Pengantar
Artikel ini menyajikan ringkasan situasi ekonomi kapitalisme Indoneisia masa kini dan masa mendatang. Artikel ini juga melihat implikasi perjuangan kelas pekerja dan mengembangkan garis-garis besar tanggapan programatik sosialis terhadap krisis sistem ini. Kami berpendapat bahwa tanggapan ini muncul di saat yang tepat di mana pemerintahan GusDur-Mega mencoba resep IMF dan ketika para pekerja, petani miskin dan mahasiswa memobilisasikan diri menentang kenaikan harga-harga, yang pada kenyataannya adalah subsidi dari kaum miskin untuk kaum kaya.
Artikel ini merupakan pengantar untuk penerbitan cetak “Di atas Mata Pisau,” analisis ekonomi dunia dan Asia setelah kerontokan tahun 1997. Penerbitan dalam bentuk buku akan membuat analisis ini lebih bisa diakses oleh pembaca kelas buruh yang tidak punya akses ke internet. Buku ini merupakan bagian dari Proyek Pendidikan Sosialis Indonesia, kerjasama antara para aktivis Indonesia dan Eropa, yang bertujuan menyumbang pendidikan politik bagi aktivis di Indonesia dan mengakrabkan generasi baru dengan gagasan-gagasan Marxisme.
Sebagaimana biasanya kami mengundang pembaca untuk memberikan saran dan kritik.
Indonesia: Mata Rantai Paling Lemah Kapitalisme Asia Tenggara
Tidak banyak negara yang mengalami kemalangan dramatis seperti Indonesia. Dari yang semula dianggap sebagai salah satu negara paling bagus kinerjanya di kawasan Asia Tenggara di tahun 80an dan 90an, Indonesia barangkali telah menjadi mata rantai paling lemah dari kapitalisme di kawasan tersebut. Kehancuran ekonomi telah melempar negeri ini paling sedikit 20 tahun ke belakang.
Konsekuensi sosial dari krisis ini mengerikan dan akan berlangsung lama. Anak-anak dan orang dewasa, masa depan sembarang warga negara, akan lebih buruk dibandingkan beberapa puluh tahun lalu. Banyak orang mengingatkan kemungkinan akan terjadinya “generasi yang hilang” dari kaum muda yang kurang gizi dan terbelakang secara intelektual. Jumlah anak yang mati karena kekurangan pangan dan kurang terperhatikan kesehatannya setara dengan sembilan bus penuh anak yang jatuh ke jurang tiap hari. Benar, setiap hari 450 anak di negeri yang secara potensial kaya ini menemui kematian.
Selama kerontokan ekonomi tahun 1997, dari semua sistem ekonomi di kawasan tersebut Indonesia adalah yang paling keras terpukul dan sangat sukar untuk segera pulih, walau untuk sementara saja. Tiga tahun setelah dihantam krisis, “pengangguran sangat tinggi, sektor perbankan secara esensial belum bekerja, dan restrukturisasi perusahaan hanya membawa sedikit kemajuan,” kesimpulan yang disampaikan oleh Mr. Roth, asisten Sekretaris Negara AS untuk Masalah-masalah Asia Timur.
Di tahun 1998 kegiatan ekonomi menciut sebesar 13,4% dan inflasi mencapai 89%. Di kawasan Asia Tenggara, hanya Thailand yang mengalami penurunan 10% dari GDPnya. Aktivitas ekonomi Hongkong menyusut sebesar 5,1%, Malaysia sebesar 7,5%, Filipina sebesar 0,5%, Jepang 2,1% dan Korea Selatan sebesar 5,8%.
Ketika negara-negara seperti Korea Selatan bangkit dengan cepat di tahun 1999 dengan pertumbuhan 9,8%, ekonomi Indonesia masih terus mengalami kontraksi 0,4%. Pada saat itu, ekonomi negara-negara tetangga Indonesia seperti Filipina tumbuh sebesar 3,2% dan Malaysia tak kurang dari 5,2%.
