Skip to content
Sosialis Revolusioner
Menu
  • Berita
  • Analisa
    • Gerakan Buruh
    • Agraria & Tani
    • Gerakan Perempuan
    • Gerakan Mahasiswa
    • Ekonomi
    • Politik
    • Pemilu
    • Hukum & Demokrasi
    • Imperialisme & Kebangsaan
    • Krisis Iklim
    • Lain-lain
  • Teori
    • Sejarah
      • Revolusi Oktober
      • Uni Soviet
      • Revolusi Indonesia
      • Lain-lain
    • Sosialisme
    • Materialisme Historis
    • Materialisme Dialektika
    • Ekonomi
    • Pembebasan Perempuan
    • Organisasi Revolusioner
    • Iptek, Seni, dan Budaya
    • Lenin & Trotsky
    • Marxisme vs Anarkisme
  • Internasional
    • Asia
    • Afrika
    • Amerika Latin
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Timur Tengah
  • Perspektif Revolusi
  • Program
  • Pendidikan
  • Bergabung
Menu

Kaum Muda Timor Leste mengikuti Contoh Indonesia dan Nepal

Dipublikasi 19 September 2025 | Oleh : Redaksi Sosialis Revolusioner

Selama 3 hari sejak 15 September protes massa pecah di Timor Leste menyusul rencana pengadaan mobil mewah untuk anggota parlemen. Ini adalah protes massa terbesar selama beberapa tahun terakhir. Rezim ketakutan melihat protes ini – dan juga apa yang terjadi di Indonesia dan Nepal – dan segera memberi konsesi. Demonstrasi ini mengikuti alur yang serupa seperti Nepal dan Indonesia selama beberapa pekan terakhir: kemarahan kaum muda yang dipicu oleh ekses-ekses kemewahan para politisi di tengah kemelaratan dan tingkat pengangguran yang tinggi. Slogan-slogan seperti ‘bubarkan partai-partai liberal Fretelin, CNRT, PD, Khunto, PLP” menggema dan menunjukkan bahwa massa sangat membenci mereka. Mereka merasa ditipu dan kemerdekaan mereka selama ini dicuri oleh mereka-mereka yang berkuasa.  

Sudah 23 tahun Timor Leste merdeka, tetapi kondisi rakyat tidak banyak berubah. “Jika Anda pergi ke luar Dili, Anda akan melihat bahwa kondisi ekonomi di sana tidak banyak berubah dalam 25 tahun terakhir,” kata Charles Scheiner, peneliti di LSM La’o Hamutuk yang berbasis di Dili. “Tingkat kemiskinan masih sangat tinggi. Malnutrisi anak mungkin salah satu yang terburuk di dunia,” tambahnya.

Tingkat kemiskinan Timor Leste mencapai 40 persen. Angka ini dua kali lipat dibanding tingkat kemiskinan salah satu provinsi termiskin di Indonesia, yaitu Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengannya. Sebagian besar kaum muda Timor Leste menganggur dan hampir bisa dikatakan menjadi penganggur permanen. Hampir 30% pemuda usia 15–24 tahun masuk kategori NEET (tidak bersekolah, tidak bekerja, tidak mengikuti pelatihan).

Sebagian kecil dari mereka yang beruntung dapat melarikan diri dari kondisi kronis ini dengan bekerja di luar negeri sebagai buruh migran. Remitansi dari buruh migran Timor Leste di Australia, Korsel, Inggris dan Jepang mencapai US$ 245 juta pada 2024, atau 8,7 persen pendapatan nasional. Puluhan ribu keluarga bergantung pada pengiriman uang ini.

Sebagian besar pendapatan negara ini ditopang oleh minyak dan gas yang menyumbang 70 persen dari PDB. Namun, cadangan energi krusial negara ini akan mengering dalam beberapa tahun mendatang. Ladang Bayu-Undan misalnya sudah mulai habis produksinya beberapa tahun terakhir. Sementara Greater Sunrise Field masih dalam sengketa pengelolaan dengan Australia. Imperialisme Australia telah mengeksploitasi negeri ini habis-habisan. Pendapatan dari minyak dan gas Timor Leste hanya menguntungkan kapitalis di Canberra serta memperkaya para politisi dan kroni-kroni mereka.

