Kudeta militer telah melecut punggung rakyat Myanmar. Selama berminggu-minggu semenjak kudeta, demonstrasi telah meluapkan semua kemarahan yang selama ini terpendam. Dari pusat kota Yangon sampai Mandalay, ribuan massa dari berbagai penjuru turun ke jalan. Mereka memblokir jalan, membunyikan klakson, serta memukul panci-panci sebagai simbol penolakan terhadap kudeta.
Semakin hari demonstrasi tidak bisa terkendali. Bentrokan pecah antara polisi dan demonstran di jalan-jalan. Penembakan yang berujung pada tewasnya perempuan bernama Mya Thwate Khaing dan Kyal Sin, semakin meluaskan demonstrasi ini. Junta militer tampaknya telah kehilangan semua pegangan untuk mempertahankan dirinya, dan satu-satunya yang bisa mereka bayangkan adalah penggunaan represi langsung. Di beberapa tempat telah terjadi penembakan dan ratusan penangkapan terhadap demonstran. Sampai artikel ini ditulis, lebih dari 40 orang telah tertembak mati.
Seperti yang sering terjadi dalam gerakan yang besar, represi semakin memperkuat tekad perjuangan daripada meruntuhkannya. Massa semakin berani dan tidak terbendung. Hari demi hari perjuangan ini semakin intensif. Demonstrasi ini melebihi pembebasan Ang Suu Kyi dan kini mulai menyentuh dasar dari rezim di Myanmar.
Apakah mungkin ada dialog?
Siapapun yang menyaksikan peristiwa ini akan memiliki kekhawatiran yang besar terhadap masa depan Myanmar. Di satu sisi junta militer yang tidak ingin begitu saja melepaskan kekuasaannya, dan di sisi lain demonstrasi yang semakin menguat dari hari ke hari. Peristiwa ini adalah pertunjukan yang luar biasa antara kedua kekuatan yang bila tidak dihentikan, maka situasi ini akan bisa menjadi ancaman bagi keseluruhan sistem.
Para komentator borjuis dan lembaga internasionalnya seperti PBB jelas berpengalaman menghadapi situasi seperti demikian. Mereka tidak akan mendukung kudeta militer yang jelas-jelas hanya memprovokasi revolusi. Bagaimana pun demokrasi borjuis adalah alat sempurna untuk menghindari pertempuran kelas secara terbuka. Tapi sepertinya militer Myanmar tidak memahami situasi demikian.
Satu-satunya yang menjadi solusi PBB adalah menyelesaikan ini dengan dialog damai antara militer dan oposisi. Tapi apa maksud mereka? PBB adalah lembaga internasional borjuis. Mereka paham bahwa dengan dialog, maka perjuangan rakyat Myanmar tidak melampaui batas-batas demokrasi borjuis. Oleh karena itu mereka berjuang sekuat mungkin untuk dapat menjamin proses ini.
Tetapi selama bertahun-tahun apa yang kita saksikan adalah pemerintahan kompromis antara militer dan oposisi liberal. Selama bertahun-tahun itu pula, oposisi liberal ─ bila mereka pantas disebut oposisi ─ sama sekali tidak menyelesaikan masalah demokrasi di Myanmar. Mereka selalu setengah hati melakukan ini. Bahkan Ang San Suu Kyi (ASSK) dan pemerintahan National League Democracy (NLD) membela militer pada saat dihadapkan pada kasus Genosida Rohingya. Dia sendiri mengatakan, “Hubungan kami dengan tentara tidak seburuk itu … Jangan lupa bahwa kami memiliki tiga anggota kabinet yang sebenarnya adalah tentara, jenderal, dan mereka semua agak manis.”
Sekarang di saat semua sudah terlambat, upaya untuk kembali ke transisi damai mustahil dilakukan. Myanmar memiliki konstitusi yang selama bertahun-tahun melindungi kepentingan militer. Tidak ada satupun oposisi liberal yang benar-benar konsisten menyentuh masalah ini. Alih-alih menghadapi kekuasaan militer dengan tegas, kebijakan pemerintah liberal sebelumnya di bawah Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Ang Suu Kyi selama dekade terakhir justru mentolerirnya.
“Ikuti Uangnya”
Politik adalah ekonomi terkonsentrasi. Bila kita melihat fenomena ini lebih ke dasar, maka kita akan melihat kepentingan di balik kudeta ini.
