Jatuhnya Kabul menandai berakhirnya perang terlama Amerika. Bukan kemenangan dan kejayaan yang menanti, tetapi rasa malu, bagaimana kekuatan militer terkuat di dunia – dan bahkan dalam sejarah umat manusia – kalah di tangan sekelompok fanatik agama dengan senjata yang jelas lebih inferior. “Demokrasi” yang telah ditopang dengan perlengkapan militer termutakhir dan dana 3 triliun dolar ternyata tidak berisi sama sekali dan runtuh tanpa perlawanan berarti.
Selama beberapa minggu terakhir, pasukan Taliban berhasil menguasai Afghanistan, dimulai dari wilayah pedesaan paling pinggir yang lalu diteruskan ke ibu kota-ibu kota provinsi. Pasukan Taliban ini menerkam seperti harimau yang mengintai. Kecepatan serangan mereka membuat pemerintah yang sudah kacau di Kabul menjadi panik. Dengan waktu relatif pendek, Taliban berhasil merebut petak-petak wilayah penting dalam serangan di seluruh negeri pada saat pasukan AS mundur dari Afghanistan.
Rezim boneka AS di Kabul sejak awal diprediksi akan mengalami kesulitan mempertahankan kekuasaannya. Namun tidak ada yang mengira bahwa rejim ini akan ambruk begitu saja dalam hitungan hari. Tidak banyak perlawanan berarti dari tentara ataupun polisi Afghanistan, yang mayoritas dari mereka memilih mundur dan menyerah tanpa perlawanan, meninggalkan senjata dan kendaraan di belakang untuk ditangkap oleh pasukan Taliban. Pada saat yang sama, meski dalam hal jumlah unggul tiga lawan satu dengan pasukan Taliban, pasukan Afghanistan yang selama 2 dekade didukung secara material oleh Imperialisme AS, bila kita lihat lebih dekat, sebetulnya tidak memiliki kepercayaan yang penuh pada pimpinan-pimpinan tentara mereka yang busuk dan korup. Mereka memilih menyelamatkan diri sendiri.
Sementara itu, rakyat Afghanistan, yakni kaum pekerja, tani, perempuan, kaum miskin dan yang lainnya, yang sebelumnya telah sangat menderita di tangan imperialisme AS, kini harus menghadapi prospek pemerintahan baru Taliban yang teokratis. Ini jelas menimbulkan teror di hati rakyat.
Ketakutan ini terpampang jelas dalam video-video yang telah viral, dengan kerumunan rakyat Afghanistan yang berkumpul di sekitar bandara Internasional. Yang lain memilih meninggalkan negeri ini dengan mobil dan kendaraan pribadi yang justru menimbulkan kemacetan luar biasa. Orang-orang kaya sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri, sementara kebanyakan dari mereka yang tidak memiliki cukup uang bahkan untuk sekedar menyewa taksi ke bandara harus mengandalkan kaki mereka untuk berlari ke tempat yang aman dan menunggu nasib berikutnya.
Kekalahan yang Memalukan bagi Amerika
Hanya berselang satu bulan yang lalu ketika Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa “kemungkinan Taliban dapat menyerbu ke seluruh penjuru dan menguasai seluruh negeri ini adalah sesuatu yang sangat kecil kemungkinannya.” Ia menambahkan, “Kami menyediakan semua sarana kepada mitra Afghanistan kami – izinkan saya menekankan, semua sarana, pelatihan dan peralatan militer modern.”
Namun situasi berubah dengan cepat. Joe Biden berupaya meyakinkan banyak orang bahwa Taliban tidak akan merebut Kabul; mereka juga tidak akan menguasai seluruh negeri; akan ada pemerintahan rekonsiliasi nasional, seperti yang telah disepakati dengan Taliban. Sekarang semua janji ini telah terekspos dan menjadi omong kosong belaka. Pasukan AS bahkan belum menyelesaikan penarikan penuh seperti yang direncanakan, dan Taliban telah menerkam seperti harimau.
Mundurnya pasukan AS dan sekutu lainnya umumnya disajikan semata-mata karena Taliban. Namun sesungguhnya setelah dua dekade intervensi dan okupasi, imperialisme AS mendapat perlawanan kuat dari penduduk setempat. Ada kebencian yang meluas dan membara terhadap perang imperialis ini, yang telah merenggut nyawa puluhan ribu orang tak berdosa dan menjerumuskan seluruh negeri ke dalam kehancuran, ketidakstabilan dan barbarisme.
