Perebutan kursi DKI-1 dan DKI-2 dalam pemilukada kali ini terbilang sangat meriah. Pasangan Jokowi-Ahok dan Foke-Nara lolos dari putaran pertama dan akan berlaga di putaran kedua September ini. Pasangan Foke-Nara, khususnya faktor incumbent Foke melangkah ke putaran kedua dengan membawa beban kasus dugaan korupsi, yang dilaporkan oleh eks pasangannya, Prijanto, dan popularitas partainya, Partai Demokrat, yang semakin merosot dan tercoreng di mata khalayak. Sebaliknya, pasangan Jokowi-Ahok melangkah ke putaran kedua dengan muatan citra positif, baik prestasi maupun integritas. Banyak orang menaruh harapan besar di pundak mereka: Jakarta Baru, yang di antaranya bebas dari banjir dan kemacetan.
Beban berat pasangan Foke-Nara di satu sisi dan citra positif Jokowi-Ahok di sisi lain membuat khalayak memprediksikan bahwa Jokowi-Ahok akan meraih kemenangan mutlak pada putaran kedua. Tentu saja ini menimbulkan kecemasan di pihak Foke-Nara. Sepertinya kekalahan sudah di depan mata, meski Foke pernah sesumbar mengatakan bahwa perjuangan belum selesai. Kecemasan ini begitu nyata, cetha wela-wela, karena dipampangkan secara vulgar di depan khalayak. Kampanye hitam berupa pernyataan-pernyataan fitnah dan menghasut bertebaran di udara. Pihak Foke-Nara memang benar-benar berusaha mendiskreditkan Jokowi-Ahok melalui character assassination.
Pada titik ini, kembali sejumlah kalangan pemuka agama menjadikan dirinya sebagai kaki-tangan burjuasi korup yang sudah mulai pudar kesaktiannya. Bersama-sama dengan para politisi Partai Demokrat yang bermoral rendah seperti Ruhut Sitompul dan Andi Nurpati mereka tergabung dalam sebuah paduan suara yang mengagungkan Foke-Nara dan menghujat Jokowi-Ahok. Dengan dalil-dalil agama yang bisa diambilkan dari Kitab Suci, sejumlah pemuka agama mengajak rakyat untuk menolak kandidat-kandidat yang berasal dari kalangan kafir. Bahkan, tuduhan bahwa Jokowi-Ahok “dekat dengan PKI” pun dilontarkan. Pemuka agama ini, entah karena pandir atau culas, telah menghamba kepada burjuasi yang nyata-nyata korup.
Sudah barang tentu Foke tahu memanfaatkan kaum fanatik dan para pemukanya yang pandir dan/atau culas. Dengan dalih Safari Ramadhan dan dalam kapasitas sebagai gubernur DKI Jakarta, ia mengucurkan dana APBD ke mesjid-mesjid yang disambanginya, sementara para pemuka agama menyanyikan lagu wajib dukung Foke-Nara, tolak Jokowi-Ahok. Sepertinya Machiavelli benar, agama dapat jadi alat penguasa untuk memperdaya rakyat jelata.
Absurd
Memilih Foke-Nara jelas absurd. Simak saja “permainan” yang semakin memperlihatkan kebobrokan watak pasangan ini serta burjuasi pendukungnya. Sebutkan sajalah satu dua hal. Pertama, penggunaan isu SARA, yang pada ghalibnya memperlihatkan bahwa keyakinan tentang Indonesia sebagai satu negara-bangsa yang menghidupi kemajemukan (“Bhinneka Tunggal Ika”) bisa tersandera oleh sentimen-sentimen primordial yang dieksploitasi demi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik burjuis nasional yang korup.
Mirisnya – meski sudah dapat diduga – eksploitasi sentimen-sentimen primordial ini terpampang jelas dalam perilaku sejumlah pemuka agama yang secara memalukan menggunakan agama untuk mendiskreditkan pasangan Jokowi-Ahok dan menggiring rakyat untuk memberikan suara mereka kepada Foke-Nara. Kepentingan ekonomi-politik berkelitkelindan dengan keculasan dan kepandiran burjuasi dan para pemuka agama berikut cecunguk-cecunguk lumpenproletariat mereka.
