kebodohan ini ada sebuah logika yang tak terbantahkan, yakni logika kapital.
Argumen utama rejim dan para pendukung omnibus law adalah investasi yang akan mengalir deras, yang pada gilirannya akan menciptakan lapangan kerja yang dibutuhkan. Di masyarakat yang begitu sesak dengan penganggur, siapa yang tidak menginginkan slip gaji yang reguler?
Bila omnibus law ini memotong pesangon buruh, membatalkan cuti haid, melanggengkan kerja kontrak dan outsourcing, memperlemah perlindungan lingkungan hidup, meringankan pajak korporasi, dsb., semua ini hanya pengorbanan dan kesulitan awal untuk masa depan yang lebih baik. Kucuran investasi serta kemudahan berbisnis bagi pemodal akan membuahkan hasil lebih besar bagi kesejahteraan seluruh rakyat di hari depan. Begitu bela rejim.
Logikanya demikian.
Regulasi diubah sedemikian rupa yang pada analisa terakhir akan menekan ongkos berbisnis. Pemilik modal – terutama asing – akan melihat kalau mereka bisa mendapatkan laba lebih besar kalau melakukan investasi di Indonesia, dan memilih memarkir uang mereka di sini. Investasi akan berarti dibukanya pabrik dan perusahaan baru, pembangunan infrastruktur, dsb. yang pada gilirannya berarti akan lebih banyak tangan yang diperlukan untuk bekerja. Lebih banyak orang bekerja berarti lebih banyak uang di kantung rakyat, yang berarti konsumsi domestik meningkat, permintaan akan barang meningkat, lebih banyak order untuk pedagang dan produsen, lebih banyak lagi kerja untuk pekerja, dst. Bisnis-bisnis yang menjamur, infrastruktur-infrastruktur yang terbangun, semua ini meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi bangsa, yang lalu menjadi magnet untuk investasi lebih lanjut. Pemasukan negara meningkat, belanja negara untuk pendidikan, kesehatan, dsb. meningkat pula, yang meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, yang pada gilirannya menjadi magnet pula untuk investasi lebih lanjut. Siklus ini hanya bisa terus menanjak terus dan terus sampai kesejahteraan menyentuh semua orang.
Tampak masuk akal dan tidak bisa dibantah. Bahkan bila perubahan regulasi ini awalnya mencekik penghidupan buruh dan tani, ini hanya sementara demi pencapaian jangka panjang yang lebih besar bagi seluruh bangsa. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Efek menetes ke bawah
Falsafah yang mendasari omnibus law adalah apa yang baik untuk pengusaha, akan baik pula bagi buruh, cepat atau lambat. Ini disebut juga “trickle down effect” atau “efek menetes ke bawah”. Said Iqbal, dalam merespons omnibus law, bahkan terpaksa mengakui: “Saya ingin mengatakan kami kaum buruh mendukung komitmen Presiden Jokowi tentang investasi karena dengan investasi tercipta lapangan kerja baru, dan kami butuh lapangan kerja.” Tetapi yang ditolak oleh banyak pemimpin seperti Iqbal adalah “investasi [yang] kemudian menyengsarakan kaum buruh dengan menurunkan kesejahteraan dan tidak ada perlindungan.”
Di sinilah pokok permasalahannya: Apakah mungkin menginginkan investasi dari pemilik modal tanpa memberi mereka insentif, semacam timbal balik, kepada mereka? Kita akan diingatkan oleh Jokowi dan juga pemilik modal kalau kita sedang berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain, yang juga melakukan berbagai perubahan undang-undang yang “inovatif” semacam omnibus law, untuk menarik investasi.