Seperti halnya borjuasi di negeri-negeri kolonial lainnya, borjuasi Timor Leste tiba terlambat di panggung sejarah. Mereka tereduksi memainkan peran komprador bagi kekuatan imperialis. Mereka tidak mampu membangun industri nasional sendiri dan memodernisasi bangsa, dan memilih meraup keuntungan instan dengan “menjual” sumber daya atau buruh migran murah kepada kekuatan imperialis. Mereka terikat seribu benang dengan imperialisme dan hanya peduli dengan kepentingan sempit memperkaya diri mereka sendiri.

Pemukiman kumuh dengan kondisi yang menyedihkan bermunculan di kaki pegunungan yang mengelilingi Dili sementara rumah-rumah mewah para penjabat dan kapitalis-kapitalis baru berdiri megah. Ada kesenjangan yang begitu lebar antara kelas penguasa dan rakyat pekerja. Inilah yang mendasari perlawanan kaum muda kemarin, yang menjadi barometer sensitif bagi keresahan seluruh rakyat pekerja Timor Leste.

Menteri, wakil menteri, hakim, dan penjabat tinggi negara diberi tunjangan pensiun seumur hidup yang baik, sementara rakyat jelata hidup tanpa tunjangan hari tua. Masalah pensiun seumur hidup ini juga menjadi sumber kemarahan rakyat.

Selain itu para pejabat-pejabat ini menikmati privilese-privilese tambahan yang menguntungkan, seperti: perawatan medis, termasuk di luar negeri apabila dianggap perlu; pembebasan bea impor mobil pribadi dan bahan bangunan rumah pribadi, yang lalu digunakan untuk berusaha dan meraup banyak untung; paspor diplomatik untuk seluruh keluarga mereka, yang mereka gunakan untuk bertamasya, sebuah kemewahan besar; kendaraan negara dengan sopir pribadi, rumah negara, sekretaris pribadi, asisten, dsb. Semua ini kontras dengan pendapatan harian mayoritas rakyat yang hanya sebesar US$1,90 per orangnya.

Fretilin, sebagai partai pejuang kemerdekaan, telah begitu terdiskreditkan di mata kaum muda. Meskipun masih menikmati kapital politik dari masa lalunya sebagai pemimpin perjuangan kemerdekaan, dukungan terhadap partai ini sudah mulai surut. Pada pemilu 2023, partai ini hanya mendapatkan 25,8 persen, sedangkan di tahun 2018 mereka mendapatkan 34,2 persen suara.

Pemerintahan Fretilin bertanggung jawab atas disahkannya berbagai undang-undang yang menjamin berbagai privilese bagi anggota parlemen dan pejabat. Inilah salah satu alasan mengapa basis dukungannya semakin lemah.

Selama periode terakhir Xanana Gusmao dan partainya CNRT membangun reputasinya sebagai oposisi di tengah kemunduran Fretilin. Tetapi ini pun tidak membuatnya imun dari kemarahan kaum muda, yang juga melihat CNRT tidak berbeda dari seluruh politisi korup yang menjadi sumber segala sesuatu yang salah dengan negara ini.

Ada banyak skandal korupsi dan nepotisme di lingkaran Xanana. Misalnya Zenilda Gusmao, putrinya, adalah pemegang saham Prima Food yang memenangkan kontrak pemerintah untuk memasok beras senilai $US3,5 juta.

Kemuakan terhadap semua partai politik yang ada, yang telah  berlangsung puluhan tahun itu, kini meledak ke permukaan. Terinspirasi keberanian kaum muda Nepal dan Indonesia, mahasiswa Timor Leste mengorganisir demonstrasi pada 15 September. Ribuan mahasiswa berkumpul di depan gedung parlemen. Para demonstran membakar ban dan berorasi, tetapi pemerintah segera mengerahkan polisi dan membubarkan demonstrasi dengan gas air mata. Pertempuran di jalanan pecah dan seluruh kota Dili diselimuti kabut gas air mata.