Sejak 1960an, kasta militer Myanmar telah mengumpulkan kekayaan dan mengendalikan birokrasi negara. Mereka membangun monopoli di sektor-sektor utama ekonomi di Myanmar. Setelah mereka meninggalkan bentuk Stalinisme yang terdistorsi (yakni di mana ekonomi terencana dengan rezim yang dijalankan kasta militer), kasta militer membentuk kroni dalam tubuh ekonomi terencana. Jenderal senior dan perwira militer mengamankan kekayaan yang dikumpulkan dalam periode sebelumnya ke banyak sektor ekonomi, termasuk ke beberapa sektor industri yang paling menguntungkan di negara tersebut.
Sebuah laporan dari PBB mengungkapkan bahwa angkatan bersenjata memiliki keterlibatan bisnis dengan menggunakan Myanmar Economic Holdings Ltd (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC). Ada 106 bisnis yang dimiliki MEHL dan MEC serta 27 afiliasi dekat dengan militer, termasuk bisnis penambangan batu giok di Myanmar. Meskipun ada reformasi ekonomi pada 1988 yang memberikan kekuatan pada swasta dan investor asing, militer tetap memegang kendali kekuatan ekonomi. Konglomerat-konglomerat militer masih mengendalikan bisnis di berbagai sektor mulai dari bir, tembakau, limbah, pabrik, pariwisata, pengembangan properti, telekomunikasi, hingga pertambangan.
Sengketa antara lapisan liberal borjuis – yang diwakili oleh NLD dan ASSK – dengan kasta militer bukanlah mengenai demokrasi. Alasan fundamental sengketa antara kedua kubu ini adalah kepemilikan dan kendali atas tuas-tuas ekonomi.
Sejak 1990an, militer Myanmar berusaha membuka ekonomi Myanmar perlahan-lahan ke pasar dunia dan modal asing – dengan mengikuti langkah China – karena tanpa akses ke pasar dunia dan investasi asing perekonomian Myanmar akan mengalami stagnasi dan bahkan kontraksi. Ini pada gilirannya dapat mengancam kestabilan sosial. Inilah yang terjadi pada 1988, dengan gerakan 8888 yang dipicu oleh krisis ekonomi 1986-88. Tetapi, militer ingin membuka ekonomi tanpa kehilangan kendali mereka atas privilese-privilese yang telah mereka nikmati. Oligarki militer yang mengelola BUMN-BUMN Myanmar ingin melangkah perlahan-lahan, dengan harapan kebijakan privatisasi dan reformasi pasar yang mereka implementasi akan membuat mereka menjadi pemilik baru, dan bukannya justru kehilangan kendali dan tersingkirkan oleh kaum borjuasi liberal beserta kapitalis-kapitalis asing.
Di sisi lain, kaum borjuasi liberal — dan kekuatan modal asing yang merupakan pendukung utama mereka – melihat kebijakan reformasi ekonomi ini sebagai kesempatan untuk memperkuat posisi ekonomi mereka. Oligarki militer dan kaum borjuasi liberal sama-sama menginginkan privatisasi dan investasi asing, tetapi mereka tidak seiya sekata mengenai siapa yang akan memegang kendali ekonomi Myanmar. Nasib buruh dan tani, serta kaum adat, tidak ada dalam perhitungan mereka sama sekali. Liberalisasi, privatisasi, dan investasi asing justru akan memperdalam eksploitasi mereka.
Ketika NLD dan ASSK menuntut demokrasi, yang sebenarnya mereka inginkan adalah menyingkirkan oligarki militer dari kekuasaan politik – dan dengan demikian kekuasaan ekonomi. Yang mereka dambakan adalah demokrasi borjuis sebagai mekanisme untuk memuluskan dominasi ekonomi kaum borjuasi liberal serta modal asing yang berdiri di belakang mereka, bukan demokrasi untuk rakyat pekerja agar mereka punya pilihan sesungguhnya untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Ini tidak membuat para petinggi militer Myanmar anti-imperialis dalam kapasitas apapun. Sejak 1990 mereka menerima dengan tangan terbuka investasi asing yang masuk ke Myanmar, selama privilese ekonomi mereka tidak terusik. Mereka tidak antipati dengan privatisasi, dan proses privatisasi telah mereka jalankan, selama merekalah yang menjadi pemilik pribadi dari sektor-sektor yang diprivatisasi.
