Dalam waktu dekat, kelas buruh Indonesia akan memiliki partai politiknya sendiri. Setelah lebih dari 50 tahun tidak memiliki partainya sendiri, dan hanya jadi lumbung suara untuk parpol-parpol kelas penguasa, kelahiran partai ini dapat menjadi momen historis bagi gerakan buruh Indonesia. Namun proses ini belum tentu rampung. Walaupun sejumlah serikat buruh besar telah menjadi inisiator utamanya, masih banyak yang belum bergabung. Bahkan bila semua serikat buruh masuk ke dalamnya, buruh terorganisir merupakan minoritas kecil dari keseluruhan rakyat pekerja. Apakah Partai Buruh ini akan dapat memenangkan lapisan-lapisan rakyat pekerja lainnya – buruh tidak terorganisir, pekerja informal, tani, nelayan, kaum muda, kaum miskin kota – dan menjadikan mereka basis massanya, ini masih akan ditentukan oleh proses-proses pergulatan selanjutnya, dan salah satu faktor penentunya adalah asas dasar dan program partai.
Sampai saat ini, asas Partai Buruh yang digagas ini adalah “Negara Kesejahteraan”, dengan 13 poin program di seputarnya. Namun sesungguhnya, dunia hari ini sudah tidak lagi memungkinkan terwujudnya “Negara Kesejahteraan”. Oleh karena itu Partai Buruh tengah menggali lubangnya sendirinya dan akan mengecewakan para pendukungnya di hari depan.
Negara Kesejahteraan lahir pasca Perang Dunia Kedua di Eropa dan Amerika Utara. Terbentuknya Negara Kesejahteraan bukanlah karena itikad baik dan kemurah-hatian kelas penguasa, tetapi karena ancaman revolusi selepas perang. Di mana-mana ada gelombang revolusi yang mengancam menumbangkan kapitalisme. Untuk menenangkan massa, pemerintah memberikan konsesi-konsesi besar yang tidak ada presedennya: kesehatan gratis, pendidikan gratis, nasionalisasi sejumlah industri, tunjangan pengangguran, program perumahan rakyat, dll.
Selain itu, boom ekonomi pasca PD II memberi landasan ekonomi untuk program-program kesejahteraan yang masif ini. Kelas penguasa dapat memberikan remah-remah yang besar karena pundi-pundi mereka terisi penuh. Boom ekonomi ini berakhir dengan krisis pada 1970an, dan sejak itu kapitalisme tidak pernah lagi mengalami pertumbuhan ekonomi sepesat periode pasca PD II. Boom ini adalah sebuah periode unik yang tidak akan lagi terulang.
Bersamaan dengan itu, proyek Negara Kesejahteraan ini dengan cepat berakhir. Dimulai pada akhir 1970an, yakni setelah boom ekonomi ini berakhir, kelas penguasa menuntut kembali apa yang telah mereka berikan. Setahap demi setahap, berbagai program Negara Kesejahteraan digerus dan dipreteli. Apa yang sebelumnya telah dinasionalisasi mulai diprivatisasi kembali untuk memuaskan nafsu profit kelas kapitalis. Tidak ada makan siang gratis. Kebijakan pemangkasan dan privatisasi ini dipersonifikasi oleh sosok Presiden AS Ronald Reagan (1981-89) dengan Reaganomic-nya serta Perdana Menteri Margaret Thatcher (1979-90).
Runtuhnya Uni Soviet semakin mempercepat proses penghancuran Negara Kesejahteraan. Ini digadang sebagai kegagalan Sosialisme dan keunggulan pasar bebas Kapitalisme, walaupun sebenarnya yang runtuh bukanlah Sosialisme tetapi Stalinisme, yakni karikatur buruk Sosialisme. Sejak itu, negara tidak lagi diperbolehkan mengintervensi kehidupan ekonomi. Program-program sosial dari Negara Kesejahteraan dianggap sebagai intervensi “sosialis” yang mendistorsi dan mengganggu kerja pasar bebas dan kapitalisme, dan maka dari itu harus dihapus. Kita sendiri ingat bagaimana IMF memaksakan Structural Adjustment Program-nya ke negeri-negeri berkembang seperti Indonesia, dengan penghapusan subsidi BBM, privatisasi, dan liberalisasi pasar.
