Kecerdasan buatan (AI) telah menjadi bahan perdebatan dan spekulasi dalam beberapa tahun terakhir, dengan banyak orang mengklaim bahwa AI akan segera menjadi sadar dan bahkan berpotensi melampaui kecerdasan manusia. Akan tetapi, sebagai kaum sosialis, kita harus mendekati masalah ini dari perspektif materialis, memeriksa sebab-sebab dan kondisi-kondisi mendasar yang diperlukan untuk perkembangan semacam itu.
Tidak mungkin AI dapat mencapai kesadaran sejati, karena kesadaran adalah produk dari dunia material dan kondisi spesifik evolusi manusia. Kesadaran kita dibentuk oleh cara kita memandang dunia, lingkungan kita, interaksi sosial kita, dan sejarah kita. Tanpa kondisi-kondisi unik ini, AI tidak akan memiliki kesadaran yang sama dengan manusia. Selain itu, kapitalisme melihat AI sebagai alat untuk meningkatkan profit dan kendali atas tenaga kerja, bukan sebagai cara untuk meningkatkan taraf hidup pekerja.
Kalimat di atas, ironisnya, bukan ditulis oleh saya, melainkan oleh ‘chatbot’ baru, ChatGPT, setelah diberi petunjuk berikut:
Tolong tulis artikel yang mengkritik kemampuan AI untuk menjadi sadar, secara materialis, dengan gaya Daniel Morley dari Socialist Appeal.
ChatGPT membutuhkan waktu kurang dari sepuluh detik untuk menulisnya. Kualitas tulisannya begitu meyakinkan sehingga pasti membuat beberapa orang menyatakan ‘chatbot’ ini memiliki kesadaran, dan terlebih lagi berspekulasi bahwa teknologi ini cepat atau lambat akan menggantikan atau bahkan memperbudak manusia yang lebih inferior. Memang, setelah integrasinya ke dalam mesin pencari Bing Microsoft, ChatGPT sendiri telah mengklaim memiliki kesadaran, serta mengaku memiliki segala macam keinginan yang aneh.
Terlepas dari perkembangan terbaru teknologi AI yang hebat ini, janji dan ancaman otomatisasi sudah ada semenjak revolusi industri. Sejak munculnya produksi mekanis, umat manusia telah memimpikan potensinya untuk membebaskan kita dari kerja keras yang melelahkan, dan merasa cemas akan digantikan oleh mesin. Gagasan tentang mesin yang cerdas, atau bahkan super cerdas, mendorong impian dan mimpi buruk ini sampai ke titik ekstrem. Tapi sampai saat ini, ini hanyalah mimpi yang jauh.
Pada 2012, jaringan neural yang menggunakan teknik ‘deep learning’ menjadi semakin berkembang, dan dengan cepat menghasilkan hasil yang jauh lebih mengesankan daripada bentuk AI sebelumnya. Revolusi ini telah menyebabkan banyak orang di dunia teknologi menyambut kedatangan AI super-cerdas, sama seperti ribuan sekte milenial menyambut kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Bagi mereka, teknologi ajaib ini menjanjikan untuk menyelesaikan semua problem kita, dan oleh karena itu hanya perlu dirangkul dengan antusias. ‘Sekte AI’ ini termasuk sub-sekte sayap kiri, yang berharap teknologi akan ‘mengotomatiskan’ kebutuhan untuk menggulingkan kapitalisme, dan memberi kita apa yang mereka sebut komunisme yang ‘sepenuhnya otomatis’.
Namun secara keseluruhan, prospek AI super-cerdas memicu lebih banyak ketakutan daripada antusiasme. Respons semacam itu berkisar dari asumsi luas bahwa AI akan menyebabkan gelombang pengangguran dan ketidaksetaraan tanpa-preseden, hingga gagasan bahwa AI akan menjadi ras penguasa yang kejam, memperbudak umat manusia, seperti film Terminator dan The Matrix.
AI menyalurkan ketakutan yang sangat mendalam, yang bukan disebabkan oleh teknologi itu sendiri, namun oleh masyarakat kapitalis dan keterasingannya yang mengakar. Di bawah kapitalisme, umat manusia tidak memiliki kendali atas teknologinya sendiri karena anarki pasar. Teknologi digunakan bukan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia, namun untuk menghasilkan profit, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Oleh karena itu, untuk memahami dampak nyata dari teknologi ini, kita perlu memahami bagaimana kapitalisme mengembangkan AI, dan bagaimana kapitalisme akan memanfaatkannya.
AI tidak sadar
Ketakutan yang luas bahwa AI akan menjadi sadar didasarkan pada gagasan yang sangat sepihak tentang apa itu kesadaran. Pandangan ini menyiratkan bahwa satu-satunya perbedaan antara komputer dan manusia yang berpikir adalah bahwa otak entah bagaimana lebih kuat dan canggih daripada komputer, dan oleh karena itu, dengan membuat komputer yang semakin kuat, suatu hari mereka akan menyamai atau bahkan melampaui kemampuan otak, dan dengan demikian akan menjadi sadar.
