Ini adalah bagian kedua dari tiga artikel yang membahas perspektif dunia di bawah kepresidenan Trump yang kedua. Bagian pertama membahas bagaimana kepresidenan Trump memicu gejolak dalam hubungan internasional. Bagian kedua memaparkan hubungan imperialisme AS di Timur Tengah dan Ukraina, dan bagian ketiga mengenai krisis imperialisme Eropa.
Sebelum menjabat, Trump sudah berhasil mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza – sesuatu yang Biden gagal lakukan. Ini memiliki banyak implikasi penting.
Yang membuatnya cukup tanpa preseden adalah orang yang memaksa Netanyahu untuk menandatangani kesepakatan itu—Steve Witkoff, utusan Trump untuk Timur Tengah—bukanlah seorang pejabat pemerintah, melainkan pengusaha properti, sama seperti Trump. Saat berkeliling Timur Tengah, ia masih merupakan warga sipil tanpa posisi resmi, sementara Trump sendiri juga belum menjadi presiden. Namun, justru Witkoff yang berhasil menekan Netanyahu hingga menyetujui gencatan senjata tersebut.
Kesepakatan gencatan senjata ini sebenarnya sudah dibahas sejak Mei tahun lalu dan telah disetujui Hamas pada Juli 2024. Biden berusaha mengupayakan kesepakatan ini, tetapi Netanyahu terus mencari cara untuk menggagalkannya.
Salah satu yang dibuat oleh Netanyahu adalah keharusan Israel dalam menguasai Koridor Philadelphi, jalur sempit yang memisahkan Gaza dan Mesir. Pada Juli dan September, Netanyahu mengklaim bahwa wilayah ini sangat penting bagi keamanan Israel. Ia berpendapat bahwa jika IDF mundur, Hamas bisa menggunakan jalur itu untuk keluar masuk Mesir dan mendapatkan suplai.
Namun, isi kesepakatan tersebut justru mengharuskan IDF mundur dari Koridor Philadelphi dan Koridor Netzarim, yang sebelumnya dibuat IDF untuk membelah Gaza. Ini menunjukkan bahwa alasan Netanyahu bukan soal sandera atau keamanan nasional, melainkan untuk memperpanjang perang demi mempertahankan kekuasaannya.
Negosiasi gencatan senjata dimulai lagi pada bulan Desember, tetapi menjelang pelantikan Trump, jelas bahwa negosiasi itu hampir gagal. Trump mengatakan, “Saya ingin ada kesepakatan sebelum pelantikan saya.” Apa yang terjadi saat itu? Surat kabar Zionis liberal Haaretz dari Israel menjelaskan:
Witkoff berada di Doha, tempat negosiasi berlangsung, dan pada suatu titik ia menyadari bahwa para negosiator Israel hanya membuang waktu. Mereka tidak berniat atau memiliki wewenang untuk menandatangani atau menyetujui apapun.
Witkoff kemudian menghubungi kantor Netanyahu dan mengatakan, “Saya ingin bertemu dengan Anda besok, Sabtu.” Kantor Netanyahu berusaha menunda pertemuan itu dengan alasan tidak mungkin bertemu pada hari Sabtu karena itu adalah Sabat, sehingga pertemuan harus ditunda.
Namun, menurut Haaretz, Witkoff memberikan jawaban yang tegas, menegaskan bahwa ia tidak peduli jika itu adalah Sabat – hari istirahat bagi orang Yahudi – dan pertemuan harus tetap dilaksanakan. Meskipun kita tidak tahu pasti apa yang terjadi dalam pertemuan itu, kemungkinan besar Witkoff menggebrak meja dan menekan Netanyahu hingga akhirnya ia setuju untuk menandatangani kesepakatan tersebut.
Penandatanganan gencatan senjata itu membuat Biden terlihat tak berdaya. Hal ini menunjukkan bahwa AS sebenarnya memiliki kekuatan untuk menekan Netanyahu agar mengubah kebijakannya. Kebijakan Biden yang sepenuhnya mendukung kampanye genosida Israel di Gaza justru tidak memberi Washington pengaruh terhadap Netanyahu, malah sebaliknya.
