Dengan disahkannya UU TNI, prajurit aktif kini secara legal dapat menduduki posisi di 14 lembaga negara dan berperan aktif dalam administrasi pemerintah sehari-hari. Saya katakan “secara legal” karena bahkan pasca 1998 TNI masih secara aktif memainkan peran di luar apa yang dianggap sebagai tugas ‘normal’ tentara, yakni pertahanan militer bangsa. Disahkannya UU TNI ini hanyalah satu langkah lagi – kendati langkah yang signifikan – dalam usaha militer untuk kembali ke ranah sosial dan politik masyarakat sejak mereka dipukul mundur oleh Gerakan 98.
Demonstrasi meletus di berbagai kota, yang tuntutan utamanya bila kita sarikan esensinya adalah “militer kembali ke barak”. Kita semua patut bertanya: setelah Gerakan 98 berhasil mengubur dwifungsi militer dan katanya kita hidup di alam demokrasi selama 25 tahun terakhir, bagaimana bisa militer mampu keluar kembali dari barak? Tentunya kita tidak sedang kembali ke masa Orde Baru dengan kediktatoran militernya yang berdarah-darah. Tetapi jelas, tentara kini mulai menginjakkan larsnya di banyak tempat.
Untuk bisa memahami militerisme, kita harus kembali lagi mengkaji apa itu negara dan apa peran militer dalam masyarakat kapitalis.
Negara sebagai badan khusus orang-orang bersenjata
Dalam demokrasi yang ada, kita diajari bagaimana tentara itu semestinya hanya berurusan dengan pertahanan negara. Ada pembagian tugas di mana politik dan kenegaraan itu domain khususnya pejabat sipil. Supremasi sipil atas militer menjadi prinsip dasar, di mana tentara seharusnya menjadi alat negara di bawah kendali politisi sipil yang terpilih. Demikianlah demokrasi yang baik, demokrasi yang liberal. Demikianlah tata negara yang sehat yang akan menjamin demokrasi, kebebasan, dan dengan demikian kemakmuran bagi semua.
Namun skema demokrasi yang ideal ini hancur berantakan di hadapan realitas. Ya, realitas yang hidup itu memang keras kepala dan terus menghadapkan kita pada kebenaran, dan realitas ini tidak lain adalah fakta bahwa kita hidup di dalam masyarakat kelas.
Dalam seluruh sejarah peradaban manusia, yang tidak lain adalah sejarah masyarakat kelas, tentara tidak pernah tinggal di barak saja, menyemir larsnya atau mengasah pedangnya sembari menunggu meletusnya perang dengan bangsa lain. Dari masa ke masa tentara telah dikerahkan untuk mengurusi problem-problem ‘sipil’: merepresi pemogokan, membubarkan serikat buruh dan partai kelas pekerja, mengusir petani dari tanahnya, menumpas pemberontakan budak, membunuhi mereka yang berani melawan, dst. Tentara, sebagai aparatus kekerasan, telah terbukti sebagai alat kelas yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya dan eksploitasinya atas kelas-kelas lain yang tertindas. Ini tidak bisa tidak karena kita hidup di dalam masyarakat yang telah terbagi-bagi ke dalam kelas-kelas yang antagonistis dan tak terdamaikan: dulu budak dan pemilik budak, hamba dan tuan, kini buruh dan kapitalis.
Sejak lahirnya masyarakat kelas, kelas penguasa hanya mampu mempertahankan dominasinya atas kelas-kelas lain dengan mengorganisir dan memonopoli kekerasan. Mereka pusatkan kekerasan yang terorganisir ini ke dalam badan khusus orang-orang bersenjata, yaitu Negara.