Satu lagi yang disesalkan banyak pemimpin buruh dan para pengamat politik adalah bagaimana Omnibus terlalu terburu-buru diracik, tidak transparan, dan tidak melibatkan pihak-pihak yang terdampak, terutama rakyat pekerja. Semisal editorial Majalah Tempo, yang mengeluh bahwa UU sapu jagat ini diajukan “tanpa partisipasi publik, bahkan ada kesan dirahasiakan … pemerintah tak melibatkan semua pemangku kepentingan yang bakal terkena dampaknya.” (“Salah Kaprah UU Sapu Jagat”, 25/2/2020)
Alasan mengapa rejim Jokowi meneroboskan saja Omnibus law tanpa banyak konsultasi publik, tanpa basa basi mengundang “semua pemangku kepentingan”, adalah karena rejim merasa percaya diri bahwa mereka tidak membutuhkan ini. Dengan mengantungi mayoritas kursi DPR (81 persen), tanpa adanya oposisi sama sekali dari partai-partai dalam DPR, dengan gerakan buruh yang masih belum bangkit sejak dikalahkan dengan PP78, dan periode pertama Jokowi yang kurang lebih stabil tanpa guncangan sama sekali, rejim merasa aman dalam posisinya.
Memang pada akhir periode pertama, rejim sempat dihadapkan dengan demo massa #ReformasiDikorupsi, dan harus melangkah mundur, dengan hanya mampu meloloskan revisi UU KPK dan harus menunda RUU Ketenagaan Kerja dan RUU Pertanahan. Tetapi gerakan #ReformasiDikorupsi tidak mampu meneruskan momentumnya dan akhirnya pupus. Ini dilihat sebagai kelemahan oleh rejim, dan bukan ancaman serius. Dengan menggolkan omnibus law ini dalam waktu pendek, rejim bertaruh ini tidak akan memberi waktu cukup bagi gerakan rakyat pekerja untuk melakukan konsolidasi dan membangun momentum, dan ini adalah taruhan yang cukup berpihak pada rejim.
Bahkan bila konsultasi publik yang luas dilakukan, dengan melibatkan pihak-pihak yang terdampak, kita masih belum menjawab pertanyaan: Apakah mungkin menginginkan investasi dari pemilik modal tanpa memberi mereka insentif, semacam timbal balik, kepada mereka? Karena kalau konsultasi akhirnya dilakukan, dan para pemimpin buruh tidak mampu menjawab dilema ini, UU yang sama akan diloloskan, dan sekarang dengan persetujuan “sungkan” atau “terpaksa” dari pihak-pihak terdampak.
Bukan pertama kalinya pemimpin buruh akhirnya memberikan konsesi pada pemerintah dan pemilik modal demi investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Seperti yang dikatakan oleh Said Iqbal di atas, yang juga ada di pikiran hampir semua pemimpin buruh, dia setuju dengan usaha rejim untuk mengundang investasi karena buruh membutuhkan pekerjaan. Tetapi dia tidak mau menerima apa yang secara tak terelakkan dibutuhkan untuk menarik investasi ini: penurunan biaya tenaga kerja.
Para pakar berargumen bahwa selain menekan biaya tenaga kerja, masih banyak yang lain yang bisa dilakukan untuk menarik investasi, seperti peningkatan efisiensi kinerja birokrasi pemerintah, menghapus KKN dan pungli, dsb. Namun pada akhirnya kapital telah berbicara: dari semua ini yang mereka inginkan adalah penekanan biaya tenaga kerja, yang merupakan biaya terbesar dalam produksi dan oleh karenanya rintangan terbesar mereka untuk meraih laba lebih besar. KKN bukanlah halangan utama, karena dengan KKN pemilik modal bisa mengangkangi berbagai UU.
Untuk menjawab dilema di atas, kita harus terlebih dahulu mengkaji hubungan dasar antara kapital dan buruh.
Hubungan antar Kapital dan Buruh
Kapital membutuhkan buruh, dan buruh membutuhkan kapital. Di satu sisi, tanpa buruh, kapital tidak akan bisa melipatgandakan dirinya. Tanpa memperkerjakan buruh, kapitalis tidak akan bisa mendapatkan laba yang dicarinya. Dia harus memperkerjakan buruh. Di sisi lain, tanpa kapital, maka buruh tidak bisa bekerja dan akan musnah. Keberadaan buruh sepenuhnya tergantung pada laju keluar masuknya kapital. Masuknya kapital ke dalam satu industri berarti meningkatnya jumlah buruh dalam industri tersebut, dan sebaliknya keluarnya kapital akan berarti pemecatan.