Barangkali benar bahwa dalam banyak kesempatan, khususnya di daerah Pashtun, kebencian terhadap imperialisme barat berarti bahwa penduduk lokal akan menerima secara pasif, atau bahkan kadang-kadang membantu memfasilitasi serangan Taliban. Tapi ini tidak berarti bahwa mayoritas penduduk memiliki simpati yang dalam terhadap kekuatan reaksioner Taliban. AS dan pemerintahan boneka mereka tidak memiliki dukungan sosial dari rakyat Afghanistan. Para pejabat pemerintah dan petinggi militer dilihat oleh rakyat sebagai pencoleng dan penjahat, yang memperkaya diri mereka sementara mereka menderita. Rakyat membenci Taliban, tetapi pada saat yang sama mereka juga tidak bersedia mengorbankan nyawa mereka untuk mempertahankan rejim boneka imperialisme AS. Sebaliknya, pasukan Taliban terdiri dari kaum Isfun fanatik yang melihat kematian martir sebagai anugerah terbesar.
Setelah dua dekade perang dengan biaya lebih dari 3 triliun dolar, kelas penguasa AS terbukti telah gagal mencapai salah satu tujuan yang diumumkannya kepada dunia pada awal perang, yakni mewujudkan negeri demokrasi modern. Demokrasi tidak bisa dicangkokkan dari luar oleh rejim dan kebijakan imperialis, tetapi hanya bisa diwujudkan lewat aksi massa revolusioner dari bawah. Dan aksi massa serta revolusi adalah hal terakhir yang diinginkan oleh imperialisme serta kaki-tangan mereka di Afghanistan. Imperialisme AS hanya menginginkan Afghanistan sebagai “koloni” mereka demi menjamin kepentingan ekonomi dan geopolitik di Timur Tengah, sementara kacung-kacung mereka hanya tertarik dengan prospek memperkaya diri mereka.
Setelah membunuh warga sipil yang tidak terhitung jumlahnya, pemboman di banyak daerah, dan menghancurkan kehidupan jutaan orang, kini imperialisme AS pergi setelah mencapai kesepakatan yang memalukan dengan Taliban, dalam apa yang disebut sebagai perjanjian perdamaian di Doha, Qatar tahun lalu, antara pemerintahan Trump dan Taliban. Namun AS menyerah pada setiap permintaan Taliban tanpa menawarkan konsesi lain sebagai imbalan. Kesepakatan ini meningkatkan moral pasukan Taliban, dan memperlemah moral rejim Afghanistan.
Yang terburuk adalah cara Biden menangani penarikan pasukan AS, yang membuat jomplang perimbangan kekuatan yang menguntungkan Taliban. Dengan menyebutkan tanggal penarikan penuh AS berbulan-bulan sebelumnya, dia memberi Taliban lampu hijau untuk menyerang serta semua waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan serangan terakhir mereka.
Meskipun sebelumnya pemerintahan Biden bersumpah untuk melindungi rakyat Afghanistan, namun dengan cepat janji ini sirna. Pada titik ini Pemerintah AS hanya ingin terhindar dari penghinaan terakhir dari sebuah adegan yang mirip dengan jatuhnya Saigon, di mana AS terpaksa untuk menerbangkan stafnya sebelum para pejuang Vietnam menyerbu kedutaan pada tahun 1975. Faktanya, yang terjadi justru merupakan replay dari skenario Saigon, sampai ke adegan helikopter militer menerbangkan orang keluar dari kedutaan AS.
Kontras antara Ucapan dan Tindakan
Menurut pejabat AS, pemerintahan Afghanistan beserta jajaran tentara dan polisinya seharusnya mengambil alih jalannya negara saat AS tengah mundur. Tapi pemerintahan ini justru menghilang. Tentara nasional Afghanistan yang sebelumnya telah dilatih dan dipersenjatai oleh militer AS, luluh di hadapan kaum Islamis yang dilengkapi dengan senjata sederhana yang bahkan menurut perkiraan jumlahnya tidak lebih dari 75.000 orang.