Pemulihan Hanya Akan Berlangsung Sementara
Paling lunak, ramalan ekonomi Indonesia untuk awal abad baru adalah dengan pertumbuhan 2,4%. Tingkat pertumbuhan ini tidak ada kesamaannya dengan “pertumbuhan yang menakjubkan” yang terjadi sebelum krisis. Pada saat itu angka-angka pertumbuhan yang berkesinambungan telah mentransformasi anatomi dan ukuran ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Itu adalah saat di mana sistem ekonomi yang mengalami pertumbuhan 8% per tahun ukurannya tumbuh menjadi dua kali lipat dalam waktu 9 tahun. Selama tiga dekade tersebut kawasan ini terbiasa dengan pertumbuhan cepat sehingga konsep resesi digunakan secara kendor yang berarti pertumbuhan tahunan 5% yang lambat ketimbang kontraksi ekonomi aktual. Masa tersebut jelas sudah berakhir.
Lambatnya pertumbuhan akhir-akhir ini terutama disebabkan oleh boom ekspor dan kecilnya peningkatan konsumsi domestik. Kenaikan ekspor ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya harga-harga setelah devaluasi mata uang dan pemotongan harga atas biaya margin laba. Ini adalah upaya gila-gilaan untuk tetap menjadi bagian dari pasar dunia. Pemotongan harga tertolong oleh kapasitas surplus besar-besaran di beberapa industri karena jatuhnya permintaan domestik dan ini sedikit saja kaitannya dengan “upaya efisiensi.” Namun hal ini tidak bisa dipertahankan terus menerus, terutama karena tiap orang di Asia Tenggara “telah menjual semuanya dengan harga berapapun &endash;-yang bukan merupakan strategi jangka panjang” kata pakar strategi dari Merryl Lynch. “Sekali keuntungan dari depresiasi mata uang jangka pendek habis, permintaan bagi produk-produk di kawasan tersebut akan turun.” Ini adalah kesimpulan analis yang lain.
Kuatnya permintaan sangat tergantung pada kapasitas Amerika Serikat dan negara kapitalis maju lainnya untuk menyerap barang-barang import tersebut sebagai dukungan untuk terjadinya pemulihan di Asia. Ini pun sama sekali tidak ada jaminannya di masa beberapa tahun ke depan, karena pada tahap tertentu resesi menjadi tak terhindarkan di negara-negara kapitalis maju tersebut.
Dalam hal ini Indonesia juga berada di urutan belakang. Di tahun 1999 tingkat pertumbuhan ekspor paling kuat muncul dari Filipina dengan angka 25%, Malaysia 10%, Thailand 6%, dan Indonesia hanya jadi liliput dengan 2,6%. Bahkan saat itu, nilai ekspor 1999 masih lebih rendah daripada total tahun 1997. Pertumbuhan ekspor di kawasan Asia Tenggara juga dirangsang oleh meningkatnya permintaan atas barang-barang elektronik. Struktur industri manufaktur Indonesia sebagian besar didominasi oleh tekstil. Sektor elektronik di Indonesia relatif lebih kecil ketimbang negara-negara lain di kawasan tersebut. Ini berarti bahwa Indonesia kurang mendapat untung dari perolehan ekspor dibanding dengan negara-negara tetangga. Namun seperti Malaysia dan Singapura menangguk keuntungan dari industri, Indonesia mendulang keuntungan dari lonjakan kuat harga minyak. Ekspor minyak dan gas Indonesia meningkat sebanyak 15% dalam dolar di tahun 1999, sebagian besar adalah karena adanya lonjakan harga minyak di pasar dunia.
Kekacauan di Pusat Ekonomi
Masalah utama ekonomi kapitalis Indonesia adalah utang sektor swasta (sekitar US$40 milyar) dan hal itu berdampak pada sistem perbankan. Di tahun 1997 bank-bank Indonesia kolaps. Sebagai akibatnya, negeri ini menghadapi sistem perbankan yang semu. Situasi ini memaksa pemerintah menutup dan mengambil alih beberapa bank termasuk aset-asetnya yang berupa lebih dari 170.000 perusahaan berukuran kecil dan menengah. Perusahaan dan bank-bank ini, sisa-sisa dari sektor industri modern yang pernah terbang tinggi, menciptakan kekacauan di tengah-tengah ekonomi. Bank-bank tersebut dilumpuhkan oleh tingginya tingkat utang (diperkirakan hanya 4% dari utang tersebut yang bisa ditutup) dan tingkat ketidakmemadainya modal.
