Pemilu di AS tahun ini bahkan lebih membingungkan dan kacau dibandingkan pada 2000 (saat George W. Bush terpilih lewat keputusan Mahkamah Agung) atau 2016. Biden akhirnya keluar sebagai pemenang. Tetapi yang signifikan adalah kenyataan bahwa kontestasi pemilu ini sangat ketat dan jutaan rakyat yang punya ilusi jujur pada Partai Demokrat menemukan diri mereka sekali lagi di tepi jurang keputusasaan. Selama berminggu-minggu sebelum pemilu, para penjaja polling dan para pengamat politik memberitahu kita bahwa pemilu kali ini tidak akan seperti 2016. Namun, di kebanyakan negara bagian, polling ini sekali lagi meleset jauh. Jadi, bagaimana kita bisa sampai di sini?
Seperti yang telah kami paparkan berulang kali, inilah yang kamu dapati kalau seluruh pendekatan kamu didasarkan pada apa-yang-disebut politik minus malum dan strategi safe-state (strategi untuk memajukan kandidat alternatif hanya di negara bagian dimana kemenangan Biden sudah terjamin). Bila kamu membatasi pilihan kamu hanya pada memilih terbaik dari yang terburuk, maka yang paling buruklah yang akan menang lagi. Setelah pemilu 2016 dan pemilu kemarin, bahkan tidak jelas yang mana di antara kedua partai busuk ini yang dipercaya oleh buruh Amerika sebagai penjahat yang lebih baik atau lebih buruk. Secara memalukan, mayoritas kaum Kiri berkapitulasi pada tekanan politik minus malum, dengan dalih fasisme ada di depan mata.
Ketidakpastian pemilu kemarin menciptakan situasi kacau yang diminati oleh Donald J. Trump. Dia telah membangun kariernya dengan bertaruh dia akan menang dalam pergumulan, dan musuhnya akan begitu terkejut dan bingung sehingga mereka tersingkir.
Setelah tampak lebih muram ketimbang biasanya pada Hari Pemilihan, dia merasa optimis kembali pada malam harinya. Dia jelas berpikir bahwa dia akan bisa menang kembali, tetapi dia juga ingin memastikan taruhannya dan bisa mengklaim adanya kecurangan bila dia tidak menang pada akhirnya. Bila perlu, dia akan picu krisis konstitusional, menuntut recount, dan memperpanjang proses ini selama mungkin lewat proses pengadilan — tidak peduli konsekuensinya terhadap sistem kapitalisme secara keseluruhan. Dengan lebih awal menyatakan kemenangan — walaupun beberapa jam sebelumnya dia secara eksplisit mengatakan bahwa dia tidak akan membuat pernyataan seperti ini — dia telah semakin melemahkan kepercayaan terhadap institusi fundamental demokrasi borjuis.
Terlalu ketat
Setelah menjadi semakin jelas bahwa mayoritas suara yang masuk dari surat suara pos adalah untuk Demokrat, Trump ingin menghentikan penghitungan suara, dengan mengklaim bahwa orang-orang masih mencoblos setelah tempat pemungutan suara ditutup, dan ada kecurangan besar yang tengah berlangsung. Dia memperlakukan kepresidenan seperti reality show, dengan aktor utama Donald J. Trump dan keluarganya — tidak peduli kalau jutaan dan bahkan miliaran jiwa sedang dipertaruhkan. Trump tidaklah tertarik menjalankan proses demokratik dengan damai. Dia dan orang-orang di sekitarnya hanya ingin menang dengan cara apapun. Bila Biden menang, ini akan dilihat oleh jutaan orang sebagai kemenangan yang tidak sah. Walaupun banyak orang yang akan memberinya setidaknya bulan madu yang pendek, pemerintahannya akan terus diserang dan dilanda krisis yang dalam sejak awal.
Penjelasan utama dari semua kekacauan ini adalah tidak adanya politik kelas di negeri dimana kelas buruh ada di bawah tekanan yang besar dan terpolarisasi seturut garis yang sangat terdistorsi. Tanpa adanya partai politik kelas buruh yang mandiri, tanpa adanya kepemimpinan yang mandiri dari para pemimpin serikat buruh, kelas buruh hanya jadi bulan-bulanan untuk dipecah belah dan dieksploitasi. Satu lapisan kelas buruh diadu domba dengan lapisan lainnya: kulit putih melawan kulit hitam; yang lahir di AS melawan kaum imigran; negara bagian pesisir melawan negara bagian tengah; Utara melawan Selatan; urban melawan suburban melawan rural; atau generasi Baby Boomers melawan generasi Milenial atau Gen Z. Tetapi, garis pemisah fundamental dalam masyarakat adalah garis kelas. Ada yang mengeksploitasi dan menindas, dan ada yang dieksploitasi dan ditindas. Minoritas kecil mengeksploitasi mayoritas luas, jadi untuk mempertahankan kekuasaan mereka, kelas penguasa akan melakukan apapun guna mengalihkan perhatian massa ke tempat lain.
