Pada tanggal 10 Juni 2014, Mosul, kota terbesar kedua di Irak dan ibukota propinsi Ninawa, jatuh ke tangan organisasi Salafi-Jihadi, the Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS); gerakan politik Islam yang ingin mendirikan kekhalifahan di Irak dan Suriah.
Jatuhnya Mosul—dan beberapa kota yang mayoritas berpenduduk Sunni—ke tangan ISIS sontak mengejutkan Washington dan Baghdad. Mereka memandang ISIS sebagai ancaman politik, sebagai gerakan yang dapat mengubah peta politik di Timur Tengah dan Barat.
ISIS, menurut beberapa sumber, lahir dari gerakan al-Qaeda di Irak (AQI). Namun al-Qaeda membantah pernyataan tersebut. Sedangkan beberapa sumber lain mengatakan bahwa organisasi yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi ini tidak terkait dengan al-Qaeda. ISIS muncul bersamaan dengan meletusnya pemberontakan yang terjadi di Irak setalah invasi yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) pada tahun 2003. Lalu siapa dan dari mana ISIS?
Sumber internal mengatakan bahwa ISIS berakar-ideologis dari Jamaah al-Tawhid wal-Jihad yang didirikan oleh Abu Mus’ab al-Zarqawi (seorang Salafi-Jihadi Yordania) di Irak pada tahun 2004. Masih menurut sumber yang sama, al-Zarqawi pernah berjanji setia kepada pendiri al-Qaeda, Osama bin Laden, dan mengubah nama organisasinya menjadi Tanzim Al Qaeda fi Bilad al-Rafidayn (Organisasi Al-Qaeda di Negeri Dua Sungai). Organisasi ini, kemudian, dikenal sebagai al-Qaeda Irak. Al-Zarqawi, sang pemimpin utama, selanjutnya, tewas oleh pasukan Amerika pada tahun 2006; dua penerusnya, Abu Hamza al-Muhajir dan Abu Umar al-Baghdadi, tewas pada tahun 2010. Dan kini kepemimpinan ISIS (al-Qaeda Irak) diteruskan oleh Abu Bakr al-Baghdadi.
Secara prinsip, dari tulisan-tulisan mereka yang telah saya baca, ISIS mendasarkan diri pada ideologi Salafi-Jihadi—sebuah ideologi politik yang selama ini digunakan oleh al-Qaeda. Ideologi ini menggarisbawahi bahwa, pertama, umat Islam harus kembali pada keyakinan otentik dan praktek dari al-salaf al-salih; hidup seperti para Salih di masa lalu; hidup seperti Nabi (Muhammad) dan para sahabatnya. Berdirinya Negara Islam (Islamic State; Khilafah), menurut ISIS, merupakan sarana untuk merealisasikan keyakinan dan praktek ke-Islam-an secara benar.
Kedua, ideologi ini mengajak kepada seluruh umat Islam untuk kembali ke jalan ‘tauhid’ yang benar, kembali pada konsep ‘ke-Esa-an/ke-Tunggal-an Tuhan’ (Oneness/Unity of God). Konsep ini, selanjutnya, dibagi menjadi tiga kategori: pertama, tauhid al-rububiyah (Pengakuan atas ke-Esa-an Tuhan—yang saya terjemahkan sebagai ‘kesatuan keyakinan’); kedua, tauhid al–uluhiyah (praktik nyata dari pengakuan atas ke-Esa-an Tuhan— yang saya terjemahkan sebagai ‘kesatuan tindakan’); dan, ketiga, tauhid al–asma wal-sifat (ke-Esa-an nama dan atribut Tuhan— yang saya terjemahkan sebagai ‘kesatuan atribut’).
Meskipun berakar ideologis dari al-Qaeda, ISIS tampak jauh lebih ekstrem dibanding al-Qaeda. Ayman al-Zawahiri, pemimpin al-Qaeda dan salah satu ideolog utama al-Qaeda, pernah menyalahkan al-Zarqawi, pemimpin ISIS, karena telah melakukan tindakan yang merusak nama al-Qaeda Irak. Dan pemimpin ISIS hari ini, Abu Bakr al-Baghdadi, yang merupakan anak didik al-Zarqawi, tetap melanjutnya misi Sang Guru: menerapkan ideologi Salafi-Jihadi untuk mewujudkan cita-cita Khilafah dengan jihad kekerasan, dengan membantai kelompok-kelompok Islam lain yang berseberangan—seperti Sunni dan Syiah. Inilah alasan yang menyebabkan al-Qaeda menolak bahwa ISIS merupakan bagian darinya.
Hasil pengamatan saya terhadap gerakan-gerakan Islam fundamentalis—selama sepuluh tahun terakhir—akan memberikan penegasan bahwa ISIS merupakan representasi dari kebuntuan politik Islam; sebuah anti-klimaks dari gerakan-gerakan yang berorientasi Khilafah. ISIS melakukan upaya jalan pintas dan terbatas. Jika al-Qaeda ingin mendirikan negara Islam dengan perspektif yang internasionalis, dengan wilayah yang membentang dari Timur Tengah ke Asia dan Afrika Utara, Eropa Timur, Uzbek, Uighur, wilayah Kashmir, India, dan Pakistan; sementara ISIS mempersempitnya, hanya meliputi Irak dan Suriah. Hal ini juga berbeda dengan, misalnya, Hizbuttahrir, sebuah gerakan politik Islam yang berperspektif internasionalis—yang selama ini juga saya ikuti perkembangannya.
Keputusan ISIS untuk memilih “jalan pintas”, menurut pengamatan saya, bukanlah keputusan yang serta-merta. Setelah runtuhnya ke-Khilafah-an Turki-Utsmani tahun 1924, seluruh gerakan yang berorientasi Khilafah (dan anti-kapitalis) hanya menampilkan romantisme masa lalu dan konsep-konsep utopis; atau, jika tidak demikian, hanya menampilkan tindakan-tindakan teroristik yang tidak konstruktif—seperti al-Qaeda. Oleh sebab itu, untuk mempercepat proses pendirian Khilafah, ISIS melakukan operasi praksis-kekerasan yang terprogram di dalam wilayah yang terbatas: menyiapkan pos-pos pemeriksaan, membantai kelompok-kelompok yang berseberangan, merebut wilayah-wilayah strategis dan gudang-gudang peralatan.
Namun tindakan politik barbar yang sedang dimainkan oleh ISIS di atas akan segera menuai banyak masalah. Selain akan menghadapi kelompok-kelompok politik lain yang berbasis Islam (seperti Sunni dan Syiah), peta kekuatan ISIS akan segera mudah terdeteksi oleh AS dan Kapitalis internasional. Dan tidak hanya itu, kehadiran ISIS dengan cara kerja yang seperti ini, jelas, akan membawa seluruh gerakan politik yang berbasis Islam menuju jalan buntu; menuju anti-klimaks.
Akan tetapi, terlepas dari karakter brutal ISIS, dalam analisis terakhir saya tentang gerakan-gerakan Islam fundamentalis, seluruh gerakan fundamentalis Islam yang berorientasi Khilafah (dan anti-Kapitalis), yang jauh dari perspektif kelas, akan mengalami, setidaknya, tiga jalan buntu: akan menjadi gerakan politik utopis (seperti Hizbuttahrir), menjadi gerakan teroris (seperti al-Qaeda), dan menjadi gerakan politik barbar (seperti ISIS).