Kesepakatan gencatan senjata ini memicu krisis besar di Israel, atau lebih tepatnya, memperburuk krisis politik yang ada di negara tersebut. Salah satu dari dua partai sayap kanan ekstrem yang tergabung dalam koalisi Netanyahu telah memutuskan untuk keluar dari pemerintah, dan yang lainnya mengancam akan keluar juga.
Beberapa bulan lalu, Netanyahu menambahkan partai lain ke dalam koalisinya, yakni partai Gideon Sa’ar. Hal ini dilakukan agar ia tidak terlalu bergantung pada dukungan dari Smotrich dan Ben Gvir, pemimpin kedua partai sayap kanan ekstrem.
Gencatan senjata bahkan semakin mengekspos bahwa salah satu tujuan utama Netanyahu selama perang ini adalah untuk menjaga agar konflik tetap berlangsung, bahkan, kalau bisa, terus meningkat, agar ia dapat terus mempertahankan kekuasaannya. Kelangsungan politik pribadinya sangat berperan dalam hal ini. Ini juga menjadi alasan mengapa ia kini berusaha memprovokasi perang terbuka di Tepi Barat.
Kesepakatan gencatan senjata ini jelas tidak menguntungkan bagi Netanyahu, sehingga sulit untuk mengatakan apakah kesepakatan tersebut akan bertahan. Netanyahu juga telah mengungkapkan secara publik bahwa ia telah menerima jaminan dari Biden dan Trump dimana setelah fase pertama gencatan senjata, ia dapat melanjutkan perang di Gaza.
Dalam beberapa hari terakhir, gencatan senjata di Lebanon nyaris batal. Pemerintahan Trump kembali turun tangan untuk memastikan agar kesepakatan itu tetap ditegakkan.
Jelas bahwa kesepakatan ini bukanlah kemenangan bagi Israel. Mereka gagal mencapai tujuan utama perangnya—membebaskan para sandera melalui kekuatan militer dan menghancurkan Hamas.
Militer Israel adalah salah satu yang paling kuat di Timur Tengah, bahkan mungkin yang paling kuat, dengan akses mereka ke teknologi canggih, jaringan intelijen, persenjataan mutakhir maupun konvensional, serta pasokan artileri yang melimpah. Namun, IDF tetap tidak mampu menyelamatkan para sandera, dan yang lebih penting lagi, gagal menghancurkan Hamas—tujuan utama perang ini.
Laporan intelijen AS baru-baru ini menyebutkan bahwa sejak perang dimulai, Hamas telah merekrut 15.000 anggota baru—jumlah yang hampir sama dengan yang diklaim Israel telah mereka bunuh. Meski begitu, anggota baru ini belum tentu sekuat atau seberpengalaman para pejuang yang tewas. Hamas memang melemah, tetapi belum hancur.
Dalam beberapa hari terakhir, situasi menunjukkan bahwa begitu IDF mundur, Hamas langsung kembali berkuasa. Di alun-alun utama Kota Gaza kemarin, polisi Hamas terlihat berjaga dengan seragam rapi, menyiapkan panggung untuk pembebasan sandera, dan dikelilingi pasukan bersenjata yang menunjukkan bahwa mereka masih mengendalikan wilayah tersebut. Padahal, area ini sebelumnya telah diperiksa ketat oleh IDF untuk memastikan Hamas tidak ada lagi.
Ini cukup luar biasa. Selama berbulan-bulan, para pejuang Hamas bersembunyi di terowongan dan memutus komunikasi agar tidak terdeteksi. Namun kini, mereka muncul kembali dengan ribuan anggota baru dan kembali menguasai Gaza.
Rangkaian peristiwa ini—serangan Hamas pada 7 Oktober, kegagalan Israel di Gaza, dan sikap oportunis Netanyahu terhadap para sandera—pada akhirnya akan mempengaruhi kesadaran kelas pekerja Israel.