Trump adalah seorang demagog dan pembohong. Tetapi dia punya nyali dan berani melawan tatanan liberal — dan jutaan pengusaha kecil dan buruh jelata mencintainya karena itu. Walaupun dia adalah petahana, walaupun dia memerintah di saat AS sedang menghadapi kombinasi bencana terbesar, dia mampu menggambarkan Biden sebagai seorang politisi kawakan dan orang dalam Washington, sebagai musuhnya warga kulit hitam, dan jagoannya Wall Street — dan dia tidak keliru. Biden telah meniti karier politik puluhan tahun ada di Washington, dia mendukung UU reforma Crime and Welfare pada masa kepresidenan Bill Clinton [UU Crime and Welfare yang mengkriminalisasi rakyat kulit hitam secara masif], dan memilih jaksa California Kamala Harris sebagai pasangannya. Mengapa memilih partai sayap-kanan yang katanya “lebih baik hati dan lebih lembut” kalau kamu bisa memilih seorang reaksioner yang blak-blakan dan bangga kalau dia reaksioner? Atau, mengapa susah-susah memilih sama sekali?
Ada juga mitos bahwa donatur-donatur kecil adalah tulang punggung kampanye kedua partai ini. 14 miliar dolar dihabiskan untuk pemilu ini — lebih dari total 2 pemilu sebelumnya — dan Partai Demokrat menghabiskan hampir dua kali lipat dibandingkan Partai Republik. Kaum miliarder menyumbang miliaran dolar ke kampanye pemilu ini, dan donasi kecil hanya mencakup seperempat dari total kontribusi.
Partai Demokrat mengira bahwa cukup menggunakan fakta, nalar, dan sains untuk bisa menang. Mereka lupa satu detail kecil, bahwa setelah puluhan tahun berbohong, tidak menempati janji pemilu mereka, dan berkhianat, jutaan buruh sudah tidak lagi percaya pada mereka. Sains tidak bisa bersaing dengan “akal sehat”, yang memberitahu warga Amerika yang pragmatis bahwa virus ini akhirnya akan menghilang, bahkan bila ratusan ribu orang harus mati. Dari perspektif mereka, “begitulah adanya”.
Mengenai siapa yang harus disalahkan untuk pandemi yang tak terkendali dan bencana ekonomi, jutaan rakyat mempercayai Trump bahwa China yang harus disalahkan untuk virus korona, bahwa para ilmuwan dan kaum liberal telah merusak ekonomi bangsa, dan segerombolan kaum “sosialis” yang ganas akan menerapkan tirani Stalinis bila Joe Biden terpilih. Trump mungkin saja seorang bajingan yang rasis dan seksis, tetapi banyak orang yang melihatnya sebagai bajingan rasis dan seksis mereka.
Jangan Pernah Menaksir terlalu Tinggi Kaum Demokrat
Selain itu, kita jangan pernah menaksir terlalu tinggi kemampuan kaum Demokrat — atau meremehkan kegeraman kelas yang dirasakan oleh jutaan buruh terhadap partai yang telah puluhan tahun mengabaikan mereka. Anggota serikat buruh mengabdikan puluhan tahun energi dan miliaran dolar untuk Partai Demokrat, dan hasilnya apa? Upah yang semakin kecil, dan merosotnya pekerjaan manufaktur dan keanggotaan serikat buruh.
Alih-alih perjuangan kelas dan kemandirian kelas, para pemimpin buruh selama puluhan tahun telah mengajarkan konsep kemitraan dengan kaum kapitalis. Alih-alih berjuang melawan kapitalis dengan gigih, mantra mereka adalah apa yang baik bagi kapitalis baik pula untuk buruh. Mengapa heran kalau banyak anggota serikat buruh yang lalu mencoblos partai kapitalis yang program utama pemilunya adalah membuka ekonomi di tengah pandemi? Yang harus disalahkan atas terpecah belahnya kelas buruh adalah para pemimpin buruh.