Dari proposisi dasar ini, mungkin akan mudah – bahkan terlalu mudah – menyimpulkan bahwa kapital dan buruh memiliki kepentingan yang sama. Kedua kelas ini memiliki hubungan simbiosis yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Cara berpikir inilah yang kerap dipromosikan oleh pemerintah, pengusaha, dan pakar-pakar ekonomi borjuis. Ini juga telah dijadikan kerangka berpikir sejumlah serikat buruh bahwa apa yang baik bagi pengusaha akan baik pula bagi buruh. Negosiasi bersahabat antar manajemen dan serikat menjadi mantra mereka. Namun kalau kita kaji lebih lanjut, kita akan temukan justru kebalikannya.
Buruh memperoleh upah dengan menjual kemampuan kerjanya. Kapitalis, dengan membayar upah, menerima aktivitas produksi buruh. Aktivitas produksi ini menghasilkan nilai yang lebih besar daripada upah yang dibayar kapitalis, dan dari sinilah kapitalis menerima laba dan mampu mengakumulasi kapital yang lebih besar. Pendeknya, kapitalis menanamkan investasi awal (kapital, dalam bentuk pabrik dan upah) dengan harapan memperoleh nilai yang lebih besar.
Sementara, bagi buruh, upah yang diterimanya digunakan langsung untuk membayar keperluan hidupnya sehari-hari. Upah tidak bisa diakumulasi oleh buruh. Mungkin pada saat tertentu dia mendapat upah lebih yang bisa ditabungnya di bank, tetapi ini akhirnya akan digunakan untuk keperluan mendadak: sakit, pernikahan anak, rumah ditimpa banjir, kena PHK, motor dicuri, dsb. Buruh lahir tidak membawa apapun, dan matipun tidak meninggalkan apapun. Pendek kata, upah yang diterima buruh, sebagai satu kelas keseluruhan, tidaklah terakumulasi tetapi terkonsumsi dengan segera. Ini memaksa buruh untuk terus menjual kemampuan kerjanya.
Tidak demikian dengan kapital. Kapital, dalam interaksinya dengan aktivitas produksi buruh, terus berlipat ganda. Hanya dengan menukarkan dirinya dengan kemampuan-bekerja (labour power) dari buruh upahan maka kapital dapat tumbuh. Kapital yang berlipat ganda membutuhkan lebih banyak pekerja, yang lalu mendorong lebih lanjut ekspansi kapital, yang lalu membutuhkan lebih banyak pekerja, dst. Tetapi tumbuhnya kapital berarti juga tumbuhnya kekuasaan kapital atas buruh-upahan. Upah buruh sebagai kelas habis untuk konsumsi langsung; kapital, sebaliknya, justru tumbuh semakin besar, semakin luas untuk mencakup lebih banyak nasib buruh.
Dalam skenario terbaik dimana pertumbuhan kapital disusul dengan kenaikan upah buruh, kita akan temui bahwa ini tidak mengubah posisi sosial relatif di antara kedua kelas ini. Secara relatif, kapital tumbuh lebih pesat daripada upah, yang akan selalu habis dikonsumsi dengan segera. Katakanlah kenaikan upah buruh memungkinkan sang buruh yang sebelumnya tinggal di kamar kos untuk sekarang mencicil rumah tipe 21. Pada saat yang sama, sang majikan tidak hanya punya rumah mewah di Menteng, tetapi kini mampu membeli rumah musim panas di Los Angeles. Sebesar apapun rumah sang buruh, kalau istana di sebelahnya menjadi lebih besar dengan kecepatan yang sama atau bahkan lebih cepat, maka secara sosial sang buruh akan tetap merasa tinggal di tempat yang lebih sesak. Cepat atau lambat, rumah tipe 21 itu akan terasa seperti penjara. Posisi sosialnya tidak berubah, atau bahkan memburuk karena ini relatif dengan total kekayaan yang tercipta dalam seluruh masyarakat.
