Segera setelah Presiden Jokowi melantik Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan untuk Kabinet Indonesia Maju, sang menteri baru ini langsung diberi arahan oleh atasannya untuk membenahi masalah yang melilit BPJS Kesehatan. Defisit besar yang mencekik BPJS diperkirakan akan tembus Rp. 32 triliun, dan kebijakan rejim Jokowi untuk mengatasi defisit ini telah menuai kekecewaan di antara rakyat.
Mayoritas besar rakyat pekerja menolak besaran iuran yang rencananya akan naik mencapai 2 kali lipat. Aturan tarif BPJS Kesehatan ini akan diterbitkan usai pelantikan dan mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Pemerintahan Jokowi 2.0 membuka masa kekuasaannya dengan sebuah kado yang pahit bagi rakyat miskin.
Dengan kenaikan UMK yang hanya berkisar 8,51% untuk tahun depan, ditambah kenaikan inflasi 20% untuk bahan-bahan pokok di awal tahun yang sudah pasti menjadi agenda siklus tahunan, maka kenaikan premi ini sungguh telah mengambil porsi besar dalam pendapatan rakyat. Mayoritas rakyat miskin saat sakit umumnya tidak berpikir akan sembuh atau tidak, melainkan apakah mereka memiliki uang yang cukup untuk berobat.
Selain itu layanan BPJS juga tidak sepi dari komplain. Selama hampir 6 tahun perjalanan, BPJS identik dengan pelayanan kesehatan yang buruk. Di rumah sakit-rumah sakit banyak pasien tidak ditangani dengan baik. Antrean panjang mengular. Tidak jarang ada pasien yang ditolak untuk berobat jika menggunakan BPJS karena rumah sakit mengutamakan pasien yang membayar cash, yang dapat memastikan profit mereka.
Sistem BPJS sebagai pelayanan kesehatan rakyat telah terbukti gagal. Kegagalan ini bukan disebabkan oleh manejemennya yang amburadul – walaupun imkompetensi dari banyak petinggi birokrat BPJS juga memperburuknya – tetapi terlebih karena secara inheren sistem ini tidak bisa menjamin pelayanan kesehatan berkualitas, manusiawi dan setara bagi setiap warga negara. Sistem premi berarti tidak setiap orang bisa mengakses pelayanan kesehatan. Apalagi sistem preminya berjenjang sehingga ada perbedaan kelas dalam pemberian pelayanan kesehatan: yang miskin harus puas dengan pelayanan kesehatan seadanya dan sekenanya.
Masalah terbesar BPJS yang jadi sorotan adalah defisit yang terus membengkak. Di balik defisit ini adalah kenyataan bahwa pada dasarnya memang dibutuhkan biaya yang teramat besar untuk menjamin kesehatan yang baik bagi seluruh warga negara. Dengan sistem BPJS dan pelayanan kesehatan yang seadanya saja defisit sudah puluhan triliun rupiah, apalagi kalau memang memberikan layanan kesehatan yang bermutu. Akar masalahnya adalah pemerintah tidak punya anggaran yang mencukupi untuk memberikan hak dasar ini bagi rakyat. Satu-satunya solusi yang bisa dipikirkan oleh rejim adalah meningkatkan pemasukan dengan menaikkan premi yang membebankan rakyat.
Sesungguhnya masyarakat kita punya kekayaan yang berlimpah untuk bisa meningkatkan anggaran kesehatan berkali lipat dan menerapkan pelayanan kesehatan universal yang bebas biaya bagi setiap rakyat pekerja. Namun kekayaan ini ada di tangan segelintir kaum kapitalis. Dari data Oxfam pada 2017, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta rakyat termiskin, yakni dengan aset sebesar 25 miliar dolar AS, atau 350 triliun Rupiah. Kekayaan 4 orang terkaya ini cukup untuk menutupi defisit anggaran BPJS berkali-kali.