Biden berusaha kerja memenangkan kembali para anggota serikat buruh yang memilih Trump pada 2016. Tetapi menurut exit poll, di negara bagian rust-belt Ohio [wilayah rust-belt adalah kawasan di AS yang mengalami kemerosotan ekonomi akibat deindustrialisasi], anggota serikat buruh lebih memilih Trump ketimbang Biden, 56% versus 42%. Dan kendati demikian, masih ada aktivis Kiri yang bersikeras bahwa Partai Demokrat adalah partai yang bersahabat terhadap buruh dan kaum sosialis harus mendukungnya. Partai Demokrat bukanlah sahabat kelas buruh. Justru sekarang sejumlah orang dalam Partai Republik mengklaim bahwa mereka-lah partainya kelas buruh!
Tentu saja, kedua partai ini bukanlah partai yang mewakili buruh. Mereka hanyalah 2 sayap berbeda dari kelas kapitalis, yang tidak akan bisa meraih cukup suara tanpa membangun “koalisi” yang secara sinis bersandar para lapisan kelas buruh ini atau itu. Sekali lagi, Trump, seorang milyader kecil dari New York, lebih mampu mengartikulasikan rasa takut, keterasingan, dan frustasi dari para pengusaha kecil yang geram dan juga lapisan luas kelas buruh. Menurut exit poll, dia bahkan memenangkan suara dari sekitar 10 persen warga kulit hitam di Georgia.
Walaupun Partai Demokrat menarik lebih banyak pemilih ke bilik suara tahun ini, begitu juga Partai Republik. Sekitar 45 persen warga dengan hak pilih tidak mencoblos pada 2016, jadi ada lapisan besar pemilih yang dapat dimobilisasi pada tahun ini. Tetapi bahkan dengan tingkat partisipasi 65% atau lebih tahun ini, masih ada puluhan juta yang tidak memilih, apalagi puluhan juta yang hak pilihnya direnggut.
Kelas buruh tidak punya kandidat mereka sendiri pada pemilu ini. George Floyd dan Breonna Taylor tidak punya kandidat. Penyintas kekerasan seksual tidak punya kandidat. Generasi muda yang akan mewarisi bencana perubahan iklim tidak punya kandidat. Yang akan menang adalah kandidat kapitalis, dan kelas buruh secara keseluruhan akan kalah.
Taruhannya sangat tinggi, tetapi jutaan buruh jelata dapat merasakan dari dalam sukma mereka bahwa mereka tidak memiliki perwakilan dalam pemilu ini. Dan di antara mereka yang memilih Biden, lebih dari sepertiga mengatakan bahwa mereka melakukan ini dengan setengah-hati, lebih sebagai suara menentang Trump dan bukan suara untuk Biden. Sebaliknya, Trump mampu memobilisasi para pendukung setianya, yang mencoblos untuk Trump seperti halnya mereka mencoblos menentang Biden.
Dalam pemilu ini, Biden memenangkan total suara populer. Tetapi suara populer tidak memastikan apapun, seperti yang ditunjukkan oleh kasus Al Gore dan Hillary Clinton, karena sistem yang ada secara inheren tidak demokratik. Sistem ini telah dengan sengaja dan cermat dikalibrasi untuk memastikan kestabilan bagi kelas penguasa, dan menekan aspirasi demokratik massa. Sistem demokrasi AS dirancang sedemikian rupa sehingga selalu dalam keadaan buntu, sehingga partai yang berkuasa dapat berdalih bahwa kebijakan ini atau itu tidak bisa diimplementasikan karena partai yang lain tidak mengijinkannya [karena dominasi silih berganti antara kedua partai dalam jabatan presiden, DPR, Senat, dan Mahkamah Agung].
Sistem Demokrasi yang Rusak
Tetapi pada akhirnya, bahkan mesin yang paling sempurnapun akan rusak, terutama sebuah sistem dengan begitu banyak variabel yang hidup, kepentingan-kepentingan yang bertentangan, dan bagian-bagian yang bergerak. Ingat bahwa sistem ini dirancang untuk kondisi dua setengah abad yang lalu, dan kini sistem ini sudah mulai retak. Pada kenyataannya, kendati semua pembicaraan mengenai demokrasi di negeri ini, warga AS tidak punya hak konstitusional untuk memilih presiden. Ini dapat ditelusuri kembali ke masa pendirian bangsa ini, ketika budak dihitung sebagai tiga-perlima manusia dalam sensus.