Krisis finansial 2008 semakin mempercepat kebijakan pemangkasan ini. Di seluruh dunia, pemerintah menggelontorkan dana talangan (bailout) dan berbagai skema stimulus ekonomi untuk menyelamatkan bank-bank dan korporasi-korporasi raksasa, dan biaya ini ditanggung oleh rakyat pekerja dengan terus memangkas anggaran-anggaran sosial. Kaum kapitalis ternyata tidak sepenuhnya anti terhadap intervensi negara dalam ekonomi. Mereka hanya anti program sosial yang menguntungkan rakyat, tetapi mendukung subsidi besar untuk korporasi.
Hari ini, tidak ada lagi ruang untuk Negara Kesejahteraan. Pemerintahan di seluruh dunia terjebak dalam hutang yang menumpuk tinggi, yang sebagian besar disebabkan oleh stimulus ekonomi yang mereka sediakan kepada kapitalis untuk mengatasi krisis finansial 2008. Dari Juni 2008 sampai Juni 2018, jumlah hutang global (hutang pemerintah, korporasi, dan rumah tangga) melambung sebesar 50%, atau mencapai $178 triliun. Dan dalam 2 tahun terakhir, hutang ini terus meningkat. Pada akhir 2020, hutang dunia telah mencapai rekor $281 triliun, atau 356% dari total GDP dunia.
Sementara di Indonesia, jumlah hutang pemerintah Indonesia melambung 300% sejak Juni 2009. Dari 157 miliar dolar menjadi rekor 453,4 miliar dolar pada Juli 2021. Hampir tidak ada lagi ruang untuk menciptakan program-program Negara Kesejahteraan yang ambisius. Oleh karenanya, setiap partai yang menjanjikan Negara Kesejahteraan, ketika mereka masuk ke pemerintahan, akan dihadapkan satu pertanyaan krusial ini: Bagaimana membiayai program-program sosial yang mereka janjikan ketika defisit anggaran negara begitu besar? Siapa yang harus membayar ini?
Mungkin akan ada orang pintar yang mengajukan solusi-solusi berikut:
Naikkan pajak orang kaya dan korporasi! Tetapi, bila kita menaikkan pajak korporasi, maka perusahaan-perusahaan ini akan angkat kaki dan menanamkan modalnya di negeri-negeri lain yang siap menurunkan pajak.
Renegosiasi royalti hasil tambang! Hal yang sama akan terjadi. Perusahaan-perusahaan migas akan hengkang karena ada banyak negeri lain yang siap menjanjikan tingkat profit yang lebih menggiurkan.
Bangun kekuatan BUMN! Ini adalah salah satu poin program Partai Buruh, dan tampaknya ini bisa menjadi solusi untuk membiayai Negara Kesejahteraan. Namun, program ini juga tidak akan menjawab apapun. Sampai hari ini, semua BUMN yang ada dikelola sedemikian rupa untuk menfasilitasi dan menguntungkan sektor swasta. Bila pemerintahan Partai Buruh yang baru mencoba mengubah orientasi BUMN, kaum kapitalis akan merespons dengan boikot kapital, atau bahkan lebih buruk lagi: kudeta.