Berbagai studi dan statistik telah menunjukkan secara tak terbantahkan semakin membesarnya jurang antara yang kaya (kapitalis) dan yang miskin (buruh). Ini benar – dan bahkan lebih mencolok – di negeri kapitalis terbesar Amerika Serikat. Tidak peduli kalau buruh AS jelas memiliki taraf hidup lebih baik daripada buruh Indonesia. Buruh AS mengukur posisi sosialnya bukan dengan buruh Indonesia, bukan dalam masyarakat Indonesia, tetapi dalam masyarakat dimana ia berada. Posisi sosialnya ditentukan relatif dengan kelas-kelas sosial lainnya dalam lingkungannya.
Namun kenaikan upah bukanlah satu-satunya hal yang menyusul pertumbuhan kapital. Dengan segera kaum kapitalis akan mencoba menekan kenaikan biaya tenaga kerja ini. Satu cara adalah dengan meningkatkan produktivitas buruh lewat penggunaan teknik produksi yang lebih baik (Misalnya penggunaan mesin yang lebih canggih dan otomatis; divisi tenaga kerja yang lebih rinci dan terorganisir, dsb.). Dengan demikian buruh yang sama kini menghasilkan produk yang lebih banyak, atau kapitalis bisa mengurangi jumlah buruh yang dipekerjakan untuk menghasilkan jumlah produk yang sama. Buruh yang dibayar upah nominal yang lebih tinggi kini menghasilkan lebih banyak produk bagi majikannya. Sebagai kelas, dari keseluruhan total kekayaan yang dihasilkan masyarakat, pangsa yang didapat buruh pada akhirnya akan kembali ke minimum.
Pengenalan mesin membuat kerja buruh semakin sederhana, dan dengan semakin sederhananya kerjanya maka semakin besar pula tekanan terhadap upahnya. Buruh menjadi semakin mudah tergantikan. Tidak diperlukan keterampilan tinggi untuk melakukan kerjanya, sehingga hampir siapapun bisa melakukannya. Suplai tenaga kerja yang besar ini memberi posisi tawar yang lebih kuat bagi kapitalis sehingga mampu memotong upah. Dengan demikian, upah tinggi yang diperoleh buruh menyusul masuknya kapital besar (investasi) dengan cepat menguap. Upah kembali lagi menjadi seminim-minimnya, yakni hanya cukup untuk menjaga agar buruh masih bernafas dan dapat melakukan kerjanya.
Ini bisa kita lihat dari pengalaman gerakan buruh pada 2011-12. Pada 2011, sektor industri suku cadang otomotif mengalami pertumbuhan sebesar 29,8 persen. Sektor kimia meningkat 19,8 persen, dan begitu juga sektor-sektor industri lainnya mengalami peningkatan drastis. Alasan utama peningkatan output manufaktur ini disebabkan oleh arus masuk investasi langsung asing (FDI). Pada 2009, FDI yang masuk sebesar US$4,9 miliar. Pada 2011, FDI netto mencapai US$18,9 miliar. Mayoritas FDI ini masuk ke industri-industri manufaktur besar, yang menciptakan kesibukan dan keramaian di kawasan-kawasan industri seperti Bekasi, Tangerang, dan Gresik. Ini memperkuat daya tawar kelas buruh, dan pada gilirannya memperkuat kepercayaan diri buruh dan organisasi serikatnya untuk berjuang menuntut lebih. Gelombang demo dan pemogokan, May Day raksasa, sweeping dan grebek pabrik, sampai ke Getok Monas, semua ini adalah ekspresi sosial dan politik dari fakta ekonomi. Namun dengan cepat pula kelas kapitalis mengimplementasikan otomatisasi. Outsourcing dan kerja kontrak diperluas penggunaannya. Dengan tuas politiknya pemilik modal loloskan PP78 untuk mengebiri hak negosiasi UMK buruh. Ini mereka lanjutkan sekarang dengan omnibus law, yang tidak hanya menyentuh UU ketenagakerjaan saja tetapi juga masalah lingkungan, tanah, dsb.