Empat kapitalis ini – yang hanya secuil dari jumlah kapitalis yang ada – bisa meraup begitu banyak kekayaan bukan dari tenaga mereka sendiri, melainkan dari tenaga buruh dan tani. Dari kerja buruh dan tanilah tercipta kekayaan yang besar ini. Hanya dengan mengembalikan kekayaan ini ke yang empunya – yakni buruh dan tani – kita bisa membiayai tidak hanya kesehatan gratis tetapi juga pendidikan gratis, perumahan sosial untuk semua, tunjangan hari tua, dsb.
Selain itu pemerintah yang ada lebih memilih untuk menggelontorkan uang untuk investasi infrastruktur demi kelancaran modal, dalam kata lain demi meningkatkan profit perusahaan-perusahaan besar. Pemerintah juga menghabiskan banyak dana untuk militer dan peralatan perang. Kementerian pertahanan mendapat alokasi dana sebesar Rp 121 triliun rupiah pada 2019, dan Jokowi berjanji akan meningkatkannya menjadi Rp 131 triliun pada 2020. Lantas apa tugas TNI yang mendapat dana triliun rupiah ini? Menggebuki kaum tani yang mempertahankan tanahnya dari serobotan; membubarkan demo buruh; melindungi tambang Freeport dan merepresi rakyat Papua; menginvasi Timor Timur pada 1975; menghilangkan aktivis selama jaman Orba; dan membunuhi ratusan ribu rakyat pada 1965-66; yakni tidak lain menjadi tukang pukul modal.
Organisasi-organisasi kerakyatan sudah mulai memobilisasi aksi massa untuk menolak kenaikan iuran BPJS. Memang hanya bahasa aksi massa yang bisa dipahami oleh pemerintah ini. Tetapi kita juga harus melangkah lebih maju dengan menolak keseluruhan sistem BPJS yang ada – yang tidak lebih dari sistem asuransi. Yang kita butuhkan adalah sistem pelayanan kesehatan universal yang bebas biaya bagi setiap warga negara, dimana rakyat terjamin pelayanan kesehatannya tanpa memandang situasi sosio-ekonominya. Misalnya di Inggris dan Kanada rakyat pekerja, lewat partai buruh mereka, telah berhasil memenangkan sistem pelayanan kesehatan publik yang universal. Pencapaian besar ini telah meningkatkan taraf hidup rakyat di sana, yang tidak lagi resah ketika mereka atau anggota keluarga mereka jatuh sakit. Siapapun akan disediakan pelayanan kesehatan terpadu tanpa biaya oleh pemerintah.
Namun ini tidak berarti sistem pelayanan kesehatan universal di Inggris dan Kanada (dan juga sejumlah negeri Eropa lainnya) tidak memiliki masalah mereka sendiri. Pertama, kaum kapitalis terus berusaha mempreteli sistem publik ini dan memprivatisasinya karena ada profit besar yang bisa diraup. Kedua, defisit besar juga melanda anggaran kesehatan di negeri-negeri tersebut dan oleh karenanya mulai menggerus kualitas pelayanan kesehatan universal. Anggaran negara secara umum mengalami defisit besar karena pemerintah memberi bailout dan stimulus ekonomi bernilai ratusan miliar dolar kepada korporasi selama krisis ekonomi sepuluh tahun terakhir, serta memberi banyak keringanan pajak bagi kaum kapitalis. Dan semua ini dilakukan dengan mengorbankan anggaran kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial untuk rakyat, dsb.
Pada akhirnya, seluruh permasalahan ini bisa direduksi menjadi satu pertanyaan: Siapa yang akan membayar untuk pelayanan kesehatan rakyat? Kelas pekerja atau kelas kapitalis? Selama kita hidup di bawah sistem kapitalisme yang berorientasi profit, maka biaya kesehatan rakyat akan selalu didorong untuk dilimpahkan ke kelas pekerja. Untuk sungguh-sungguh menjamin pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat, kita harus keluar dari sistem ekonomi yang berbasis profit, yang memusatkan kekayaan ke tangan segelintir pemilik modal. Sosialisme yang meletakkan seluruh ekonomi dan kekayaan masyarakat ke tangan kelas pekerja adalah satu-satunya sistem yang bisa menjamin pelayanan kesehatan terpadu bagi setiap orang.