Yang dipilih pada pemilu bukanlah presiden, tetapi apa yang disebut Electoral College (Badan Elektoral). Jumlah suara elektoral ini dialokasi berdasarkan berapa banyak anggota Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di setiap negara bagian. Tetapi karena setiap negara bagian otomatis mendapatkan 2 Senator dan minimum satu anggota DPR, ini menciptakan bias untuk negara-negara bagian yang lebih kecil, lebih rural, dan lebih konservatif, tidak peduli kalau 75-80 persen populasi AS tinggal di wilayah-wilayah urban. Walaupun tampak kecil, marjin ini bisa menjadi faktor yang menentukan. Misalnya, North Dakota dan California memiliki 2 Senator, walaupun populasi California 50 kali lebih besar. Di semua negara bagian, kecuali Maine dan Nebraska, pihak yang menang mendapatkan semua suara elektoral.
Pada 2016, Trump memenangkan Florida, negara bagian dengan populasi masif, hanya dengan 100.000 suara, dan meraup 29 suara elektoral. Pada 2000, George W. Bush memenangkan semua suara elektoral di Florida dan pilpres hanya dengan unggul 525 suara. Dan walaupun Trump menerima 3 juta suara lebih sedikit dibandingkan Hillary Clinton pada pilpres 2016, dan hanya unggul 77.000 suara di tiga negara bagian Upper Midwest, ini memberi Trump kunci ke Gedung Putih.
Sebagai akibatnya, apa yang disebut swing state menjadi lebih penting dalam kampanye pemilu, karena yang penting adalah meraih 270 suara elektoral untuk bisa menang. Banyak negara bagian yang sudah dijamin akan dimenangkan entah oleh Partai Demokrat atau Partai Republik. Tidak peduli bila kamu memilih Trump di New York, atau Biden di Mississippi, suara kamu tidak akan mengubah hasil. Ini juga berarti 80 persen populasi yang bermukim di negara bagian yang bukan swing state biasanya diabaikan. Ini menjadi bumerang bagi Clinton pada 2016. Dia tidak mengunjungi Wisconsin barang satu kali pun, karena dia begitu percaya diri kalau dia akan menang di sana, dan justru dia berakhir kalah di Wisconsin yang lalu menjadi faktor menentukan dalam kekalahannya dalam pilpres 2016. Tidaklah heran kalau mayoritas rakyat Amerika mendukung dihapusnya sistem Electoral College! Namun, semua ini dianggap normal dan sah oleh para politisi dan pengamat politik liberal dan konservatif.
Dengan begitu bijaksana, para perumus Konstitusi Amerika memutuskan agar jumlah suara elektoral itu genap, dan dengan demikian ada kemungkinan seri. Bila ini terjadi, Dewan Perwakilan Rakyat yang akan memilih presiden dengan satu suara per negara bagian. Ini bahkan lebih menghina konsep demokrasi, karena California akan menerima satu suara untuk 53 anggota DPRnya, sementara South Dakota juga akan menerima satu suara untuk 1 anggota DPRnya. Bila demikian, pada 2020 ini akan menguntungkan Donald Trump.
Lalu ada Mahkamah Agung, yang dapat diminta untuk memutuskan hasil pemilu, seperti yang terjadi pada pemilu 2000 antara George W. Bush dan Al Gore. Selama bertahun-tahun, ketua MA John Roberts telah mencoba memainkan peran penyeimbang, dengan menggunakan kekuatan MA untuk memberi pengaruh politik tanpa kelihatan tengah melakukan ini. Sandiwara ini akan semakin sulit dimainkan karena sekarang MA telah diisi dengan para hakim konservatif, dan mereka semua menjabat seumur hidup. Perlu dicatat bahwa hakim Roberts, Kavanaugh dan Amy Coney Barrett yang baru-baru ini ditunjuk, mereka semua terlibat dalam kampanye pilpres Bush pada 2020.