Selama bertahun-tahun, pemimpin Zionis meyakinkan rakyat Israel bahwa satu-satunya cara untuk menjaga keamanan Yahudi adalah dengan memiliki negara yang kuat yang bisa mengalahkan musuh-musuhnya. Namun, keyakinan itu kini terguncang. Lambat laun, semakin jelas bahwa perdamaian tidak akan tercapai jika hak dan aspirasi rakyat Palestina terus diabaikan.
Lalu, apa sebenarnya rencana Trump untuk Timur Tengah?[Catatan: artikel ini dua minggu sebelum Netanyahu berkunjung ke Gedung Putih dan Trump mengumumkan rencananya untuk mengambil alih Gaza.]
Tampaknya, Trump menginginkan gencatan senjata agar bisa melanjutkan Abraham Accords, yaitu perjanjian normalisasi hubungan Israel dan Arab Saudi. Dalam unggahan media sosialnya, ia mengklaim keberhasilan kesepakatan ini dan menegaskan bahwa Gaza tidak boleh lagi menjadi “sarang teroris.”
Trump tampaknya berpikir bahwa jika ekonomi di kawasan itu berkembang, semua masalah akan selesai dan semua orang akan puas.
Tapi bukan itu saja yang ia usulkan. Ia bertanya, mengapa tidak memindahkan penduduk Gaza ke Yordania dan Mesir? Menurutnya, mereka bisa dibangunkan rumah di sana agar bisa hidup dengan tenang.
Baginya, ini masuk akal. Gaza sudah hancur total dan butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali rumah serta infrastrukturnya. Proses ini bisa memakan waktu puluhan tahun dan biaya yang sangat besar. Dalam pikirannya, ia bertanya: “Kenapa tidak ada pihak lain saja yang membayar semua ini?”
Di saat yang sama, ia mungkin melihat ini sebagai cara untuk menyenangkan kelompok sayap kanan Zionis yang ingin mengusir warga Palestina dari Gaza. Ia mungkin berharap negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi, mau mendanai rencana ini. Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai terlihat.
Namun, pendekatan bisnis Trump dalam politik kemungkinan besar tidak akan berhasil di Timur Tengah—atau di tempat lain.
Arab Saudi kemungkinan besar tidak akan menyetujui normalisasi dengan Israel tanpa adanya negara Palestina, meskipun negara ini adalah negara yang tak berdaya. Bukan karena mereka peduli pada Palestina, tetapi karena mereka takut kehilangan kekuasaan jika dianggap mengkhianati rakyat Palestina.
Selain itu, jika negara Palestina ingin dibentuk, bagaimana cara mewujudkannya tanpa Hamas yang masih menguasai Gaza? Israel sudah berusaha selama 15 bulan untuk menghancurkan Hamas melalui serangan brutal, tetapi tetap gagal. Masalah ini sulit diselesaikan dalam sistem kapitalis. Pada akhirnya, situasi ini hanya akan semakin menyulitkan Trump di masa depan.
Runtuhnya Rezim Assad
Saya ingin membahas sedikit tentang situasi di Suriah, karena dalam beberapa minggu terakhir terjadi perubahan besar yang berlangsung cepat dan tak terduga.
Sebelumnya, kita telah membahas runtuhnya rezim Assad dalam beberapa artikel. Perkembangan ini berkaitan dengan situasi global saat ini. Rusia sedang sibuk dengan perang di Ukraina, sementara Iran kehilangan pengaruhnya di Lebanon akibat serangan Israel.
Turki memiliki semacam kesepakatan dengan Rusia yang terbentuk setelah mengalami kesulitan dalam awal Perang Saudara Suriah. Namun, keduanya bukan sekutu sejati. Melihat melemahnya negara-negara yang mendukung Assad, Turki melihat kesempatan untuk bertindak.
Turki mulai menekan Assad agar mencapai semacam kesepakatan, yang memungkinkan kelompok pro-Turki mendapatkan lebih banyak kendali di Suriah dan memfasilitasi kembalinya pengungsi Suriah yang berada di Turki.
