Kapitalisme yang dalam tahapan tertingginya yakni Imperialisme telah menghancurkan seluruh pengharapan tidak hanya bagi rakyat pekerja secara umum, namun juga lapisan-lapisan rakyat lain termasuk juga kaum muda. Pengangguran, kemiskinan, kelaparan adalah hasil dari tak terelakkan dari sistem ini. Kita dapat menjumpai di sekeliling kita, bahwa kemajuan teknologi, pembangunan infrastruktur-infrastruktur yang megah dan mewah, serta kemajuan di bidang-bidang yang lain – yang tidak pernah nampak di dalam masyarakat-masyarakat sebelumnya – bersanding bersama kemiskinan dari mayoritas luas rakyat pekerja.
Mudah saja untuk mengidentifikasikan sistem ini. Cukup dengan mempertanyakan, bagaimana bisa teknologi yang begitu maju sekarang; yang mampu menciptakan barang-barang kebutuhan dalam waktu sekejab, menciptakan berjubel-jubel barang kebutuhan masyarakat yang begitu bertumpah ruah; mampu membuat miskin kelas mayoritas yang memproduksi barang tersebut? Jawabanya adalah satu: yakni kelas yang memproduksi barang tersebut tidak memiliki hak atas alat produksi yang dalam sistem kapitalisme dimiliki oleh segelintir kelas minoritas, yakni kelas borjuis.
Marxisme melakukan pendekatan bahwa sistem kapitalisme saat ini ada dalam pertentangan kelas antara kelas yang terhisap, yaitu proletariat dan kelas penghisap, yaitu borjuasi, yang satu sama lain saling membinasakan. Namun, karena borjuasi telah memenangkan pertarungan kelas di dalam masyarakat sebelumnya melawan tuan tanah feodal, maka kita bisa saksikan kemenangan mereka atas feodalisme berarti juga kemenangan kapitalisme. Seperti halnya feodalisme yang melahirkan kelas borjuasi sebagai pemenang, begitu pula di dalam sistem kapitalisme, kelas borjuasi menghadapi kelas yang akan memenangkan pertarungan ini, yaitu kelas proletariat.
Setelah itu, kelas proletariat yang meraih kemenangannya atas borjuasi tidak perlu lagi menindas kelas di bawahnya – juga hal ini tidak lagi diperlukan – maka tugas perjuangan pembebasan proletariat melawan borjuasi berarti juga pembebasan manusia secara keseluruhan dari kemiskinan, pengangguran, kelaparan yang selama ini menjadi kenyataan yang menakutkan di dalam sistem kapitalisme.
Lantas, bagaimana kaum muda menemui tempatnya dalam perjuangan ini?
Kaum muda adalah lapisan yang paling sensitif atas ketegangan-ketegangan sosial yang berlangsung di dalam masyarakat. Beberapa peristiwa memperkuat pernyataan ini. Di Perncis, pada tahun 1968, ketika demonstrasi-demonstrasi di kampus kemudian menyebar menjadi sebuah demonstrasi umum. Lapisan kaum muda yang dikecewakan dengan kebijakan penutupan kampus lalu menyulut api pemogokan di pabrik-pabrik dan dalam waktu sekejap mengubah kota-kota di Prancis menjadi lautan massa. Demonstrasi kampus yang berubah menjadi pemogokan massa ini menjadi ancaman bagi rezim yang berkuasa saat itu.
Lalu, di Indonesia, pada krisis 1998, kaum muda adalah barisan terdepan di dalam demonstrasi-demonstrasi menentang kenaikan harga-harga kebutuhan. Krisis itu kemudian memantik insting revolusioner kelas buruh. Merespons ini, kelas buruh melakukan pemogokan-pemogokan di pabrik-pabrik serta memberikan dukungan terhadap aksi-aksi yang dilancarkan oleh mahasiswa; memberikan karakter demonstrasi ini karakter revolusioner.
Bahkan di Rusia, pada periode 1860-70-an keresahan masyarakat ditampilkan di dalam gerakan Turun ke Bawah oleh beberapa kaum muda yang tergabung di dalam Narodnik. Seperti digambarkan di dalam buku, Bolshevisme, Jalan Menuju Revolusi, Trotsky dan Pavel Axelrod memberikan komentarnya:
“Para muda dan mudi, kebanyakan dari mereka adalah mantan pelajar, dalam jumlah ribuan berangkat ke seluruh penjuru Rusia untuk mewartakan propaganda sosialis, terutama ke pedalaman Volga di mana mereka mencari-cari legenda pemberontakan Pugachov dan Razin.”
