Hasil akhir “negosiasi” tarif antara AS dan Indonesia mengungkapkan hubungan sesungguhnya antara kedua negara tersebut: hubungan antara tuan dan majikan. Terlepas usaha pemerintah untuk menyajikan ini sebagai satu pencapaian, sebagai kesepakatan yang saling menguntungkan, pada dasarnya Indonesia semakin berada di bawah jempol AS. Semua retorika Prabowo mengenai kedaulatan dan berdikari tidak lebih dari pepesan kosong. Indonesia telah dia jual demi kepentingan kapitalis, baik domestik maupun asing.
Perang tarif yang diluncurkan AS merupakan konsekuensi dari konflik antara AS dan China yang semakin menajam. Perseteruan antara kedua negara tersebut, yang satu sedang mengalami kemunduran relatif dan merasa dominasinya terancam, sementara yang satu lagi sedang tumbuh dengan laju dan dinamika yang tanpa preseden, sedang mengubah perimbangan kekuatan dunia. Pergeseran besar ini tidak bisa tidak berdampak pada negara-negara lain, yang besar maupun yang kecil.
Trump meluncurkan perang tarif ke negara-negara lain untuk menguatkan kembali posisinya. Di satu sisi, AS ingin mengekspor krisisnya ke negara lain, dan di sisi lain, AS berupaya menghentikan laju kemunduran relatifnya sehubungan dengan China yang mengancam dominasinya. Inilah makna dari doktrin America First.
Sebelumnya, kelas penguasa Indonesia mengira mereka dapat bermain di dua kaki. Dengan apa yang mereka sebut kebijakan luar negeri bebas dan aktif, mereka ingin memperoleh manfaat dari kompetisi antara AS dan China. Namun, sekarang yang mereka dapati justru bencana dari kedua sisi. Dalam konflik yang semakin menajam antara kedua kekuatan besar ini, Indonesia justru tergencet di tengahnya. Indonesia mendulang yang terburuk dari dua sisi.
China dengan kebijakan dumpingnya telah membanjiri pasar domestik dengan barang-barang murah mereka, yang telah menghancurkan industri dalam negeri, terutama garmen. Setelah AS menerapkan tarif pada produk China, yang selama beberapa tahun terakhir telah menyebabkan anjloknya ekspor China ke AS, barang-barang berlebihan ini kini dialihkan ke negara-negara Asia Tenggara dan Afrika. Negara-negara seperti Indonesia tidak bisa menolaknya, karena membuka pasar mereka untuk impor dari China merupakan salah satu syarat menerima investasi China. Industri domestik kita babak belur, dan yang menanggung beban ini adalah kelas pekerja. Gelombang PHK telah menghantam mereka dan ini akan semakin memburuk.
Tarif AS akan semakin menekan industri yang produknya diekspor ke AS. Upah akan semakin ditekan dan kondisi kerja semakin buruk untuk menjaga tingkat profit kapitalis. Dalam persaingan antara kapitalis AS dan China, kelas pekerja Indonesia dijadikan tumbal.
Untuk bersaing dengan China, AS juga berupaya mengamankan suplai mineral langka. Ini salah satu syarat yang ditetapkan AS terhadap Indonesia, memberikan konsensi mineral langka kepada AS. Kapitalis Indonesia tergiur dengan profit besar dari pertambangan, tanpa menghiraukan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dan tanah-tanah adat yang akan diserobot.
Kita hidup dalam era imperialisme, era dominasi negara-negara besar atas negara-negara kecil, yang terus bersaing untuk membagi-bagi dunia. Ketika persaingan antara kekuatan-kekuatan besar ini semakin menajam – dan dalam periode yang kita masuki sekarang konflik antara kekuatan imperialis AS dan China telah memasuki fase baru secara kualitatif – nasib rakyat pekerja negara-negara kecil akan semakin merana. Mereka akan semakin dihisap, dengan bantuan dari kapitalis dalam negeri mereka masing-masing, yang puas menjadi kacung modal asing selama mereka kecipratan.
Hanya kekuatan kelas pekerja, yang berdiri secara mandiri dengan program kelas mereka sendiri, yang bisa dengan konsisten melawan imperialisme dan menegakkan kedaulatan bangsa kita. Kita tidak bisa mempercayakan nasib bangsa kita pada kelas kapitalis nasional serta pemerintahan mereka yang selalu menghamba pada modal asing. Bahkan ketika nantinya ada selapisan dari mereka yang kemudian berkoar-koar mengenai membela tanah air, mereka akan selalu berkhianat, karena bagi mereka pada akhirnya lebih baik di bawah jempol imperialis daripada melihat kelas pekerja memegang kedaulatan politik yang sesungguhnya untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Indonesia Tunduk pada AS dalam Perang Tarif
Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !
Teorganisirlah sekarang !