Bom dan roket-roket Israel hari ini sedang menghujani Gaza. Rumah-rumah penduduk banyak yang hancur. Anak-anak dan perempuan tidak sedikit yang menjadi korban. Di sisi lain, di perbatasan tentara Israel sedang bersiap-siap untuk melancarkan kembali serangan roket ke Gaza.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Hamas. Hamas telah melancarkan roket-roketnya ke Tel Aviv—bahkan hingga ke Caesarea. Namun tidak terdapat korban di pihak Israel. Hal ini disebabkan oleh posisi kekuatan kedua belah pihak tidak berimbang.
Israel dan Hamas telah berulangkali melakukan konfrontasi bersenjata selama bertahun-tahun dengan proporsi naik-turun. Namun ketegangan hebat antara keduanya hari ini kembali terjadi setelah terjadi penculikan tiga remaja Israel di Tepi Barat pada 12 Juni lalu. Israel menuduh Hamas berada di balik penculikan tersebut, meskipun tidak dapat memberikan bukti-bukti. Israel kemudian melancarkan tindakan keras terhadap anggota kelompok Hamas di Tepi Barat dan menangkap ratusan orang yang disinyalir sebagai anggota Hamas. Namun, serangan Israel sering diarahkan (dan sudah berulangkali) ke wilayah padat penduduk dan menewaskan banyak korban, terutama anak-anak dan perempuan. Inilah yang disebut oleh publik dunia sebagai “the atrocity”. Dan hari Rabu kemarin, dengan berdasar pada fakta mengerikan ini, Sekjen PBB, Ban Ki-moon, menyerukan diakhirinya gelombang kekerasan yang dilancarkan Israel ke Gaza. Menurut Ban Ki-moon, kekerasan ini berpotensi untuk menciptakan perang yang lebih dahsyat dan mematikan. Tetapi seruan PBB, yang pada dasarnya adalah klub besar para maling dunia, tidak digubris. PBB memang tidak punya taring sama sekali, impoten dan hanya bisa mengeluarkan air mata buaya.
Penyerangan Israel ke Gaza yang banyak menewaskan penduduk sipil ini merupakan kelanjutan dari misi politik Zionis, yakni mendirikan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina—dan, tentu, dengan mengorbankan rakyat Palestina.Mari kita coba kupas sedikit apa yang ada di balik Zionisme ini.
Zionisme adalah gerakan politik yang bertujuan untuk menyatukan kembali entitas Yahudi yang terpencar-pencar di seluruh dunia di dalam suatu tanah air yang telah “dijanjikan oleh Tuhan”. Gerakan Zionis didasarkan pada dalil kitab suci agama Yahudi mengenai Tanah Perjanjian (Promised Land). Kaum Yahudi menganggap bahwa merekalah yang berhak menempati tanah yang telah “dijanjikan oleh Tuhan”, yang berada mulai dari sungai Mesir hingga sungai Efrat. [“Aku akan menentukan batas daerahmu dari Laut Teberau sampai Laut Filistin dan dari padang gurun sampai sungai Efrat, sebab Aku akan menyerahkan penduduk negeri itu ke dalam tanganmu, sehingga engkau menghalau mereka dari depanmu.”—Keluaran 23:31].Tindakan Zionis ini, kemudian, mendapat kecaman dari berbagai pihak, dan yang paling disorot adalah kecaman dari pihak gereja Katolik—dalam konferensi Uskup Agung yang berlangsung di Vatikan tahun 2010. “Israel tidak bisa menggunakan alasan Tanah Perjanjian untuk mengklaim teritori Palestina … menggunakan ‘Perintah Tuhan’ untuk melakukan ketidakadilan,” ucap Cyril Salim Bustros, Uskup Gereja Melkite Yunani. Tentu saja tidak perlu kita anggap serius kecaman dari rejim gereja Katolik ini, yang munafik karena mereka sendiri telah membenarkan penjajahan yang dilakukan oleh negeri-negeri imperialis dan membela dengan gigih sistem penindasan kapitalisme.
Konsep Tanah Perjanjian ini merupakan dasar prinsipil dari gerakan Zionis, yang menyerukan kaum Yahudi untuk menyatukan kembali entitas mereka dalam sebuah negara. Namun konsep ini ditentang keras oleh para petinggi agama Katolik. Para Uskup Agung menganggap bahwa ‘Perjanjian Tuhan’ sudah terhapus dengan hadirnya Kristus. “Kerajaan Tuhan” meliputi seluruh dunia. Tidak ada lagi istilah ‘Umat Terpilih’. Semua manusia di setiap negara adalah ‘Orang-Orang Terpilih’. Tapi benarkah gerakan Zionis hanya berdasar di atas perspektif keagamaan ini?
