Skip to content
Sosialis Revolusioner
Menu
  • Berita
  • Analisa
    • Gerakan Buruh
    • Agraria & Tani
    • Gerakan Perempuan
    • Gerakan Mahasiswa
    • Ekonomi
    • Politik
    • Pemilu
    • Hukum & Demokrasi
    • Imperialisme & Kebangsaan
    • Krisis Iklim
    • Lain-lain
  • Teori
    • Sosialisme
    • Materialisme Historis
    • Materialisme Dialektika
    • Ekonomi
    • Pembebasan Perempuan
    • Organisasi Revolusioner
    • Iptek, Seni, dan Budaya
    • Lenin & Trotsky
    • Marxisme vs Anarkisme
    • Sejarah
      • Revolusi Oktober
      • Uni Soviet
      • Revolusi Indonesia
      • Lain-lain
  • Internasional
    • Asia
    • Afrika
    • Amerika Latin
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Timur Tengah
  • Perspektif Revolusi
  • Program
  • Pendidikan
  • Bergabung
Menu

Hanya Nasionalisasi Ekonomi di Bawah Kontrol Buruh yang Dapat Menghentikan Badai PHK

Dipublikasi 26 May 2025 | Oleh : Moses Kabelen

Badai PHK di depan mata. Perang tarif AS dengan China dan seluruh dunia telah menimbulkan bencana ekonomi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Jumlah buruh yang di-PHK semakin meningkat. Dalam rentang 2 bulan saja di 2025, antara Januari-Februari korban PHK sudah mencapai 60 ribu pekerja. Ini hampir melampaui PHK sepanjang 2024, yakni 77.965. Angka-angka ini hanya sebagian gambaran sesungguhnya karena banyak perusahaan tidak melaporkan PHK.

Gelombang PHK semakin mengkhawatirkan. Pabrik-pabrik mulai ditutup, bahkan PHK mulai meluas tidak hanya di sektor garmen melainkan juga ke sektor-sektor lain seperti elektronik, retail, otomotif dan media massa. BPJS Ketenagakerjaan belum lama ini memprediksi jumlah korban PHK tahun ini dapat tembus 280 ribu, 4 kali lipat dibandingkan tahun lalu.

Di akhir tahun 2024 pabrik garmen Sritex mem-PHK 11.025 pekerja. 2.400 pekerja juga di-PHK oleh pabrik sepatu Nike di Tangerang dan 1.200 pekerja media massa dan jurnalis ter-PHK antara 2023-2024. Perusahaan Panasonic juga dikabarkan akan melakukan PHK terhadap 10 ribu pekerjanya. Kita bisa menambahkan daftar panjang ini bila kita menginginkannya. 

Dihadapkan dengan situasi ini pemerintah tidak berdaya sama sekali. Mereka mengatakan akan mempersiapkan pekerja yang ter-PHK untuk pindah ke sektor informal. “Jangan biarkan pekerja yang di-PHK berjuang sendirian. Negara harus hadir untuk mendampingi proses transisi tenaga kerja yang beralih dari sektor formal ke informal, dari pekerja upahan ke pelaku usaha dan jasa dengan pendekatan yang nyata dan terukur,” ujar Puan.

Kenyataannya pekerjaan informal tidak seindah seperti yang dibayangkan para pejabat kita yang terhormat. Kondisi pekerja informal sangat tereksploitasi dan hidup dalam kondisi semi pengangguran dengan pendapatan yang tidak menentu. Pendapatan mereka tidak mengimbangi tingginya biaya hidup sehari-hari yang semakin meroket.

Menanggapi badai PHK pemerintah, dengan kolaborasi setia dari para pemimpin reformis serikat buruh dan Partai Buruh, berencana membentuk Satgas PHK. Tujuan Satgas PHK ini bukanlah untuk mencegah PHK, tetapi “mengeliminir pemogokan” akibat PHK. Dalam kata lain, satgas ini bukan untuk melindungi buruh tetapi melindungi kapitalis dan kelas penguasa dari keresahan sosial yang diakibatkan badai PHK.

Banyaknya PHK membuat daya beli semakin rendah dan memperburuk ekonomi yang sudah rentan. Konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi saat ini hanya mampu tumbuh 4,8 %. Ini adalah pertumbuhan terendah selama 5 kuartal terakhir.

Selama 10 tahun terakhir pemerintah telah mempreteli hak-hak buruh dan menekan upah buruh tetap rendah, supaya iklim investasi tetap ‘kompetitif’ dan ramah. Tetapi kelas kapitalis hari ini tidak mau berinvestasi karena pasar sudah jenuh. Buat apa berinvestasi jika barang dagangan yang mereka produksi tidak laku dijual, begitu pikir banyak kapitalis. Minat investasi yang diharapkan semakin hancur oleh krisis dan peperangan. Daya beli yang sebelumnya rendah mendorong spiral ekonomi meluncur ke bawah.

Kelas kapitalis akan terus menekan upah buruh untuk meningkatkan keuntungan. Mereka tidak akan membiarkan kenaikan upah menekan keuntungan mereka. Inilah mengapa segala aturan dan undang-undang dibuat – seperti PP 78, Omnibus Law, dll – untuk menekan hak-hak buruh. Kelas buruh memproduksi dan pada saat yang sama mengonsumsi. Ketika upah mereka terus turun, maka permintaan juga turun.