IMF mendesak agar perusahaan dan bank menegosiasikan rencana pembayaran utang. Namun, hingga kini sebagian besar perusahaan dan bank tersebut menolak menanggapi pemberi pinjaman yang sial. Berkat hubungan tingkat tinggi mereka dan administrasi ekonomi serta negara, para kapitalis tersebut berharap bisa lolos dari pembayaran utang-utang mereka. Kroniisme Indonesia, versi modern perampokan para baron di Eropa dan Amerika abad 19, memang bisa dianggap sebagai lisensi untuk melakukan penjarahan.
Harga yang akan dibayar pemerintah untuk menyelamatkan perusahaan dan bank yang bangkrut mencapai US$130 milyar. Jelas bahwa dalam kenyataannya biaya operasi penyelamatan raja-raja bisnis ini akan ditanggung oleh kaum miskin, buruh, dan petani kecil. Mereka adalah kelas-kelas yang akan membayar penghamburan sumber daya yang dilakukan secara tak bermoral oleh para kapitalis. Inilah tujuan rencana-rencana IMF yang dicoba untuk diterapkan oleh pemerintah Gus Dur dan Megawati.
Rendahnya Kepercayaan Pada Stabilitas Indonesia
Bukanlah kebetulan bahwa dalam konteks ini investasi asing turun dengan tajam dan secara umum tidak ada aliran modal swasta yang masuk. Sebagian besar investasi asing yang bersifat langsung adalah berasal dari IMF dan beberapa dana resmi. Sedangkan, investasi langsung swasta asing jumlahnya menurun tajam dengan pengecualian dana yang ditujukan untuk mengambil alih bank bermasalah dan perusahan-perusahaan bangkrut.
Jajak pendapat Asian Wall Street Journal baru-baru ini menunjukkan bahwa 57% pengusaha mengidentifikasikan Indonesia sebagai negara yang paling kurang menyenangkan di Asia Tenggara untuk tujuan investasi langsung. Bagi para kapitalis, Indonesia menjadi negera yang paling kurang menarik di kawasan ini sebagai tempat untuk menanamkan uang dan mengambil keuntungan. Tanpa adanya investasi produktif, tidak akan ada pembicaraan soal pemulihan yang lebih solid.
Sejauh ini, modal asing dan modal domestik lebih menunjukkan minat pada investasi dalam pasar bursa. Salah satu perusahaan pialang menggambarkan Bursa Efek Jakarta (BEJ) sebagai pasar yang kinerjanya paling bagus di dunia di tahun 1999, dengan hampir 70% transaksi yang ada terjadi dalam nilai tukar dollar sejak awal 1999. Hal ini sekali lagi menunjukkan watak parasit kapitalisme.
Kinerja industrial masih sangat tidak teratur. Produksi sektor industri masih 60% dari kapasitasnya. Ini merupakan salah satu dari persentase terendah penggunaan kapasitas industrial potensial di kawasan Asia Tenggara. Ini adalah juga ekspresi modern dari overproduksi nyata, krisis klasik ekonomi kapitalisme. Kenyataannya apa yang telah digambarkan sebagai keruntuhan finansial di kawasan tersebut hanyalah wajah finansial dari krisis klasik overproduksi, yang mekanismenya akan dijelaskan di dalam dokumen ini.
Hampir tidak ada investasi di pabrik-pabrik, pembangkit listrik dan gedung-gedung perkantoran terutama di seputar Jakarta. Investasi yang ada hanyalah dalam sumber daya alam, hasil bumi, pertanian, agribisnis dan perikanan. Kebijakan ekonomi pemerintahan Gus Dur-Mega adalah lanjutan kebijakan pendahulunya di bawah Habibie dan Suharto, yaitu kebijakan ekonomi yang memihak keuntungan kapitalis dan tergantung pada IMF. Keunggulan komparatif utama kapitalisme Indonesia adalah “struktur upah buruh yang rendah,” sebagaimana diakui oleh Menko Ekuin. “Bahkan sebelum krisis, upah buruh (Indonesia) termasuk paling rendah di dunia.” Upah buruh mewakil 5 sampai 10% biaya produksi total. Ini telah dan masih menjadi strategi pemerintah untuk memikat modal asing.