Apa yang awalnya dimulai sebagai protes menolak pengadaan mobil mewah bagi para anggota parlemen kini menjadi gerakan menolak seluruh privilese para pejabat dan sistem yang memiskinkan rakyat pekerja.

Seorang mahasiswa yang terkena gas air mata saat turun ke jalan mengatakan kepada BBC bahwa dia marah pada para anggota parlemen karena “[ingin] membeli mobil mewah untuk bekerja sementara rakyat mereka masih menderita.” Gaji tahunan anggota parlemen di Timor Leste mencapai US$ 36.000, yang hampir 30 kali lipat dari pendapatan per kapita.

Sesungguhnya, rencana pemerintah untuk membeli mobil baru bagi pejabat bukanlah hal baru. Sejak tahun 2000an, mahasiswa telah menggelar berbagai demo untuk menolak pemberian mobil bagi anggota parlemen. Tetapi demonstrasi kali ini berbeda karena ini bukan lagi hanya mengenai isu pengadaan mobil, melainkan ekspresi umum kemarahan rakyat akan tingginya kemiskinan dan pengangguran kronis di negara tersebut. Dalam tayangan-tayangan video di media sosial, kita dapat melihat rakyat luas mendukung para demonstran mahasiswa. Salah satu dari mereka misalnya mengatakan: “Masyarakat tidak memiliki akses terhadap pendidikan, air, dan sanitasi yang baik. Kami kekurangan fasilitas, tetapi mereka masih membuat begitu banyak undang-undang untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Kami pikir itu tidak adil.”

Bila sebelumnya pemerintah bisa dengan mudah mengabaikan para mahasiswa yang sering berdemonstrasi, kali ini tidak karena di belakang mahasiswa ini berdiri massa luas yang memberikan simpati mereka. Inilah mengapa demonstrasi yang berlangsung selama 3 hari kemarin berhasil membuat pemerintah bertekuk lutut. Mereka segera membatalkan pemberian mobil dan mengkaji ulang tunjangan pensiun bagi anggota parlemen. Kelas penguasa begitu ketakutan melihat revolusi di Nepal dan Indonesia. Itulah mengapa konsesi diberikan untuk mencegah revolusi dari bawah.

Ledakan-ledakan revolusioner yang terjadi akhir-akhir ini mencerminkan betapa dalamnya krisis kapitalisme. Apa yang terlihat di Indonesia, Nepal dan Timor Leste ini adalah gambaran bahwa massa sudah tidak lagi dapat bertahan hidup dengan cara-cara lama. Masalah-masalah mendasar di Timor Leste (korupsi, kemiskinan dan pengangguran) tidak dapat diselesaikan dalam batas-batas sistem kapitalisme. Cepat atau lambat massa akan kembali merangsek masuk ke dalam panggung sejarah.

Semua partai yang ada telah terdiskreditkan di mata massa. Semakin banyak kaum muda yang mulai mempertanyakan sistem kapitalisme dan mencari alternatif revolusioner. Bila ada partai Marxis Revolusioner sejati eksis di Timor Leste ini akan mengubah jalannya peristiwa. Partai ini dapat menawarkan alternatif revolusioner kepada massa, bahwa hanya dengan nasionalisasi dan perencanaan ekonomi sosialis maka rakyat pekerja mampu memecahkan masalah mendasar mereka. Dengan kata lain, kita membutuhkan pemerintahan kelas buruh dan kaum miskin untuk menggantikan pemerintahan kapitalis korup hari ini dan memulai transformasi sosialis. Inilah satu-satunya jalan keluar.

Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !


    Dokumen Perspektif

    Perspektif Dunia 2025: Dunia Terjungkir Balik – Sistem Kapitalisme dalam Krisis
    Perspektif Politik 2025: Bersiap Untuk Revolusi
    srilanka
    Manifesto Sosialis Revolusioner
    myanmar protest
    Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan
    ©2025 Sosialis Revolusioner | Design: Newspaperly WordPress Theme