Dalam minggu-minggu terakhir, para komandan tentara dan polisi semuanya bersumpah dengan gagah berani akan berjuang sampai akhir. Namun dari satu kota ke kota lain, orang-orang yang sama ini pada akhirnya menyerahkan kekuasaan begitu saja kepada Taliban dan melarikan diri entah ke mana. Bahkan dalam beberapa kasus mereka menyeberang dan menawarkan jasa mereka kepada calon rezim baru (baca: Taliban).
Detik-detik menjelang Taliban mendekati Kabul, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengumumkan bahwa mereka sedang merundingkan transfer kekuasaan secara damai, yang akan menjamin hak-hak dasar rakyat Afghanistan. Ia bahkan mengumumkan telah mencapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan transisi yang terdiri dari perwakilan Taliban dan rezim lama. Namun sebelum rincian kesepakatan semacam itu diumumkan, Ghani telah lari ke luar negeri. Rezim korup dan reaksioner Ashraf Ghani runtuh seperti rumah kartu. Ghani membuat satu siaran TV terakhir untuk bangsanya, mendesak mereka untuk berjuang sampai akhir. Kemudian segera setelah itu ia mengemasi tasnya dan melarikan diri dengan pesawat pribadi ke Tajikistan, di mana ia dapat memastikan pengasingan yang nyaman, sementara rakyatnya sekali lagi dihadapkan dengan semua kesengsaraan dan hukum-hukum reaksioner yang akan diterapkan oleh pemerintahan Taliban yang baru.
Sementara massa rakyat dibuai dengan rasa aman yang palsu oleh seruan dan pernyataan resmi, namun kesepakatan telah dibuat di belakang layar antara pejabat rezim lama dan Taliban. Beberapa berspekulasi bahwa imperialisme AS juga terlibat dalam pembuatan kesepakatan ini menjelang akhir, dalam rangka untuk menyelamatkan muka dan mengamankan jalan keluar tanpa darah dari Kabul dan mencegah penghinaan yang lebih besar lagi bagi Amerika.
Kini yang tersisa adalah rakyat Afghanistan ditinggal sendirian untuk menghadapi Taliban. Meski ada pernyataan resmi dari juru bicara Taliban yang memasang muka manis di TV dan mengatakan bahwa mereka bukanlah Taliban yang sama seperti 20 tahun lalu, dan akan tetap menghormati hak-hak perempuan dan memberikan amnesti pada semua orang yang sebelumnya menentangnya, namun laporan-laporan yang muncul berikutnya tidaklah senada. Kaum intelektual, terutama perempuan, banyak yang dibunuh. Di Herat misalnya, ada mahasiswi dipaksa pulang dari Universitas, pegawai bank perempuan disuruh pulang ke rumah dan dilarang bekerja. Di banyak tempat ada penggeledahan dari pintu ke pintu terhadap wartawan yang bekerja untuk media asing. Tidak sedikit bahkan yang anggota keluarganya dibunuh karena Taliban tidak bisa menemukan orang yang dicari. Dalam beberapa minggu ke depan, teror ini akan semakin meningkat seiring upaya Taliban untuk mengkonsolidasi kekuatannya.
Jalan Keluar dari Horor Tanpa Akhir
Pada akhirnya perang tidak selalu dapat dimenangkan oleh imperialis dan ini dengan cepat mengungkapkan sekaligus mempercepat kemerosotan imperialisme AS di panggung dunia. Meski telah menghabiskan 20 tahun dan biaya triliunan dolar, pada akhirnya imperialisme AS kini keluar sebagai yang kalah.
Seperti yang telah kami prediksi pada 2010, Alan Woods mengatakan:
“Sesungguhnya, okupasi selama bertahun-tahun ini tidak akan menyelesaikan apapun. Taliban memiliki cadangan tenaga manusia dan uang yang hampir tak terbatas (melalui perdagangan narkoba yang menguntungkan). Mereka mempunyai tempat berlindung yang aman di Pakistan dan dukungan dari selapisan penting angkatan bersenjata dan negara Pakistan.”