Ketika Hugo Chavez terpilih pada 1999, salah satu program utamanya adalah menguatkan BUMN yang ada, terutama BUMN migas, yakni PDVSA. Pada saat itu dia tidak berbicara mengenai Sosialisme sama sekali. Chavez hanya ingin menguatkan BUMN yang sudah ada untuk membiayai program-program sosial yang dia janjikan. Tampaknya seperti program yang masuk akal dan sangat moderat sebenarnya. Sebelum Chavez terpilih, PDVSA tidaklah lebih dari institusi yang menfasilitasi keberadaan perusahaan-perusahaan migas asing untuk mengeruk kekayaan migas Venezuela. Ketika Chavez mencoba mengubah ini, dan mengarahkan PDVSA untuk kesejahteraan rakyat dengan menegosiasi ulang royalti migas, rejimnya direspons dengan kudeta (2002), sabotase ekonomi (2002-03), boikot kapital, dan berbagai usaha lainnya untuk melengserkan rejim ini. Inilah yang lalu mendorong Chavez pada kesimpulan bahwa hanya dengan pecah dari Kapitalisme, dan hanya lewat Sosialisme, maka pemerintahnya akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat dengan sesungguhnya. Dia langsung menasionalisasi seluruh sektor migas serta sektor-sektor ekonomi lainnya, dan dengan demikian dapat membangun program Negara Kesejahteraan yang paling besar dalam sejarah Venezuela. Ini membuatnya menjadi pemerintah yang paling dibenci di seluruh dunia.
Sayangnya, Hugo Chavez dan penerusnya tidak pernah benar-benar menuntaskan Revolusi Sosialis yang mereka mulai. Ini adalah subjek diskusi terpisah yang telah kami kupas di beberapa artikel sebelumnya (Baca Pemilihan Maduro: Revolusi Venezuela dalam Persimpangan Jalan) Terlepas dari ini, ada pelajaran penting yang harus kita petik. Hanya dengan berani pecah dari batas-batas kapitalisme maka sebuah pemerintah dapat memiliki peluang yang riil untuk membangun Negara Kesejahteraan.
Jadi jelas, setiap usaha dari Pemerintahan Partai Buruh ini dalam mewujudkan Negara Kesejahteraan – dan juga program-program lainnya – akan dihadapkan dengan batas-batas kapitalisme. Inilah nasib yang menimpa oleh semua partai buruh di dunia. Setiap partai yang tidak memiliki asas dasar yang berani melampaui batas-batas kapitalisme – yakni asas dasar Sosialisme – maka pada akhirnya akan didikte oleh logika pasar kapitalisme. Setelah mereka berkuasa, mereka dihadapkan oleh realitas yang ada: siapa yang harus membayar Negara Kesejahteraan ini? Mereka mencari uangnya, tetapi tidak ada lagi uang di kas negara. Yang mereka temui adalah defisit besar. Mereka berputar-putar mencoba mengatasi defisit ini, tetapi pada akhirnya alih-alih menciptakan Negara Kesejahteraan, mereka justru jadi pemerintah yang melakukan pemangkasan dan mempreteli Negara Kesejahteraan. Ini nasib yang menimpa partai-partai buruh di dunia: Partai Buruh Inggris; PASOK di Yunani; Partai Sosial Demokrat di Jerman; Partai Sosialis di Prancis (yang hanya namanya saja sosialis, tetapi tidak lagi berasaskan sosialisme); dll. Mereka jadi partai austerity (penghematan), yang kini tidak lagi didukung mayoritas buruh, dan dipandang jijik oleh buruh seperti halnya partai-partai borjuis lainnya.
Pada analisa terakhir, Kapitalisme sudah tidak lagi memungkinkan terwujudnya Negara Kesejahteraan. Tidak ada lagi ruang untuk reforma.
Bila Partai Buruh ini menaikkan upah buruh, dan ini direspons dengan penutupan pabrik oleh kapitalis, apakah Partai Buruh ini berani menasionalisasi pabrik tersebut untuk dikelola oleh buruh? Apakah Partai Buruh ini berani mengambil alih aset pemodal yang ingin melarikan kapitalnya ke luar negeri?
Bila Partai Buruh ini membatalkan Omnibus Law, dan ini menyebabkan para investor menarik modal mereka, apakah pemerintah ini berani lalu menasionalisasi sektor-sektor yang ditinggalkan oleh para kapitalis ini? Apakah Partai Buruh ini berani membekukan aset-aset pemodal yang ingin mereka boyong ke luar negeri?
Atau justru, Partai Buruh ini akan mencoba bernegosiasi dengan para pemodal? Mungkin para pemimpin Partai Buruh hari ini merasa bahwa mereka adalah negosiator yang lebih ulung dibandingkan Jokowi, sehingga bisa menghasilkan Omnibus Law yang lebih adil, yang memuaskan pemodal dan juga buruh. Tetapi demikian juga semua partai buruh di dunia, yang awalnya percaya diri bahwa mereka bisa mendamaikan program Negara Kesejahteraan mereka dengan kepentingan profit kapitalis. Mimpi mereka buyar ketika berbenturan dengan realitas.