Dari semua ini dapat kita simpulkan bahwa pertumbuhan kapital hanya berarti semakin tersubordinasinya buruh, semakin terikatnya nasib buruh pada modal. Semakin keras dan rajin buruh bekerja, semakin ia memperkuat rantai yang mengikatnya. Tidak ada kesamaan kepentingan, tetapi justru jurang pemisah yang semakin hari semakin melebar antara kepentingan modal dan buruh. Benar kalau kapital membutuhkan buruh, tetapi ini layaknya harimau membutuhkan mangsanya, karena hanya lewat darah mangsanya kapital dapat berlipat ganda.
Kapitalisme dalam krisis
Di atas kita berbicara mengenai skenario terbaik dimana arus investasi modal disusul dengan meningkatnya permintaan atas tenaga kerja, yang berarti penciptaan lapangan kerja seperti yang dipromosikan oleh rejim dan pengusaha akan terjadi bila omnibus law ini lolos. Skenario terbaik ini – yang telah kita buktikan di atas hanyalah skenario yang sementara dan berakhir justru dengan semakin terpuruknya posisi sosial dan ekonomi buruh relatif dengan modal – telah menjadi sesuatu yang langka, karena ini berlaku hanya untuk kapitalisme yang masih segar bugar, kapitalisme yang tumbuh, dinamis, dan progresif.
Hari ini kapitalisme telah bangkrut. Kapitalisme sudah bukan lagi mesin inovasi seperti dulu kala, tetapi justru menjadi penghambat kompetisi bebas yang sebelumnya dielu-elukan sebagai motor inovasi. Ini diakui sendiri oleh ahli strategi kapitalis. Majalah The Economist, dalam artikelnya “The next capitalist revolution” (15 Nov, 2018) mengatakan bahwa “Sebuah revolusi dibutuhkan – sebuah revolusi yang akan membebaskan kompetisi, menekan profit abnormal hari ini dan memastikan inovasi dapat tumbuh esok hari.” Artikel ini mengeluh:
“Sejak 1997, konsentrasi pasar telah meningkat di dua-pertiga industri Amerika. Sepersepuluh ekonomi terdiri dari industri-industri dimana empat perusahaan mengendalikan lebih dari dua-pertiga pasar … Kami menghitung jumlah profit yang abnormal secara global berjumlah 660 miliar dolar AS, lebih dari dua pertiganya di Amerika Serikat.”
“Kendati suku bunga yang rendah, perusahaan-perusahaan hanya menginvestasikan ulang sedikit sekali dari profit mereka. … Bagian Produk Domestik Bruto yang didapati oleh buruh terus menurun. Harga-harga monopoli memungkinkan perusahaan-perusahaan raksasa menggerus kekuatan membeli dari upah buruh. … Jumlah perusahaan-perusahaan baru telah menurun dan pertumbuhan produktivitas lemah. Ini juga dapat dijelaskan oleh tidak adanya tekanan kompetisi untuk berinovasi.”
Inilah kondisi kapitalisme dalam krisis hari ini. Tentu saja para ahli strategi kapitalis The Economist ingin memutar balik waktu. Mereka ingin agar monopoli dipecah; agar perusahaan tidak meraup profit yang abnormal, yang terlalu tinggi; agar perusahaan menginvestasikan profit mereka dan berinovasi. Mereka ingin kembali ke kapitalisme pada masa keemasannya. Sampai hari ini mesin memutar balik waktu belum ditemukan dan hanya bisa ditonton di film. Kita biarkan saja mereka tenggelam dalam delusi mereka.
Perusahaan-perusahaan kapitalis menolak melakukan investasi. Mereka duduk di atas tumpukan “profit abnormal” mereka karena mereka sendiri tidak percaya akan masa depan mereka sendiri. Kapitalis hanya melakukan investasi kalau mereka percaya masa depan ekonomi cerah dan ini akan membuahkan profit, kalau ada pasar yang dapat menyerap produk-produk mereka. Tetapi tidak hari ini. Terutama tidak semenjak krisis 2008. Dunia masih ada dalam krisis overproduksi: produk di pasar berkelimpahan tanpa pasar yang mampu menyerapnya. Perang dagang antara AS dan China yang terus menajam; hutang menumpuk di atas hutang, dengan total hutang negara dan swasta kini mencapai rekor tertinggi $253 triliun, atau 322 persen dari Produk Domestik; pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang terus menurun; Brexit dan serta melesunya perekonomian Jerman – yang merupakan motor ekonomi Uni Eropa; semua ini hanya dapat menorehkan rasa pesimis di benak pemilik modal.
