Gempa dengan kekuatan 7,8 SR mengguncang Turki-Suriah pada Senin 6 Februari kemarin. Ini adalah gempa terkuat di zaman modern. Bangunan runtuh menjadi puing-puing. Ini seperti pemandangan kiamat. Menurut laporan terakhir, sudah ada lebih dari 40,000 korban jiwa, dan estimasinya bisa mencapai 100 ribu karena masih banyak yang terjebak di bawah puing-puing. Sementara jutaan lainnya telah kehilangan rumah mereka dan harus tidur di jalan-jalan.
Penyebab langsung dari gempa ini adalah alam. Tetapi tingkat kematian dan penderitaan yang diakibatkannya adalah hasil dari perbuatan manusia, atau lebih tepatnya kapitalisme. Korupsi dalam peraturan bangunan telah membuat banyak gedung rentan dan mudah roboh dihantam gempa. Perang imperialis yang telah lama menyelimuti Suriah membuat penderitaan di sana menjadi berlipat. Penderitaan ini adalah sesuatu yang telah disiapkan sebelumnya. Kelas pekerja harus menolak seruan sinis ‘persatuan nasional’ yang mengaburkan akar masalah sebenarnya. Kita harus meletakkan akar masalah ini pada rezim kapitalis Turki yang eksploitatif dan korup.
Dalam sepekan ini semua media sosial dibanjiri oleh pemandangan dari orang-orang meronta dan menangis di antara reruntuhan gempa. Laki-laki, perempuan dan anak-anak terjebak dalam reruntuhan bangunan. Ratusan ribu orang lainnya dalam kondisi membeku dan berusaha dengan tenaga yang tersisa mencoba menemukan teman serta kerabat yang hilang. Seorang pria di Elbistan, sebuah kota dekat pusat gempa mengunggah video tumpukan puing, berteriak: “Ini adalah jalan raya utama kami. … Harapan kami lenyap”. Sejumlah situs budaya penting juga hancur dan rusak, termasuk Kastil Gaziantep yang bersejarah.
Ratusan ribu pengungsi berbondong-bondong mencari keselamatan dan perlindungan. Seluruh desa di negara itu telah hancur, termasuk Basina di provinsi Idlib. Dari tangkapan foto udara menunjukkan kondisi wilayah di sana tidak lebih dari tumpukan puing-puing bangunan.
Lusinan video mempertontonkan kisah yang memilukan tentang ayah, ibu, saudara kandung, serta anak-anak kecil yang telah meninggal dan memanggil orang-orang terkasih yang masih terperangkap di dalam reruntuhan bangunan. Salah satu video menggambarkan seorang pria yang tertimpa musibah menangisi putranya yang masih kecil, mencoba menenangkannya, sambil juga mendorongnya untuk mengucapkan ‘syahadat’.
Di kota Aleppo, Suriah yang berbatasan dengan Turki terdapat ribuan korban. Kota ini telah tercabik-cabik oleh perang sipil yang berlangsung selama bertahun-tahun. Seluruh wilayah itu hancur total dan banyak fasilitas umum rusak, termasuk rumah sakit. Pasokan air dan listrik padam. Cuaca dingin dan hujan lebat membuat kerja tim evakuasi terhambat.
Kondisi buruk ini diperparah oleh perang sipil di Suriah. Pertempuran antara pemerintah dan oposisi menghambat pengiriman bantuan kepada para korban. Di wilayah barat laut Suriah, sebuah wilayah yang dikuasai oposisi tidak dapat lagi dijangkau dari Turki karena jalanan yang rusak. Pemerintah Suriah bersikeras tidak mau mengizinkan bantuan dari selatan. Perang sipil ini membuat rakyat menderita dan sulit mengakses bantuan. Sementara penderitaan yang dialami rakyat Turki lebih dikarenakan oleh ulah perusahaan konstruksi swasta yang mengabaikan prosedur keamanan bangunan demi mengeruk laba.
Sebenarnya gempa ini sudah diprediksi sebelumnya oleh pakar geologi Turki. Turki terletak di antara Sesar Anatolia Utara dan Timur, dan sangat rentan terhadap aktivitas seismik. “Semua ilmuwan bumi yang waras, termasuk saya, mengatakan bahwa gempa bumi ini datang dengan bel berbunyi bertahun-tahun yang lalu… Tidak ada yang peduli untuk mendengarkan apa yang kami katakan,” kata Naci Görür.
Gempa raksasa di negara ini bukan terjadi kali ini saja, tetapi sebelumnya juga pernah mengguncang Turki. Pada tahun 1999 gempa besar terjadi di dekat Izmit di Provinsi Kocaeli yang menewaskan sekitar 18.000 orang. Bencana tersebut menyoroti maraknya praktik kontraktor bangunan yang mengabaikan peraturan keselamatan. Peristiwa ini lalu membangkitkan gelombang protes. Protes ini kemudian direspons oleh rezim dengan menangkap salah satu mafia konstruksi Veli Gocer yang dituding sebagai pelaku utama bencana.
