Menanggapi rencana kenaikan BBM 1 April ini, Indonesia dilanda gelombang demonstrasi menentang kebijakan ini. Dari ibu-ibu, anak muda, sampai buruh, semua bergerak melawan, turun ke jalan menuangkan kegeraman mereka dengan tangan terkepal. Berbagai alasan digunakan oleh rejim ini dan pakar-pakar bayaran mereka, bahwa kenaikan BBM ini adalah demi rakyat sendiri, bahwa BBM harus naik karena harga minyak dunia yang semakin tinggi, dan berbagai pelintiran ekonomi yang dapat terpikirkan oleh otak mereka.
Selain mencoba menipu rakyat dengan teori-teori pembenaran ekonomi mereka, rejim ini juga menggunakan senjata lain untuk menggagalkan aksi perlawanan rakyat ini, yakni membentuk opini publik yang menjelek-jelekkan gerakan perlawanan yang sah ini sebagai aksi yang anarkis dan merusak. “Sudah tidak zamannya lagi demo merusak. Sudah harga BBM naik, kalau merusak nanti biayanya makin tinggi,” ujar Mendikbud Muhammad Nuh. Tersirat di dalam perkataannya bahwa BBM sudah pasti akan naik, jadi tidak ada gunannya demo karena hanya akan menelan biaya saja. Inilah nilai edukasi yang ingin ditanamkan oleh menteri pendidikan kita yang terhormat ini. Kapolri Jendral Timur Pradopo pun, layaknya seorang demokrat sejati, mengatakan: “”Sekali lagi, unjuk rasa apalagi masalah BBM, silakan. Karena unjuk rasa dijamin oleh UU … Tapi yang penting tidak ada pelanggaran hukum, tidak mengganggu keamanan lingkungan terutama masyarakat yang melakukan kegiatan sehari-hari. Silakan dilakukan dengan tertib.”
Tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, profesor-profesor, media-media, dikerahkan untuk membentuk opini publik bahwa demo-demo perlawanan sampai saat ini tidaklah tertib, telah menyebabkan ketidaknyamanan, dan anarkis. Di berbagai media, koran, TV, forum online, kita temui komentar-komentar yang menyerang aksi-aksi ini sebagai tindakan anarkis. Prasangka-prasangka terbelakang, terutama dari kaum borjuis kecil dan kelas menengah ke atas (lapisan pekerja yang berpenghasilan rata-rata cukup tinggi), digunakan oleh rejim ini untuk menghantam gerakan perlawanan. Tujuannya satu: mencegah menyebarnya aksi perlawanan ini ke semua lapisan yang dirugikan oleh kebijakan ini.
Demolah dengan tertib, begitu himbauan mereka. Tetapi apa maksudnya dengan demo yang tertib? Bisa kita ambil beberapa poin dari komentar-komentar cerdas para tuan nyonya terhormat itu.
Pertama, jangan merusak, begitu kata menteri kita Muhammad Nuh. Namun kenaikan BBM ini akan merusak kehidupan jutaan keluarga miskin Indonesia. Bukan hanya satu dua pot di jalan saja yang pecah, tetapi jutaan mimpi rakyat miskin pecah berkeping-keping karena tidak mampu lagi menyekolahkan anak-anaknya. Pengrusakan terbesar bukan dilakukan oleh pendemo, tetapi oleh pemerintahan ini. Oleh karenanya, kita punya hak berdemo yang merusak.
Kedua, jangan mengganggu masyarakat yang melakukan kegiatan sehari-hari, begitu kata Kapolri kita. Ini ditambahkan oleh Sofjan Wanandi, ketua Apindo, agar aksi demonstrasi tidak mengganggu lalu lintas serta tidak mengakibatkan kemacetan. Seorang fesbuker menulis bahwa demo-demo ini telah menyebabkan kemacetan, coba bayangkan seorang ibu yang akan melahirkan yang terhambat perjalanannya karena aksi blokir jalan. Ratusan anekdot yang serupa bisa kita temui di berbagai media. Tidak terpikirkah bahwa dengan harga BBM yang naik justru ribuan ibu yang akan melahirkan mungkin tidak akan bisa ke rumah sakit karena biaya melahirkan yang tambah mahal, atau setelah anaknya lahir susu tak terbeli dan anakpun kurang gizi, atau bahkan tidak bisa punya anak karena tidak punya uang sama sekali. Kegiatan sehari-hari kita – dari makan sampai berobat –akan terganggu (dan bahkan terhenti) bukan oleh demo, tetapi oleh kenaikan BBM. Maka, kita pun punya hak berdemo yang mengganggu, apalagi kalau ini bertujuan mengganggu rencana pemerintah untuk menaikkan harga kebutuhan sehari-hari rakyat.
Dengan sombong dan menggurui, Sofjan Wanandi mengisahkan bagaimana pada tahun 1966 dirinya pun turut berdemonstrasi. “Tapi tahun 66 kita tidak pernah menggangu kepentingan umum.” Maksudnya pada tahun 1966 dia dan mahasiswa-mahasiswa kontra-revolusioner melakukan demo yang tidak mengganggu kepentingan elit penguasa, yakni demo yang mendukung Orde Baru dan militer yang saat itu yang sedang asyik-asyiknya membantai jutaan kaum kiri revolusioner dan mengkudeta Presiden Soekarno. Inilah satu-satunya demo yang didukung oleh Sofjan Wanandi, demonstrasi untuk mendukung pembantaian berdarah.