Pada kenyataannya, cara berpikir manusia sangat berbeda dengan cara AI memproses informasi. Pemikiran manusia berkembang atas dasar aktivitas sosial praktis yang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan manusia. Kita membentuk ide-ide yang mengekspresikan relasi antar hal-ihwal, dan khususnya, kita memahami apa yang berguna dan signifikan dalam relasi ini, karena kita perlu memahami dunia untuk bisa bertahan hidup di dalamnya.
Inilah yang tidak dimiliki oleh bahkan AI paling canggih sekalipun. Yang terbaik, AI melakukan satu hal dalam proses kecerdasan, kadang-kadang sampai pada tingkat superhuman: AI secara pasif mengumpulkan data, tanpa memahami konteks atau tujuan sebenarnya dari tugas yang diberikan, dan dapat mencari pola. Namun pola-pola ini bukanlah gagasan yang menjelaskan keniscayaan hal. Ia tidak tahu bahwa data tersebut bahkan mewakili objek nyata yang terkait satu sama lain dan memiliki sifat objektif. Ia tidak tahu mengapa pola-pola ini ada atau apa maksudnya.
Ini dapat dengan mudah dibuktikan dengan meminta program generator teks atau gambar AI untuk menghasilkan gambar atau teks yang memerlukan pemahaman mengenai bagian dan keseluruhan, dan relasi mereka.
Jika Anda meminta AI untuk menggambar sepeda, program ini akan menggambar sepeda yang sangat akurat. Jika Anda memintanya menggambar roda, program ini akan menggambar roda. Tetapi jika Anda memintanya untuk menggambar sebuah sepeda dan memberi label pada rodanya, AI hanya akan menggambar sebuah sepeda dengan label-label tak-berarti yang disusun secara acak di sekitar sepeda. Program AI tidak mengerti bahwa roda adalah bagian dari sepeda; AI hanya menggambar bentuk dengan aspek seperti roda, tanpa memahami apapun tentang apa yang telah digambarnya. AI tidak mengerti untuk apa sepeda digunakan, apalagi mengapa kita menghargainya.
Gary Marcus, seorang profesor ilmu jaringan neural, yang skeptis terhadap AI, meminta image-generator AI untuk menggambar astronaut menunggang kuda, dan AI ini berhasil menggambarnya dengan baik. Namun ketika dia memintanya untuk menggambar seekor kuda yang menunggangi seorang astronaut, AI hanya menggambar lagi astronaut yang sedang menunggang kuda. AI tidak memahami relasi yang berbeda antara bagian-bagian ini, melainkan hanya menghasilkan gambar berdasarkan apa yang cenderung dikaitkan dengan kata-kata ini. Ia juga tidak tahu apa sebenarnya astronaut itu, betapa sulitnya menjadi astronaut, mengapa tidak masuk akal bagi seorang astronaut untuk menunggang kuda (apalagi kuda menunggang astronaut) atau apapun tentang gambar itu.
Memang benar AI terbaru ini melebihi manusia dalam tugas-tugas tertentu. Namun jika diamati lebih dekat, pencapaian ini rapuh dan kerapuhan ini datang dari fakta bahwa AI tidak sadar atau hidup. AlphaGo mencapai salah satu penaklukan AI yang paling terkenal saat mengalahkan juara dunia Go pada tahun 2016. AI ini “membutuhkan 30 juta permainan untuk mencapai kinerja manusia super, jauh lebih banyak permainan daripada yang pernah dimainkan oleh manusia mana pun seumur hidup.”[1]
Manusia tidak akan pernah bisa memainkan permainan sebanyak ini, bukan hanya karena umur kita terbatas, tetapi karena kita akan bosan, dan perlu makan, bekerja, dan bercengkerama dengan orang lain. Mesin yang tidak berperasaan ini sangat luar biasa karena dapat dibuat untuk menguji berbagai hal berulang kali dan membaca teks dalam jumlah besar, sehingga dapat mengungkapkan kepada kita pola atau cara yang berguna dalam melakukan sesuatu.
Hubungan antar konsep adalah bagian yang sangat penting dari kesadaran, tetapi ini tidak bisa dipahami AI. Karena AI tidak ‘berpikir’ dalam konsep umum, melainkan menggambar pola dari kumpulan data tertentu, maka AI rentan terhadap masalah yang dikenal sebagai ‘overfitting’, yaitu saat AI telah menyempurnakan ‘pemahamannya’ tentang tugas tertentu, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mentransfer ini ke hal lain yang bahkan sedikit berbeda.
