Setiap hari kita disajikan dengan begitu banyak fakta mengenai meningkatnya intensitas fenomena alam yang membawa bencana bagi umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Banjir, badai, gelombang panas, kebakaran hutan, tanah longsor, abrasi, kekeringan, tenggelamnya pulau-pulau, dan lain sebagainya semakin sering terjadi di berbagai belahan bumi. Banyak wilayah yang sebelumnya aman kini rentan terancam fenomena tersebut.
Krisis iklim tengah terjadi. Suhu di planet ini terus meningkat setiap tahunnya dengan cepat. Para ilmuwan telah menetapkan 1,5 derajat celcius di atas suhu era pra-industrial sebagai ambang batas bahaya. Berdasarkan data Copernicus Climate Change Service, pada 2025 suhu global telah menembus ambang batas tersebut, yaitu 1,6 derajat celcius. Inilah alasan dari meningkatnya intensitas bencana-bencana yang telah terjadi. Kenaikan suhu ini telah merusak kestabilan iklim global.
Fenomena yang kerap disebut bencana alam ini seolah-olah benar-benar murni peristiwa alam, tanpa campur tangan manusia. Sesungguhnya tidak demikian. Aktivitas manusia-lah yang bertanggung jawab atas ini. Namun bukan manusia secara abstrak, melainkan manusia dalam sistem ekonomi sosial yang konkret, yakni kelas pemodal dalam sistem kapitalis.
Siapa yang bertanggung jawab?
Peningkatan suhu global sangat dipengaruhi oleh eksploitasi alam yang dilancarkan secara berlebihan atas dasar kepentingan kelas kapitalis yang mengejar profit. Pembabatan hutan hujan, pengerukan perut bumi karena aktivitas pertambangan, pencemaran sungai dan laut dengan limbah kimia dan plastik telah mengganggu siklus alam yang ramah pada makhluk hidup.
Bencana-bencana alam ini sering kali diidentifikasi sebagai man-made disaster, alias bencana yang diciptakan oleh manusia sendiri. Namun sesungguhnya tidak seluruh umat manusia yang bertanggung jawab akan hal ini. Situasi ini bukan diciptakan oleh orang-orang miskin. Kelas kapitalis-lah yang bertanggung jawab atas semua ini.
Sebuah artikel yang dipublikasikan di jurnal Nature tahun ini menjelaskan, 10% orang terkaya di dunia bertanggung jawab atas dua pertiga pemanasan global. Demikian juga The Guardian melaporkan hanya 100 perusahaan yang menjadi sumber lebih dari 70% emisi gas rumah kaca dunia sejak tahun 1988. Selain itu, mereka menyebutkan setengah dari emisi CO2 dunia berasal dari 36 perusahaan bahan bakar fosil. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki tuan. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam daftar orang terkaya di dunia saat ini. Merekalah biang kerok malapetaka bagi umat manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kapitalisme melahirkan kepunahan
Hingga hari ini laju perusakan lingkungan demi profit terus terjadi. Salah satunya praktik deforestasi. Secara global, hutan yang ditebang rata-rata 10 juta hektar per tahun. Selain mengurangi jumlah serapan karbon dioksida, kondisi tersebut mengakibatkan banyak hewan-hewan liar yang kehilangan habitatnya sehingga terancam punah dan telah punah.
Hasil penelitian para ilmuwan mendapati lebih dari 35 genera hewan dan tumbuhan di dunia punah dalam 200 tahun terakhir. WWF juga telah memperingatkan lebih dari 1 juta spesies bisa punah 10 tahun ke depan apabila laju pengrusakan lingkungan hidup ini tidak dihentikan. Hal ini tentu akan berdampak juga pada manusia.
Namun sayangnya sistem ekonomi kapitalisme mempunyai logikanya sendiri. Seluruh perusahaan di dunia terus menggalakkan produktivitas selama bertahun-tahun demi bersaing dalam mekanisme pasar. Inilah problem utama yang lahir ketika produksi dan distribusi komoditas kebutuhan umat manusia diserahkan pada “tangan tak terlihat”.