Jawaban dari semua pertanyaan di atas akan ditentukan oleh asas dasar partai. Asas dasar Negara Kesejahteraan, yang beroperasi di dalam batas-batas kapitalisme, hanya akan membawa partai ini ke kegagalan. Bila Partai Buruh ini satu hari menjadi pemerintah yang berkuasa, pemerintah ini akan didikte oleh logika pasar kapitalis, dan dalam sekejap akan mengkhianati aspirasi pemilihnya. Ini bukan masalah amanah atau tidak amanah. Ini adalah masalah ekonomi.
Kita harus belajar dari pengalaman yang ada, dan bukannya mengulangnya.
Ekonomi kapitalisme sudah tidak memungkinkan lagi reforma yang berarti, apalagi Negara Kesejahteraan. Untuk meraih reforma kecil pun, dibutuhkan perjuangan yang sengit. Dan tidak lama setelah reforma dimenangkan, kelas penguasa akan merenggutnya kembali dengan bunga tinggi. Kita ingat, bagaimana dibutuhkan pemogokan nasional pada 2012 untuk memenangkan kenaikan upah yang berarti. Tetapi dalam waktu tidak lama, PP78 dan Omnibus Law diloloskan, serta kerja kontrak semakin menjadi praktik umum, sehingga secara efektif semua kemenangan yang telah diraih lewat Getok Monas yang historis itu telah menguap. Dan kondisi buruh telah kembali seperti semula, dan bahkan ada dalam posisi yang lebih buruk kalau kita ingat cakupan kontra-reforma Omnibus Law yang sungguh merupakan sapu jagat. Ini berarti, sebuah partai yang sungguh ingin mewujudkan Negara Kesejahteraan harus memiliki wawasan perjuangan yang melampaui kapitalisme.
Kapitalisme menciptakan kemiskinan, kesengsaraan, kerusakan lingkungan, dan berbagai persoalan kerakyatan lainnya karena ia adalah sistem ekonomi yang motif utamanya adalah pengejaran profit dan berdasarkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Segelintir pemilik modal yang menguasai ekonomi – yang difasilitasi dan dilindungi oleh negara – mengeksploitasi rakyat pekerja dan alam untuk mengakumulasi profit di tangannya. Mereka menjalankan ekonomi bukan untuk pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohaniah manusia tetapi untuk pemenuhan pundi-pundi mereka.
Tidak ada jalan keluar dalam batas-batas kapitalisme. Tidak ada masa depan untuk umat manusia di bawah kapitalisme. Untuk menghentikan eksploitasi, kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh kelas kapitalis harus diambil alih oleh kelas buruh. Masyarakat kita memiliki kekayaan yang jauh lebih dari cukup untuk menciptakan “Negara Kesejahteraan” yang sejati dan berkelanjutan. Tetapi kekayaan ini ada di tangan segelintir kapitalis yang tidak akan pernah sudi menggunakannya demi kesejahteraan seluruh umat manusia. Maka dari itu, kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi (pabrik, tambang, perkebunan, bank, dll.) harus diubah menjadi kepemilikan publik. Ekonomi tidak lagi dijalankan untuk profit segelintir orang, tapi untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia. Ekonomi tidak lagi didikte oleh “pasar bebas” – yang biasanya hanya berarti kebebasan para pemilik modal untuk meraup profit – tapi dijalankan dengan sistem perencanaan yang demokratik. Inilah Sosialisme. Inilah yang harus jadi asas dasar Partai Buruh kalau kita sungguh-sungguh ingin menyejahterakan rakyat pekerja. Hanya Sosialisme yang bisa menjamin tegaknya “Negara Kesejahteraan” yang sesungguhnya, yang akan membuat semua Negara Kesejahteraan sebelumnya di Eropa dan AS tersipu malu.