Kenyataan bahwa ada hakim liberal dan konservatif mengekspos bahwa badan yang tidak dipilih ini adalah sebuah institusi yang sangat politis. Walaupun mereka ingin meyakinkan kita bahwa badan pengadilan tertinggi ini berdiri mandiri di atas masyarakat dan negara kelas, tetapi ini sungguh jauh dari kebenaran. Seperti Monarki Inggris – yang digambarkan sebagai institusi yang jinak – Mahkamah Agung adalah benteng kekuasaan borjuis yang penting. MA sejak awal telah menjadi faktor penyeimbang yang dapat diandalkan, tetapi sekarang MA pun telah berubah menjadi faktor yang membuat tidak stabil situasi seiring dengan semakin banyaknya orang yang tidak lagi percaya pada imparsialitas hukum.
Dan bila pemilu sungguh adalah sesuatu yang suci, mengapa dilakukan pada hari Selasa, di tengah hari kerja? Beberapa orang mengatakan bahwa ini adalah “demokrasi yang tidak representatif.” Tetapi demokrasi ini sejak awal adalah demokrasi borjuis, yakni sebuah sistem yang didesain untuk membela kepentingan minoritas kecil pemilik properti di atas kepentingan mayoritas.
Sungguh benar kalau politik AS telah bergerak jauh ke kanan, tetapi ini tidak berarti kelas buruh secara keseluruhan telah bergerak ke kanan. Mayoritas kaum muda juga belum bergerak ke kanan, dan justru mengayun ke Kiri.
Misi Biden dan Partai Demokrat adalah untuk mengembalikan kestabilan dan kredibilitas institusi-institusi kapitalisme, sementara mempersiapkan jalan bagi generasi Demokrat pembela kapitalisme selanjutnya.
Jangan lupa bahwa bahkan program reforma moderat Bernie dianggap terlalu radikal bagi petinggi partai. Seperti yang kita ketahui, setelah kampanye Bernie Sanders pada 2016, sosialisme menjadi sorotan perpolitikan AS. Jutaan rakyat mendukung gagasan sosialisme dan mengatakan mereka akan memilih kandidat sosialis. Tetapi setelah Sanders disingkirkan sekali lagi pada musim semi kemarin, Partai Demokrat bergeser bahkan semakin ke kanan dan mencoba menjauhkan diri mereka dari apapun yang berbau sosialisme.
Trump memainkan rasa takut dan curiga dari masa Perang Dingin, yang terus menghantui selapisan kelas buruh yang lebih tua. Di tempat seperti Miami, dengan populasi imigran Kuba dan Venezuelanya yang besar, dia menggunakan sentimen anti-komunis, dan secara sinis menggambarkan Demokrat sebagai Stalinis yang ganas dan anarkis yang gemar kekerasan.
Sementara Biden sendiri telah memperjelas bahwa dia bukanlah seorang sosialis, justru di saat ketika jutaan mengatakan bahwa mereka siap memilih seorang sosialis dan tidak tertarik dengan politisi status quo. Para politisi Demokrat sangatlah takut dengan sosialisme. Biden dan Partai Demokrat sekali lagi bertaruh untuk memenangkan kaum tengah. Tetapi politik tengah telah dikosongkan oleh puluhan tahun krisis dan polarisasi. Ini menjelaskan semakin membesarnya ketertarikan terhadap gagasan sosialisme dan komunisme di satu sisi, dan bangkitnya sayap kanan ekstrem yang semakin vokal.
Kita Membutuhkan Partai Buruh!
Jauh dari mendiskreditkan gagasan bahwa kaum sosialis dapat maju di pemilu dan memang, hasil pemilu tahun ini justru mengekspos Partai Demokrat. Partai ini bukanlah partai sosialis, dan tidak akan pernah jadi partai sosialis. Kaum Kiri yang membayangkan kalau Partai Demokrat dapat diubah menjadi partai sosialis, atau yang ingin menghindari kerja kerja membangun sesuatu yang baru di luar sistem dua-partai, tengah membohongi diri mereka sendiri dan orang lain dengan apa-yang-disebut strategi luar-dalam mereka.
Rakyat tahu betul siapa sesungguhnya kaum Demokrat dan kelas mana yang mereka wakili. Rakyat akan mendukung secara masif kandidat sosialis dengan kemandirian kelas, yang didukung oleh gerakan akar-rumput seperti yang kita saksikan pada musim panas lalu, yang membangun fondasi untuk sebuah partai massa dengan peluang yang riil untuk menang – bukan liberal yang berpura-pura menjadi sosialis, tetapi kaum sosialis kelas-buruh yang sejati.
