Ada sebuah mitos yang diciptakan oleh kaum kapitalis. Mitos itu digembar-gemborkannya melalui para pakar ekonomi dan media massa “arus utama.” Mitos itu, sudah barang tentu, adalah mitos tentang keutamaan para “pengusaha.” O ya, “pengusaha”, adalah ungkapan sopan dalam bahasa Indonesia untuk “kapitalis.” Ya, ungkapan sopan, yang di satu sisi menyiratkan kemuliaan kaum kapitalis, dan di sisi lain menyelubungi kenyataan penghisapan dan penindasan yang dilakukannya kepada kaum buruh dari waktu ke waktu. Baiklah. Inilah inti mitos itu: para pengusaha adalah pencipta-pencipta kekayaan. Tanpa mereka, mana ada investasi dan lapangan kerja! Perekonomian pun runtuh! Demikian bunyinya.
Benarkah mitos ini?
Mari kita periksa kenyataannya. Alat-alat produksi atau alat-alat penciptaan kekayaan ada dalam penguasaan segelintir orang. Mereka adalah kaum kapitalis, kelas burjuis, atau para “pengusaha,” yang sebetulnya merupakan segelintir orang saja dalam masyarakat. Mereka memiliki alat-alat produksi dan mengontrolnya: pabrik-pabrik dengan mesin-mesin dan kantor-kantornya, jalan-jalan tol, pertambangan-pertambangan, perkebunan-perkebunan, dan sebagainya. Mereka memegang kendali atas pembuatan keputusan-keputusan yang menyangkut proses produksi dan distribusi.
Di samping kaum kapitalis alias kelas burjuis, ada juga lapisan sosial yang terdiri orang-orang yang memiliki perkakas-perkakas sekadarnya untuk hidup. Mereka adalah para petani kecil, pemilik toko kelontong, dan pengrajin mandiri. Mereka lazim disebut kaum burjuis kecil. Sebagian kecil di antara mereka memperoleh pendapatan yang baik. Namun kebanyakan dari mereka membanting-tulang dan memeras-keringat dengan jam-jam yang panjang, dengan hasil yang tidak lebih tinggi dari upah rata-rata kaum buruh. Tak jarang mereka “tergelincir”, menjadi buruh, menjadi anggota kelas buruh alias proletariat.
Ada kelas burjuis, ada lapisan burjuis kecil. Tapi kelas antagonis, yang secara hakiki memiliki kepentingan obyektif yang bertentangan dengan kelas burjuis, adalah kelas buruh atau proletariat. Orang-orang dari kelas buruh hanya bisa beroleh nafkah bila bekerja untuk orang-orang dari kelas burjuis. Kaum buruh menjual kemampuan kerja mereka kepada kaum kapitalis. Untuk itu mereka menerima upah atau gaji.
Dengan bekerja untuk kaum kapitalis, kaum buruh nyata-nyata menjadi pencipta-pencipta kekayaan. Betapa tidak! Kaum buruhlah yang memproduksi hampir semua barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat! Mereka melakukannya di tempat-tempat kerja yang bukan milik mereka dan tidak berada di bawah kontrol mereka! Mereka bekerja di bawah boss-boss yang tidak mereka pilih. Mereka hanya memperoleh sekadar untuk untuk menyambung hidup dan bekerja bagi kaum kapitalis bulan demi bulan.
Kita pasti paham, bahwa menjadi pencipta kekayaan tidak membuat kita kaya. Barang dan jasa yang diproduksi kaum buruh toh bukan milik mereka, tetapi milik boss-boss mereka. Logikanya jelas: dengan memproduksi barang dan jasa, dalam proses memproduksi barang dan jasa, kaum buruh menciptakan kekayaan bagi kaum kapitalis. Kaum buruh memperkaya para pengusaha!
Para buruh Djarum tidak sekadar memproduksi rokok, tetapi juga menciptakan kekayaan bagi Budi Hartono dan Michael Hartono, dua orang terkaya di Indonesia saat ini. Tidak terkecuali buruh-buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik Low Tuck Kwong (Bayan Resources), Martua Sitorus (Wilmar International), Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas), Peter Sondakh (Rajawali Group), Achmad Hamami & keluarga, Sri Prakash Lohia (Indorama), “Anak Singkong” Chairul Tanjung (CT Group), Kiki Barki (Harum Energy), Murdaya Poo (Central Cipta Murdaya), Edwin Soeryadjaya (Saratoga, Adaro), Tahir (Mayapada), Hary Tanoesoedibjo (Bhakti Investama, MNC), Garibaldi Thohir (Adaro), Theodore Rachmat (Adaro), dan Djoko Susanto (Alfamart)! Kaum buruhlah yang membuat orang-orang itu menjadi tycoon, menjadi kaya dan bertambah kaya!
Eksploitasi. Ya, eksploitasi. Kaum buruh menghasilkan barang dan jasa dengan nilai tertentu, komoditas bernilai tukar atau bernilai jual. Nilai tersebut tidak dikembalikan kepada mereka yang telah membuatnya. Pengusaha atau kapitalis mengambil sebagian dari nilai itu sebagai profit. Kita menyebutnya surplus value atau nilai lebih. Setelah pengambilan surplus value, kapitalis akan memberikan sisa nilai hasil kerja buruh. Itulah yang kita namakan gaji atau upah, yang telah diperhitungkan oleh pengusaha cukup untuk “mereproduksi kemampuan kerja” buruh sehingga buruh bisa bekerja lagi untuk menciptakan kekayaan lebih besar lagi untuk si pengusaha! Pengambilan surplus value itulah eksploitasi alias penghisapan. Ya. Exploitation de l’homme par l’homme atau penghisapan manusia oleh manusia. Semakin giat buruh bekerja, semakin kaya dan semakin berkuasa kaum kapitalis, para penghisap mereka!