Ketiga, demolah dengan sabar, ujar seorang tokoh agama yang aku kutip dari pengalaman seorang kawan. Masyarakat dihimbau agar sabar dalam menghadapi kenaikan BBM. Demo boleh tapi jangan anarkis, dan walaupun BBM naik pasti rakyat akan mendapat jalan keluar dari Allah SWT. Begitu ujarnya. Yah, sekali lagi agama dijadikan oleh rejim penguasa sebagai alat untuk meninabobokan rakyat. Lewat tokoh-tokoh agama bayaran yang memihak penguasa, rakyat dihimbau untuk sabar dan “nrimo”. Dalam hal bersabar, rakyat kita sudah paling terkenal kesabarannya. 350 tahun bersabar dijajah Belanda. Lalu 32 tahun bersabar di bawah rejim Soeharto. Lalu 14 tahun bersabar lagi ketika Reformasi 1998 tidak membawa perubahan fundamental dalam kehidupan ekonomi mereka. Ratusan tahun sudah kita bersabar, dan sekarang kita punya hak untuk tidak bersabar lagi. Kita punya hak berdemo dengan geram dan menuntut dengan tegas.
Keempat, jangan asal demo, kedepankan argumentasi ilmiah. “Kami mendorong the power of reason, yaitu berdiskusi, berdialog,” kata menteri pendidikan kita. Sudah semenjak jamannya Marx dan Engels, yakni 150 tahun yang lalu, kapitalisme telah kehilangan power of reason untuk eksis. Kapitalisme sudah menjadi batu penghalang kemakmuran sejati umat manusia. Ia telah menyebabkan dua perang dunia (dan berbagai perang lainnya) dan kemelaratan tak tertanggungkan bagi mayoritas penduduk bumi. Tidak ada lagi argumentasi ilmiah untuk keberadaan kapitalisme. Sistem ini masih berdiri hanya karena para elit penguasa yang menolak turun dan menggunakan cara apapun untuk terus bercokol di tampuk kekuasaan. Mereka tidak tertarik mendengar argumentasi ilimah bahwa sistem mereka telah gagal dan sudah waktunya mereka lengser. Mereka harus kita paksa dorong masuk liang kubur mereka.
Rejim penguasa ini ingin menggunakan prasangka-prasangka dari elemen borjuasi kecil dan strata terbelakang rakyat pekerja untuk menghantam aksi-aksi demo ini. Opini publik dibentuk sedemikian rupa bahwa masyarakat umum menentang aksi massa yang tidak tertib. Cara kita memenangkan elemen-elemen terbelakang ini bukanlah dengan membiarkan diri kita termakan oleh opini pubik yang dibentuk oleh rejim penguasa ini, bahwa misalnya banyak pengguna jalan yang mencaci maki aksi-aksi massa kita. Lantas katanya kita harus gunakan cara-cara lain yang lebih “beradab”, misal demo lewat facebook saja. Namun sesungguhnya cara kita memenangkan mereka adalah bukan dengan berkapitulasi pada kesadaran mereka yang terbelakang, tetapi dengan menunjukkan jalan ke depan, dengan melakukan aksi massa secara tegas, membuktikan bahwa aksi kita bisa mematahkan kebijakan rejim ini. Sejumlah rakyat pekerja yang mencaci maki aksi-aksi ini sebenarnya juga menentang kenaikan BBM, tetapi mereka sudah menyerah; mereka yakin kalau tidak ada satu halpun yang bisa kita lakukan untuk mengubah rencana pemerintah ini. Kalau begitu, maka kesimpulannya hanya satu bagi mereka: aksi-aksi massa hanya merepotkan karena tidak akan membuahkan hasil. Maka dari itu demo kita bukannya harus lebih tumpul dan lebih lembek ketika dihadapkan dengan opini publik yang mencaci maki ini, tetapi justru harus lebih tegas. Jangan biarkan diri kita dibuat bingung, dan lantas mempertanyakan aksi-aksi massa turun ke jalan. Aksi massa kita harus lebih besar dan lebih “tidak tertib”. Hanya dengan ini kita bisa memenangkan strata rakyat pekerja yang sudah kehilangan kepercayaan pada kekuatan mereka sendiri.
Bila ada hal-hal yang harus tertib dalam aksi kita ini, itu adalah program, barisan, dan persatuan kita. Gerakan kita harus punya program politik yang tertib, yakni jelas dan memimpin, bukan tambal sulam dengan berbagai teori-teori yang kebingungan. Barisan gerakan kita juga harus tertib, yakni dengan kelas buruh sebagai pucuk kepemimpinan gerakan, bukan elemen-elemen oportunis seperti kaum liberal demokrat dan partai-partai oposisi borjuis. Organisasi-organisasi dan front-front gerakan menentang kenaikan BBM yang sekarang terfragmentasi harus menertibkan diri mereka, yakni bersatu.
Demo kita harus tegas kalau kita ingin menang. Demo kita harus “tidak tertib” kalau kita ingin memaksa – bukan memohon – pemerintahan ini untuk membatalkan rencana kenaikan BBM. Rencana pemerintah ini telah melanggar norma-norma kemanusiaan, dan kita punya hak untuk melanggar norma-norma peraturan borjuis mereka. Kita punya hak untuk berdemo tidak tertib.