Kedua, oportunisme partai-partai berikut kandidat-kandidatnya yang tersingkir dalam putaran pertama. Oportunisme, yang berpangkal pada syahwat untuk “kebagian” kekuasaan ekonomi-politik, adalah warna dominan politik burjuasi Indonesia. Simaklah PKS dan Hidayat Nur Wahid, kandidatnya yang keok dalam putaran pertama. Jelang putaran pertama, HNW gencar mengecam kepemimpinan Foke selama lima tahun masa jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Saat mengunjungi warga Kali Krukut Pejompongan, Minggu, 25 Maret 2012, HNW menyindir Fauzi Bowo sekaligus mempromosikan dirinya,
“Yang namanya kemiskinan, kesejahteraan, kemacetan, banjir adalah komitmen serius. Bukan serius omongan saja, omong doang. Kita lihat langsung beberapa bagian kondisi Jakarta masih begitu rupa, mestinya hal semacam ini mesti selesai ketika kita punya gubernur yang ahlinya.”
HNW juga menyindir Foke sebagai gubernur yang dilaporkan ke KPK karena kasus korupsi. Katanya,
“Jangan memilih calon yang terang-terangan dilaporkan ke KPK. Warga Jakarta harus sadar dengan korupsi pemimpinnya dan jangan lagi memilih pemimpin yang jelas terindikasi korupsi.”
Tapi setelah tersingkir dengan perolehan suara yang minim, HNW dan partai yang mengaku ideologis tapi terkenal konsisten dengan inkonsistensinya itu merapat kepadaSi Kumis. HNW bahkan mengatakan hanya Foke yang sanggup menjalankan pemerintahan yang bersih, bebas korupsi.
Golkar dan Alex Noerdin tidak lebih baik. Kita sudah tahu rekam jejak partai eks mesin politik Orde Baru yang setelah tumbangnya Soeharto menjadi sarang para blandis dan sekarang mengusung gembong ekosida Sidoarjo sebagai capres dalam Pemilu 2014 itu. Dalam sidang paripurna DPRD DKI Jakarta, Minggu 24 Juni 2012, AN menyindir Foke entah sebagai pemimpin yang ingkar janji atau pemimpin yang tidak becus, “… bukan seperti dulu, yang pernah berjanji tetapi tidak terpenuhi.”
Tapi setelah gagal melaju ke putaran kedua, rapat pimpinan Partai Golkar memutuskan untuk mendukung Foke. Kita juga mendengar Sekretaris DPD Partai Golkar DKI Jakarta Zaenuddin berkata, “Jakarta membutuhkan pemimpin yang sudah teruji dan mengetahui seluk-beluk ibu kota. Jakarta juga membutuhkan pembangunan kota yang berkesinambungan.” Demikianlah, beramai-ramai mereka mendaftarkan diri menjadi bagian dari Bala Kurawa Bang Kumis.
Kita sudah bisa menebak ke mana oportunisme ini akan bermuara. Dalam pertarungan untuk memenangkan kepentingan ekonomi-politik, faksi-faksi dari burjuis nasional Indonesia sudah biasa melakukannya. Jelas, fatsun politik mereka adalah kemunafikan. Para ilmuwan politik memberi nama mentereng: politik transaksional. Atau, politik dagang sapi. Kita sama sekali tidak heran bila di tangan mereka, apa yang pernah didengung-dengungkan sebagai agenda Reformasi, yakni pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Euforia dan Ilusi
Di pihak lain, terjadi euforia di kalangan pendukung Jokowi-Ahok. Kaum kelas menengah yang sudah lelah dengan korupnya partai penguasa dan politisi-politisinya kini menaruh harapan yang begitu besar kepada Jokowi-Ahok. Dengan sukarela mereka menjadi penyebar “Injil” atau kabar baik tentang kedatangan Juruselamat Jokowi-Ahok yang berprestasi, berintegritas, dan merakyat. Media sosial menjadi arena mereka, baju-baju kotak menjadi simbol mistik perlawanan terhadap incumbent yang korup sekaligus ajakan untuk mendukung terciptanya Jakarta Baru. Tidak berlebihan kiranya bila kita jadi teringat pada harapan rakyat Amerika – dan bahkan dunia – terhadap Obama dalam pemilu presidensial AS. Dengan ingatan ini kita pun segera menyadari bahwa kemudian rakyat Amerika toh kecewa ketika menyadari harapan mereka layu. Retorika perubahan Obama menemui kontradiksinya, karena ia menjanjikan perubahan untuk rakyat pekerja sembari menghamba kepada kepentingan modal dan kapitalisme. Segera setelah memangku jabatan, ia mengucurkan trilyunan dolar untuk menyelamatkan kaum kapitalis dari krisis finansial dan membuat rakyat pekerja membayar untuk krisis kapitalisme ini. Hancurnya harapan dan ilusi terhadap Obama dan kaum Demokrat ini segera termanifestasikan di dalam pemilu legislatif mid-term 2010 dimana kaum Republikan meraih kemenangan cukup besar.