Kelas Buruh dan Petani Kecil
Harus Membayar Krisis Ini
Apa artinya hal ini bagi kelas pekerja Indonesia? Kendati ada sedikit kenaikan UMR, ini berarti terus berlangsungnya ekonomi upah rendah berdasarkan eksploitasi kelas pekerja. Beginilah kondisi bagi daya tahan hidup kapitalisme Indonesia di pasar dunia yang didominasi oleh persaingan keras. Para aktivis gerakan kiri harus mendasarkan diri mereka pada analisis ini untuk menjelaskan bahwa tidak ada solusi bagi kesengsaraan dan eksploitasi kelas buruh dan petani miskin, tidak hanya di bawah pemerintah sekarang ini, namun di bawah kapitalisme itu sendiri.
Logika di balik apa yang ajukan oleh IMF sebagai “reformasi”, “rencana penyesuaian struktural”, dan berbagai pinjaman, adalah bahwa ekonomi pasar di Indonesia telah terdistorsi atau dirusak oleh kroniisme dan terlalu banyaknya campur tangan serta intervensi negara. Solusinya terletak pada apa yang disebut sebagai ekonomi pasar bebas sejati lewat langkah-langkah deregulasi, fleksibilitas dan swastanisasi bagi perusahaan-perusahaan negara. Ini akan lebih membuka ekonomi Indonesia pada ketergantungan modal asing, eksploitasi yang lebih besar atas sumber daya alam, dan terjadinya kesengsaraan dan ketimpangan yang lebih besar lagi. Hingga saat ini, utang luar negeri Indonesia telah mencapai 95% dari produk nasional kotor tahunan.
Sebagaimana kita ketahui, IMF bukanlah organisasi derma. Seperti halnya Paris Club (kelompok rentenir internasional), lembaga ini menginginkan pinjamannya dilunasi &endash;tentu bersama bunganya. Untuk membayar utang ini, pemerintah memangkas anggaran pendidikan, menjual perusahaan-perusahaan negara dan menekan subsidi hingga menaikkan harga BBM (lebih dari 30%) serta tarif dasar listrik (lebih dari 10%), juga memperkenalkan pajak baru pada minuman ringan, semen, dan lain-lain, yang akan diluncurkan dalam bentuk kenaikan harga.
Dengan cara inilah kaum miskin memberikan subsidi pada orang kaya. Tidak hanya massa perkotaan yang menderita karena kebijakan-kebijakan tersebut. Para petani tidak hanya tergantung pada minyak untuk memasak dan penerangan, namun juga pada pupuk dan pestisida yang harganya akan ikut naik. Satu badan pemerintah berharap inflasi naik paling sedikit 10%. Padahal lebih realistik untuk dikatakan bahwa inflasi bisa naik hingga antara 25 dan 30%.
Para kapitalis dan para pemimpin politik borjuis di Asia Tenggara -termasuk Indonesia&emdash; selama beberapa dekade menyangkal pendapat bahwa macan Asia dan calon macan Asia bisa terkena dampak siklus ekonomi yang naik turun. Banyak orang di Barat sepakat soal ini. Bahkan sekarang setelah malapetaka ekonomi ini, masih banyak analis ekonomi yang tetap mengabaikan proses fundamental ekonomi kapitalis di Asia Tenggara ini. Dengan munculnya apa yang dikenal dengan “Ekonomi Baru” (teknologi informasi dan internet) di Amerika Serikat, yang ekonominya mengalami ekpansi terpanjang dalam sejarah, para dukun kapitalisme meramalkan hal yang sama. Sekali lagi mereka akan terbukti keliru.
Krisis Sementara?
Tak disangkal bahwa bagian terpenting dari pemikiran politik kelas buruh dan petani dibentuk oleh tahun-tahun pertumbuhannya di masa lalu. Kendati terjadi eksploitasi kejam dan meningkatnya ketimpangan dalam masa tiga puluh tahun, tahun-tahun tersebut juga mempunyai arti terjadinya pertumbuhan penghasilan dan daya beli, serta menurunnya kemiskinan. Di tengah-tengah massa, harapan dan ilusi bahwa “krisis” ini hanya sementara pastilah masih ada. Jelas pemerintah dengan sinis memainkan kartu ini. “Kenaikan harga dan sebagainya itu disebabkan oleh ‘force majeure’,” kata Gus Dur. Pernyataan Gus Dur ini jelas: hal-hal itu adalah pengecualian dan bersifat sementara, setelah ini kita akan segera kembali pada keadaan sebelum 1997.