Namun, Assad menolak. Ia juga bernegosiasi dengan negara-negara lain seperti Qatar dan mendapat tekanan dari Israel. Ia tidak ingin berkompromi dengan Erdogan.
Akibatnya, Turki menekan Assad, dan begitu mereka mulai menekannya rezim Assad runtuh dengan cepat. Rezimnya sudah terlalu busuk sehingga begitu kopong.
Kadang-kadang, sebuah lemari kayu tampak kokoh dari luar, tetapi sebenarnya telah lapuk dimakan rayap. Begitu dibuka, seluruhnya roboh seketika.
Setelah kejatuhan rezim Assad, Turki menjadi kekuatan dominan di Suriah, meskipun belum sepenuhnya menguasai negara itu. Kini, Suriah terbagi di antara berbagai kekuatan regional.
Israel mengambil peluang dari situasi ini dengan memperluas wilayahnya di selatan, dekat Dataran Tinggi Golan, yang berbatasan dengan Lebanon. Turki mengendalikan wilayah utara, barat laut, dan ibu kota Damaskus. Suku Druze menguasai bagian selatan, sementara Kurdi masih bertahan di timur laut, meskipun posisinya sangat lemah.
Dari situasi ini, ada pelajaran penting. Kurdi di Suriah telah bersekutu dengan imperialisme Amerika Serikat dan kini sepenuhnya menggantungkan nasib mereka pada AS. Inilah mengapa pemimpin Unit Pertahanan Rakyat Kurdi (YPG) baru saja mengirim surat yang memelas kepada Trump, yang intinya mengatakan: “Kita bisa jadi sekutu. Kami adalah pembela terbaik kepentingan kalian di kawasan ini.”
Hal ini perlu menjadi bahan refleksi bagi kaum anarkis dan kiri di Barat yang sebelumnya sepenuhnya mendukung Rojava dengan tidak kritis. Pada akhirnya, bangsa kecil sering kali hanya menjadi recehan kecil dalam intrik negara-negara besar.
Perang di Ukraina
Sekarang kita membahas perang di Ukraina. Barat dan NATO sudah kalah dalam konflik ini, dan mereka tidak punya cara untuk membalikkan keadaan. Rusia terus maju di sepanjang garis depan, dengan laju yang semakin cepat.
Sepanjang perang, AS berusaha mengubah jalannya pertempuran dengan mengirimkan berbagai jenis senjata canggih. Mulai dari tank Leopard, HIMARS, jet tempur F-16, hingga rudal ATACMS. Baru-baru ini, Ukraina bahkan diizinkan menggunakan ATACMS untuk menyerang wilayah Rusia. Namun, setiap kali strategi ini diterapkan, hasilnya tetap gagal membalikkan situasi.
Faktor utama yang menentukan saat ini adalah keunggulan jumlah pasukan Rusia serta kesulitan Ukraina dalam merekrut tentara baru.
Selain itu, ada faktor-faktor lain yang berperan, seperti semakin berkurangnya stok senjata di Barat dan keterbatasan industri militer mereka dalam memasok Ukraina. Sementara itu, industri pertahanan Rusia masih mampu terus memenuhi kebutuhan tentaranya.
Beberapa bulan lalu, ketika negara-negara Barat berdiskusi dengan kontraktor militer, para pemimpin industri senjata menegaskan bahwa mereka dapat meningkatkan produksi dan membangun pabrik baru untuk menghasilkan lebih banyak amunisi serta perlengkapan militer. Namun, mereka mengajukan syarat: investasi besar hanya akan dilakukan jika ada kontrak jangka panjang. Jika hanya untuk meningkatkan produksi dalam waktu singkat, mereka tidak bersedia mengeluarkan modal besar untuk infrastruktur yang mungkin tidak akan berguna di masa depan. Inilah cara kerja investasi dalam sistem kapitalisme.
Di Rusia, keadaannya berbeda. Pemerintah mengambil kendali penuh atas industri pertahanan untuk memastikan kemenangan dalam perang. Negara memerintahkan agar pabrik-pabrik terus beroperasi tanpa henti dan memastikan pasokan militer tetap terpenuhi. Baik pabrik milik negara maupun swasta, semuanya kini berada di bawah kontrol pemerintah.