Ilusi. Ya, kelas menengah yang beriktikad baik, bahkan mungkin juga sebagian rakyat pekerja berilusi tentang Jokowi-Ahok. Seperti halnya dengan rakyat Amerika, ilusi itu kelak akan membuat mereka kecewa – dan kemudian apatis terhadap siapapun yang kelak memimpin Jakarta.
Sebagai kaum Sosialis, sudah barang tentu kita tidak menutup mata terhadap citra positif Jokowi-Ahok yang ditangkap oleh rakyat pekerja. Tapi catatan-catatan positif itu tidaklah sekali-sekali membuat kita jatuh ke dalam ilusi. Mengapa?
Pertama, Jokowi-Ahok adalah burjuis nasional. Betul mereka berprestasi, berintegritas, dan merakyat. Tapi sebagai representasi dari burjuis nasional, ada kepentingan kelas yang ada di belakang mereka. Selama ini, baik di Solo maupun di Belitung Timur, Jokowi dan Ahok masing-masing bisa tampil populis – dan rakyat jelata alias rakyat pekerja senang karena kepentingan mereka terakomodir. Tapi kita menyadari bahwa terakomodasinya kepentingan rakyat pekerja tidak lepas dari tetap kokoh mantapnya kepentingan burjuasi. Di sini kita melihat bahwa selama berkuasa di Solo dan Belitung Timur, Jokowi dan Ahok berhasil menyelaraskan kepentingan-kepentingan rakyat pekerja dengan kepentingan-kepentingan burjuasi.
Dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya saat perekonomian kapitalis relatif stabil, pengakomodasian kepentingan-kepentingan yang sesungguhnya bertentangan dari burjuasi dan rakyat pekerja bisa dilakukan. Tentu, sejauh itu tidak merugikan kepentingan ekonomi-politik burjuasi. Kelas penguasa dalam situasi tertentu dapat memberikan sedikit remah dari meja mereka, selama ini mereka pertimbangkan akan mengkokohkan kekuasaan mereka dan meredam kegelisahan rakyat. Tapi bila krisis menjangkiti perekonomian kapitalis, suatu skenario yang secara mencolok memperlihatkan pertentangan kelas tidak akan bisa dihindari. Memahami bahwa Jokowi-Ahok merupakan representasi kelas burjuis, kita tentu sudah dapat meraba skenario yang kelak akan mereka ambil. Simak kondisi Barat beberapa tahun terakhir ini. Dengan dalih menyelamatkan perekonomian, pemerintah-pemerintah burjuis semisal di Amerika Serikat, Yunani, Italia, Portugal, Spanyol dan Amerika Serikat di bawah sang “mesiah” perubahan Obama, misalnya, ketika krisis ekonomi menghantam, toh mengambil langkah-langkah yang pro kapitalis dan mengorbankan rakyat pekerja.
Kecuali keduanya melakukan bunuh diri kelas, tidak sulit rasanya bagi kita untuk memahami bahwa Jokowi-Ahok akan mengutamakan kepentingan burjuasi. Mereka memang akan membuat mekanisme trickle down effect berjalan guna menciprati rakyat pekerja Jakarta dengan remah-remah roti ekonomi. Tapi tentu, sekali lagi, sejauh itu tidak mengusik kepentingan ekonomi-politik kelas mereka sendiri. Yang harus kita mengerti, di era krisis kapitalis ini, justru semakin kecil kemungkinan kelas penguasa untuk bisa memberikan remah-remah roti ekonomi. Indonesia tidak akan terlepas dari krisis ekonomi dunia ini, begitu juga Jakarta.