Sebuah program AI dilatih untuk memainkan video game sederhana, yang bisa dilakukannya lebih baik daripada manusia mana pun. Namun ketika game ini didesain ulang sehingga bagian-bagiannya hanya bergeser sekitar satu piksel, tiba-tiba AI ini tidak bisa lagi memainkan game tersebut. Dan sementara kemenangan AlphaGo pada tahun 2016 digembar-gemborkan secara luas, hampir tidak pernah dilaporkan bahwa sejak saat itu, AlphaGo secara konsisten dikalahkan oleh pemain amatir yang telah menemukan cara mengelabui AI ini. Menariknya, trik yang sama ini tidak dapat mengelabui pemain manusia, bahkan yang amatir sekalipun. Ini menunjukkan bahwa AlphaGo tidak memahami Go secara umum, melainkan telah dilatih ke tingkat yang sangat tinggi dalam berbagai taktik untuk melakukan tugas yang tidak dipahaminya.
Ini mengungkapkan kepada kita apa sebenarnya AI yang tengah kita kembangkan. Debat tajam tentang apakah AI memiliki kesadaran, atau akan menjadi sadar, mengaburkan fakta bahwa apa yang sebenarnya sedang dikembangkan hanyalah satu lagi alat untuk meningkatkan kapasitas manusia. Bahwa AI sering kali melebihi kemampuan manusia dalam bidang-bidang tertentu bukanlah bukti bahwa AI itu super-cerdas, melainkan justru merupakan alat atau mesin yang tak-sadar. Lagi pula, tujuan mesin adalah untuk selalu menjadi lebih kuat, lebih akurat, lebih cepat, daripada manusia dalam tugas-tugas tertentu. Kalkulator saku telah lama melampaui kemampuan manusia untuk menghitung, tetapi mereka tidak cerdas atau sadar.
AI tidak ada hubungannya dengan pemahaman secara sadar. AI tidak mampu memiliki keinginan untuk menguasai dan menindas umat manusia. Nyatanya, ia tidak menginginkan atau takut pada apapun. Lalu, apa signifikansi AI yang sebenarnya? Apa dampak AI yang sesungguhnya terhadap masyarakat kita?
Potensi revolusioner
Tidak ada keraguan bahwa teknologi AI telah membuat lompatan luar biasa dalam sepuluh tahun terakhir. Terobosan tersebut adalah kemampuan untuk menerapkan metode deep learning berkat kemajuan perangkat keras. Metode ini telah diteorikan, dan sampai batas tertentu diterapkan selama beberapa dekade, tetapi keterbatasan perangkat keras komputer membatasi kemampuannya. Sekitar tahun 2012, ini berubah, terutama karena chip GPU telah cukup maju untuk menghasilkan lompatan kualitatif dalam kemampuan deep learning, yang kemudian lepas landas. Revolusi ini telah menghasilkan AI yang jauh lebih unggul.
Ini bukan tempatnya untuk menjelaskan secara mendalam proses deep learning. Yang perlu kita pahami hanyalah bahwa, secara umum, dengan proses deep learning AI belajar dengan sendirinya, kurang lebih dari nol, alih-alih menggunakan prinsip-prinsip logis yang direkayasa terlebih dahulu oleh manusia. Secara umum, satu-satunya hal yang perlu dilakukan oleh insinyur komputer adalah memberikan informasi yang tepat, seperti gambar dengan wajah manusia (biasanya diberi label sebelumnya, meskipun tidak harus), dan memberikan ‘insentif’ untuk mengidentifikasi gambar, suara, dll., dengan benar.
AI disediakan ribuan atau jutaan keping informasi, dan ‘jaringan neural’ (disebut demikian karena mencerminkan beberapa fitur neuron manusia) dirancang untuk mengidentifikasi, melalui tingkat abstraksi, fitur atau pola umum dalam keping-keping informasi ini. Jika AI diberi banyak gambar wajah manusia, secara bertahap AI akan mengidentifikasi karakteristik paling umum yang dimiliki wajah (tanpa mengetahui apa sebenarnya wajah itu). Pada awalnya, ia mungkin melihat pengulangan garis vertikal pada jarak tertentu (misalnya, dua tepi wajah manusia), kemudian beberapa fitur lain akan diabstraksikan. Semakin banyak informasi yang diberikan, semakin akurat pola umum yang terbentuk.
Kekuatan metode ini terletak pada sifatnya yang tidak perlu diawasi. Ini memungkinkan AI untuk dikembangkan dan diterapkan pada berbagai macam masalah dengan sangat cepat. Yang terpenting, ini juga membuat AI sangat akurat dan memiliki kemampuan deep learning yang luar biasa, karena AI ini dapat dilatih dengan sejumlah besar informasi yang spesifik, jauh lebih banyak daripada yang bisa dikelola manusia. Ini memungkinkan AI untuk mengidentifikasi pola dalam fenomena tertentu, yang tidak akan bisa dikenali oleh manusia atau membutuhkan waktu yang teramat lama.