Contoh ini menunjukkan bahwa perencanaan negara, dalam berbagai bentuknya, lebih efektif dibandingkan dengan ketidakpastian ekonomi pasar bebas, terutama dalam situasi perang.
Hal ini pernah dikemukakan oleh Ted Grant selama Perang Dunia II. Saat itu, Inggris menerapkan sistem kendali industri, di mana pemerintah mewajibkan pabrik dan pemilik modal swasta untuk memproduksi barang tertentu dalam jumlah dan tenggat waktu yang telah ditetapkan. Pada dasarnya, ini adalah bentuk perencanaan ekonomi oleh negara. Ketika menghadapi situasi kritis, bahkan para kapitalis pun tidak mengandalkan mekanisme pasar bebas sepenuhnya.
Anggapan bahwa sanksi Barat akan melemahkan ekonomi Rusia hingga menghambat upaya perangnya terbukti tidak benar. Sebaliknya, ekonomi Rusia terus berkembang dan mampu menopang kebutuhan perang.
Jika melihat semua faktor yang berperan, tantangan utama bagi Ukraina adalah kesulitan merekrut pasukan dalam jumlah yang cukup. Masalah ini sudah berlangsung selama berbulan-bulan. Beberapa laporan di media Barat memang menyinggung hal ini, tetapi kenyataan di lapangan jauh lebih buruk.
Di awal perang, banyak orang mendaftar secara sukarela karena melihatnya sebagai perjuangan membela tanah air, sehingga muncul semangat patriotisme. Namun, mereka telah bertugas di garis depan tanpa pergantian pasukan selama bertahun-tahun, yang membuat mereka kelelahan. Tetapi setidaknya pasukan ini menjadi terlatih dan berpengalaman di medan perang.
Kini, pemerintah Ukraina menerapkan langkah-langkah yang semakin represif untuk memaksa lebih banyak orang bergabung dengan militer melalui dinas rekrutmen dan mobilisasi, TCC. Baru-baru ini, skandal mencuat di parlemen Ukraina ketika seorang anggota partai Zelensky menyatakan bahwa petugas rekrutmen di Kharkiv bertindak seperti pasukan penjajah, termasuk mendirikan pos pemeriksaan untuk menyaring calon tentara. Mereka memburu pria usia militer, menangkap mereka, memasukkan ke dalam kendaraan, dan mengirim mereka langsung ke garis depan—praktik yang pada dasarnya merupakan penculikan paksa.
Tindakan ini telah menimbulkan perlawanan dan reaksi keras dari masyarakat. Selama beberapa bulan terakhir, petugas rekrutmen terpaksa menggunakan kendaraan tanpa identitas agar dapat menangkap orang secara tiba-tiba dan tanpa peringatan.
Dalam sebuah wawancara dengan Daily Telegraph di Inggris, seorang petugas rekrutmen Ukraina ditanya alasan ia menjalankan tugasnya. Ia menjawab, “Saya lebih memilih bekerja untuk TCC daripada harus bersembunyi darinya.” Jawaban ini mencerminkan realitas pahit—baginya, lebih baik menjadi orang yang memburu daripada menjadi buruan. Dengan bekerja sebagai petugas rekrutmen, setidaknya ia bisa menghindari garis depan, di mana risiko kematian sangat tinggi. Inilah gambaran situasi yang kini berkembang di Ukraina.
Sebuah contoh lain adalah keputusan Zelensky, yang dengan pendekatan khasnya yang selalu memperhitungkan opini publik demi menjaga dukungan dari Barat, mengumumkan pembentukan delapan brigade baru. Brigade-brigade ini akan dilatih dengan standar terbaik NATO oleh negara-negara Barat.