Namun tidak ada kemungkinan untuk kembali pada periode sebelum krisis. Dalam pengertian ini, Indonesia dan negeri-negeri lain di kawasan tersebut sebenarnya sudah “kembali normal” setelah pengecualian selama tiga puluh tahun yang tidak akan dan tidak bisa diulang. Alasan-alasan tentang ketidakmungkinan tersebut dijelaskan dalam dokumen “Di Atas Mata Pisau” ini. Apakah ini berarti bahwa tidak akan ada saat pertumbuhan lebih jauh lagi? Yang akan terjadi adalah justru sebaliknya. Saat-saat pertumbuhan akan diikuti oleh periode kontraksi. Boom menyediakan tempat bagi resesi, resesi yang sejati di mana ekonomi tidak akan mengalami pertumbuhan lagi. Beginilah cara kerja sistem kapitalis. Pemulihan tidak akan membawa ekonomi kembali pada tingkat boom sebelumnya.
“Siklus konjungtural dalam kehidupan kapitalisme memainkan peran yang sama seperti, contohnya, siklus sirkulasi darah dalam hidup organisme. () Dari keadaan denyut jantung, dalam kaitannya dengan gejala-gejala yang lain, dokter bisa menentukan apakah ia berurusan dengan organisme yang kuat atau lemah, sehat atau sakit.” Ini adalah kesimpulan teoretisi Marxis Leon Trotsky, kawan seperjuangan Lenin.
Fluktuasi konjungtural di kawasan Asia tenggara, khususnya Indonesia, akan lebih kacau, lebih sering, dan lebih tak bisa diramalkan dari sebelumnya. Watak asli dari periode-periode ekspansi akan berbeda. Ia hanya akan melakukan penyerapan parsial dari begitu banyaknya pengangguran dan ini hanya sedikit saja mengurangi jumlah kaum miskin. Ketimpangan akan terus meningkat. Stabilitas sosial dan politik tidak akan masuk dalam agenda. Arah ekonomi dan politik akan jauh berbeda dari sebelumnya. Kejutan-kejutan dalam proporsinya yang besar akan terjadi di masyarakat dan akan dirasakan dalam setiap aspek kehidupan sosial kemanusiaan: dalam hubungan agama dan etnis dan khususnya dalam lingkupnya yang paling penting, dalam hubungan antara kelas-kelas sosial itu sendiri dan negara kapitalis dan militer.
Indonesia jauh lebih rentan ketimbang negeri-negeri lainnya di kawasan tersebut dalam hal pertarungan politik, sosial, agama dan etnik. Walaupun, hingga kini, aspek agama dan etnik dari instabilitas ini nampaknya dominan, ceritanya akan lain di masa mendatang.
Kemungkinan Baru bagi Kebangkitan Kelas Buruh
Sedikit pemulihan ekonomi yang digabung dengan turunnya jumlah pengangguran, bersama-sama dengan pertumbuhan pesanan dan keuntungan perusahaan, akan membuka siklus baru perjuangan ekonomi ofensif (untuk kenaikan upah dan kondisi lebih baik) di pihak kelas buruh. Menteri Perdagangan dan Industri, Luhut Pandjaitan, baru-baru ini mengakui bahwa “meningkatnya pemogokan buruh adalah salah satu masalah yang dibicarakan dalam pertemuan mingguan kabinet.” Walaupun aksi-aksi buruh masih terpecah dan tidak terorganisir dengan baik, perjuangan yang ofensif tersebut akan dibarengi oleh kehendak untuk berserikat. Sekitar 29 federasi serikat “nasional” yang muncul dalam beberapa tahun terakhir adalah indikasi adanya kecenderungan ini.