Banyak kemampuan superhuman AI sudah diterapkan di masyarakat. Kemampuan teknologi AI untuk memecahkan problem serius adalah nyata. Salah satu pencapaian paling terkenal adalah AlphaFold, yang dikembangkan oleh anak perusahaan Google DeepMind.
Protein, yang sangat penting bagi kehidupan dan melakukan banyak sekali fungsi biologis, memiliki fungsi dan perilaku yang ditentukan oleh bentuknya. Karena kompleksitasnya yang luar biasa, memprediksi dengan tepat bentuk apa yang akan diambil oleh komposisi asam amino protein tertentu hampir tidak mungkin dilakukan oleh seorang ilmuwan. Tetapi melatih komputer super DeepMind dengan bentuk-bentuk protein yang kita ketahui (kira-kira 170.000 dari 200 juta protein) selama beberapa minggu, sudah cukup untuk bisa memprediksi, dengan akurasi yang sangat tinggi, bentuk (dan oleh karena itu fungsi) protein hanya berdasarkan informasi tentang asam amino mereka.
DeepMind telah menyediakan teknologinya secara gratis kepada para ilmuwan biologi di seluruh dunia, dan mengklaim bahwa sekitar 90 persen ilmuwan biologi di dunia telah menggunakannya. Teknologi ini, di tangan para ilmuwan di seluruh dunia, memiliki potensi besar untuk mempercepat perkembangan obat-obatan yang lebih baik dan pemahaman penyakit. Ini telah digunakan untuk membantu pemahaman kita tentang Covid-19.
Cawan suci lain bagi ilmu pengetahuan yang dapat diwujudkan oleh AI adalah fusi nuklir, metode yang telah lama diteorikan untuk menghasilkan energi bersih dalam jumlah besar. Kesulitan fusi terletak pada pengendalian dan pemeliharaan suhu yang sangat besar yang diperlukan, sesuatu yang melibatkan banyak parameter, seperti bentuk reaktor. Ini adalah tugas yang sangat cocok bagi deep learning, karena sejumlah besar variabel dapat diubah dengan kombinasi yang hampir tidak terbatas. Bila dilakukan secara manual, ini akan memakan waktu yang hampir tidak terbatas.
Dan memang, DeepMind mampu melatih AI dengan data yang relevan. Program ini dapat menjalankan jutaan simulasi reaktor fusi untuk menentukan parameter apa yang diperlukan untuk mencapai tingkat panas dan stabilitas yang diinginkan, sebuah langkah yang dianggap signifikan.[2] Jika AI semacam itu sungguh dapat membantu pencapaian fusi nuklir yang praktis di masyarakat, ini akan menjadi terobosan besar, yang menyediakan energi bersih dalam jumlah besar ke dunia.
DeepMind telah bekerja dengan Rumah Sakit Mata Moorfields di London untuk menemukan pola biologis yang tersembunyi, yang bisa memprediksi kemungkinan pasien untuk mengidap masalah penglihatan tertentu di kemudian hari. Ini memungkinkan dokter untuk mengobati penyakit sebelum penyakit ini muncul dan menimbulkan kerusakan, yang tidak hanya bermanfaat bagi pasien, tetapi juga dapat menghemat banyak sumber daya medis.
Secara umum, keunggulan AI terbaru ini adalah pengenalan pola yang sangat canggih, dan prediksi berdasarkan pola ini. Itu dapat dan harus diterapkan pada semua jenis aktivitas untuk menemukan cara yang lebih efisien dalam mengelola produksi.
Sejumlah besar energi dapat dihemat dengan mengerahkan AI untuk menganalisis pola penggunaan energi di gedung atau kompleks gedung, dan menemukan cara pengoperasian yang lebih efisien. Desain segala macam benda, seperti pesawat terbang, dapat dibuat lebih efisien, lagi-lagi menghemat energi dan biaya lainnya. Jika ini diterapkan secara sistematis ke setiap bidang ekonomi dan layanan publik, peningkatan pendapatan dan penghematan energi secara besar-besaran dapat dicapai.
Kemampuan deep learning untuk mengenali pola yang kompleks dan memprediksi hal di mana ada data yang tidak lengkap juga memiliki potensi besar untuk mengembangkan kreativitas umat manusia. Contoh yang jelas dan sudah digunakan secara luas (walaupun membutuhkan banyak perbaikan) adalah penerjemahan bahasa secara otomatis. Hari ini siapa pun yang memiliki koneksi internet dapat langsung menerjemahkan kumpulan teks yang besar dengan cukup akurat, dan ini membuka akses ilmu pengetahuan ke jutaan orang. Ini karena deep learning AI dapat dilatih dengan sejumlah besar data komparasi bahasa, dapat mengidentifikasi korelasi antara kata dan kalimat dalam bahasa yang berbeda, dan dengan demikian memprediksi dengan baik kata atau kalimat apa dalam bahasa lain yang memiliki arti yang sama. Prinsip yang sama memungkinkan terjemahan audio yang hampir instan, sehingga seseorang dapat memakai earphone, mendengarkan seseorang berbicara dalam bahasa asing, dan mendengar terjemahan langsung dari apa yang dikatakan.