Salah satu yang dibentuk adalah Brigade Mekanis ke-155, yang terdiri dari 3.500 tentara. Mereka dikirim ke Prancis untuk menerima pelatihan intensif. Langkah ini juga berfungsi sebagai strategi propaganda bagi Macron, yang saat itu menghadapi tantangan besar di dalam negeri dan ingin menampilkan citra sebagai pemimpin yang kuat.
Brigade ke-155, setelah menyelesaikan pelatihannya, dikirim kembali ke Ukraina dan ditempatkan di Pokrovsk—salah satu titik pertempuran paling intens yang telah lama dikepung oleh pasukan Rusia. Namun, sebelum sempat bertempur, brigade ini tercerai-berai. Sekitar 1.700 tentaranya menghilang tanpa izin, dengan 50 orang di antaranya bahkan sudah melarikan diri sejak masih di Prancis.
Jurnalis Ukraina, Yuriy Butusov, yang bukan simpatisan Rusia, melaporkan situasi ini sebagai “kekacauan total.” Sejumlah analis militer Ukraina juga mengungkapkan pandangan serupa.
Zelensky tampaknya tidak ingin menerima kenyataan, sehingga para jenderal di sekitarnya pun memilih untuk tidak mengungkapkan kondisi sebenarnya di medan perang. Hal ini mengakibatkan perencanaan strategi menjadi berantakan.
Sebagai contoh, ketika sebuah unit terpaksa mundur dari posisinya, laporan mengenai hal ini sering kali tidak diteruskan ke atasan karena khawatir akan mendapat hukuman. Akibatnya, unit lain yang berdekatan masih menganggap posisi tersebut tetap dalam kendali Ukraina. Tanpa disadari, mereka justru mendapati diri mereka telah dikepung sepenuhnya oleh pasukan Rusia.
Diperkirakan sekitar 200.000 tentara Ukraina telah meninggalkan tugas mereka tanpa izin. Sejak 2022, lebih dari 90.000 tentara secara resmi didakwa melakukan desersi, dengan sebagian besar kasus terjadi pada 2024, yang menunjukkan tren yang semakin meningkat. Banyak di antara mereka yang memilih untuk tidak kembali ke garis depan atau menggunakan izin medis sebagai alasan untuk tidak kembali ke unitnya.
Salah satu kontroversi terbaru di Ukraina adalah pengalihan personel Angkatan Udara ke peran infanteri di medan perang. Mereka yang seharusnya bertugas dalam operasi drone, pendeteksian rudal, dan sistem pertahanan udara kini dipindahkan ke garis depan sebagai pasukan tempur biasa. Dari sudut pandang militer, ini adalah penyalahgunaan tenaga ahli yang seharusnya tetap berada dalam bidang spesialisasi mereka.
Situasi ini tampaknya tidak dapat bertahan lama. Secara dialektis, akumulasi kerugian kecil yang terus terjadi dapat menyebabkan kehancuran total garis pertahanan Ukraina.
Tingkat demoralisasi di kalangan militer—yang mencerminkan kondisi serupa di masyarakat—semakin memburuk sejak Trump terpilih kembali. Dengan janji untuk mengakhiri perang dalam 24 jam dan mencapai kesepakatan dengan Putin, pernyataannya telah memberikan dampak besar terhadap kepemimpinan politik Ukraina, strategi militer, serta moral para prajurit di garis depan.
Beberapa laporan media Barat menyebutkan bahwa banyak tentara Ukraina mendukung Trump karena mereka ingin perang segera berakhir. Seorang mantan menteri Ukraina mengatakan dalam wawancaranya dengan Politico bahwa meskipun solusi Trump mungkin tidak sempurna, itu masih lebih baik daripada pendekatan Biden. Menurutnya, Biden mengelola perang ini seperti krisis yang akan berlalu dengan sendirinya, sementara Trump ingin segera mengakhirinya, meskipun caranya tidak jelas.
[Catatan: Artikel ini ditulis sebelum Trump langsung bernegosiasi dengan Putin tanpa melibatkan Zelensky dan Eropa untuk mengakhiri perang.]
