Inflasi menjadi ancaman menakutkan kedua setelah pandemi. Kelas penguasa berharap begitu pandemi mereda masalah ekonomi juga akan pulih. Tapi kenyataannya tidak. Masa depan begitu suram di hadapan mereka. Hari ini, kelas penguasa telah kehabisan semua cara untuk menghadapi krisis yang akan datang. Mereka pun meluncur ke dalam krisis dengan mata yang terbuka lebar. Kelas penguasa tidak bisa tenang menangani masalah ini, karena apa yang akan mereka hadapi ke depan jika krisis terus berlanjut adalah pemberontakan sosial seperti halnya di negara-negara lain.
Tentu saja Indonesia belum menghadapi inflasi seperti halnya pada 1998, tapi kondisi rakyat pekerja hari ini semakin terjepit oleh tingginya inflasi. Mereka yang menganggur akan tetap menganggur, demikian juga mereka yang masih bekerja akan menyaksikan upah riil mereka semakin merosot. Dampak dari ini semua akan menyebabkan daya beli semakin menurun. IMF memperingatkan bahwa inflasi di negara berkembang bisa mencapai 8 persen pada 2022. Perlambatan ekonomi di Tiongkok juga menambah tekanan ekonomi pada negara-negara berkembang lainnya. Begitu pula dengan Perang Rusia-Ukraina yang berlarut-larut membuat inflasi akan menjadi stagflasi di hari-hari depan. Pertumbuhan ekonomi yang rendah diikuti oleh inflasi yang tinggi merupakan resep dari resesi ekonomi.
Perlu kita ketahui bahwa pandemi dan perang hanya mempertajam krisis kapitalisme. Faktanya, krisis ini telah terjadi sebelumnya. Kondisi ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah selama bertahun-tahun yang hanya ditopang oleh uang murah. Kelas kapitalis tidak pernah menyadari upaya menyelesaikan krisis justru membuka jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusak. Mereka berpikir kenaikan suku bunga bisa menjinakkan inflasi. Tapi berkebalikan dari itu, kenaikan suku bunga akan membuat pertumbuhan ekonomi semakin lambat.
Perang Rusia-Ukraina yang tengah terjadi saat ini pun akan membuat harga minyak tetap bertahan tinggi dalam tempo yang lama. Tingginya harga minyak membuat tekanan inflasi semakin tinggi. Ini bisa memicu masalah bagi perekonomian Indonesia. Pemerintah jelas menghadapi dilema antara menaikkan BBM atau mengeluarkan subsidi yang jelas-jelas mengakibatkan defisit anggaran. Bila mereka tidak menaikkan BBM maka inflasi bisa tertahan, tapi itu tidak bisa bertahan karena pemerintah terus mengeluarkan uang dari pendapatan negara untuk menanggung defisit.
Masalahnya sampai kapan pemerintah bisa menahan tekanan ini? Defisit akibat gejolak harga minyak diperkirakan bisa mencapai 100 triliun dalam setahun. Seperti yang dikhawatirkan oleh Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha, “Jangankan kenaikan yang tinggi, peningkatan harga minyak yang hanya US$ 1 dolar per barel saja dapat menimbulkan defisit triliunan rupiah kepada Indonesia.”
Tidak hanya itu, pemerintah saat ini masih mengimpor 1 juta barel minyak per hari. Makin tinggi harga minyak dunia, makin tinggi pula cadangan devisa yang terkuras. Cadangan devisa yang diharapkan mampu menjadi bantalan krisis lama-kelamaan akan tergerus. Semua kondisi ini menciptakan jalan buntu bagi kelas penguasa untuk menyelesaikan krisis ini.
Defisit anggaran terus menerus mengakibatkan pemerintah terus bergantung pada utang luar negeri. Lama kelamaan gunungan utang akan tinggi dan mau tidak mau pemerintah akan melakukan pengetatan anggaran dengan menaikkan pajak atau mencabut semua subsidi publik. Tumpukan utang dan inflasi merupakan dua kombinasi sempurna yang bisa mengguncang kestabilan penguasa. Kondisi inilah yang melatarbelakangi pergolakan protes berlarut-larut di berbagai negeri dan situasi inilah yang mengakibatkan gejolak sosial yang terjadi di Sri Lanka maupun di Kazakhstan.