Microsoft telah mengembangkan aplikasi yang menarasi benda-benda di sekeliling kita untuk membantu orang yang mengalami gangguan penglihatan. Jadi, jika kita mengarahkan kamera ke suatu objek, akan ada labelnya. Aplikasi ini bahkan katanya dapat memberi tahu kita teman mana yang sedang kita lihat, dan seperti apa ekspresi wajah mereka. Memang teknologi yang ada saat ini masih belum sempurna dan tidak praktis, namun teknologi ini pasti akan berkembang pesat. Potensi untuk membebaskan masyarakat dalam melakukan berbagai tugas jelas besar.
Bahkan rahasia zaman dahulu pun bisa diungkap oleh AI. Menggunakan teknologi yang sangat mirip dengan prediksi teks, DeepMind telah membantu para arkeolog menguraikan tulisan kuno yang sebagian teksnya hilang atau karena alasan lain tidak dipahami.[3] Selama kita dapat menyediakan cukup data yang berkaitan dengan problem tertentu, ada kemungkinan besar problem tersebut dapat dipecahkan berkat kekuatan AI untuk mengungkap pola tersembunyi.
Tidak ada keraguan bahwa dalam hal membantu kreativitas manusia, prospek yang terbuka oleh program AI seperti ChatGPT dan Dall-E sangat menggiurkan. Mendasarkan dirinya pada sejumlah besar data visual (dalam kasus Dall-E dan AI penghasil gambar lainnya) dan teks yang tersedia di internet (dalam kasus ‘chatbots’ seperti ChatGPT), AI ini hampir secara instan dapat menciptakan gambar dan teks baru sesuai permintaan pengguna.
Dengan menggabungkan semua gambar yang diberi label, misalnya, ‘kucing’ di internet, atau semua karya seniman tertentu, Dall-E menemukan pola-pola tertentu, seperti bagaimana bulu kucing merespons cahaya, atau kecenderungan artis tertentu. Ini memungkinkan AI untuk ‘secara kreatif’ menghasilkan gambar baru dalam situasi tertentu, seperti “kucing yang dilukis dengan gaya Van Gogh”. ChatGPT, untuk alasan yang sama, dapat langsung menulis puisi ala Hamlet, tentang subjek apa pun yang Anda pilih, dengan kompetensi yang mencengangkan.
Potensi yang dimiliki teknologi ini untuk mengembangkan daya kreativitas manusia sungguh luar biasa. AI pembuat gambar memberi seniman kemampuan untuk menguji ide dengan cepat. Gambar yang dibuat cenderung agak umum, karena didasarkan pada kumpulan gambar yang ada, tetapi kemampuan untuk memadukan konsep (‘kucing dalam lukisan Van Gogh’, ‘pertandingan sepak bola yang dimainkan di kota cyberpunk’, dll.) dan menciptakan banyak gambar baru berkualitas tinggi jelas sangat membantu bagi mereka yang perlu membuat prototipe atau pembuktian konsep.
Demikian pula, AI penghasil teks seperti ChatGPT dapat membantu siapa saja untuk dengan cepat menyusun teks yang koheren untuk kebutuhan apa pun. Bahkan, AI dapat membantu programmer untuk menulis kode. Ini sudah dapat dilakukan dengan sangat baik sehingga memungkinkan orang-orang yang tidak memiliki pelatihan coding apa pun untuk membuat situs web dan bahkan mungkin software, seperti video game. Yang perlu mereka lakukan hanyalah menulis, dalam bahasa alami, petunjuk tentang apa yang mereka inginkan dari situs web/software dan tampilannya, dan AI akan menulis kode untuk menghasilkan efek yang diinginkan.
Sulit untuk melebih-lebihkan potensi revolusioner dari teknologi ini, bila digunakan dengan cara yang benar untuk tujuan yang benar.
Belenggu kapitalisme
Marx menjelaskan bahwa sistem sosial tertentu menyediakan kerangka kerja untuk perkembangan kekuatan produktif. Tetapi, pada tahap tertentu, kekuatan produktif melampaui relasi produksi di mana mereka harus bekerja, dan dengan demikian relasi produksi ini menjadi belenggu bagi perkembangan lebih lanjut. Moda produksi kapitalis mendorong perkembangan besar-besaran kekuatan produktif, jauh melampaui tingkat masyarakat feodal, tetapi hari ini kapitalisme telah menjadi belenggu. Inilah mengapa investasi dan produktivitas begitu rendah secara kronik, meskipun telah tercipta teknologi baru yang luar biasa.