Seperti yang dijelaskan oleh Engels dengan begitu baiknya:
“Negara oleh karenanya bukanlah sebuah kekuasaan yang dipaksakan pada masyarakat dari luar … Sebaliknya, negara adalah produk masyarakat pada tahapan perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini telah terjerat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa masyarakat ini telah terpecah belah ke dalam antagonisme-antagonisme tak-terdamaikan yang tak mampu ia singkirkan. Tetapi agar antagonisme-antagonisme ini, yaitu kelas-kelas dengan kepentingan ekonomi yang bertentangan, tidak lantas menghancurkan diri mereka sendiri dan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka diperlukan sebuah kekuasaan, yang tampaknya berdiri di atas masyarakat, untuk melunakkan konflik tersebut dan menjaganya dalam batas-batas ‘ketertiban’, dan kekuasaan ini, yang muncul dari masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atasnya dan semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat, inilah negara.”
Dari masa ke masa, negara ini telah mengambil berbagai bentuk, dengan beragam moral, etik, hukum, birokrasi, dan tradisi yang diadopsinya sesuai dengan bentuk masyarakat yang ada. Namun esensi negara ini masih sama, yang setelah kita kuliti dekorasi-dekorasi luarannya akan kita temui aparatus khusus kekerasan untuk melanggengkan penindasan kelas atas kelas.
Republik demokratik borjuis dan mitos “supremasi sipil”
Negara modern hari ini, yaitu republik demokratik borjuis, telah disempurnakan sedemikian rupa sehingga watak asli negara sebagai badan khusus orang-orang bersenjata tidak lagi terlihat dengan begitu gamblangnya. Berbagai perangkat “sipil” telah dibangun di sekitarnya: parlemen, pengadilan, hukum, norma demokrasi, dll., untuk melindungi kepemilikan pribadi kapitalis dan mempertahankan sistem kerja upahan yang menjadi moda eksploitasi. Dalam kekuasaannya sehari-hari, kelas penguasa biasanya tidak perlu menggunakan kekerasan secara terbuka. Ilusi demokrasi cukup untuk “melunakkan konflik [kelas] tersebut dan menjaganya dalam batas-batas ‘ketertiban’” dan republik demokratik terbukti menjadi cara memerintah yang paling murah, secara ekonomi dan politik.
Negara yang terus menggunakan kekerasan secara terbuka hanya akan menekan kemarahan rakyat, layaknya api dalam sekam yang di kemudian hari, cepat atau lambat, dapat meledak menjadi revolusi. Sementara, bentuk negara republik memiliki katup pengaman yang umumnya bisa melepaskan keresahan rakyat lewat mekanisme parlemen.
Namun, ketika rakyat pekerja mulai mempertanyakan legitimasi perangkat-perangkat “sipil” ini, ketika krisis kapitalisme yang mendalam mulai mengekspos kemunafikan demokrasi borjuis dan rakyat mulai berjuang secara revolusioner di luar batas-batas mekanisme parlemen dan hukum yang berlaku, di momen seperti itulah aparatus kekerasan semakin dikerahkan secara terbuka. Landasan material legitimasi perangkat “sipil” pada analisa terakhir adalah kekerasan. Setiap orang yang ngeyel akan selalu diingatkan dengan penjara, pentungan dan bayonet.
Dalam perjalanannya, aparatus kekerasan negara pun telah dibagi-bagi untuk memenuhi fungsi-fungsi tertentu: umumnya polisi yang ditugaskan untuk menjaga ‘ketertiban’ dalam negeri, dan tentara yang ditugaskan untuk membela tanah air dari ancaman luar. Namun, sesungguhnya bersembunyi di balik retorika “membela tanah air” adalah pembelaan terhadap kepentingan kapitalis masing-masing negara. Negara-negara kapitalis selalu bersaing satu sama lain untuk berebut pasar, sumber daya alam, dan pengaruh di dunia, dan dalam persaingan ini kekuatan militer diperlukan. Ini menuntut keberadaan angkatan bersenjata yang khusus dan profesional. Rakyat dunia Arab kenal betul dengan tentara “profesional” AS, yang memporak-porandakan bangsa mereka untuk minyak. Rakyat Papua, Timor Leste, dan Aceh kenal betul dengan TNI yang “profesional”.
