Nasib buruh dan lapisan rakyat pekerja lainnya kini ada di persimpangan jalan. Setelah dihantam oleh pandemi Covid-19 — atau lebih tepatnya, dihantam oleh kelalaian dan ketidakbecusan pemerintah dalam menangani pandemi — rakyat pekerja hari ini dihadapkan dengan awan gelap Omnibus Law. RUU Sapu Jagat ini sungguh akan menyapu rakyat pekerja ke samping demi mulusnya laju kapital.
Perlawanan telah dikerahkan sejak awal tahun ini, tetapi jelas masih jauh dari mumpuni. Kenyataan bahwa pemerintah merasa percaya diri untuk terus melanjutkan pembahasan Omnibus Law di tengah pandemi, dan Luhut yang mampu berkomitmen bahwa RUU ini akan digolkan paling lambat awal September, ini memberi sinyal jelas bahwa tekanan rakyat tak dirasakan oleh penguasa sama sekali.
Ini mengedepankan pertanyaan: tekanan macam apa yang harus kita kerahkan? Antara tekanan aksi massa atau tekanan lobi, mana yang lebih efektif? Yang pintar ngeles mungkin akan menjawab “Gabungan keduanya”, tetapi mereka lupa menjelaskan: Bagaimana menggabungkannya? Apa relasi dari kedua taktik?
Para pemimpin konfederasi-konfederasi buruh besar sejak awal telah bertaruh dengan proses lobi dan perundingan, berawal dengan Tim Pembahasan bentukan Kemenko Perekonomian pada Januari, lalu Tim Teknis pada Juni, sampai ke Tim Perumus baru-baru ini. Satu per satu tim-tim lobi ini kandas, dan akan jadi mukjizat kalau tim versi yang terakhir ini bisa menghindari nasib yang sama.
Tim Pembahasan langsung kandas bahkan sebelum dimulai, karena jelas pemerintah tidak punya keseriusan mengundang serikat-serikat buruh. Begitu teledornya pemerintah, dari undangan yang jelas disengaja terlambat dan mendadak, sampai pencatutan nama serikat. Sesungguhnya keteledoran ini bukan karena tidak kompeten, tetapi karena pemerintah memandang sebelah mata serikat-serikat buruh yang ada. Mereka yakin serikat-serikat yang ada bukan ancaman sama sekali.
Tim selanjutnya juga tidak sukses akibat keluarnya sejumlah serikat dan konfederasi, terutama KSPI dan KSPSI yang mewakili mayoritas terbesar buruh terorganisir. Ini jelas membuat tim ini ompong. Tetapi keluarnya serikat-serikat ini dari Tim Teknis bukan lantaran mereka mengubah haluan taktik mereka. Ini hanya masalah prosedural saja, dan ketidaksukaan pribadi atas arogansi Apindo dan Kadin. Taktik lobi masih jadi acuan utama para pemimpin ini.
Serikat-serikat yang keluar dari Tim Teknis lalu diundang kembali oleh DPR untuk masuk Tim Perumus pada hari Selasa (18/8) kemarin, yang mereka terima dengan imbalan membatalkan rencana demonstrasi. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya memimpin Tim Perumus ini, dan apa yang dia katakan sungguh mengungkapkan relasi kekuatan yang ada antara rejim dan serikat. Dia mengatakan bahwa pembentukan tim ini “merupakan niat baik dari pihaknya untuk memberi ruang bagi serikat yang keluar dari tim teknis pembahasan RUU.” Ketika rejim bisa begitu arogan menyatakan bahwa negosiasi ini adalah karena “niat baik” mereka, karena kemurahan hati rejim pada buruh, maka jelas pihak serikat buruh sejak awal tidak punya taring dalam negosiasi ini. Rejim tidak merasa harus duduk berunding dengan buruh. “Niat baik” macam apa ini ketika rejim jelas akan meloloskan Omnibus Law dengan segala konsekuensi buruknya terhadap kehidupan rakyat pekerja? Kemungkinan besar pernyataan “niat baik” ini sesungguhnya lebih ditujukan ke para pemimpin buruh agar bisa menyelamatkan muka mereka di hadapan buruh akar rumput, bahwa setidaknya mereka terlihat oleh anggotanya telah melakukan sesuatu.
Pada saat bersamaan, kelompok serikat lain dari Tim Teknis sebelumnya (KSBSI, KSPN, KSPSI Yoris, Sarbumusi) menghadiri focus group discussion dengan DPR. Kedua kelompok ini gontok-gontokan tim negosiasi mana yang lebih efektif. Said mengumbar, “Ini (tim perumus) jauh lebih kuat dibandingkan tim teknis … [yang] hanya sebatas alat legitimasi atau maaf tanda petik stempel.” Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban tersinggung dengan pernyataan Said Iqbal ini, dan membalas. “Tidak boleh. Kami lebih benar karena [Tim Teknis] tripartit, tapi kami enggak mau klaim itu, tetap kami hargai perbedaan-perbedaan itu.”