Bahkan setelah pemerintah-pemerintah di seluruh dunia menurunkan suku bunga acuan sampai ke tingkat terendah dalam sejarah untuk mendorong investasi, bahkan setelah pemerintah menggelontorkan uang dengan kebijakan Quantitative Easing yang agresif, pemilik modal tetap emoh berinvestasi secara produktif. Kapitalis justru menggunakan kesempatan ini untuk melakukan spekulasi di bursa saham. Sejak 2008, S&P 500 telah melonjak 3 kali lipat, NASDAQ 5 kali lipat, Dow Jones 3 kali lipat. Namun lonjakan harga saham ini bertolak belakang dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang pucat pasi.
Investasi produktif mengering. Inilah mengapa banyak negeri berlomba-lomba untuk menarik investasi yang sudah sedikit ini, dengan menawarkan keringanan pajak, kemudahan perizinan, pelonggaran pasar tenaga kerja, buruh yang lebih murah dan mudah dilepas bila sudah tak dibutuhkan, pelemahan perlindungan lingkungan hidup, dsb. Pada masa krisis kapitalisme hari ini, hanya dengan memastikan super profit maka kapitalis akan berinvestasi. Tetapi krisis kapitalis pada periode sekarang bukanlah satu-satunya penyebab enggannya kapitalis melakukan investasi yang produktif. Kapitalisme secara historis telah memasuki satu fase uzur, dengan sejumlah karakteristik yang diakui sendiri oleh para ahli strategi kapitalis dari majalah The Economist: kapitalisme monopoli, yang memilih meraup profit abnormal dengan kekuatan monopolinya dan enggan melakukan investasi yang dapat menciptakan inovasi. Kapitalisme telah menjadi penghambat besar perkembangan kekuatan produksi manusia.
Super profit yang dituntut kapitalis hari ini hanya bisa diperoleh dengan menekan seminim-minimnya upah buruh dan juga biaya-biaya produksi lainnya (akuisisi tanah, perlindungan lingkungan hidup, dsb.). Tetapi dengan menekan upah buruh, sang kapitalis juga memangkas secara signifikan kemampuan membeli konsumen, menyempitkan lebih lanjut pasar yang sudah tidak mampu lagi menampung produk-produk yang ada. Dalam kata lain, kapitalisme sendiri-lah menyiapkan krisis yang lebih dalam, mengorbankan masa depannya – serta masa depan seluruh umat manusia – untuk pencapaian profit segera. Tidak ada jalan keluar baginya dari lingkaran setan ini.
Maka dari itu, bila pemerintah meloloskan omnibus, ini tidak akan membuka pintu ke kesejahteraan. Investasi yang masuk hanya akan menciptakan lapangan pekerjaan dengan upah murah, yang akan segera lenyap. Ini pada gilirannya menyiapkan krisis over produksi yang lebih dalam.
Karakter kapitalis Indonesia
Ada satu faktor lagi yang sama pentingnya dalam semua persamaan ini, yakni karakter terbelakang dari kapitalis Indonesia. Karakter sosial dan politik kelas borjuasi Indonesia memainkan peran penting dalam ekonomi, karena karakter sosial dan politik ini juga adalah hasil dari fakta historik-ekonomik perkembangan kapitalisme Indonesia.
Umumnya ada dua cara kelas kapitalis dapat meningkatkan produktivitas buruh. Cara pertama dengan terus merevolusionerkan alat-alat produksi. Lewat perkembangan teknologi dan divisi kerja lebih lanjut, kapitalis dapat memproduksi lebih banyak produk dalam waktu yang lebih pendek. Cara kedua adalah dengan meningkatkan intensitas kerja buruh: membuatnya bekerja lebih lama dan lebih keras untuk upah yang lebih kecil.