Di negara-negara kapitalis maju, pemisahan tugas aparatus-aparatus kekerasan kelas penguasa ini umumnya cukup jelas. Polisi – serta berbagai perangkat hukum yang menyertainya – umumnya cukup untuk merepresi kelas-kelas tertindas. Namun ada masanya ketika gerakan telah menjadi begitu luas dan revolusioner, negeri-negeri kapitalis maju pun harus menggunakan kekuatan militer mereka untuk menumpas gerakan kelas tertindas.
Kita ambil contoh saja Amerika Serikat, yang katanya merupakan model demokrasi modern. Di AS, selama masa gejolak 1960-70an, tentara berulang kali dikerahkan untuk menopang polisi dalam merepresi demonstran anti perang dan aktivis hak sipil. Pada 4 Mei 1970, empat mahasiswa Universitas Kent State ditembak mati oleh tentara saat demonstrasi anti perang Vietnam. AS memiliki UU Insureksi yang memperbolehkan presiden memobilisasi militer untuk menumpas insureksi dan pemberontakan rakyat, dan presiden-presiden sipil ini sudah berulang kali menerapkan UU ini untuk menumpas pemberontakan dan pemogokan buruh, seperti saat Great Railroad Strike 1877, Pullman Strike 1894, Colorado Coalfield War 1913, gelombang demonstrasi pada April 1968 menyusul dibunuhnya Martin Luther King, dll.
Selama periode revolusioner Mei 1968 di Prancis, ketika kekuatan polisi sudah tidak bisa lagi mengendalikan situasi dan kapitalisme hampir saja ditumbangkan, Presiden Charles de Gaulle sudah bersiap-siap mengerahkan militer untuk menumpas buruh dan mahasiswa. Di Yunani, kelas penguasa membuka jalan bagi berkuasanya junta militer pada 1967-1974 untuk mencegah situasi revolusioner saat itu berkembang menjadi revolusi terbuka yang dapat menumbangkan kapitalisme.
Inilah apa yang disebut ‘supremasi sipil’ di negara-negara demokrasi yang paling maju. Ketika perang kelas telah mencapai titik didih, para pejabat sipil yang terhormat dan ‘demokratik’ ini akan mengerahkan semua aparatus kekerasannya secara terbuka, baik polisi maupun militer, untuk membela kelas kapitalis. Semua celoteh demokrasi mereka akan mereka lupakan. Kediktatoran militer-polisi pun bisa menjadi pilihan terakhir kelas penguasa untuk menyelamatkan sistem mereka, bahkan bila ini berarti kelas kapitalis itu sendiri terpaksa menyerahkan hak-hak demokratik mereka. Tetapi, selama kediktatoran kapital mereka terjaga, demokrasi bisa dikesampingkan.
Maka dari itu, kita tidak bisa berbicara mengenai supremasi sipil yang dikontraskan dengan supremasi militer. Supremasi sipil di bawah kapitalisme tidak lain adalah supremasi borjuis, seperti halnya demokrasi di bawah kapitalisme hanyalah bisa menjadi demokrasi borjuis. Berdiri di belakang supremasi borjuis ini adalah polisi dan tentara.
Kaum liberal membayangkan supremasi sipil sebagai Negara dengan demokrasi yang ideal, di mana tiap-tiap warga itu katanya setara dan memiliki hak yang sama, dan pemerintahan itu adalah institusi yang netral dan berada di bawah kendali seluruh warga negara. Ini menabur debu ke mata rakyat pekerja, membutakan mereka dari kenyataan masyarakat kelas yang timpang. Ini membutakan kelas buruh dan tani dari fakta bahwa Negara yang ada – bahkan dengan demokrasi yang paling ideal sekali pun – tidak lain adalah Negara Borjuis yang dibangun demi kepentingan kelas borjuis, negara yang setelah ditelanjangi dari perangkat-perangkat sipilnya tidak lain adalah badan khusus orang bersenjata.
