Pemilihan umum 2009 berakhir dengan 9 partai yang kelimpahan 560 kursi di gedung DPR, terpilih dengan tingkat abstensi atau golput tertinggi, 38,6% semenjak jatuhnya Soeharto. Rakyat yang sudah jenuh dengan politik Indonesia harus kembali menyaksikan dagelan partai-partai tersebut yang sibuk bernegosiasi untuk bagi-bagi jabatan kabinet. Kemarin malam (15/10), para petinggi dari enam partai bertemu di Bravo Media Centre dan menandatangi kontrak politik untuk mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Mereka adalah Partai Demokrat, PKB, PPP, PAN, PKS, dan Golkar. Koalisi ini memberi mereka total 421 kursi, sebuah mayoritas yang absolut. Bila pada jaman Orde Baru kita memiliki satu partai, yakni Golkar, yang biasanya menguasai 60-70% parlemen, sekarang kita hanya berganti kulit dengan koalisi yang menguasai 75% parlemen. Tidak ada perbedaan sama sekali.
Tiga partai lainnya yang memutuskan untuk beroposisi adalah PDI-P, Gerindra, dan Hanura. Akan tetapi ada keretakan di dalam tubuh PDI-P mengenai posisi tersebut, di mana Taufik Kemas menginginkan PDI-P bergabung dengan koalisi tersebut, sedangkan Megawati berpendapat sebaliknya bahwa PDI-P harus memainkan peran oposisi. Sejumlah anggota DPR dari PDI-P pun sudah menyatakan keinginan mereka untuk duduk di kabinet Yudhoyono, dan Taufik sendiri sudah berulang kali mengatakan bahwa dia akan memperbolehkan anggota PDI-P untuk menjadi menteri di kabinet Yudhoyono. Namun kita jangan terkecoh oleh karakter dari oposisi ini. Tidak ada yang progresif sama sekali dengan tiga partai oposisi tersebut, mereka tak lain adalah sayap berbeda dari kelas penguasa yang menunggu waktu yang lebih baik untuk bisa menang di lapangan elektoral di atas penderitaan rakyat pekerja.
Dengan mayoritas yang absolut ini, kelas penguasa akan lebih leluasa melaksanakan kebijakan-kebijakan anti-rakyat. Terutama dengan resesi ekonomi, kelas kapitalis membutuhkan sebuah pemerintahan yang kuat untuk melewati krisis ini; yakni sebuah pemerintahan yang tidak segan-segan memaksa rakyat pekerja dan petani untuk membayar krisis ekonomi ini dengan pemotongan anggaran sosial, privatisasi, dan kebijakan anti-buruh lainnya. Walaupun resesi ekonomi dunia sudah berakhir secara formal tetapi efek dari resesi tahun lalu akan berkepanjangan. Ekspor Indonesia yang didominasi oleh minyak, gas, minyak kelapa sawit, dan batubara – dan bukan produksi manufaktur – membuat negara ini lebih tidak terpukul secara langsung oleh resesi ekonomi tahun 2008; akan tetapi pemulihan ekonomi dunia yang akan bersifat sangat lambat ini akan menurunkan permintaan dunia akan bahan mentah seperti minyak dan gas.
Kelas kapitalis Indonesia dan dunia mengharapkan sebuah pemerintahan yang kuat di Indonesia, yang akan mampu membawa kestabilan politik dan ekonomi di masa yang penuh gejolak sekarang ini. Siapa yang tidak ingat bagaimana krisis ekonomi Asia 1997 memercikkan kondisi revolusioner yang menumbangkan salah satu kediktaturan yang paling kejam di dunia. Ingatan ini masih segar di kepala kelas penguasa dan mereka tidak ingin hal tersebut terulang kembali: bila krisis ekonomi Asia 1997 mampu menumbangkan Soeharto, maka krisis ekonomi global sekarang ini mungkin akan menyapu kapitalisme dari bumi Indonesia, terutama sekarang dengan gerakan buruh Indonesia yang secara kualitas lebih terorganisasi dibandingkan pada saat jaman Soeharto.