Trump tampaknya berfokus pada menghentikan perang, meskipun belum jelas bagaimana atau apakah itu bisa berhasil. Namun, jika Trump memutuskan untuk menarik AS dari perang ini, maka konflik kemungkinan besar akan segera berakhir.
Saat ini, Ukraina sebenarnya sudah kalah, tetapi kekalahan ini belum resmi. Jika AS berhenti memberikan bantuan militer dan pasokan senjata, maka perang akan benar-benar berakhir.
Kekalahan NATO di Ukraina akan berdampak besar pada dunia. Ini berbeda dari penarikan AS dari Afghanistan, karena Ukraina adalah medan perang besar antara NATO dan Rusia.
Rusia akan keluar dari perang ini sebagai kekuatan militer utama yang telah teruji dalam perang modern. Konflik ini telah menjadi tempat uji coba berbagai teknologi baru, seperti drone, peperangan elektronik, dan rudal canggih.
Bagaimana Perang Ukraina akan Berakhir?
Apakah perang bisa diakhiri dengan kesepakatan? Satu-satunya cara kesepakatan bisa tercapai adalah dengan memenuhi syarat Putin. Ia sedang unggul di medan perang, dan semakin lama perang berlangsung, semakin banyak wilayah yang akan ia kuasai.
Apa saja syaratnya? Pertama, semua wilayah yang telah ia rebut akan tetap menjadi milik Rusia. Kedua, Ukraina harus berjanji secara resmi bahwa mereka tidak akan pernah bergabung dengan NATO dan akan tetap netral. Selain itu, ukuran militer Ukraina harus dikurangi.
Sebelum perang dimulai pada Desember 2021, Putin mengatakan, “Kami menginginkan arsitektur keamanan baru di Eropa.” Maksudnya, ia ingin Eropa dan AS mengakui Rusia sebagai kekuatan besar serta berhenti mencampuri urusan Rusia atau melakukan tindakan yang dianggap agresif.
Saat perang Ukraina dimulai, beberapa kamerad kita berpendapat bahwa Barat tidak akan membiarkan kekalahan terjadi karena gengsi yang dipertaruhkan dalam perang ini. Mereka yakin Barat akan terus mengirim senjata selama diperlukan untuk mempertahankan posisinya.
Saya awalnya berpikir perang ini akan berakhir lebih cepat melalui kesepakatan, karena Barat akan segera menerima kenyataan di lapangan. Saya bahkan memperkirakan negosiasi akan menghasilkan kesepakatan sekitar akhir 2022. Saat itu, negosiasi perdamaian sempat berlangsung di Turki, tetapi Boris Johnson buru-buru datang ke Kyiv dan meyakinkan Ukraina untuk tidak menandatangani kesepakatan. Ia berjanji bahwa Barat akan mendukung mereka “selama yang diperlukan” hingga kemenangan atas Rusia tercapai.
Ternyata, saya keliru. Kamerad-kamerad itu ada benarnya.
Meskipun sejak lama sudah terlihat bahwa perang ini sulit dimenangkan, Barat tetap mengirim senjata demi menjaga citra mereka. Setelah terlibat begitu jauh, mereka tidak ingin terlihat kalah. Saya sendiri terlalu berharap bahwa Barat akan bertindak secara rasional.
Namun, ada batas dalam hal keuangan, sumber daya, dan politik. Kini, batasan-batasan itu semakin jelas, dan kemampuan Barat untuk terus mendukung perang pun mulai melemah.
Soal gengsi dan bagaimana kekalahan AS memengaruhi hubungan dunia, Trump tampaknya merasa bisa lepas tangan dengan menyalahkan Biden.
“Ini bukan perang saya, bukan kegagalan saya. Ini kesalahan, bahkan mungkin kejahatan Biden. Kami akan keluar dari perang ini. Sudah terlalu banyak nyawa melayang.” Begitu kira-kira ucapannya.
Trump juga narsistik. Ada yang bilang dia menginginkan Hadiah Nobel Perdamaian. Bukan hal yang aneh, karena komite Nobel pernah memberi penghargaan pada orang-orang yang juga kontroversial.