Perbedaan antara serikat-serikat yang terpecah dalam tim-tim lobi yang berbeda hanyalah bersifat sekunder, dangkal dan bukan prinsipil. Dalam hal taktik dasar dan cara pandang mereka, mereka seiya-sekata: taktik lobi jadi taktik utama untuk membendung serangan pemerintah; dan mereka mendukung usaha rejim untuk memuluskan investasi. Kita telah jelaskan dalam artikel sebelumnya (Ekonomi Politik Omnibus Law: Dilema Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja), bahwa memuluskan investasi niscaya berarti serangan terhadap taraf hidup rakyat pekerja. Tidak ada jalan ketiga.
Singkatnya, satu-satunya jalan bagi kapitalis untuk menang dari persaingan adalah dengan memberikan harga barang termurah di pasaran. Dan cara untuk bisa memberikan harga termurah adalah dengan memeras kerja buruh agar menghasilkan barang sebanyak-banyaknya, menekan upah buruh semurah-murahnya, dan membuat posisi kerja buruh semakin fleksibel (dipecat dan dieksploitasi). Perang dagang Cina-Amerika tidak lain terjadi karena pasokan barang-barang dari Cina yang murah-meriah. Demikian juga hancurnya industri baja Inggris yang turut mengguncang ekonomi negara itu tak lain adalah karena industri baja Inggris kalah bersaing dengan industri baja dari Cina yang harganya jauh lebih murah. Dari mana kapitalis Cina bisa memasok barang-barang yang jauh lebih murah dari pesaingnya kalau bukan dengan mengekspolitasi dan menekan upah buruhnya. Hal yang sama pun berlaku ketika investasi masuk di Indonesia.
Kembali lagi, antara taktik lobi/berunding dan taktik aksi massa, masalah dasarnya bukanlah memilih yang mana yang lebih efektif ataupun memilih proporsi yang tepat antara keduanya. Masalahnya, kalau kita ingin berunding, kita harus terlebih dahulu datang ke meja perundingan dengan posisi yang kuat. Dan posisi yang kuat ini hanya bisa dibangun lewat aksi massa terlebih dahulu, dengan eskalasi aksi massa sampai rejim begitu takut sehingga siap berunding dengan kita. Dengan posisi kuat, maka rejim tidak akan berani-beraninya teledor mengirim undangan yang telat, maka Apindo dan Kadin tidak akan arogan, dan Willy Aditya tidak akan mengatakan bahwa perundingan ini adalah niat baik dari pihak rejim. Dengan posisi kuat, maka buruhlah yang bisa mengatakan bahwa perundingan ini adalah niat baik dari buruh.
Posisi kuat dalam berunding tidak bisa dibangun hanya dengan ancaman hampa. Berkali-kali para pemimpin buruh seperti Said Iqbal mengancam akan menggelar demo ratusan ribu buruh, atau mogok nasional, tetapi tidak pernah secara serius merealisasikan ini. Buruh bukan seperti keran air yang bisa dibuka dan ditutup seenaknya dengan instruksi dari atas. Rejim yang mendengar ancaman hampa ini pasti tertawa dalam hati. Ini seperti pemain kartu poker yang terus menggertak tanpa pernah punya kartu yang baik. Sesekali gertakan ini mungkin berhasil mengecoh lawan yang amatir, tetapi oleh lawan yang punya sedikit kecerdasan akan mudah terbaca.
Ada dua macam perundingan: perundingan bagaimana kita kalah, atau perundingan bagaimana kita menang. Di antara buruh dan kapital yang kepentingannya berseberangan dan tidak terdamaikan, tidak ada itu win-win negotiation. Apa yang telah disiapkan oleh Said Iqbal, Andi Gani, Elly Rosita Silaban, dkk., adalah perundingan bagaimana kita kalah. Paling banter yang akan diterima buruh adalah remah-remah kecil, yang diberikan rejim untuk menyelamatkan muka para pemimpin ini dan mencegah pembangkangan anggota serikat terhadap pemimpin mereka.
Dengan taktik lobi dimana buruh ada dalam posisi lemah, maka yang kerap terjadi adalah politik tukar guling yang busuk. Inilah yang persis terjadi. Kemarin (21/8), Said Iqbal mengatakan bahwa dia telah menawarkan ke Tim Perumus: “Sebaiknya klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja bila memungkinkan apabila 10 klaster lain ingin cepat-cepat diselesaikan, disahkan.” Tapi dia lupa menambahkan bahwa kalau pun pemerintah tidak mau mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari RUU Cipta Kerja, KSPI (atau Said Iqbal sendiri) sudah puas hanya dengan 4 kesepahaman antara DPR dan dirinya.