Veli Gocer ditangkap setelah tiga minggu buron. Dalam wawancaranya dia mengakui memangkas biaya supaya untung, seperti mencampur pasir laut dan beton. “Saya bukan seorang kontraktor, saya seorang penyair,” Veli juga mengatakan. “Jika saya bersalah, saya akan membayarnya, tetapi saya tidak merasa bersalah. Saya merasa menyesal tetapi saya tidak bertanggung jawab atas kematian itu.”
Paska gempa ini Menteri Kehakiman telah menetapkan sedikitnya 131 orang yang dianggap mengambil jalan pintas dalam mendirikan bangunan sehingga berakibat fatal. Banyak kolom bangunan dipotong saat pengerjaan untuk menambah ruang. Ada banyak penjahat seperti ini di dalam bisnis kontruksi di Turki. Mafia ini merupakan cerminan dari sistem korup Turki. Mafia ini terikat seribu benang dengan para taipan dan rezim secara keseluruhan.
Sektor konstruksi merupakan kekuatan pendorong utama di balik pertumbuhan ekonomi besar-besaran pada tahun 2000-an dan 2010-an, dimana Erdogan dan partainya AKP membangun otoritas mereka. Tangan berdarah Erdogan berada di seluruh skandal ini. Sepanjang masa jabatannya sebagai walikota Istanbul, dan terutama sebagai Perdana Menteri, dia mengembangkan hubungan dekat dengan industri konstruksi Turki.
Administrasi Pembangunan Perumahan Turki (TOKI) bertanggung jawab langsung terhadap Erdogan dan berkembang pesat di bawah pemerintahannya. Penyelidikan korupsi tahun 2014 menyebutkan bahwa pemerintah melonggarkan masalah peraturan bangunan guna mempercepat izin pendirian bangunan. “Cara sistem ini bekerja adalah bahwa jika pemerintah kota Istanbul mengatakan Anda tidak dapat membangun di suatu tempat, Ankara dapat menolaknya – jadi jauh lebih masuk akal bila Anda seorang pebisnis untuk pergi ke pemerintah pusat,” kata Refet Gurkaynak, seorang ekonom di Bilkent University di Ankara.
Financial Times mengutip dua pengusaha Turki terkemuka yang mengatakan bahwa suap “terkadang diperlukan” untuk melanjutkan proyek konstruksi besar. Bahkan banyak pengusaha Turki menyebut Erdogan sebagai “Bos Besar”.
Erdogan juga telah mengabaikan peraturan konstruksi dan bahkan memberi keleluasaan bagi mafia konstruksi. Sebagai contoh selama 10 tahun terakhir ada ledakan konstruksi besar-besaran di Turki. Dan dalam tempo tersebut tercatat ada 13 juta bangunan yang melanggar aturan teknis konstruksi. Alih-alih menindak para mafia ini, Erdogan justru memberi amnesti dengan kesepakatan membayar denda. Jadi pada tahun-tahun tersebut ada sekitar 7,5 juta aplikasi permohonan amnesti. Dan ini memberi pemasukan negara lebih dari $3 miliar. Pengabaian masalah peraturan keselamatan ini memungkinkan Erdogan bisa terus mendapatkan keuntungan politik dari pertumbuhan ekonomi.
Melihat kenyataan itu sangat jelas bahwa Erdogan dan kroni-kroninya mendorong tikus-tikus konstruksi untuk tumbuh. Mereka hidup gemuk dengan mencari kontrak yang menguntungkan selama bertahun-tahun. Bila sekarang pemerintah menangkapi sejumlah oknum perusahaan konstruksi, ini hanya pemain-pemain kecil saja yang dikorbankan untuk menenangkan massa. Yang harus diusut dan diminta pertanggungjawaban adalah rejim kapitalis Erdogan secara keseluruhan.
Seharusnya dampak bencana ini tidak seharusnya begitu mematikan. Namun kapitalisme yang semata mengincar laba akan selalu mengabaikan keselamatan rakyat pekerja. Rezim Erdogan dan pemerintahannya yang korup bertanggung jawab atas puluhan ribu korban jiwa dalam bencana ini. Mereka menangis air mata buaya sembari menyalahkan bencana ini pada ulah segelintir pengusaha konstruksi yang nakal. Ini adalah kemunafikan total. Bencana ini adalah bukti lain dari kegilaan dan kekejaman kapitalisme.
Rakyat Turki-Suriah setiap hari tidur di bawah bencana yang telah disiapkan oleh kapitalisme serta rezim korup dan busuk. Apa yang kita saksikan adalah mimpi buruk penderitaan. Setelah debu reruntuhan mulai mengendap mereka yang tertindas akan mulai menyadari fakta ini. Dan setelah penderitaan telah terakumulasi mencapai batasnya, rakyat akan mengambil nasib ke tangan mereka sendiri. Mereka akan memahami bahwa untuk menghindari bencana adalah perlu menggulingkan kekuasaan para kapitalis yang mempertaruhkan nyawa manusia untuk mengeruk laba.