Kekuatan produksi global saat ini telah mencapai tingkat lanjut, sehingga kebutuhan dasar seluruh populasi harusnya dapat terpenuhi. Dengan demikian seharusnya laju ekstraksi alam dapat direncanakan secara rasional. Namun kekuatan produksi ini di bawah kendali orang-orang kaya. Mereka bahkan menciptakan kelangkaan di atas keberlimpahan komoditas yang diproduksi oleh kelas pekerja.
Para ilmuwan telah mewanti-wanti, apabila aktivitas perusakan lingkungan yang berdampak pada krisis iklim terus terjadi hingga suhu meningkat mencapai 2 derajat celcius, maka kita akan menyaksikan kepunahan massal yang lebih masif.
Kemunafikan kelas kapitalis
Selapisan kelas penguasa berupaya menyelesaikan krisis iklim. Namun tidak ada satupun dari mereka yang merealisasikan komitmen mereka. Mulai dari deklarasi Stockholm 72, perjanjian Rio de Janeiro 92, Protokol Kyoto 97 hingga rangkaian COP (Conference of the Parties) yang diselenggarakan PBB, semua hanyalah isapan jempol. Berbagai perjanjian telah ditetapkan, namun sama sekali tidak ada komitmen serius untuk dijalankan. Ini karena motif profit kapitalis berbenturan dengan upaya ini.
Dalam forum COP 28 pada 2023 kemarin, menteri industri United Arab Emirates Sultan Al Jaber mengatakan: “Tidak ada ilmu pengetahuan yang menunjukkan bahwa penghentian penggunaan bahan bakar fosil diperlukan untuk membatasi pemanasan global! Kecuali jika Anda ingin membawa dunia kembali ke masa lalu.” Apa yang dia katakan merupakan sentimen yang umum di antara peserta konferensi perubahan iklim seperti ini. Konferensi besar-besaran digelar untuk memberi ilusi kepada rakyat bahwa sesuatu sedang dilakukan untuk menyelesaikan krisis iklim, tetapi sebenarnya tidak ada satu pun peserta yang percaya padanya dan akan melakukan sesuatu. Selepas konferensi, mereka akan melanjutkan apa yang mereka lakukan sebelumnya: membuat profit sebanyak mungkin.
Penolakan mereka untuk melakukan sesuatu bukan karena mereka tidak tahu dan oleh karenanya hanya perlu dicerahkan. Berbagai konferensi dari tahun ke tahun telah menyediakan bertumpuk data dan fakta mengenai krisis iklim dan penyebabnya. Namun fakta ini diabaikan karena tidaklah sesuai dengan pencarian profit kapitalis. Ini tidak berbeda jauh dengan ExxonMobil yang sejak lama telah memprediksi secara akurat krisis iklim melalui hasil penelitian ilmuwannya sendiri sejak 1997, namun mereka mengabaikannya demi profit.
COP30 yang akan diselenggarakan di Brazil pada November mendatang bahkan menunjukkan sebuah lelucon yang menyakitkan. Persiapan KTT ini diawali dengan pembangunan jalan raya empat jalur menuju kota Belém, yang mengharuskan penghancuran puluhan ribu hektar Hutan Hujan Amazon untuk memberi ruang bagi pembangunannya.
Solusi Sosialis
Untuk mengatasi krisis iklim, solusi yang digunakan kelas kapitalis adalah mekanisme pasar, terutama pasar karbon yang telah terbukti jauh dari kata berhasil. Studi yang baru saja dirilis di jurnal Annual Review of Environment and Resources menunjukkan kegagalan total pasar karbon. Peneliti dari University of Oxford Stephen Lezak menyimpulkan: “Kami telah memeriksa 25 tahun bukti dan hampir semua [skema pasar karbon] sampai sekarang telah gagal.” Pasar karbon hanya dijadikan ajang untuk meraup profit dan greenwashing bagi perusahaan. Demikianlah kapitalisme, apapun dapat dijadikan lahan basah untuk profit, bahkan keselamatan bumi.