Kedua, Jokowi-Ahok diusung oleh dua partai burjuis PDI-P dan Gerindra. Diasosiasikan dengan nasionalisme dan komitmen pada empat pilar NKRI, kedua partai ini berperan sebagai mesin politik Jokowi-Ahok. Tapi kita tahu, dukungan politik ini kelak harus dibayar oleh Jokowi-Ahok ketika kelak mereka menjadi DKI-1 dan DKI-2. Kita sadar, tidak ada yang gratis dalam politik transaksional, yang dalam berbagai gradasi warna melekat dalam demokrasi burjuis.
Pada saat yang sama kita juga menyadari bahwa sebagaimana partai-partai burjuis lainnya seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, dan sebagainya, PDI-P juga tidak sepi dari korupsi. Demikian juga Gerindra. Mengumandangkan retorika nasionalis yang kedengaran radikal, juga tak lepas dari modus operandi partai-partai burjuis pada umumnya – di mana uang menjadi panglima. Keduanya membidik Pemilu 2014 dan merasa perlu menaikkan gengsi yang secara psikologis dan politis akan menguntungkan mereka. Kemenangan mereka di Jakarta akan menjadi modal untuk memenangkan RI-1 dan RI-2 kelak. Dengan demikian, kedua partai ini jelas memanfaatkan Jokowi-Ahok.
Pada hakikatnya pemanfaatan itu merupakan pengakomodasian kepentingan-kepentingan faksi-faksi tertentu dari burjuis nasional. Sejauh mana pemanfaatan itu bisa disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan rakyat pekerja, akan terlihat dalam kondisi riil yang akan dialami kaum kelas menengah dan rakyat pekerja Jakarta kelak.
Ketiga, sebagai pusat utama kekuasaan ekonomi-politik, Jakarta adalah titik himpun faksi-faksi utama burjuis nasional dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka. Kadang mereka berselisih, karena sama-sama membidik posisi dominan dalam kekuasaan ekonomi-politik Indonesia. Kadang mereka bersatu, ketika menghadapi musuh bersama yang mengancam kepentingan-kepentingan bersama ekonomi-politik mereka. Dalam drama 1998, misalnya, mereka bersatu untuk membajak revolusi sosial menjadi Reformasi. Untuk itu mereka “rela” meminggirkan diktator Soeharto. Kemudian, setelah Pemilu 1999 mereka berselisih, meski kemudian mencapai kompromi dengan mendudukkan Gus Dur sebagai presiden dan Megawati sebagai wakilnya. Hingga kini terus begitu, termasuk dalam reaksi DPR terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM tahun ini. Dalam semuanya itu, selalu kelihatan bagaimana faksi-faksi burjuis memainkan “kartu” pro-rakyat di satu sisi dan “kartu” demokrasi prosedural di sisi lain. Di luar itu, tak segan-segan faksi-faksi burjuis menggelar kerusuhan-kerusuhan melalui cecunguk-cecunguk lumpenproletariat mereka, yang dengan mudah dapat dikipasi dengan uang dan/atau dibakar dengan mengeksploitasi sentimen primordial macam agama.
Tapi satu hal yang pasti, musuh terbesar burjuasi adalah rakyat pekerja yang bersatu di bawah pimpinan klas buruh yang berkesadaran kelas. Mereka akan mencoba dengan segala cara untuk menjinakkan rakyat pekerja baik dengan aparatus kekerasan maupun aparatus hegemonik. Dalam konteks ini, citra positif-populis Jokowi-Ahok mempunyai nilai strategis bagi faksi-faksi burjuasi. Melalui keduanya, kapitalisme tampak manis di Solo dan Belitung Timur. Kelak, faksi-faksi burjuasi di pusat utama kekuasaan akan mendulang manfaat melalui populisme Jokowi-Ahok, yang berfungsi sebagai aparatus hegemonik yang akan membuat rakyat pekerja Jakarta “menikmati” manisnya penindasan dan penghisapan kapitalisme. Tapi sekali Jokowi-Ahok mengambil langkah yang mengarah pada aksi bunuh diri kelas (sesuatu yang sampai saat ini secara obyektif hampir tidak mungkin mereka lakukan karena tidak ada basis material yang mendasarinya), faksi-faksi burjuis akan bersatu untuk menyingkirkan mereka. Klas penguasa tidak akan menyerahkan kekuasaannya dengan sukarela.
Apa Sikap Kita?