Cara pertama umumnya meningkatkan kekuatan produksi masyarakat. Cara kedua sama sekali tidak. Kapitalis Indonesia lebih memilih cara kedua. Mereka tidak punya wawasan atau gairah untuk berinovasi. Semua celoteh Jokowi mengenai inovasi hanyalah untuk menutupi tidak adanya inovasi. Satu-satunya “inovasi” yang mampu dibayangkan oleh kaum kapitalis dan perwakilan politiknya adalah bagaimana menggunakan kekerasan untuk memangkas taraf hidup buruh, menyerobot tanah kaum tani, dan memerkosa lingkungan.
Karakter malas berinovasi dan takut mengambil risiko ditentukan oleh kesejarahan kapitalis Indonesia. Sejak awal kapitalis Indonesia menghamba pada imperialisme atau modal asing. Mereka bukan besar sendiri tetapi ditopang oleh modal asing dan dengan demikian menjadi pelayannya yang setia. Ketergantungan ini membuatnya tidak mandiri, dan terus terbelakang.
Keterbelakangan kelas borjuasi Indonesia tercermin dari tindak tanduk perwakilan politiknya, dengan kebodohan yang teramat vulgar. Misalnya belum lama ini Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengusulkan penerbitan fatwa orang kaya menikah dengan orang miskin sebagai cara untuk mengatasi kemiskinan. Ini datang dari mulut orang yang diberi tanggung jawab “membangun manusia” Indonesia. Masyarakat juga digegerkan dengan pernyataan Komisioner Komite Perlindungan Anak Indonesia Sitti Hikmawatty, yang mengatakan bahwa perempuan bisa hamil bila berenang bersama lawan jenis. Ini pejabat yang diharapkan dapat melindungi anak-anak Indonesia, dan sungguh tidak menginspirasi rasa percaya diri.
Inilah mengapa semua pembicaraan mengenai Revolusi Mental sudah dicampakkan oleh Jokowi. Mimpi Jokowi dan kaum liberal yang ingin mengubah mental kelas penguasa berbenturan dengan realitas keras. Mental menghamba pada modal asing, mental korupsi dan kolusi, mental menjilat, wawasan katak-dalam-tempurung, semua ini terpatri dalam genetika borjuasi nasional kita dan aparat negara yang melayani kepentingan mereka. Semua kebijakan negara diarahkan untuk melayani sang tuan asing, sementara cukup memberi porsi cukup besar bagi pelayan-pelayannya. Tidak peduli bila kebijakan pro-modal-asing tersebut terus membuat mereka kerdil. Sang pelayan tidak mengeluh; kerdil tidak mengapa asal tetap merajai ratusan juta rakyat pekerja.
Jalan ke depan
Omnibus law pada akhirnya adalah usaha pengemis yang siap memberikan apapun yang tersisa dari dirinya, bajunya yang lusuh, sepatunya yang menganga seperti buaya, mangkuk mengemisnya, dan bahkan harga dirinya, demi sesuap nasi. Tidak ada apapun yang tersisa darinya yang bisa dijadikan kerangka untuk membangun kesejahteraan. Sang pemberi sedekah yang dermawan pun ketika sudah merampok sang pengemis ini tentunya tidak punya niat untuk membantu membangun kesejahteraan sang pengemis, membantunya untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Faktanya adalah demikian. Dalam skenario terbaik pun, ketika investasi mengalir deras pasca lolosnya omnibus, ini hanya akan menciptakan periode penciptaan lapangan pekerjaan yang singkat, dengan mutu rendah. Sementara, kebijakan-kebijakan omnibus telah memangkas lebih lanjut taraf hidup rakyat. Kebijakan upah per jam akan meningkatkan jumlah penganggur, karena dengan fleksibilitas tenaga kerja seperti ini pengusaha dapat menggaji buruh hanya beberapa jam per hari saja sesuai dengan kebutuhannya. Penghapusan cuti haid juga berarti pengangguran lebih tinggi: kalau sebelumnya perempuan memperoleh 1-2 hari cuti haid yang dibayar, dan kini dihapus, maka ini berarti ada buruh lain yang kehilangan 1-2 hari kerja. Intinya, untuk setiap rupiah yang dipangkas dari upah seorang buruh (upah langsung atau tidak langsung; pesangon termasuk upah tidak langsung), yang masuk ke kantong majikan, berarti seorang buruh lain akan kehilangan pekerjaan sebanding dengan nilai rupiah tersebut.