Para boss dengan penuh perhatian menyiapkan diri untuk menghadapi situasi baru ini. “Dewan Pengembangan Usaha Nasional Indonesia sedang mencari mekanisme baru untuk mengatasi perselisihan buruh antara pekerja dan pemilik pabrik, yang kemungkinan menjadi lebih sering karena ekonomi membaik dan tuntutan upah &endash;yang mandeg selama krisis&emdash;mencuat kembali. () Dewan tersebut ingin melihat dibentuknya satu komite yang mewakili bisnis, pemerintah, dan serikat-serikat pekerja yang akan menengahi perselisihan buruh. Harus ada pemahaman (di kalangan buruh) bahwa sebelum mereka mogok, akan ada tim yang berbicara pada merekaĆ atau kita akan bernegosiasi dengan perusahaan yang bertanggung jawab mengenai seberapa besar kenaikan bisa dibuat.” (Australian Financial Review, 21 Maret 2000).
Dengan melaksanakan hal ini mereka bermaksud menaikkan para pemimpin yang bisa diajak bekerja sama dalam gerakan buruh, seperti Muchtar Pakpahan dari SBSI yang menyatakan secara terbuka penentangannya terhadap aksi-aksi mogok karena hal tersebut membahayakan perekonomian. Karena dilemahkan untuk sementara oleh krisis dan pengangguran massal, pemotongan upah, ketidakamanan kerja, maka 90 juta kelas pekerja yang kuat tidak mampu memainkan peranan memimpin saat jatuhnya Suharto dan proses politik yang terjadi dalam dua tahun terakhir.
Dalam konteks serangan baru (rencana-rencana IMF) dan sedikit pemulihan ekonomi, gerakan kelas buruh yang masih muda mulai menyatakan dirinya. Ini telah jelas terlihat dengan meningkatnya jumlah pemogokan di Jabotabek seputar bonus Idul Fitri tahun ini. Angka-angka terbaru dari Markas Besar Polisi di Jakarta menunjukkan kenaikan dramatis aksi-aksi buruh: dalam empat bulan pertama tahun ini tercatat 600 pemogokan yang harus dilakukan intervensi terhadapnya. Pada bulan April 2000 saja angka-angka ini mencapai 224 kali pemogokan. Seluruh periode perjuangan ekonomi yang berhasil akan meningkatkan rasa percaya diri kaum proletar Indonesia. Ini bisa menjadi pengantar bagi dari sebuah serangan yang lebih politis.
Itulah sebabnya mengapa keliru mengecilkan makna aksi mogok para buruh semata-mata karena hal itu dimulai dari tuntutan-tuntutan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, dengan peran politik tentara dan intervensi negara di dalam serikat buruh dan konflik sosial, jalan dari tuntutan ekonomi “murni” ke arah tujuan-tujuan yang lebih politik dalam perjuangan sangatlah dimungkinkan. Tidak terdapat suatu dinding pemisah yang bagaikan tembok tak dapat ditembus antara aspek “ekonomis” dan “politik” di dalam pemogokan. Pemogokan bisa dimulai dari persoalan-persoalan ekonomi yang paling dasar dan berakhir di tingkat politik tinggi. Arah sebaliknya bisa juga terjadi. Yang paling penting untuk diingat adalah bahwa massa buruh belajar dari pengalaman. Pengalaman konkret dalam perjuangan adalah sekolah politik dan serikat buruh yang terbaik. Begitulah bagaimana mereka keluar dari rutinitas pemikiran dan aktivitas mereka. Pada saat itulah mereka akan lebih terbuka untuk mempertanyakan prasangka-prasangka lama dan akan mau belajar. Para buruh yang semakin aktif akan terpengaruh oleh proses menjadi sadar-kelas ini.
Tentunya serikat pekerja dan aktivis kiri mempunyai peranan penting dalam peristiwa-peristiwa tersebut, untuk membuat para buruh yang tadinya belum sadar agar menyadari naluri sosialis dan anti kapitalis kaum buruh. Ketika kelas buruh mulai menggerakkan ototnya, kelas ini juga mencari suatu program untuk membebaskan dirinya dari perbudakan kapitalisme modern.
Diperlukan Program Sosialisme
Titik tolak bagi tuntutan apapun adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kepentingan pekerja. Tuntutan-tuntutan gerakan harus ditujukan untuk mulai dari keprihatinan-keprihatinan langsung para buruh dan keluarga mereka serta merumuskan solusi yang meningkatkan pemahaman mereka tentang watak tak terdamaikan dari berbagai kepentingan kelas dalam masyarakat. Lewat perjuangan tuntutan-tuntutan ini, para buruh akan meningkatkan kesadaran mereka akan perlunya menggulingkan kapitalisme dan mengadakan tranformasi sosialis atas masyarakat.