Memilih Foke-Nara absurd. Memilih Jokowi-Ahok berarti berilusi. Lantas bagaimana sikap yang harus diambil oleh kaum sosialis revolusioner? Pertama kita harus bisa memahami ilusi yang ada di antara rakyat pekerja terhadap pasangan Jokowi-Ahok, yang merupakan manifestasi dari kegeraman mereka terhadap para politisi dan pemimpin yang kotor, tidak kompeten, dan elitis. Berangkat dari pemahaman ini maka kita harus bisa menjelaskan dengan sabar kepada rakyat bahwa kedua pasangan ini — Foke-Nara dan Jokowi-Ahok — hanyalah dua sayap dari kelas penguasa yang sama. Perubahan yang sejati hanya akan datang dari kemandirian rakyat pekerja untuk melahirkan pasangan mereka sendiri dengan kendaraan politik mereka sendiri, bukan dengan membonceng dan bukan dengan bersandar kepada juru selamat atau bahkan kelas penguasa itu sendiri.
Rakyat pekerja hari ini tidak punya kendaraan politik mereka sendiri. Mereka tidak punya partai politik mereka sendiri. Kelas penguasa telah membuat puluhan partai untuk menipu rakyat dengan menawarkan: “Inilah pilihan-pilihan kamu, tidak perlu lagi membuat partai kalian sendiri. Titipkan saja suara kalian kepada kami.” Oleh karena itu, kaum Kiri yang mendorong agar rakyat pekerja memberikan dukungan mereka kepada Jokowi-Ahok jelas tidak membangun kemandirian politik rakyat pekerja, tetapi justru membuat mereka semakin tergantung. Apakah kemandirian politik rakyat pekerja begitu murahnya sehingga bisa digadai untuk janji mengurangi kemacetan Jakarta dan banjir — sebuah janji yang pemenuhannya bahkan tidak terjamin sama sekali?
Gerakan revolusioner kita punya sejarah dan pengalaman yang teramat kaya, bukan hanya dari Indonesia saja tetapi dari seluruh manca negara. Dengan mempelajari pengalaman-pengalaman ini, kita dapat menghindari diri dari kesalahan yang sama. Harapan terhadap Obama pada tahun 2007-2009 adalah contoh yang sangat relevan sekali ketika kita berbicara mengenai Jokowi. Bahkan ilusi terhadap Obama ini jauh lebih besar daripada Jokowi. Saat itu hampir semua kaum progresif dan Kiri mendukung Obama. Rakyat pekerja Amerika dan bahkan dunia menaruh harapan mereka terhadap janji perubahan Obama. Tak lama kemudian janji-janji ini hanya tinggal janji saja. Kemana eforia terhadap Obama hari ini? Pupus. Kemana kaum Kiri yang dulu mendukung Obama? Mereka membeban tanggungjawab karena mengecoh rakyat pekerja untuk memilih Obama
Saat itu Obama mania menjangkiti dunia. Untuk pertama kali, seorang kulit hitam dicalonkan menjadi Presiden dan menang pula. Rakyat pekerja memberikan dukungan pada Obama dengan antusias. Terjadi mobilisasi pemilu yang tidak pernah terlihat di dalam perpolitikan Amerika, yang bersifat akar rumput dan penuh antusiasme yang meluap-luap dari rakyat jelata pendukung Obama. Rakyat yang selama 10 tahun melihat hancurnya masyarakat mereka di bawah kepemimpinan Bush-Cheney — pasangan Republikan yang jauh lebih kotor, lebih tidak kompeten, dan lebih elitis dibandingkan Foke-Nara — lalu melihat Obama sebagai harapan mereka. Kandidat McCain-Palin ditolak mentah-mentah oleh rakyat Amerika, yang melihat mereka sebagai kelanjutan dari Bush-Cheney. Para aktivis Kiri dan progresif Amerika dan dunia pun terseret dalam eforia Obama-mania ini. Seperti fenomena Jokowi-Ahok ini, aktivis-aktivis Kiri yang kelimbungan ini berbicara mengenai “New Politics” (Politik Baru) yang katanya diwakili oleh Obama. Karena putus asa lama dalam gerakan tanpa hasil, hal-hal yang baru selalu memukau banyak aktivis. Tetapi ternyata yang baru hanyalah kemasannya saja.