“Gerakan ini,” Axelrod melanjutkan, “yang luar biasa dalam skalanya dan penuh dengan idealisme kaum muda, yang merupakan awal dari revolusi Rusia, sangatlah naif. Para propagandis tidak punya organisasi yang memandunya. Mereka juga tidak punya program yang jelas. Mereka tidak punya pengalaman melakukan gerakan bawah tanah. Dan ini tidak bisa tidak. Anak-anak muda ini, yang telah memutuskan hubungan mereka dengan keluarga dan sekolah mereka, yang tidak punya profesi, hubungan pribadi, tanggung jawab, ataupun rasa takut terhadap yang berkuasa, tampak seperti kristalisasi hidup dari pemberontakan popular. Konstitusi? Parlementerisme? Kebebasan politik? Tidak, mereka tidak akan tergoyahkan dari jalan perjuangan mereka oleh jebakan-jebakan Barat ini. Yang mereka inginkan adalah revolusi total, tanpa jembatan atau tahapan-tahapan.”
Meskipun kaum muda terutama mahasiswa adalah barometer aktif dari ketegangan sosial yang berkembang di dalam masyarakat, kemampuan kaum muda ini untuk memainkan peran sosial yang mandiri juga tidak lebih daripada kaum tani. Gerakan ini sering kali muncul ketika kelas borjuasi dengan keras kepala menolak mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari krisis masyarakat borjuis, sementara kelas proletariat terlalu lemah mengambil kepemimpinan.
Selama gerakan ini tidak mengusik sendi-sendi masyarakat kapitalis, kelas borjuasi masih bisa bersikap tenang.”Kaum borjuis menghargai gerakan mahasiswa dengan setengah setuju, setengah memperingatkan; kalau para pemuda mengadakan sedikit guncangan terhadap birokrasi monarkis, hal itu tidak terlalu jelek, selama ‘anak-anak itu’ tidak bergerak terlalu jauh dan tidak membangkitkan perjuangan keras dari massa.” (Trotsky, Revolusi Spanyol 1931-39). Itulah mengapa di dalam sejarah-sejarah besar, gerakan ini memperoleh karakter revolusionernya dan mengancam keberadaan kelas penguasa ketika kelas buruh berpartisipasi di dalamnya.
Krisis revolusioner yang mentransformasi dirinya menjadi revolusi membutuhkan sebuah kepemimpinan dan program yang tepat. Kaum muda mahasiswa yang basis kelasnya borjuasi kecil tidak mampu melakukan ini dan hanya kelas buruh yang memimpin di bawahnya lapisan sosial lain (kaum tani, mahasiswa dan kaum tertindas lain) mampu membawa revolusi ini pada hasil akhirnya, yaitu: merebut tuas-tuas kendali ekonomi di bawah kontrolnya atau dengan kata lain sosialisme.
Untuk memimpin jalannya peristiwa ini dibutuhkan sebuah partai buruh massa revolusioner yang sudah jauh-jauh hari telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi momen tersebut. Partai ini, yang berlandaskan Marxisme, akan membawa kemenangan telak perebutan kekuasaan oleh buruh atas kelas borjuasi seperti halnya keberhasilan Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Namun, keberhasilan Revolusi Oktober tidak dibangun dalam waktu sekejap. Ia melewati martir-martir kaum muda revolusioner pada 1860-an untuk sampai pada gagasan Marxisme. Ia berkembang dan memperoleh pengejawantahannya di dalam partai Bolshevik yang memimpin keberhasilan revolusi.
Sekarang, kaum muda Indonesia tidak harus melalui bertahun-tahun untuk sampai kepada Marxisme seperti halnya di Rusia. Tidak pula harus melewati periode Turun ke Bawah dan berdandan ala Muzhik, petani Rusia. Kaum muda harus mengatakan, bahwa: cukup sudah berlarian dari satu kampanye ke kampanye lain. Kita harus mengakhiri aktivisme ini bila kita ingin menang. Sudah saatnya kita membangun partai Bolshevik; merebut kekuasaan dari tangan borjuasi, meletakkan kekuasaan di tangan kaum buruh, dan ini berarti sosialisme. Dan kami tidak malu-malu untuk mengakui bahwa kami berdiri di sepanjang garis yang dicapai oleh Revolusi Oktober; bahwa kami berdiri untuk Marxisme Revolusioner; berdiri di bawah panji Bolshevisme dan perjuangan kaum buruh sedunia. Maka dengan itu kami menyerukan kepada kaum buruh dan muda revolusioner bergabung dengan kami.
22 Agustus 2014