Kapital asing juga tidak punya masalah melakukan bisnis dengan rejim militer yang otoriter yang tangannya berlumuran darah. Masalahnya, mereka lebih memilih menanamkan uang mereka ke pemerintahan yang stabil, dan rejim militer Myanmar jauh dari stabil. Negeri yang harus dikelola dengan moncong senjata akan selalu penuh dengan gejolak sosial, dan ini dapat mengancam investasi mereka. Negeri dengan parlemen demokratis adalah pilihan yang lebih baik umumnya bagi kapitalis, karena ilusi demokrasi dan parlemen adalah mekanisme yang lebih efektif dan murah untuk melanggengkan eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat pekerja.
Inilah yang mendasari proses tarik-ulur antara oligarki militer dan kubu oposisi liberal. Oligarki militer Myanmar berulang kali mencoba mencapai kompromi dengan oposisi liberal, dengan membuka sedikit keran demokrasi. Ini bukan karena mereka tercerahkan oleh nilai-nilai demokrasi, tetapi karena mereka membutuhkan akses ke pasar dunia dan mereka takut pada perlawanan massa luas. Oligarki militer membutuhkan kaum oposisi liberal untuk menenangkan kegeraman massa dan mengalihkan elan revolusioner massa ke jalur yang aman. Inilah peran dari kaum liberal borjuis dan reformis, sebagai katup pengaman.
Pada saat yang sama, oligarki takut membuka keran ini terlalu besar karena kekuasaan mereka bisa terancam oleh oposisi liberal. Tetapi yang lebih penting lagi, membuka keran demokrasi terlalu besar dan terlalu cepat dapat memperkuat gerakan akar-rumput rakyat pekerja, dan ini akan membahayakan keseluruhan sistem kapitalis. Inilah mengapa kubu oposisi liberal selalu siap berkompromi dengan militer, karena mereka juga takut dengan menguatnya gerakan akar-rumput buruh dan tani.
Kedok “demokrasi” ASSK luntur segera setelah dia masuk ke pemerintah. Saat ribuan etnis minoritas Rohingya dibunuh dan desa-desa mereka dibakar, ASSK justru membela kebijakan pemerintah ini. Bagaimana dengan hak demokratik orang Rohingya? ASSK juga segera meluncurkan agenda privatisasi, demi menciptakan “ekonomi pasar yang sehat”, tetapi ekonomi pasar ini tidak meningkatkan taraf hidup rakyat jelata. Bagaimana dengan hak demokratik rakyat luas untuk memperoleh penghidupan yang layak? Bagi rakyat luas, demokrasi adalah jalan untuk memperoleh pekerjaan yang pasti, upah lebih tinggi, pelayanan sosial yang lebih baik.
Majalah The Economist pada 2020 melaporkan ini mengenai kondisi kehidupan rakyat Myanmar: “Banyak rakyat Burma yang masih belum menikmati kemakmuran yang dijanjikan oleh Ms. Suu Kyi. Satu dari empat warga tetap miskin pada 2017, menurut Bank Dunia. Prekariat (pekerja rentan) terus tumbuh. Lebih dari setengah orang-orang yang disurvei oleh ABS tahun lalu khawatir kehilangan mata pencaharian mereka; ini dua kali lebih besar dibandingkan pada tahun 2015. Sekitar 54 persen melaporkan mereka tidak bisa mengakses pelayanan-pelayanan dasar, seperti air, transportasi publik, dan pelayanan kesehatan, meningkat dari 48% lima tahun yang lalu. ‘Pencapaian dari reforma-reforma ekonomi dan pertumbuhan di bawah pemerintahan NLD masih belum dirasakan secara luas oleh rakyat jelata,’ lapor penulis survei.” (The Economist, 7/11/2020)
Paradoks
Rakyat mulai terbangunkan dari kehidupan politik semenjak hari pertama kudeta. Dalam waktu yang singkat gerakan melawan kudeta militer dimulai dan mendapatkan respons yang luas. Gerakan ini memiliki nama gerakan pembangkangan sipil. Gerakan ini yang mengklaim dirinya melakukan perlawanan tanpa kekerasan, mulanya diluncurkan oleh petugas kesehatan pemerintah yang menolak untuk bekerja. Sebagian besar gerakan ini merupakan kampanye yang diselenggarakan di internet tanpa pemimpin yang jelas. Gerakan ini mendorong jutaan orang untuk menolak pengambilalihan pemerintah oleh militer melalui protes jalanan serta mendorong boikot bisnis yang dimiliki atau berafiliasi dengan militer. Gerakan ini juga yang menginspirasi pegawai negeri sipil untuk menolak mematuhi aturan dari rezim militer.