Laporan JP Morgan yang dibocorkan melalui The Guardian pada tahun 2020 mengakui bahwa industri dunia yang didominasi energi fosil telah mempercepat perubahan iklim. Namun hingga hari ini, lembaga tersebut terus mendanai ekspansi minyak dan gas.
Kini tergambar jelas bahwa di bawah kapitalisme, target nol karbon tahun 2050 tampaknya semakin jauh. Kita tidak bisa mengandalkan kapitalisme dan mekanisme pasarnya untuk menyelamatkan bumi.
Jalan satu-satunya adalah menumbangkan sistem ini dan menggantikannya dengan sosialisme, yaitu sistem ekonomi terencana yang rasional. Mulai dari hulu hingga hilir, ekonomi akan diletakkan di bawah kontrol buruh secara demokratis.
Menggantikan sistem ini tidak berarti penolakan terhadap industri dan kemajuan teknologi yang telah dicapai oleh umat manusia. Menggantikan sistem yang dimaksud adalah penghapusan anarki pasar yang boros. Tetapi kelas kapitalis yang berkuasa atas seluruh alat-alat produksi tidak akan menyerahkan kekuasaan begitu saja.
Oleh karenanya, kelas buruh sebagai kelas revolusioner, harus menunaikan tugas historisnya; ekspropriasi seluruh alat-alat produksi, dan menghapus kepemilikan pribadi dan mengubahnya menjadi kepemilikan bersama. Kita tidak dapat merencanakan sesuatu yang tidak kita miliki. Begitu pula kita tidak dapat mengontrol apa yang tidak kita kendalikan.
Pada analisis terakhir, masalah krisis iklim adalah masalah perjuangan kelas. Hingga hari ini, masih banyak aktivis lingkungan hidup yang berilusi pada pemerintah yang berkuasa untuk mengatasi masalah ini. Mereka menganggap seakan negara adalah badan yang netral. Faktanya kelas kapitalis menggunakan negara sebagai instrumen untuk melancarkan kepentingan kelasnya. Bertahun-tahun telah kita saksikan berbagai gerakan protes yang bangkit mengenai isu lingkungan. Akan tetapi gerakan-gerakan ini tidak membawa perubahan fundamental karena mereka menihilkan perspektif kelas. Salah satu contohnya seperti kelompok aktivis Extinction Rebellion. Mereka cenderung mendepolitisasi protes massa yang bangkit atas isu ini. Jalan yang mereka tempuh adalah mengajak politisi dari berbagai spektrum politik untuk berunding atau memberi ceramah pada kapitalis mengenai pentingnya lingkungan hidup. LSM seperti Greenpeace pun mempunyai tendensi yang sama .
Perjuangan untuk mengatasi krisis iklim hanya akan berhasil apabila terasosiasi dengan perjuangan kelas buruh untuk merebut kekuasaan. Dengan berkuasanya kelas buruh, melalui ekspropriasi seluruh alat-alat produksi di bawah kepemilikan bersama, kita dapat merencanakan sumber daya yang ada di planet ini secara rasional dan demokratis. Aktivitas-aktivitas yang destruktif terhadap alam, mesin-mesin pabrik dan aktivitas industri lainnya, dapat beroperasi berdasarkan kebutuhan manusia, bukan berdasarkan tren permintaan pasar. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan umat manusia selaras dengan lingkungan dan kestabilan iklim, alih-alih menghasilkan keuntungan bagi kaum minoritas parasit.
Pilihan kita adalah Sosialisme atau barbarisme: itulah masa depan yang kita hadapi. Hari ini kita harus berjuang untuk memenangkan revolusi sosialis. Hanya ini jaminan satu-satunya untuk memulihkan bumi agar layak huni bagi seluruh makhluk hidup.