Dalam perjuangan untuk kepentingan kelasnya, kaum buruh perlu berjuang untuk hak-hak demokratik mereka tanpa tersungkur ke dalam ilusi demokrasi borjuis, ke dalam abstraksi demokrasi yang kabur, seperti misalnya gagasan supremasi sipil, yang sesungguhnya tidak lebih dari tabir untuk supremasi borjuis. Dalam hal ini, kaum revolusioner menentang UU TNI bukan karena kami mendambakan negara supremasi sipil (baca negara borjuis), tetapi karena UU TNI ini memperkuat aparatus kekerasan borjuis untuk mempertahankan kapitalisme dari perlawanan buruh, tani, dan pemuda.
Militerisme di negara kapitalis terbelakang
Di negara-negara kapitalis terbelakang di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah, kediktatoran militer adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah mereka. Negara kerap muncul dalam bentuk telanjangnya, yaitu sebagai badan khusus orang-orang bersenjata yang aktif dalam ranah sosial dan politik sehari-hari. Ini bukan karena tentara di sana secara inheren maruk kekuasaan, entah bagaimana tidak bisa bersikap “profesional”, tetapi merupakan konsekuensi dari perkembangan historis yang ada.
Pertama, borjuasi negeri-negeri ini secara historis tidak bisa memainkan peran progresif seperti kerabat mereka di Barat pada periode awal kelahiran kapitalisme. Lahir terlambat dalam panggung sejarah, mereka terikat dengan seribu benang pada imperialisme dan pertuantanahan. Sebagai konsekuensinya, mereka tidak mampu mendirikan republik demokratik yang berdaulat dan stabil, yang dapat menjadi katup pengaman yang dapat diandalkan untuk melepaskan tekanan keresahan rakyat tertindas. Untuk menjaga kestabilan, kelas penguasa harus secara reguler mengandalkan kekerasan terbuka dari seluruh aparatus keamanan. Kekerasan polisi dan tentara menjadi fitur sehari-hari dalam masyarakat seperti ini.
Kedua, di bawah tekanan besar dari imperialisme, yang meraup super-profit dengan super-eksploitasi terhadap buruh dan tani, ada kondisi kemelaratan yang tak tertanggungkan di antara mayoritas buruh, tani, kaum muda, dan miskin kota. Dalam proses eksploitasi oleh modal asing ini, borjuasi nasional dan pemerintahan mereka berperan layaknya mandor. Kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi begitu tajam dan terus terakumulasi, dan masyarakat berada dalam situasi krisis yang kronik. Konflik kelas yang tajam ini tidak bisa ditampung oleh demokrasi borjuis yang memang terbatas itu, terlebih ketika borjuasi nasional dan para politisi sipilnya begitu bangkrut. Untuk meredamnya, dibutuhkan Negara dalam esensinya yang sesungguhnya: kekerasan badan khusus orang-orang bersenjata.
Rejim kediktatoran militer kerap muncul sebagai solusi atas situasi revolusioner yang sering muncul di negara-negara kolonial seperti Indonesia, yang tidak mampu menemui penyelesaiannya. Pada kenyataannya, masyarakat tidak bisa terus ada dalam api revolusi. Ketika kedua kelas yang berhadap-hadapan dalam sebuah pertempuran terbuka tidak bisa menang – di satu sisi borjuasi tidak mampu memulihkan ketertiban dengan metode-metode lazimnya, dan di sisi lain proletariat tidak mampu merebut kekuasaan yang sebagian besar dikarenakan kepemimpinannya yang tidak mumpuni – maka negara, yaitu badan khusus orang bersenjata, dapat bangkit di atas masyarakat, mengambil posisi yang relatif independen dari kelas-kelas, dan memerintah dengan pedang. Dalam kata lain, militer mengintervensi dengan kudeta berdarah-darah dan mengambil kendali situasi untuk mengakhiri situasi revolusioner dan menyelamatkan kapitalisme secara keseluruhan.
