Tujuh hari lagi rakyat akan berduyun-duyun menuju TPS. Empat belas partai dan tiga paslon dihadirkan oleh karnaval demokrasi ini untuk dipilih oleh rakyat. Mata rakyat disilaukan oleh aneka warna baliho dan iklan yang terus menyala terang. Telinga mereka dipekakkan oleh berbagai slogan yang dilontarkan caleg-caleg dengan lidah yang lentur. Tangan mereka dijejali dengan amplop putih dan bansos untuk membeli suara mereka. Nalarnya ditumpulkan oleh 1001 janji yang bersliweran tak keruan: makan gratis, internet gratis, bansos plus, dan seterusnya, dan seterusnya. Para pakar dan pengamat tak habis-habisnya mengomentari dagelan ini di layar TV, memberinya aura kehormatan pada proses yang sesungguhnya penuh kotoran dan kemunafikan.
Tidak ada perbedaan fundamental di antara semua partai politik yang bertarung, dengan pengecualian Partai Buruh. Tetapi di sini pun, apa yang telah kita lihat dari Partai Buruh tidak membuat seorang pun antusias. Kita akan kembali lagi ke masalah Partai Buruh nanti.
Semua parpol borjuis berbicara mengenai kesejahteraan rakyat, tetapi dalam tindakannya mereka senantiasa membela kesejahteraan kapitalis. Tiap parpol, caleg, dan paslon yang bertarung adalah bagian dari pemerintah yang telah menekan upah buruh, merampas tanah petani, merusak lingkungan, menginjak-injak hak demokratik rakyat, dan menindas aspirasi kebangsaan rakyat Papua. Dari pemilu ke pemilu, kita saksikan bagaimana parpol-parpol yang ada dengan mudah pindah koalisi. Yang sebelumnya lawan jadi kawan, yang kawan jadi lawan. Jadi ketika ada yang menganjurkan kepada kita untuk memilih terbaik dari yang terburuk, ia menjadi tabir kemunafikan politik borjuis.
Praktik dan hasil politik minus malum atau terbaik dari yang terburuk sudah terpampang jelas selama berkuasanya rejim Jokowi. Ilusi massa terhadap Jokowi, yang dilihat sebagai sosok bersih dari luar koridor kekuasaan yang sumpek dan amis, sudah menguap. Pengalaman 10 tahun di bawah rejim Jokowi telah memberikan banyak pelajaran penting kepada kelas buruh; yang terutama adalah mempercayai kekuatan mereka sendiri dan menjauhi para pemimpin buruh – dan aktivis kiri liberal – yang senantiasa menggadaikan kemandirian kelas buruh.
Kelas kapitalis telah mengembangkan institusi demokrasi parlementer yang tujuannya adalah mengelabui rakyat. Politisi berdebat panjang lebar di parlemen seolah-olah mereka menyampaikan aspirasi rakyat. Pada kenyataannya, keputusan sudah dibuat di balik pintu ruang CEO kapitalis dan di bursa saham. Kemahakuasaan profit segelintir pemilik modal adalah penentu kebijakan pemerintah. Pemilu diselenggarakan untuk memberi rakyat pilihan palsu. Rakyat memilih setiap lima tahun untuk memilih perwakilan kapitalis mana yang akan menindasnya. Maka dari itu, terlepas penampilan luarnya, terlepas rekam jejak politisi ini atau itu, tidak ada pilihan “terbaik dari yang terburuk” di antara politisi kapitalis. Jokowi 10 tahun yang lalu tidak memiliki rekam jejak buruk seperti para politisi kawakan lainnya, tetapi segera setelah dia berkuasa dia dengan cepat menumpuk rekam jejak borjuis.
Dalam pemilu kali ini ada satu partai yang berbeda dari yang lainnya, yaitu Partai Buruh. Setiap buruh dan muda yang sadar kelas dan revolusioner tentunya mengharapkan keberhasilan partai ini. Namun, sedari awal kepemimpinan PB – sayap kanan maupun sayap kiri – justru mengadopsi ideologi yang membuntuti kapitalisme. Ketika kapitalisme sudah memasuki krisisnya yang paling mendalam, yang hanya membawa kemiskinan, resesi, perang, dan kehancuran lingkungan, para pemimpinnya justru hanya bisa membayangkan “negara kesejahteraan”, atau lebih tepatnya “kapitalisme sejahtera”. Mereka minim imajinasi dan keberanian untuk pecah dari kapitalisme dan melangkah ke sosialisme. Tidak hanya itu. Para pemimpin PB justru masih mengekor ke borjuasi dengan selalu siap mendukung capres borjuis. Tidak heran kaum buruh dan kaum muda tidak antusias sama sekali dengan partai baru ini. Hanya dengan program sosialis yang berani maka Partai Buruh akan bisa menangkap imajinasi buruh dan muda luas, menjadi penyalur kegeraman terpendam rakyat luas atas sistem kapitalisme yang busuk ini, dan sungguh-sungguh menjadi partai massa.
Dalam pilpres kali ini, rakyat pekerja sungguh tidak punya pilihan yang dapat membebaskannya dari cengkeraman modal. Menyikapi pemilu kali ini, ada semacam apati dan sinisme di antara rakyat pekerja, bahwa siapapun yang mereka pilih tidak akan mengubah nasib mereka. Mereka dari dulu miskin, sekarang miskin, dan esok juga akan tetap miskin.
Namun, kaum revolusioner tidak pernah pesimis dan sinis. Kaum revolusioner, yang bersenjatakan sosialisme ilmiah, selalu penuh dengan optimisme akan masa depan revolusi sosialis. Pemilu kali ini semakin menegaskan bahwa hanya ada satu pilihan bagi kaum buruh dan muda yang sadar kelas, yaitu Revolusi! Memilih revolusi berarti memahami pentingnya membangun partai revolusioner dengan gigih dan kekeraskepalaan yang tiada duanya. Tidak ada yang instan dalam pilihan ini. Tidak ada yang “praktis” dan “pragmatis” dalam membangun partai revolusi ini. Semua kiri yang sampai hari ini menganjurkan langkah “praktis-pragmatis” justru berakhir sebagai pembela kapitalisme, secara sadar atau tidak.
Partai revolusioner ini adalah organisasi yang menghimpun lapisan muda dan buruh termaju, yang menempanya dalam ide, program, metode dan tradisi sosialisme revolusioner, yang menyatukan mereka dalam kedisiplinan revolusioner untuk satu tujuan akhir, tujuan yang tak henti-hentinya ia kumandangkan dengan lantang: menumbangkan kapitalisme dengan mengakhiri kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan meletakkan kelas buruh sebagai kelas penguasa yang baru. Tidak kurang dan tidak lebih.
Inilah satu-satunya pilihan yang dapat membebaskan kita.