AI, dan teknologi digital lainnya seperti internet, merepresentasikan alat produksi yang terlalu maju untuk dapat dimanfaatkan dengan baik oleh kapitalisme. Ini karena kapitalisme adalah produksi untuk profit pribadi. Jika profit tidak dapat diperoleh dari investasi, maka kapitalis tidak akan berinvestasi. Dan laba hanya dapat diperoleh dengan mengeksploitasi daya-kerja buruh, dan kemudian direalisasikan dengan menjual produk kerja ini di pasar.
Teknologi seperti internet dan AI menciptakan tanda tanya besar pada proses ini, karena mereka menerapkan otomatisasi sedemikian tinggi. Misalnya, internet memungkinkan orang menyalin dan berbagi informasi dalam jumlah besar dengan sangat cepat, dengan sedikit atau tanpa kerja. Siapa pun dapat berbagi film atau karya musik dengan semua orang di seluruh dunia, tanpa kehilangan kualitas dan tanpa usaha. Karena alasan ini, keberadaan internet membuat salah satu bagian penting dari industri musik dan film – penyalinan dan distribusi rekaman – pada dasarnya mubazir dalam semalam.
Ini menghadirkan masalah besar bagi cabang kapitalisme ini: bagaimana mereka bisa terus meraup laba ketika siapapun bisa mendapatkan salinan album secara gratis? Kaum kapitalis telah mencoba memecahkan masalah ini dengan mengkriminalisasi ‘peer-to-peer sharing’ dan dengan mendirikan sejumlah layanan streaming, masing-masing dengan monopoli atas materi ‘sendiri’ mereka, di mana pemirsa/pendengar harus terus membayar sewa. Solusi ini cukup efektif sejauh menyangkut perlindungan profit korporasi, tetapi dari sudut pandang lain, ini adalah belenggu irasional baik terhadap distribusi maupun produksi karya kreatif, yang hanya menghambat kita untuk mewujudkan potensi teknologi kita sendiri.
Demikian pula, teknologi AI terbaru mengancam mengurangi nilai ekonomi kapitalis di sejumlah besar profesi dan industri. Jika begitu banyak tulisan dan gambar yang digunakan dalam publikasi dapat diproduksi secara instan oleh AI, misalnya, dan jika penulis dapat menghasilkan ide plot dengan sangat cepat, nilai karya mereka akan sangat berkurang. Dan jika pelatihan dan keterampilan yang diperlukan bagi pekerja untuk memproduksi komoditas semacam itu juga direduksi menjadi sekadar mengetik petunjuk, nilai daya-kerja mereka juga akan berkurang secara drastis.
Dalam masyarakat sosialis, ini belum tentu merupakan hal yang buruk. Seniman, misalnya, tidak akan takut pada kemampuan AI untuk menghasilkan ‘karya seni’ dengan cepat, karena seni tidak akan diproduksi demi profit, atau sebagai mata pencaharian. Seni akan kehilangan ikatan fetisnya dengan kepemilikan pribadi, dan akan diproduksi demi seni sendiri, atau lebih tepatnya, demi masyarakat. Seni akan menjadi ekspresi asli dari ide dan bakat manusia, dan cara manusia berkomunikasi. Dengan demikian, karya generik AI tidak akan menjadi ancaman, melainkan menjadi alat bantu bagi seniman.
Namun, di bawah kapitalisme, keberadaan seniman menjadi rentan dan tunduk pada pasar. Mereka harus dengan iri melindungi hak eksklusif mereka atas penjualan karya seni mereka, jika tidak mata pencaharian mereka berisiko dihancurkan.
Jauh dari membebaskan umat manusia, AI di bawah kapitalisme hanya akan memperburuk kecenderungan inherennya ke monopoli dan ketidaksetaraan. AI terbaik untuk menghasilkan gambar, teks, dan untuk memecahkan problem, sedang dan akan terus dikembangkan oleh monopoli besar seperti Google dan Microsoft, dengan insinyur terbaik, perangkat keras terbaik, dan database terbesar. Mereka akan menggunakan posisi monopoli mereka untuk meraup profit monopoli tentunya, dan keunggulan teknologi ini, yaitu dalam mempercepat produksi dan menekan ongkos produksi, akan digunakan oleh korporasi lain untuk memecat banyak buruh dan menekan upah buruh.
Teknologi ini juga sudah digunakan untuk mempercepat kerja, dan dengan demikian meningkatkan laju eksploitasi. Kamera dan sensor lainnya dapat memantau proses kerja ribuan buruh dengan murah dan efektif, mendisiplinkan mereka sehingga mereka menghasilkan lebih banyak dengan upah yang sama.