Demikianlah yang terjadi di Indonesia pada 1965. Dan demikian pula sejarah negara-negara kapitalis terbelakang lainnya. Di Amerika Latin, antara 1967 hingga 1991, 12 negara Amerika Latin mengalami kudeta militer setidaknya sekali, dengan Bolivia mengalami kudeta militer delapan kali. Kita sebut saja kudeta militer Pinochet pada 1973 terhadap pemerintahan Salvador Allende yang terpilih secara demokratik. Argentina diperintah oleh sepuluh diktator militer dari 1943 hingga 1983.
Tidak jauh dari sini, di Thailand, pada 2014 militer merebut kekuasaan untuk menstabilkan kondisi sosial dan politik yang terus bergolak. Ini adalah kudeta ke-12 di Thailand sejak 1932. Bahkan setelah junta militer ini secara formal melepaskan kekuasaannya pada 2019 dan dua pemilu telah digelar setelahnya, militer di Thailand de fakto masih memegang tuas kekuasaan berkat Konstitusi 2017 yang memberi mereka kendali penuh atas Senat. Militerisme mengakar kuat dalam masyarakat kapitalis Dunia Ketiga.
Akar Kuat Militerisme dalam Kapitalisme
Berkat perannya sebagai pedang yang secara reguler dihunus untuk memotong revolusi, pedang yang dalam banyak kesempatan dianugerahi kekuasaan penuh dan dengan demikian meraih kemandirian tertentu dari kelas-kelas, militer menjadi kekuatan sosial dan politik yang serius dalam masyarakat, yang kehadirannya terus terasa di mana-mana bahkan setelah mereka tidak lagi berkuasa. Mereka bukan alat represi yang pasif semata; bukan pedang yang setiap saat bisa dihunus oleh pemerintahan sipil dan lalu dikembalikan ke sarungnya setelah tugasnya selesai.
Pada kenyataannya, tugasnya tidak pernah selesai. Setelah pembantaian 1965-66, ABRI harus terus hadir untuk mematikan semua manifestasi perlawanan dan menyerabut tunas-tunas perlawanan yang senantiasa terus berusaha tumbuh. Guna menjaga ketertiban sosial yang diperlukan untuk kelancaran modal dalam menghisap, tentara membuat dirinya terasa dalam seluruh kehidupan sosial, politik, dan ekonomi sehari-hari, dalam bentuk komando teritorial (yang masih utuh bahkan setelah 1998) serta dwifungsi militer.
Ketika supremasi sipil terbukti tidak mampu “melunakkan konflik kelas” lewat mekanisme parlemen dan demokrasi dan oleh karenanya harus terus mengandalkan kekerasan terbuka polisi-militer, ketika supremasi sipil ini memberi militer kuasa absolut untuk memerintah di periode krisis yang paling dalam, maka militerisme menjadi realitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial dan politik bangsa. Militer telah menjadi kekuatan politik dan sosial, dan posisi istimewa ini tidak akan mereka lepaskan begitu saja, dan tidak bisa mereka lepaskan persis karena mereka selalu dibutuhkan untuk berfungsinya kapitalisme. Sebagai akibatnya, militerisme mengakar begitu kuat dalam kapitalisme.