Kita membutuhkan sebuah partai buruh yang memperjuangkan isu-isu yang dihadapi buruh dengan metode perjuangan kelas. Sebuah partai yang berjuang untuk lapangan pekerjaan, pelayanan kesehatan dan pendidikan untuk semua rakyat. Sebuah partai yang mengedepankan bahwa semua ini harus dibayar dengan menyita perusahaan-perusahaan Fortune 500, termasuk perusahaan-perusahaan terbesar di Wall Street dan Silicon Valley. Di atas basis kelas, bahkan banyak buruh yang memilih Trump dapat dimenangkan ke program seperti ini.
Ambil contoh saja masalah fracking dan bahan bakar fosil secara umum. Banyak buruh di sektor ini yang khawatir akan dampak industri ini terhadap lingkungan hidup, tetapi bagi mereka, pekerjaan ini adalah satu-satunya cara mereka bisa membayar uang sewa rumah dan kredit rumah mereka, menjaga dapur agar terus mengepul, dan menyekolahkan anak mereka. Ketika Biden dengan vulgar mengatakan bahwa dia akan “mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil”, satu-satunya hal yang didengar oleh buruh-buruh ini adalah “kalian akan kehilangan pekerjaan sekali lagi, dan wilayah Rust Belt akan sekali lagi dikhianati oleh Demokrat.”
Terlebih lagi, ada tradisi libertarian yang kuat di negeri ini, dan tidak hanya dalam makna sayap-kanan-ekstrem hari ini. Menelusur kembali ke periode Revolusi Amerika yang pertama (Perang Kemerdekaan AS 1775-1783), yang penuh dengan kontradiksi, ada tradisi individualisme yang kental, yang memuja kebebasan individual di atas segalanya, dan ilusi yang dalam terhadap konsep “kebebasan” yang abstrak. Ada ketidakpercayaan yang luas terhadap pemerintah, dan ada alasan yang baik untuk ini. Mood ini secara sinis dimainkan oleh penganut teori konspirasi dan Donald J. Trump sendiri. Misalnya, ketimbang memberikan penjelasan rasional mengapa orang harus mengenakan masker dan mempraktekkan pembatasan sosial, kita diberi pesan-pesan yang membingungkan. Gubernur-gubernur Demokrat menerapkan aturan-aturan PSBB secara tidak sensitif dari atas, sementara buruh jelata rekening banknya terkuras karena lockdown ekonomi berarti hilangnya mata pencaharian mereka.
Sebuah partai buruh akan mengambil pendekatan yang berbeda. Partai ini tidak akan mengajukan masalah pandemi secara hitam putih: pilih mana, pekerjaan kalian atau kesehatan kalian? Partai buruh akan melindungi kesehatan rakyat, dan pada saat yang sama menjamin pekerjaan berkualitas bagi semua orang dan upah layak, bagi mereka yang bekerja atau yang tidak mampu bekerja. Pengusiran terhadap orang yang tidak bisa membayar uang sewa rumah akan dilarang; pelayanan kesehatan, tempat penitipan anak, dan pendidikan universal akan disediakan; dan sama pentingnya, rakyat akan memperoleh kembali martabat mereka..
Potensi untuk lahirnya partai seperti ini tidak bisa disangkal. Bila saja ada kandidat sosialis yang mandiri dalam pemilu kali ini, tidak akan ada yang tahu bagaimana hasilnya. Mungkin saja kandidat ini tidak menang pada pemilu kali ini. Tetapi dalam persaingan ketat di antara tiga kandidat, ada kemungkinan untuk menang. Tetapi, bahkan bila kandidat sosialis ini tidak menang, setidaknya ini akan mengorganisir sebuah gerakan besar yang siap untuk berjuang di jalan-jalan dan tempat-tempat kerja, dan meletakkan fondasi untuk keberhasilan di pemilu 2024.
Kekacauan elektoral ini bukanlah hasil yang didambakan oleh para ahli strategi kapital. Kemenangan telak Biden adalah hasil yang paling mereka inginkan. Sebuah survei oleh Yale School of Management pada akhir September menemukan bahwa 77% CEO berencana memilih Biden, dan lebih dari 60% memprediksi dia akan menang. Ketidakstabilan tidaklah baik untuk bisnis, dan Trump adalah definisi ketidakstabilan.