Akan sangat keliru kalau kita hanya merujuk pada kitab suci, seakan-akan alur sejarah ditentukan oleh kepercayaan agama ini atau itu. Ada basis sosial dan historis yang mendasari Zionisme. Pertama, basis sosial ini – atau dukungan umum rakyat Yahudi terhadap gerakan Zionisme – datang dari sejarah ketertindasan rakyat Yahudi itu sendiri selama beratus-ratus tahun sebagai minoritas. Di banyak negeri, rakyat Yahudi adalah minoritas yang kerap terdiskriminasi, dan diskriminasi ras ini biasanya dikobarkan oleh pemerintahan-pemerintahan yang berkuasa untuk membuat rakyat Yahudi sebagai kambing hitam dari segala masalah yang ada. Seperti di Indonesia ketika orang-orang keturunan atau Tionghoa dijadikan kambing hitam oleh rejim Orba (dan bahkan sejak dahulu oleh penguasa kolonial Belanda).
Karena sejarah penindasan ini, yang terutama memuncak dengan genosida yang dilakukan oleh fasisme Jerman, maka terbentuklah aspirasi di antara rakyat Yahudi untuk membentuk negara-bangsa mereka sendiri, dimana mereka akan bebas dari penindasan dan diskriminasi. Akan tetapi, karena tidak memiliki kepemimpinan sosialis yang revolusioner, maka aspirasi nasional rakyat Yahudi ini dibajak oleh kelas borjuasi Yahudi ke arah mistisme Zionisme untuk keperluan imperialis. Kita harus ingat, bahwa di dalam masyarakat Yahudi ada dua kelas, ada kelas buruh Yahudi dan ada kelas kapitalis Yahudi.
Zionisme terbukti telah memperoleh dukungan sistematis dari negara-negara Barat. Amerika Serikat memberikan dana sekitar 5 triliun dolar AS per tahun, Inggris memberikan bantuan dalam peralatan militer, dan Uni Eropa memberikan akses terhadap opini yang dibentuk oleh Israel ke publik dunia bahwa sumber konflik antara Israel dan Palestina adalah gerakan ‘teroris’ Palestina. (Sumber: hasil konferensi “Against Zionism: Jewish Perspectives” pada tanggal 2 Juli 2006 di Inggris). Dari sini jelas bahwa Zionisme merupakan bagian dari strategi imperialisme global.
Sebagai proyek rasis dari imperialisme, Zionisme akan terus menciptakan konflik di antara bangsa Arab. Zionisme akan terus mengangkat konflik-konflik yang dihasilkan dari ‘kebencian bawaan’ (innate conflict) antara Islam dan Yahudi, dan membuat sebuah pembenaran bahwa “pengeboman terhadap Hamas-Palestina merupakan tindakan militer yang wajar”.
Kekuatan militer Israel disokong oleh negara-negara Barat melalui lobi dari para Zionis yang memiliki posisi berpengaruh di parlemen negara-negara Barat. Selain itu, sokongan besar juga didapat dari pemodal-pemodal besar Zionis yang sedang sukses menjalankan bisnisnya di negara-negara besar. Zionisme adalah digunakan sebagai proyek dari imperialisme guna mempermudah penguasaan sumber-sumber minyak di negara-negara Arab.
Rakyat pekerja Yahudi yang menyadari adanya keterlibatan para pemodal besar dalam gerakan Zionisme mulai mengutuk gerakan ini, terutama rakyat pekerja Yahudi yang telah berhasil membongkar tabir mitos-mitos Judaisme dan melihat kepentingan imperialis dan kapitalis di belakang Zionisme. Artinya, rakyat pekerja Yahudi sendiri harus kritis dalam melihat misi politik kapitalis gerakan Zionis; gerakan-gerakan revolusioner dunia harus terus mendorong rakyat pekerja Yahudi, terutama Yahudi kelas pekerja, baik yang berada di luar Israel maupun yang berada di negara Israel, untuk membebaskan diri dari mitos-mitos Judaisme dan Zionisme—sebagaimana yang pernah ditulis oleh Marx pada tahun 1843, dalam On The Jewish Question; ditulis sebelum lahirnya gerakan Zionis modern pada (sekitar) tahun 1897: “The social emancipation of the Jew is the emancipation of society from Judaism.”(Emansipasi sosial dari kaum Yahudi adalah emansipasinya dari Judaisme.)
Dari sini kita sudah bisa mengambil sebuah kesimpulan politik, bahwa konflik yang sedang terjadi di Palestina bukanlah konflik agama, melainkan konflik kelas: konflik kepentingan atas sumber-sumber kapital. Dan mari kita serukan kepada seluruh kaum revolusioner dan kelas pekerja agar menyikapi situasi yang sedang terjadi di Palestina tidak dengan perspektif yang salah, tapi dengan perspektif ‘politik kelas’.