Kegaduhan politik 3 periode
Bagaimana pun juga krisis dan pandemi telah mengguncang kestabilan rezim. Hingar bingar wacana penundaan Pemilu 2024 mencuat di hadapan publik. Wacana ini didorong oleh partai-partai utama pendukung pemerintah yaitu PKB, PAN, dan Golkar. Mengenai hal ini, mereka mengatakan bahwa pemilu akan mengganggu stabilitas ekonomi yang sebelumnya hancur karena pandemi. Meskipun dalam keterangannya mereka menyanggah bahwa ada pesanan dari istana, tapi mereka tidak bisa menutupi bahwa kegaduhan politik bisa menambah retakan yang besar dalam ekonomi.
Muhaimin Iskandar dari PKB mengatakan bahwa “Enggak ada (arahan dari pemerintah). Karena momentum ekonominya tidak boleh hilang gara-gara konflik, kompetisi, stagnasi politik,” ucap Muhaimin. Apa artinya? Mereka sadar bahwa situasi hari ini penuh dengan polarisasi politik yang tajam. Dan mereka tidak ingin polarisasi ini mengganggu kestabilan ekonomi yang baru saja meraih momentumnya setelah pandemi. Tapi dalam situasi krisis, upaya menstabilkan ekonomi hanya akan merusak kestabilan politik. Dan inilah kunci untuk memahami keseluruhan kegaduhan politik saat ini.
Apalagi ditambah dengan survei baru-baru ini yang mengatakan dukungan terhadap Jokowi mencapai lebih dari 70 persen membuat mereka semakin percaya diri untuk mendorong opini penundaan Pemilu 2024. Tapi itu tidak mudah, suara-suara protes terhadap penundaan ini semakin kencang. Siapapun bisa memahami bahwa saat ini tidak ada oposisi dalam pemerintahan. Ini bisa membuat wacana penundaan Pemilu 2024 diloloskan dengan mudah.
Rezim tentu saja bisa mengelak dengan berbagai macam dalih ketika suara-suara protes publik ini semakin besar. Mereka sebenarnya paham bahwa wacana penundaan pemilu yang didorong bisa menggerus kepercayaan pada tatanan demokrasi borjuis yang ada. Sehingga saat ini tidak ada pilihan bagi kelas penguasa dalam situasi saat ini selain: melaksanakan pemilu yang jelas-jelas akan mempertajam polarisasi politik atau menunda pemilu yang juga jelas bisa memicu gejolak sosial dan politik.
Pemberontakan massa ada dalam agenda
Meskipun rezim mengklaim memiliki dukungan hampir mayoritas populasi, tapi itu bukan jaminan bahwa rezim imun terhadap keresahan massa. Sebagian besar populasi saat ini masih memiliki ilusi terhadap rezim. Massa menginginkan kestabilan setelah pandemi, tapi mereka juga tidak puas dengan kondisi yang ada. Mereka paham apa yang tidak mereka inginkan yakni: pengangguran dan kemiskinan, tapi mereka tidak tahu apa yang mereka inginkan. Bila ada sebuah alternatif revolusioner kelas buruh, maka bisa saja ketidakpuasan dan kekecewaan ini menemukan ekspresinya. Tapi karena absennya faktor tersebut, massa harus melewati proses sekolah panjang penipuan politik kelas penguasa.
Dalam situasi krisis kapitalisme kesadaran bisa dengan cepat berubah. Apa yang hari ini mereka bisa terima, bisa menjadi kebalikannya. Semua tanda-tanda pergolakan revolusioner ada di mana-mana di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Ketidakpuasan massa cepat atau lambat akan menemukan ekspresinya di jalanan seperti halnya yang terjadi di Sri Lanka maupun di negeri-negeri lain. Tidak ada jalan lain, dan pilihan lainnya. Tugas kaum revolusioner adalah mempersiapkan dirinya secepat mungkin membangun organisasi untuk perang kelas di masa depan.