Financial Times memahami implikasi dari ketidakstabilan ini, yang terus menggerus kepercayaan massa terhadap keabsahan sistem ini. Seperti yang mereka tulis di editorial mereka hari ini: “Amerika menghadapi dua bahaya, yang satu segera, yang satu lagi struktural. Bahaya yang pertama adalah pengadilan dapat terlibat dalam menentukan hasil pemilu … Bahaya kedua adalah terhadap legitimasi keseluruhan sistem. Bila Trump memenangkan Electoral College, ini akan menjadi kedua kalinya dia melakukan ini dengan suara minoritas, dan ketiga kalinya Partai Republik melakukan ini pada abad ini.”
Ada satu sudut pandang yang harus dipertimbangkan. Dengan mengklaim adanya kecurangan pemilu, Trump kemungkinan akan ada dalam posisi yang lebih kuat saat tidak berkuasa ketimbang berkuasa. Bila dia sudah bukan lagi presiden, dia akan semakin tidak terikat oleh kewajiban untuk mematuhi peraturan atau memikirkan integritas institusi kapitalis. Sementara Biden sebagai presiden akan mewarisi berbagai krisis dan hanya punya sedikit sarana untuk menghadapi krisis-krisis ini, apalagi dengan oposisi kanan-jauh yang buas. Bila Trump dapat mempersulit transfer kekuasaan dan menggambarkan dirinya sebagai korban “tirani liberal”, basisnya akan semakin bersemangat, dan dia bisa bertarung kembali di hari depan, dan kemungkinan ikut pilpres lagi pada 2024.
Jutaan rakyat merasa letih setelah melalui masa kepresidenan Trump, krisis ekonomi, dan pandemi. Mereka mendambakan kembalinya “normalitas”. Tetapi inilah normal di bawah kapitalisme hari ini. Epos kestabilan sudah usai dan tak akan kembali lagi. Secara inheren, kapitalisme adalah sistem yang membiakkan perang, krisis, dan ketidakstabilan.
Setelah beberapa tahun terakhir, banyak orang yang dengan jujur mendambakan rekonsiliasi. Tetapi satu-satunya rekonsiliasi yang mungkin adalah rekonsiliasi di antara rakyat pekerja, yang bersatu dalam perjuangan melawan musuh bersama kita. Rekonsiliasi kelas adalah mustahil di dalam masyarakat yang terbagi antara penindas dan tertindas. Kita tidak punya ilusi terhadap lelucon demokrasi borjuasi. Siapapun yang menang, pemilu tahun ini adalah titik penentuan dalam krisis kapitalisme, perjuangan kelas, dan perkembangan kesadaran kelas.
Pemilu dapat memberi kita gambaran sepintas akan mood masyarakat di satu momen tertentu, tetapi pemilu tidak dapat menyediakan solusi untuk problem-problem fundamental yang dihadapi rakyat dan kaum muda. Walaupun proses ini tidak akan linear dan otomatis, pada akhirnya keputusasaan, kegeraman dan ketidakstabilan ini akan menemukan salurannya dalam perjuangan kelas. Alam membenci vakum, dan hukum gravitasi sosial pada akhirnya akan terasa. Kesimpulan yang harus kita tarik adalah bahwa solusi untuk krisis kapitalisme ini tidak akan bisa kita temui dari dalam sistem kapitalisme itu sendiri, dari batas-batas relasi sosial dan ekonominya, dari partai-partai politiknya, dari dalam kerangka legalitasnya, dan dari dalam negara dan struktur institusionalnya.
Kami telah katakan sebelumnya, dan akan kami katakan lagi jutaan kali bila perlu: apa yang dibutuhkan oleh kelas buruh Amerika adalah partai massa miliknya sendiri, yang dipersenjatai dengan program sosialis revolusioner yang melampaui batas-batas kapitalisme. Hanya dengan kekuasaan negara buruh kita dapat membangun fondasi untuk mengakhiri ketidakpastian dan ketidakstabilan yang inheren di dalam sistem yang mendasarkan dirinya pada pengejaran profit. Gagasan ini harus diajukan secara jelas, sabar, dan gigih. Gagasan ini adalah tonggak dimana semua perjuangan yang tampaknya terpisah-pisah dapat disatukan menjadi satu perlawanan besar melawan kapitalisme.
Periode yang sedang kita lalui sekarang lebih seperti periode pra-revolusioner 1750an atau 1850an, ketimbang 1950an. Stabilitas relatif pasca Perang Dunia Kedua sudah berakhir, dan kontradiksi-kontradiksi sosial tengah mendorong masyarakat ke arah revolusi baru dalam masa hidup kita. Inilah perspektif yang harus kita persiapkan.
7 November 2020.