Revolusi 1998 – yang disebut Reformasi itu karena revolusi ini gugur di tengah jalan, dan yang kita dapati hanyalah perubahan setengah-setengah yang tidak ajek – mampu memukul mundur militer tetapi tidak sepenuhnya mematahkan dominasinya. Komando teritorial masih utuh, yang masih merambah ke berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dari waktu ke waktu digunakan untuk memukul buruh dan tani yang melawan. Tentara de fakto masih berpolitik lewat jaringan purnawirawan yang tersebar luas di berbagai partai politik dan lembaga negara. Hari ini, semua partai “Reformasi 1998” telah berbaris rapi di belakang pengesahan UU TNI. Mereka semua adalah partai-partai sipil yang sama yang telah mengesahkan Omnibus Law dan memangkas anggaran sosial untuk membiayai investasi kapitalis lewat Danantara.
Demikianlah demokrasi terbaik yang bisa direalisasikan dalam masyarakat Indonesia, yang titik tertingginya tercapai sebagai hasil dari gerakan revolusioner 1998, sebagai konsesi demokratik yang terpaksa diberikan kelas penguasa untuk memadamkan api revolusi yang hampir saja membakar seluruh tatanan yang ada. Kaum liberal memimpikan demokrasi akan tumbuh dinamis setelah 1998, tetapi sesungguhnya tidak pernah ada basis material untuknya. Kapitalisme Indonesia selalu membutuhkan negara dalam esensi telanjangnya: kekerasan badan khusus orang-orang bersenjata, dengan sepuhan demokrasi yang tipis, yang sewaktu-waktu bisa dihapus. Untuk memastikan profitnya, kapitalisme tidak mengindahkan mimpi siang bolong kaum liberal.
Bagaimana menghapus militerisme
Untuk melawan militerisme maka kita harus menyerang akarnya, kapitalisme. Militer bukan berdiri untuk kepentingan dirinya semata, tetapi terutama untuk kepentingan modal. Walaupun dalam perkembangan historisnya, militer tampak seperti kekuatan yang berdiri terpisah dari masyarakat, terpisah dari kelas-kelas, bahkan dari kelas kapitalis itu sendiri, tetapi pada analisa terakhir mereka setia menjaga keberlangsungan tatanan kapitalisme.
UU TNI disahkan bukan karena para petinggi militer punya ambisi berpolitik, atau karena seorang Prabowo dengan gaya kepemimpinannya yang militeristik, tetapi karena kepentingan menjaga kapitalisme. Masuknya TNI secara formal ke Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, BIN, Badan Siber, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan tidak lain adalah usaha terus memperkuat negara sebagai organ penindas kelas. Begitu juga dengan RUU Polri yang akan memperluas otoritas polisi untuk mengawasi dan “mengamankan” ruang siber, melakukan penyadapan, dll., yang intinya akan semakin memperkuat badan khusus orang bersenjata ini untuk merepresi rakyat pekerja.
Kapitalisme di seluruh dunia tengah memasuki krisis yang tajam. Ada pengangguran kronik di Indonesia, yang diperparah oleh gelombang PHK di sektor garmen misalnya belum lama ini. Semakin banyak pekerja yang terhempas ke sektor informal atau pekerjaan gig yang rentan itu. Tarif Trump akan semakin memukul industri dalam negeri, dengan PHK lebih lanjut. Dampak pemangkasan anggaran terhadap taraf hidup rakyat pekerja sudah mulai terasa. Semua ini akan mengarah pada semakin menajamnya konflik kelas dan kelas penguasa tengah mempersiapkan dirinya menghadapi ini dengan memperkuat aparatus kekerasannya.
Dalam berjuang melawan militerisme, kaum revolusioner tidak berjuang demi supremasi sipil, melainkan demi supremasi kelas pekerja dan sosialisme. Selama perjuangan ini, pada titik-titik tertentu, mungkin saja kaum revolusioner mengarahkan tinju mereka ke arah yang sama seperti kaum liberal, tetapi kaum revolusioner memiliki program sosialis yang mandiri dan metode perjuangan mereka sendiri.