Kendati gerakan ini yang mengklaim memiliki keunggulan─ yakni penangkapan atau pembunuhan terhadap anggota intinya tidak membuat gerakan ini berhenti─ namun gerakan spontan saja tidak cukup membawa gerakan ini menuju keberhasilan. Tidak adanya kepemimpinan revolusioner telah meninggalkan kekosongan kekuasaan yang tidak dapat diisi oleh satu kelompok politik mana pun. Sehingga apa yang kita saksikan dari gerakan ini diwarnai dengan kebingungan. Gerakan tidak bisa berlangsung terus menerus tanpa kesimpulan atau gerakan ini dikalahkan.
Kepemimpinan Revolusioner
Satu hal yang pasti bahwa hasil kudeta ini jauh dari apa yang diharapkan oleh militer itu sendiri. Mereka jelas sedang menimbang-nimbang situasi untuk melepaskan skala represi seperti pada Gerakan 1988. Di satu sisi, konfrontasi terbuka jelas tidak akan menyurutkan gerakan ini. Di sisi lain, militer yang terkenal dengan prestasi yang brutal tidak ingin begitu saja melepaskan kekuasaannya. Mereka akan mati-matian mempertahankan dirinya atau paling tidak karena tekanan yang besar akan menaruh kembali Ang Suu Kyi tanpa meninggalkan pos-pos kekuasaan ekonomi mereka. Ini berarti kembali ke situasi semula.
Lenin mengatakan, bahwa “revolusi berbulan-bulan terkadang mendidik rakyat lebih cepat dan sepenuhnya daripada stagnasi politik selama beberapa dekade,” Lewat pengalaman ini rakyat Myanmar belajar dengan cepat. Ini adalah sekolah kehidupan. Demonstrasi ini telah memantik insting kelas pekerja Myanmar. Mereka telah melancarkan metode perjuangan kelas mereka dengan pemogokan umum dan boikot. Ini pelajaran berharga yang selama dekade sebelumnya tidak pernah mereka adopsi. Pemogokan ini mengubah psikologi kelas dan meningkatkan kepercayaan diri kelas pekerja sebagai sebuah kelas yang paling revolusioner dalam masyarakat.
Sekarang, apa yang dibutuhkan adalah faktor subyektif, yakni kepemimpinan revolusioner bertipe Bolshevik. Bila faktor ini hadir di Myanmar, maka junta militer yang berkuasa akan dapat ditumbangkan secara revolusioner. Revolusi di Myanmar akan dengan cepat memantik revolusi di Thailand, dan menyebar bak api liar ke seluruh wilayah Asia Tenggara. Dunia saat ini sedang dalam proses fermentasi revolusi yang sama seperti di Myanmar. Segera setelah rakyat menyingkirkan junta militer dari panggung politik, mereka akan dihadapkan dengan realitas keras bahwa tuntutan-tuntutan yang mereka kedepankan – pemilu yang bebas dan jujur, parlemen yang demokratik, pekerjaan untuk semua orang, upah layak, tanah untuk tani, akses universal ke pelayanan sosial – tidak akan bisa dipenuhi dalam batas-batas kapitalisme. Bahkan pelucutan sepenuhnya seluruh kekuatan militer di Myanmar hanya bisa terpenuhi secara efektif dan konsekuen lewat langkah-langkah revolusioner di luar batas-batas kapitalisme.
Tentu saja gerakan tidak menunggu datangnya kepemimpinan ini. Mereka akan bergerak tanpa menunggu datangnya faktor subyektif ini. Tugas lapisan sadar kelas dari gerakan Myanmar adalah membangunnya. Tidak ada yang terlambat. Perjuangan melawan militer adalah melawan sistem kapitalisme secara keseluruhan. Satu-satu harapan adalah pada kelas pekerja serta pada partai revolusioner yang memimpinnya.