Mari kita bongkar satu per satu 4 kesepahaman ini sebagaimana disampaikan oleh Ketua Badan Legislasi Willy Aditya:
- “Kaitannya dengan perjanjian kerja waktu tertentu, upah, pesangon, hubungan kerja, PHK, penyelesaian perselisihan hubungan industrial, jaminan sosial dan materi muatan lain yang terkait MK harus didasarkan pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat,”
Tapi seperti yang disampaikan Sekertaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Dewi Kartika, banyak putusan MK yang dilanggar dalam RUU Cipta Kerja.
Artinya, kalau putusan MK saja mudah sekali dilanggar, apalagi hanya kesepahaman antara pengurus serikat buruh dengan DPR. Buruh-buruh KSPI berhak bertanya pada pimpinannya, apa kekuatan KSPI hingga bisa memaksa DPR dan pemerintah untuk mematuhi putusan MK.
- Terkait sanksi pidana ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja, agar dikembalikan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan sesuai UU No 13/2003 dengan proses yang dipertimbangkan secara seksama.
Buruh-buruh KSPI juga berhak bertanya pada pimpinannya, apa maksud dari “dengan proses yang dipertimbangkan secara seksama.”
- Tentang hubungan kerja yg lebih efektif pada industri yang belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan maka pengaturannya dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja dan terbuka pada masukan publik.
Ini jelas akan merugikan kaum pekerja di sektor-sektor baru yang belum diatur dengan UU Ketenagakerjaan.
- “Fraksi-fraksi akan memasukkan materi poin substansi yang disampaikan serikat pekerja atau buruh dalam inventarisasi masalah fraksi,”
Namun menurut anggota Baleg (Badan Legislasi) Guspardi Gaus, masukan buruh ini akan dipertimbangkan oleh setiap fraksi, apakah bisa diakomodir atau tidak. Ia juga menambahkan bahwa pada akhirnya keputusan ada di tangan masing-masing fraksi.
Artinya, usulan buruh belumlah disetujui dan masih ada kemungkinan besar tidak disetujui, mengingat mayoritas fraksi yang terlibat dalam Panja RUU Cipta Kerja setuju dengan RUU Cipta Kerja.
Akhirnya, dengan 4 kesepahaman di atas, jelas bahwa ini bukan pencapaian tapi kekalahan!
Kalau pun pemerintah dan DPR setuju klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari Omnibus Law, maka ini mengorbankan kepentingan lapisan rakyat pekerja lain (buruh tani, nelayan, masyarakat adat, dan masyarakat kelas bawah pada umumnya) karena Ombibus Law akan semakin mempermudah penyerobotan tanah, perusakan dan pencemaran lingkungan, dan perenggutan pantai-pantai tempat para nelayan mencari ikan. Dan ini jelas pengkhianatan besar terhadap perjuangan buruh, akan menghancurkan persatuan rakyat pekerja untuk periode ke depan yang panjang dan memecah belah antar kaum pekerja (antara satu serikat pekerja dengan serikat lain) dan antara kaum pekerja dengan kelompok-kelompok tertindas lain. Dan ini jelas akan semakin memperlemah perjuangan. Apa yang diraih serikat hari ini dengan mengorbankan lapisan rakyat pekerja lain, dengan mudah akan ditagih kembali oleh rejim esok harinya, dan kali ini gerakan buruh akan terisolasi tanpa solidaritas dan dukungan dari rakyat pekerja lainnya, sehingga perjuangannya lebih mudah dipatahkan.
Dengan ini, hanya ada dua kesimpulan yang bisa kita tarik dari tindak-tanduk para pemimpin buruh, dan dua-duanya sama buruknya: para pemimpin buruh tidak tahu seni berunding, yang berarti kompetensinya perlu dipertanyakan untuk bisa memimpin, atau para pemimpin ini sejak awal sudah tidak punya niat untuk menang, dan hanya mengulur-ulur waktu dan dengan demikian menyiapkan kekalahan buruh. Kebodohan atau kepengecutan? Kedua-keduanya saling berkait-kelindan, dan hanya mengarah ke satu kesimpulan: ini adalah pengkhianatan.
Taktik lobi telah menunjukkan impotensinya dalam membendung Omnibus Law, dan bahkan telah menjadi sepenuhnya reaksioner. Saatnya kaum buruh banting stir dan mengubah haluan. Tinggalkan meja perundingan, dan turun ke jalan! Aksi massa dan pemogokan adalah satu-satunya bahasa yang dipahami oleh rejim. Serikat buruh adalah organisasi milik buruh, dan bila kepemimpinanmu telah menjadi rintangan, singkirkan mereka dan bangun kepemimpinan baru yang siap bertarung.