Amazon terkenal dengan metode pemantauan pekerja mereka. “Pada tahun 2018, perusahaan Amazon memiliki dua paten untuk gelang pelacak, yang memancarkan pulsa suara ultrasonik dan transmisi radio untuk memantau tangan pekerja inventori, dengan memberikan ‘haptic feedback’ untuk ‘mendorong’ pekerja ke objek yang tepat.”[4] Seiring dengan kemajuan teknologi pengawasan otomatis, yang juga menjadi semakin murah, teknologi ini akan digunakan di seluruh ekonomi, meningkatkan level stres dan keterasingan pekerja di mana-mana.
Di tangan kapitalisme terletak teknologi revolusioner yang potensi sebenarnya adalah untuk menyelaraskan dan merasionalisasi produksi dan untuk meningkatkan kreativitas manusia. Alih-alih, kapitalisme malah menggunakannya untuk lebih mendisiplinkan pekerja, untuk membuang lebih banyak pekerja ke tumpukan sampah, untuk membuat eksistensi seniman menjadi semakin rentan, dan memusatkan lebih banyak kekuatan di tangan korporasi raksasa. Oleh karena itu, dampak teknologi ini bukanlah stabilitas dan kelimpahan dalam ekonomi, tetapi meningkatnya antagonisme dan ketidaksetaraan dalam masyarakat.
Dengan memonopoli ekonomi lebih lanjut, menurunkan upah lebih jauh, dan memusatkan lebih banyak kekayaan di lebih sedikit tangan, AI di bawah kapitalisme akan memperburuk anarki pasar.
Ini sudah terlihat pada krisis ekonomi saat ini. Selama pandemi, pola konsumsi berubah, yang menyebabkan peningkatan besar belanja online untuk perusahaan seperti Amazon. Amazon banyak menggunakan AI dalam model forecasting yang dikenal dengan nama Supply Chain Optimization Technologies (SCOT). SCOT hanya melihat pola konsumsi, tanpa memahami apa yang menyebabkan pola-pola baru ini. Oleh karena itu, mereka merekomendasikan Amazon untuk membeli lebih banyak kapasitas gudang senilai miliaran dolar untuk mengatasi peningkatan permintaan.
Namun dengan berakhirnya lockdown, permintaan barang Amazon merosot. Akibatnya, Amazon kini memiliki terlalu banyak gudang, dan terlalu banyak barang yang tidak terjual, yang pada gilirannya menyebabkan PHK dan diskon. Alih-alih menghilangkan pemborosan dan overproduksi, penggunaan AI untuk meningkatkan profit perusahaan monopoli justru memperburuk situasi.
Tidak heran banyak orang yang merasa takut terhadap AI, walaupun AI memiliki potensi yang luar biasa bagi umat manusia. Apa yang terungkap oleh ketakutan luas terhadap AI ini? Ini bukan mengenai teknologi itu sendiri, tetapi lebih banyak tentang kontradiksi produksi kapitalis. Di bawah kapitalisme, justru pencapaian tertinggi dari pemikiran manusia, teknologi paling menakjubkan dengan potensi untuk menghapus kemiskinan dan ketidaktahuan, adalah hal-hal yang mengancam menciptakan lebih banyak kemiskinan.
Kita takut diperbudak oleh kecerdasan buatan yang impersonal, dingin, dan penuh perhitungan, tetapi kita sudah tunduk pada kekuatan pasar yang impersonal, buta, dan tidak sadar, yang juga dingin dan penuh perhitungan, tetapi tidak terlalu cerdas atau rasional.
Teknologi untuk perencanaan
Penggunaan AI untuk meningkatkan eksploitasi kapitalis adalah pemborosan kriminal yang tragis. AI sesungguhnya dapat berperan untuk merencanakan ekonomi yang kompleks demi memenuhi kebutuhan manusia. Dengan teknologi modern seperti sensor, otomatisasi logistik sudah dimungkinkan, seperti yang telah ditunjukkan Amazon.
Di kompleks gudang mereka yang sangat luas, Amazon menggunakan AI dan robot untuk secara efisien merencanakan item mana yang perlu dikirim ke mana, dan dalam jumlah berapa. Tidak ada alasan sensor tidak dapat diintegrasikan ke dalam ekonomi secara keseluruhan untuk memberikan data real-time mengenai konsumsi, serta peralatan apa yang terancam rusak dan oleh karena itu perlu diperbaiki. Perusahaan software Jerman SAP telah mengembangkan aplikasi bertenaga AI yang disebut HANA, yang digunakan oleh perusahaan seperti Walmart untuk merencanakan semua operasi mereka secara harmonis dengan menggunakan data real-time
Dengan mensuplai data ke deep learning, AI akan sangat mampu merumuskan, bersama dengan komite terpilih, rencana ekonomi jangka panjang, yang akan memaksimalkan efisiensi untuk akhirnya memenuhi kebutuhan umat manusia, sehingga tidak ada lagi rakyat yang lapar, tunawisma, atau takut kehilangan pekerjaan mereka. Dengan cara ini, pemborosan dapat dihilangkan dan jam kerja diperpendek. AI tidak hanya akan sangat membantu dalam menyusun dan mengadaptasi rencana ekonomi semacam itu, tetapi juga bermanfaat untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam perencanaan ekonomi untuk mengatasi bias atau batasan apa pun yang mungkin ada dalam pemikiran mereka.