Program kaum revolusioner tidak terbatas hanya mendorong tentara kembali ke barak, supaya bisa dikerahkan secara profesional untuk merepresi rakyat Papua atas nama “menjaga persatuan nasional” atau dimobilisasi dalam perang imperialis atas nama “membela tanah air”. Kami ingin mengakhiri barak militer itu sendiri, yang merupakan manifestasi monopoli kekerasan oleh kelas penguasa. Kami ingin menghapus negara borjuis dengan badan khusus orang-orang bersenjatanya, dan menggantinya dengan negara buruh dengan rakyat bersenjatanya. Kami ingin secara revolusioner mengakhiri kapitalisme yang menjadi basis dari keberadaan militer itu sendiri.
Dekrit pertama Komune Paris 1871, yang merupakan revolusi proletariat yang pertama dalam sejarah, adalah menghapus tentara tetap dan menggantikannya dengan rakyat bersenjata. Badan khusus orang bersenjata digantikan dengan tentara rakyat dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. Tidak ada lagi tentara di barak-barak yang terpisah dari rakyat pekerja.
Tidak hanya itu. Dalam negara buruh, semua orang yang memegang posisi dipilih secara demokratik dan dapat direcall kapan saja; semua pejabat menerima upah yang sama seperti buruh terampil lainnya, dan semua privilese yang biasanya datang dengan posisi-posisi dalam pemerintah dihapus sepenuhnya. Kebijakan negara buruh ini berlaku juga dalam ranah militer. Tidak ada lagi jenderal-jenderal atau perwira-perwira tinggi dengan privilese mereka. Tidak ada lagi hierarki militer yang autokratik itu, yang digantikan dengan kontrol demokratik rakyat bersenjata lewat dewan-dewan buruh, tani dan tentara. Demokrasi tidak lagi dikungkung dalam parlementarisme borjuis yang semu itu, tetapi menjadi universal dalam arti yang sesungguhnya.
Cita-cita akhir kita adalah mengakhiri tidak hanya kapitalisme tetapi juga masyarakat kelas yang telah ada selama hampir 10 ribu tahun dalam sejarah manusia. Masyarakat tanpa kelas tidak lagi membutuhkan negara, dan dengan demikian tidak lagi membutuhkan baik polisi maupun tentara karena tidak ada lagi kelas yang perlu ditindas.
Bagi banyak orang hari ini, masyarakat tanpa kelas, tanpa negara, tanpa polisi dan tanpa tentara itu seperti hal yang mustahil. Kita sudah begitu terbiasa hidup dengan semua itu. Kita diajarkan bahwa demikian kodrat manusia, akan selalu ada yang berkuasa dan yang dikuasai, akan selalu ada negara, polisi, dan tentara. Tetapi, semua menerima itu sampai akhirnya mereka tidak lagi menerima itu, karena kontradiksi kapitalisme yang semakin tak tertanggungkan pada akhirnya mendorong manusia untuk pecah dari kebiasaan berpikir lama. Inilah yang namanya revolusi. Semua yang padat meleleh ke udara. Hari ini semakin banyak rakyat pekerja – terutama kaum muda – yang muak dengan polisi yang begitu korup. Ini tercerminkan misalnya dalam viralnya lagu “Bayar Bayar Bayar” belum lama ini. Rakyat melihat negara penuh dengan penjahat berdasi, serta tentara yang kerjanya hanya memukuli yang lemah dan tak berdaya. Yang kurang adalah program sosialis yang dapat menjelaskan semua itu kepada rakyat pekerja, menghubungkannya dengan kapitalisme, dan memberikan ekspresi politik yang ampuh pada keresahan rakyat. Inilah kerja propaganda yang harus dilakukan kaum revolusioner secara sabar dan sistematis, dengan menggunakan setiap peluang – seperti UU TNI dan RUU Polri – untuk membongkar watak negara borjuis. Seperti kata Karl Liebknecht, “kaum proletar muda harus secara sistematis disulut dengan kesadaran kelas dan rasa benci terhadap militerisme.”