Kapitalis memproduksi komoditas tanpa tahu berapa besar kebutuhan pasar. Anarki produksi ini membuat pasar menjadi jenuh, barang tidak laku, harga jatuh dan mendorong pabrik-pabrik tutup. Itulah mengapa dalam sistem kapitalisme kita mengenal krisis over produksi. Seperti yang dikatakan Marx, “Masyarakat tiba-tiba menemukan dirinya kembali ke barbarisme; seakan-akan paceklik dan perang besar telah menghentikan pasokan semua sarana penghidupan; industri dan perdagangan seperti hancur lebur; dan mengapa? Karena terlalu banyak peradaban, terlalu banyak sarana penghidupan, terlalu banyak industri, terlalu banyak perdagangan.” Sekarang mereka menyalahkan permintaan yang turun sebagai biang PHK, tetapi sesungguhnya justru sistem mereka lah yang mengakibatkan krisis.

Selain itu, kelas kapitalis nasional kita jauh tertinggal dengan rekannya di Barat. Mereka tidak mampu mengimbangi kemajuan teknologi dan produksi yang dihasilkan oleh negara-negara maju. Pasar dibanjiri barang-barang murah dari China dan menghancurkan produsen dalam negeri. Kendati mereka selalu menggaungkan nasionalisme dan sentimen anti asing (terutama sentimen anti-China), mereka secara diam-diam dan munafik menikmati keuntungan dari modal asing. Mereka terikat seribu benang dengan imperialisme. Inilah mengapa dalam memanasnya perang tarif AS dan China kita saksikan penguasa kita menjilat sana-sini untuk mencari selamat.

Satu hal yang pasti, korban pertama dari perang tarif ini adalah kelas pekerja. Biaya hidup akan semakin meningkat. Dihadapkan dengan situasi ini, kelas kapitalis akan banyak menutup dan merelokasi pabrik-pabrik mereka dengan alasan turunnya permintaan.

Kita tidak boleh percaya kata-kata mereka. Pencipta kekayaan sebenarnya adalah kelas buruh, bukan miliarder kapitalis, direksi dan CEO bergaji tinggi. Bila perusahaan beralasan merugi dan melakukan efisiensi, maka gerakan buruh harus berjuang menuntut perusahaan untuk membuka pembukuan mereka dan semua rahasia bisnis mereka.

Perjuangan melawan PHK harus dipaksakan melalui metode perjuangan kelas, dengan aksi massa, okupasi, dan pemogokan. Satgas PHK tidak akan mampu memenuhi tugas ini, karena tujuan satgas PHK bukan melawan PHK, tapi seperti yang dikatakan Said Iqbal untuk “mencegah pemogokan”, yakni melucuti senjata terampuh kelas buruh. Nasib ribuan buruh-buruh Sritex yang ter-PHK menunjukkan bahwa kita tidak dapat mempercayakan nasib pada kelas penguasa dengan metode mengemis dan memohon.

Untuk melawan PHK, yang dibutuhkan bukanlah Satgas PHK tetapi komite-komite pabrik yang menyatukan semua buruh, tidak peduli dari serikat mana, dan tidak peduli bila buruh tersebut belum berserikat. Komite-komite ini perlu dikoordinasi dan disatukan dari tingkatan kawasan industri sampai tingkat nasional. Kaum buruh harus menggali kembali pengalaman gerakan pemogokan 2011-2012 ketika buruh dari berbagai pabrik saling bersolidaritas dengan metode sweeping dan geruduk pabrik, yang memuncak ke pemogokan nasional. Bila ada satu pabrik yang melakukan PHK atau menutup pabriknya, komite-komite pabrik dari seluruh kawasan perlu meluncurkan aksi bersama untuk menggeruduknya.

Bila ada pabrik yang ditutup, komite-komite pabrik harus melakukan okupasi dan menuntut agar pabrik ini dinasionalisasi untuk dijalankan di bawah kontrol komite pabrik. Menyelamatkan pekerjaan ribuan buruh lebih penting daripada kepemilikan pribadi segelintir kapitalis. Komite-komite pabrik ini dapat mengontrol dan menjalankan pabrik yang ditutup agar kembali beroperasi.

Tetapi semua ini akan mengarah langsung pada pertanyaan tentang bentuk kekuasaan negara, administrasi dan perencanaan industri. Selama masih berada dalam sistem kapitalisme, para bankir dan kapitalis serta pemerintahan mereka akan menyabotase pabrik-pabrik yang dijalankan pekerja. Ini pada gilirannya mengarah langsung pada pertanyaan penggulingan kapitalisme dan negaranya. Komite pabrik dan kontrol pekerja adalah langkah awal transisi menuju penggulingan kapitalisme. Kontrol pekerja merupakan jembatan menuju nasionalisasi industri secara revolusioner. Nasionalisasi di bawah kontrol buruh akan menyelesaikan masalah pengangguran. Kita memiliki cukup kekayaan untuk memastikan pekerjaan bagi semua orang, yang perlu dilakukan adalah merenggut kekayaan ini – pabrik, bank, tambang, lahan perkebunan, dll. – dari tangan kapitalis dan meletakkannya di bawah kendali kelas buruh. Di bawah kekuasaan buruh tidak akan ada lagi PHK dan pengangguran. Semakin banyak buruh yang bekerja maka semakin besar kekayaan yang tercipta, yang akan dinikmati oleh mereka yang bekerja, yaitu kelas buruh, dan bukannya mengalir ke rekening bank kapitalis. Impian kelas buruh untuk memperpendek jam kerja dari 48 jam ke 40 jam dalam satu minggu, dan bahkan 20 jam, akan mudah direalisasikan di negara buruh.

Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !


    Dokumen Perspektif

    srilanka
    Manifesto Sosialis Revolusioner
    myanmar protest
    Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan

    ©2025 Sosialis Revolusioner | Design: Newspaperly WordPress Theme