Tuntutan-tuntutan defensif seperti pembatalan kenaikan harga dan adanya kontrol atas harga di tangan komite-komite buruh dan petani, serta penghentian privatisasi, harus dikombinasikan dengan tuntutan-tuntutan ofensif seperti kenaikan upah minimum sesuai dengan standar hidup minimum, bukan standar fisik minimum yang ditentukan sembarangan oleh “dewan upah” (akan lebih baik bila angka konkret bisa dicantumkan, dengan penentuan upah minimum berdasarkan standar hidup minimum yang diajukan oleh buruh), pengurangan jam kerja menjadi 32 jam seminggu tanpa pengurangan upah, hak untuk berorganisasi secara bebas di pabrik-pabrik, pengakhiran peran militer dalam politik dan konflik sosial, pembatalan hutang luar negeri, nasionalisasi kekayaan Suharto dan kroninya serta penggunaannya bagi kebutuhan sosial rakyat, dan sebagainya.
Ketika para pengusaha mulai menjerit bahwa mereka tidak bisa membayar tuntutan sederhana para buruh tersebut, kita akan meminta para pekerja memeriksa rekening para pengusaha itu. Maka mereka akan mempelajari ke mana perginya kekayaan yang dihasilkan oleh keringat dan darah mereka. Mereka akan belajar mekanisme laba kapitalis. Kita tidak hanya akan menuntut hal ini di tingkat pabrik atau perusahaan, namun juga pada tingkat seluruh masyarakat.
Secara lebih umum, kita harus mengusulkan program untuk reorganisasi total masyarakat lewat transisis dari kapitalisme ke sosialisme.
Kita bisa memulainya dengan sebuah program mendesak dan masif dari kerja-kerja yang berguna secara ekologis dan sosial: membangun kembali sistem transport publik gratis, lebih banyak kereta api, bis, memperbaiki jalan, dan lain-lain. Pembangunan jutaan rumah, jaminan sistem pembuangan limbah dan tersedianya air minum untuk setiap kota dan kampung. Pemeliharaan kesehatan gratis bagi setiap orang lewat rumah sakit, klinik, dan sebagainya berdasarkan sistem kesehatan nasional. Pendidikan untuk semua orang dan tidak hanya untuk mereka yang mempunyai kondisi kehidupan yang baik.
Untuk membiayai hal-hal tadi, nasionalisasi kekayaan Suharto (sekitar US$16 milyar) akan menjadi langkah bagus ke depan, namun belum cukup. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar (domestik dan asing), bank-bank dan institusi keuangan dan kekayaan hutan dan mineral adalah langkah yang perlu untuk memperoleh kendali atas ekonomi. Dalam hal tertentu, ini lebih mudah dari sebelumnya. Dalam dua tahun terakhir ini, kapitalisme telah memusatkan penggerak keuangan dan ekonomi domestik ke dalam tangannya lewat nasionalisasi paksa atas sistem perbankan dan konsentrasi kekuatan ekonomi yang berada di tangan klan Suharto. Inilah satu-satunya makna yang bisa kita berikan pada istilah “ekonomi rakyat.” Nasionalisasi ini harus di bawah manajemen dan kendali buruh. Kontrol ekonomi ini perlu untuk bisa merencanakan penggunakan sumber daya keuangan dan ekonomi bagi keuntungan mayoritas rakyat dan tidak lagi keuntungan bagi segelintir orang. Dengan menasionalisasikan bank dan industri pertanian, kita bisa menjamin kredit murah bagi usaha kecil dan petani dan juga traktor murah, pestisida dan pupuk.
Program seperti ini tentunya tidak akan dijalankan oleh pemerintah borjuis manapun. Hanya pemerintahan buruh dan petani, yang didasarkan atas dewan buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota dan pemilik warung kecil yang dipilih secara demokratik bisa menjamin hal ini. Federasi sosialis Indonesia dengan cepat akan menjadi teladan bagi negeri-negeri lain di kawasan tersebut untuk mewujudkan federasi sosialis demokratik dan harmonis yang sejati di Asia Tenggara.