“Kekalahan di Afghanistan akan menjadi bencana. Itu akan menandai penghinaan bagi Barat, dan bagi NATO. Bahkan tujuan perang yang paling terbatas – untuk menyangkal [para Islamis] basis yang aman untuk operasinya, akan gagal …”
“Seperti biasa, yang akan jadi korban adalah rakyat Afghanistan, yang terancam terperosok ke dalam barbarisme. Rakyat Afghanistan membenci penjajah asing, tetapi itu tidak berarti mereka mendukung Taliban. Banyak warga Afghanistan yang ingin menyingkirkan Taliban, tapi mereka tidak memiliki alternatif lain.” (Afghanistan ‑ the war is being lost. Alan Woods, 23 Juli 2010)
Kata-kata ini, yang ditulis lebih dari satu dekade yang lalu, dengan sempurna merangkum situasi saat ini.
Amerika berharap dapat mempertahankan kepentingannya di Afghanistan dengan mengusir Taliban (yang sebenarnya diciptakan oleh kaum imperialis) dan mendirikan rezim yang stabil yang dapat dikontrolnya. Namun setelah dua dekade perang, imperialisme sama sekali tidak mencapai apapun kecuali kesengsaraan dan kehancuran lebih lanjut.
Bencana ini dan kesengsaraan yang akan datang adalah produk dari imperialisme kapitalis. Tidak seperti yang umumnya dipropagandakan oleh media Barat, kekuatan gelap Islam Fundamentalis bukanlah sesuatu yang lahir dari teks Islam itu sendiri ataupun keterbelakangan rakyat Timur Tengah. Sebaliknya, Islam Fundamentalis adalah kekuatan yang dibesarkan oleh imperialisme dan kelas penguasa Timur Tengah untuk melawan gagasan Sosialisme yang pernah mengakar di sana. Khususnya di Afghanistan, kekuatan Isfun didanai oleh imperialisme untuk meremukkan Revolusi Saur 1978, yang dipimpin oleh partai sosialis PDPA (People’s Democratic Party of Afghanistan). Kendati semua keterbatasan Revolusi Saur dan kepemimpinannya, revolusi ini meluncurkan serangkaian kebijakan sosialis yang radikal yang menyerang kapitalisme dan pertuantanahan, dan mendapat dukungan luas rakyat, di antaranya: nasionalisasi industri, penghapusan hutang kaum tani miskin kepada tuan tanah; reforma agraria yang membagi-bagi tanah ke petani miskin dan pembentukan pertanian kolektif; penghapusan buta huruf; reforma UU pernikahan, seperti dihapusnya kawin paksa; kesetaraan hak bagi perempuan; jaminan cuti kehamilan; dsb. Kebijakan imperialis adalah menyokong kekuatan reaksioner manapun yang anti-Komunis, dan pasukan mujahidin – yakni kaum Islam fanatik — yang didanai oleh Barat untuk memerangi Revolusi Saur inilah yang di kemudian hari menjelma menjadi Taliban. Kita harus ingat, bahkan fasis Mussolini dan Hitler pun awalnya didukung oleh pemerintah Inggris, Prancis, Amerika, dan “kekuatan-kekuatan demokrasi” lainnya selama mereka meremukkan kaum Komunis.
Pada akhirnya, hanya rakyat pekerja Afghanistan dan saudara-saudari kelas mereka di wilayah Timur Tengah yang dapat mengakhiri dominasi imperialis asing dan Islam Fundamentalisme. Mengakhiri barbarisme yang melanda Afghanistan tidak akan bisa dilakukan lewat bayonet imperialis. Rakyat Afghanistan hanya dapat mempercayai kekuatan mereka sendiri, dan bukan PBB, China, Rusia, Iran, ataupun kekuatan lainnya yang kini mengendap-endap ingin memenangkan pengaruh di negeri ini hari ini. Revolusi Saur dan pengalaman pahit selama 30 tahun terakhir telah menunjukkan bahwa kekuatan gelap obskurantisme religius hanya bisa dipatahkan lewat revolusi sosialis, yang menyatukan buruh, tani, kaum miskin, masyarakat adat dalam perjuangan kelas melawan kapitalisme, pertuantanahan, dan imperialisme. Jalan untuk menemukan kembali Revolusi Saur akan panjang dan berliku-liku, tetapi hanya lewat jalan ini maka rakyat Afghanistan akan bisa bebas dari kesengsaraan dan kegelapan yang telah merantai mereka selama bergenerasi.