Tiap-tiap pemerintah saling kerja mengejar untuk berebut investasi yang tengah mengering di tengah perekonomian dunia yang lesu. Segera setelah pemerintah Indonesia meloloskan omnibus law, pemerintah negeri lain akan mengajukan omnibus law mereka sendiri yang “lebih inovatif” dalam memeras darah dan keringat rakyat pekerja. Keunggulan iklim investasi yang didapati Indonesia dengan segera menguap. Rejim punya dua pilihan: diam saja dan arus investasi akan berbalik mengalir ke negeri dengan UU perlindungan buruh yang lebih rendah; atau godok omnibus law 2.0. Ini berarti yang kita dapati dari Omnibus law 1.0 bukanlah kondisi untuk membangun kesejahteraan di hari depan, tetapi langkah awal ke spiral menurun yang tidak ada akhirnya.
Krisis kapitalisme hari ini, dengan resesi yang kembali menghantui karena ancaman epidemi Coronavirus, membuat semakin gelap prospek investasi yang produktif dan pertumbuhan ekonomi yang menyertainya. Terlebih lagi krisis kapitalisme yang kita saksikan hari ini bukanlah krisis business-as-usual seperti dulu kala, dengan bust yang lalu diikuti dengan boom. Kita tengah memasuki krisis kronik, yang sistemik dan struktural, keniscayaan dari sebuah sistem yang sudah kadaluwarsa.
Tidak ada yang bisa didapati oleh rakyat pekerja dari omnibus law. Satu-satunya yang bisa kita dapati adalah pelajaran bahwa kepentingan modal dan kepentingan buruh adalah dua kutub yang tak terdamaikan. Buruh membutuhkan lapangan pekerjaan, tetapi ini tidak akan diperoleh lewat pengharapan atas datangnya investasi dari pemilik modal, yang datang dengan rantai yang mengungkung dan membelenggu buruh lebih lanjut.
Menolak omnibus law tanpa menjawab masalah bagaimana buruh bisa mendapatkan lapangan pekerjaan selama lapangan pekerjaan ini masih tergantung pada modal hanya menunda pertanyaan tersebut, sampai akhirnya jawabannya menjadi tak terelakkan: “Kita harus menerima omnibus”. Penolakan terhadap omnibus law oleh karenanya harus disertai dengan perspektif perjuangan yang melampaui ketergantungan nasib buruh pada kapital, yang bertujuan mematahkan rantai ketergantungan ini. Tanpanya kita akan terjebak untuk selamanya.
Lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat hanya bisa diciptakan bila tuas-tuas ekonomi ada di tangan rakyat, bukan di tangan segelintir pemilik modal yang jelas tidak punya niat untuk menanamnya kecuali kalau super profit terjamin untuk mereka. Ketika seluruh dunia jelas membutuhkan pekerjaan, mereka-mereka yang menguasai modal – dan kita sering diberitahu kalau mereka adalah “pencipta lapangan pekerjaan” – justru mengerami modal mereka yang triliunan dolar ini, menolak untuk memobilisasinya untuk menciptakan kerja yang sungguh dibutuhkan. Oleh karenanya mereka sudah tidak punya hak untuk memiliki dan mengendalikan kapital tersebut. Rakyat pekerja harus berjuang untuk merebut tuas-tuas ekonomi ini dari mereka. Nasionalisasi 100 bank dan korporasi terbesar dan terpenting di Indonesia! Dengan mengelola secara demokratis kekuatan ekonomi ini, rakyat pekerja bisa menciptakan jutaan lapangan pekerjaan yang layak dan mengakhiri pengangguran, kemiskinan dan penindasan dari muka bumi. Inilah satu-satunya solusi.