Jelas, AI ini harus diawasi oleh orang, karena AI tidaklah lebih dari alat untuk membantu manusia. AI tidak dapat menjawab pertanyaan seperti arsitektur seperti apa yang harus dikembangkan, bagaimana merancang penampilan kota kita, dll. Tetapi wawasannya tentang pola ekonomi dan cara terbaik untuk menghemat produksi akan sangat diperlukan.
Inilah potensi teknologi AI. Kita memiliki teknologi untuk membawa keharmonisan ke dalam produksi, untuk menghilangkan pemborosan, keserakahan, irasionalitas, dan pandangan picik dari sistem kapitalis. Kita dapat menggunakannya untuk memberikan kepada semua umat manusia tidak hanya barang-barang yang mereka butuhkan untuk hidup dengan layak, tetapi juga kekuatan untuk menciptakan karya seni, atau mendesain ulang dan memperbaiki rumah, tempat kerja, atau lingkungan mereka sendiri. Ini akan membuat pembangunan masyarakat sosialis, yang bebas dari semua kelangkaan dan perbedaan kelas, lebih cepat dan lebih mudah.
Kekuatan ini ada di ujung jari kita, tetapi lolos dari genggaman kita. Penggunaan AI tidak ditentukan oleh teknologi itu sendiri, tetapi oleh moda produksi yang berlaku.
Selama kita hidup di bawah kapitalisme, kapitalismelah yang akan menentukan bagaimana AI dikembangkan dan digunakan. Inilah mengapa prediksi bahwa AI dan otomatisasi akan menghapus eksploitasi dan anarki kapitalisme adalah keliru. AI, betapapun majunya, tidak akan dapat membebaskan umat manusia dari kapitalisme. Kelas pekerja-lah yang bisa membebaskan dirinya. Dan betapapun irasionalnya, kapitalisme akan dipertahankan dengan kejam oleh kelas kapitalis.
Satu-satunya kekuatan yang dapat melawan ini adalah satu-satunya yang memiliki kepentingan untuk melakukannya, yaitu kelas buruh. Adalah fakta bahwa kelas buruh memiliki kepentingan untuk memperjuangkan sosialisme.
Hanya ketika kita akhirnya menggulingkan kapitalisme dan menundukkan ekonomi pada perencanaan yang sadar dan rasional, maka AI dan kemajuan teknologi lainnya dapat berkembang hingga potensi penuhnya sebagai alat perkembangan manusia yang paling menakjubkan. Seperti yang dikatakan Leon Trotsky dengan sangat puitis:
“Teknologi telah membebaskan manusia dari tirani unsur-unsur lama – tanah, air, api, dan udara – hanya untuk menundukkan manusia pada tiraninya sendiri. Manusia berhenti menjadi budak alam, tetapi lalu menjadi budak mesin, dan lebih buruk lagi, menjadi budak permintaan dan penawaran. Krisis dunia saat ini merupakan saksi tragis bagaimana manusia, yang mampu menyelam ke dasar lautan, yang mampu terbang tinggi ke stratosfer, yang mampu berkomunikasi lewat gelombang tak terlihat, bagaimana penguasa alam yang congkak dan berani ini tetap menjadi budak bagi kekuatan buta ekonominya sendiri. Tugas historis epos kita adalah menggantikan kekuatan pasar yang tidak terkendali ini dengan perencanaan yang rasional, mendisiplinkan kekuatan-kekuatan produksi, memaksa mereka untuk bekerja secara harmonis dan dengan patuh melayani kebutuhan umat manusia.”[5]
[1] G Marcus, E Davis, Rebooting AI: Building Artificial Intelligence We Can Trust, Pantheon Books, 2019, pg 56
[2] A Katwala, “DeepMind Has Trained an AI to Control Nuclear Fusion”, Wired, 16 February 2022
[3] Y Assael, T Sommerschield, B Shillingford, N de Freitas, “Predicting the past with Ithaca”, Deepmind, 9 March 2022
[4] N Dyer-Witheford, A Mikkola Kjosen, J Steinhoff, Inhuman Power: Artificial Intelligence and the Future of Capitalism, Pluto Press, 2019, pg 93
[5] L Trotsky, “In Defence of October” in The Classics of Marxism, Vol. 2, Wellred Books, 2015, pg 226-227