Dari sudut pandangnya, Trump mungkin percaya bahwa kalau dia bertemu langsung dengan Putin, dia bisa menggunakan pesona pribadi dan koneksinya untuk membuat kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.
Dalam unggahannya di media sosial, Trump menulis: “Saya suka Rusia. Mereka banyak membantu kita di Perang Dunia II. Ekonomi mereka sedang susah, dan saya akan bantu Putin dengan buat kesepakatan.”
Putin jelas bukan orang bodoh. Dia tahu persis keadaan sebenarnya, baik soal ekonomi Rusia (yang justru berkembang) maupun kekuatan militernya.
Sementara itu, Trump melihat perang di Ukraina sebagai kesalahan besar yang hanya membuang uang dan waktu. Dia ingin segera mengakhirinya, tapi kenyataan tidak sesederhana itu.
Trump punya pengaruh besar terhadap Ukraina dan menganggap Zelensky hanya jadi penghambat. Rencananya, Trump ingin langsung bicara dengan Putin, lalu memaksa Zelensky menerima kesepakatan yang dibuat.
Ada berita yang mengabarkan, dalam pertemuan tertutup dengan para pemimpin faksi parlemen dan pemimpin militer, kepala dinas keamanan Ukraina, Budanov, menyebut bahwa jika Ukraina tidak segera bernegosiasi, dalam enam bulan mereka akan menghadapi “ancaman eksistensial”. Bahkan Zelensky, yang dulu menolak bernegosiasi dengan Putin, kini mulai berubah sikap dan siap untuk berbicara. Ini menunjukkan bahwa pemerintah Ukraina mulai menerima kenyataan. Mereka mungkin ingin mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dari perundingan ini, tapi posisi mereka lemah.
Lalu bagaimana kalau negara-negara Eropa menolak perundingan atau tidak setuju dengan kesepakatan? Trump kemungkinan besar akan berkata, “Ini perang kalian, silakan lanjut sendiri. Kami keluar.” Tanpa dukungan AS, Eropa tidak akan mampu melanjutkan perang proksi melawan Rusia, baik dari segi ekonomi, politik, maupun militer. Demikianlah gambaran umumnya.
Trump Merobek-robek Buku Aturan Imperialisme
Apa arti semua ini? Ada perubahan besar dalam hubungan dunia. Cara Amerika Serikat bertindak juga berubah.
Majalah The Economist mengatakan bahwa sekarang, untuk pertama kalinya dalam lebih dari 100 tahun, AS punya “presiden yang benar-benar imperialistis.” Bagi orang-orang di Vietnam, Irak, Chili, Venezuela, dan Kuba, mereka telah lama mengenal imperialisme AS. Kenyataannya, semua presiden AS selama ini sudah bertindak sebagai imperialis, bukan cuma satu abad, tapi jauh lebih lama.
Namun, ada satu hal yang benar. Sejak Perang Dunia II, imperialisme AS selalu berpura-pura bertindak demi hak asasi manusia, untuk menyebar demokrasi, dan mempertahankan tatanan dunia yang berdasarkan aturan. Mereka mengklaim sedang membela “prinsip perbatasan negara yang tidak bisa diganggu gugat”, tapi sebenarnya semua itu hanya alasan untuk kepentingan mereka sendiri.
AS menggunakan lembaga internasional yang tampaknya netral, seperti PBB, WTO, dan IMF, untuk menjalankan agendanya.
Pada kenyataannya, lembaga-lembaga ini hanyalah kedok. Kepentingan imperialisme AS terekspresikan lewat lembaga-lembaga ini. Bila lembaga-lembaga itu tidak menguntungkan AS, mereka langsung mengabaikannya.
Bedanya sekarang, Trump tidak repot-repot berpura-pura. Dia blak-blakan menunjukkan bagaimana AS benar-benar bekerja dan merobek-robek semua “aturan” internasional. Saat dia bilang Terusan Panama dan Greenland adalah bagian dari kepentingan nasional AS, dia hanya mengungkapkan kepentingan kelas penguasa Amerika tanpa basa-basi.