Tapi…
Memang, para pengusahalah pemilik alat-alat produksi atau alat-alat penciptaan kekayaan. Mereka adalah pemilik kapital. Mereka sanggup membuka lapangan kerja, menyerap tenaga kerja, dan mengurangi pengangguran – dan dengan begitu katanya mengurangi beban negara (padahal negara dengan segenap aparatusnya adalah lembaga perpanjangan tangan kelas burjuis). Karena itu, rasanya “wajar” ketika menghadapi gelombang perlawanan buruh demi memperjuangkan tuntutan ekonomis-normatif, para pengusaha berani mengancam buruh dengan PHK, membeli mesin-mesin yang dioperasikan oleh lebih sedikit orang, dan sesumbar memindahkan kapital ke negeri lain. Seakan-akan merekalah yang memberi makan buruh dan bukan sebaliknya!
Tapi marilah bernalar sebentar. Kapital para pengusaha tidak akan berkembang tanpa kerja buruh. Alat-alat produksi akan nglokro tanpa kerja buruh. Fixed capital (alat-alat produksi) tidak akan artinya tanpa variable capital (buruh dengan kemampuan kerjanya). Menutup pabrik di suatu daerah dan memindahkan kapital ke daerah lain secara hakiki adalah pemindahan eksploitasi dari tempat yang lebih sukar ke tempat yang lebih mudah. Sangat mungkin itu akan berhasil bila kapitalisme sedang mengalami booming di mana-mana. Tapi situasi ekonomi sekarang sedang berubah. Dimulai dari Barat, saat ini kapitalisme terjangkiti krisis yang secara historis lebih parah daripada Depresi Besar dasawarsa 1930-an. Memindahkan kapital ke tempat lain sekarang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Apalagi bila kelas buruh di mana-mana tempat sudah tergugah kesadaran kelasnya dan terbangun solidaritas internasionalisnya!
Sepertinya, kepemilikan, akses, dan kontrol atas alat-alat produksi adalah kekuatan kaum kapitalis. Dengan itu kaum kapitalis bisa menghisap kaum buruh dan berkuasa atasnya. Tapi persis di sinilah titik Achilles kaum kapitalis: titik kekuatan sekaligus titik kelemahannya. Dengan bangkitnya kesadaran kelas, kaum buruh bisa menghentikan produksi, yang bisa membangkrutkan pengusaha. Dengan menguatnya kesadaran kelas, kaum buruh bisa menduduki pabrik-pabrik bahkan mengambilalihnya dari tangan kapitalis. Dengan solidnya kesadaran kelas, kaum buruh bisa membuat perencanaan produksi yang demokratis: perencanaan produksi dengan melibatkan kaum buruh yang berhimpun dalam komite-komite pabrik dengan tujuan “produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”, bukan “produksi demi profit.” Dengan berkobarnya solidaritas internasionalis, kelas buruh dapat mengalahkan kelas kapitalis!
Di Sini dan Kini
Saat ini, kelas buruh sudah jauh lebih besar daripada saat Marx dan Engels menerbitkan Manifesto Komunis pada 1848. Kala itu kelas buruh juga masih terkonsentrasi di beberapa negeri Eropa Barat. Tapi sekarang, lebih dari 160 tahun setelah Manifesto Komunis, kelas buruh sudah terbentuk di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia! Kelas buruh saat ini bisa lebih powerful daripada kelas buruh di zaman Marx dan Engels, bahkan daripada kelas buruh di Rusia-nya Lenin dan Trotsky. Ya, powerful untuk mengalahkan kaum kapitalis. Tapi tidak hanya itu! Kelas buruh masa kini, termasuk di Indonesia, bisa lebih powerful untuk mengakhiri suatu sistem penghisapan manusia oleh manusia, dan menggantikannya dengan suatu sistem yang demokratis, partisipatoris, adil, dan manusiawi. Kelas buruh masa kini secara potensial lebih dari sanggup untuk menamatkan riwayat kapitalisme dan membangun sosialisme!
Marxis revolusioner meyakini bahwa pembebasan kelas buruh harus dilakukan oleh kelas buruh itu sendiri. Sosialisme hanya bisa dibangun dalam kepemimpinan kelas buruh atas kelas dan lapisan-lapisan tertindas lainnya. Untuk itu kelas buruh sendiri harus memiliki kesadaran kelas dan kesadaran revolusioner, terorganisir dengan baik, bersemangat solidaritas internasionalis, serta mempunyai politik dengan teori, program, dan strategi yang tepat.
Siapakah pencipta kekayaan yang sesungguhnya? Kelas buruh! Siapakah yang sanggup mengalahkan kelas yang merampas kekayaan itu untuk memperkaya diri kelas penghisap itu? Kelas buruh! Siapakah yang sanggup membuat kekayaan itu menjadi kemaslahatan bagi segenap masyarakat? Kelas buruh! Tidak ada alasan untuk minder, merasa tak berdaya, atau takut bagi kaum buruh! Buruh berkuasa, rakyat sejahtera!
Hidup Buruh!
Hidup Sosialisme!