Salah satu tugas utama dari gerakan Kiri Indonesia adalah menancapkan kemandirian politik di antara rakyat pekerja. Ini tugas yang tidak bisa diabaikan. Ini adalah tugas jangka panjang yang tidak bisa digadai demi pencapaian jangka pendek yang bahkan tidak ada jaminannya. Mendorong rakyat memilih Jokowi-Ahok tidak saja keliru dalam ranah analisa basis kelas mereka, tetapi juga akan menghambat tugas pembangunan kemandirian politik dan organisasi rakyat pekerja. Daripada kita menghabiskan tenaga kita membantu pasangan Jokowi-Ahok — yang jelas-jelas pasangan dari kelas penguasa, kendati mendapatkan dukungan popular –, lebih baik kita membangun organisasi politik rakyat pekerja yang mandiri. Kita tentu masih dalam tahapan propaganda dan agitasi dalam pembangunan kendaraan politik rakyat pekerja, dan ini masih harus ditingkatkan dan bukan justru disertai dengan manuver-manuver tidak konsisten. Bagaimana kita bisa menjelaskan kepada rakyat pekerja kalau mereka butuh partai politik mereka sendiri kalau pada saat yang sama kita menyuruh mereka memilih Jokowi-Ahok yang notabene pasangan dari PDI-P dan Gerindra? Rakyat pekerja akan mencemooh kita sebagai oportunis, tidak berbeda dengan para politisi borjuasi yang ada hari ini.
Golput adalah pilihan yang paling tepat untuk pilkada Jakarta. Namun bukan golput pasif, melainkan golput aktif, yakni aktif membangun kemandirian politik sendiri supaya di pilkada berikutnya rakyat punya pasangannya sendiri yang datang dan didukung oleh partai politiknya sendiri. Partai kelas buruh adalah partai yang kita butuhkan, yang dibangun secara organik oleh serikat-serikat buruh dan merangkul rakyat pekerja lainnya: tani, nelayan, dan miskin kota. Kitapun punya gol ikut serta pilkada ataupun pemilihan apapun, tetapi bukan dengan ilusi bahwa kapitalisme bisa diperbaiki lewat jalan parlementer. Kalau kita bisa memenangkan perbaikan untuk kehidupan rakyat lewat jalan parlementer, kita akan lakukan itu. Ini ABC politik. Namun kita harus punya pemahaman kalau perubahan sejati tidak bisa datang lewat jalan parlemen borjuis, tetapi hanya melalui revolusi dan perebutan kekuasan ekonomi dan politik oleh kelas buruh serta elemen-elemen tertindas lainnya. Kita gunakan parlemen sebagai media penyebaran gagasan revolusioner di antara massa. Kita gunakan parlemen untuk mengekspos kebangkrutan parlemen borjuis itu sendiri dan bahwa hanya sosialisme jalan keluar satu-satunya dari kebuntuan kapitalisme. Inilah arti perjuangan parlemen bagi kaum sosialis revolusioner. Kita bukan ultra-kiri yang menolak secara prinsipil penggunaan parlemen borjuis, tetapi juga bukan oportunis atau reformis yang berilusi mengenai parlemen borjuis.
Akan ada banyak rakyat jelata yang berilusi terhadap Jokowi-Ahok. Kita harus menjelaskan dengan sabar. Kita harus bisa memahami mengapa rakyat jelata mendukung mereka. Tidak cukup dengan agitasi sederhana “Jokowi-Ahok pasangan borjuis! Tolak Jokowi-Ahok!”. Kita harus bisa menjelaskan dengan detil dan mendalam, dimulai dengan elemen-elemen rakyat pekerja yang secara umum lebih sadar politik. Mungkin penjelasan kita akan dicemooh dan ditolak. Tetapi di kemudian hari ketika perspektif kita mengenai Jokowi-Ahok tepat, maka kita pun akan meraih kepercayaan rakyat.
Di tengah kebuntuan politik dari dua pihak — di satu pihak kelas penguasa yang bangkrut dan dibenci rakyat, di lain pihak gerakan rakyat yang belum punya organisasi politiknya sendiri yang mandiri — akan muncul banyak Jokowi di hari depan, yakni tokoh-tokoh borjuasi populis yang memberikan janji-janji besar. Sebagian besar rakyat harus melalui proses pembelajaran yang pahit ini: tertipu oleh ilusi populis. Tugas kita sederhana: menjelaskan dengan sabar akan perlunya membangun partai buruh yang mandiri. Jangan mengambil jalan pintas. Dengan demikian rakyat tidak harus terus dibodohi dan bisa belajar dari pengalaman mereka.
Rakyat pekerja, bangunlah kemandirian politikmu sendiri!