Belum lama yang lalu, dosen Universitas Indonesia Ade Armando membuat geger dunia “masyarakat sipil” dengan deklarasi pembentukan Civil Society Watch. Ade menerangkan kalau “kelompok-kelompok masyarakat perlu dikontrol” dan CSW “bertujuan menjaga agar kelompok-kelompok LSM, NGO, media massa, dan ormas tepat menjadi kekuatan yang sehat dalam demokrasi.” CSW berambisi menjadi pengawas demokrasi, tetapi pertanyaan yang lantas muncul: Siapa yang akan mengawasi sang pengawas? Pertanyaan ini menarik untuk dikupas dan di sini pengalaman Soviet (dewan rakyat) dapat memberi jawaban.
Para kritikus Ade dan CSW tepat mengatakan bahwa yang sebenarnya perlu diawasi adalah negara, yang telah menjadi pelanggar terbesar hak-hak demokratik rakyat pekerja. Bahkan ormas-ormas reaksioner seperti FPI dan Pemuda Pancasila tidak lain adalah kepanjangan tangan negara, kelompok-kelompok preman yang dibina dan dipelihara untuk menjadi anjing herder kelas penguasa, untuk melakukan tugas-tugas kotor yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh aparatus kekerasan negara. Dan kita kembali lagi pada pertanyaan yang sama: siapa yang akan mengawasi negara, dan lalu siapa yang akan mengawasi sang pengawas tersebut? Sehingga, pertanyaan ini pun sesungguhnya sangat mendasar, yang menyentuh keseluruhan mekanisme demokrasi dalam masyarakat.
Jawaban umum “rakyat yang akan mengawasi” tidaklah memuaskan, di satu sisi karena terlalu kabur, dan di sisi lain, bukankah semboyan setiap negara republik yang ada di muka bumi ini adalah “pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat”? Dan ini tidak menghentikan kesewenang-wenangan pemerintah. Mekanisme pemilu dan berbagai sistem check-and-balance seperti model trias politica pun telah gagal untuk menjamin hak-hak demokratik rakyat. Sebaliknya, mekanisme-mekanisme ini justru menjadi selubung atas pelanggaran demokrasi.
Dalam sejarah manusia, ada satu bentuk negara yang paling mampu menjamin demokrasi bagi rakyat pekerja, yaitu Negara Soviet yang lahir dari rahim Revolusi Rusia. Soviet adalah dewan rakyat yang didirikan secara organik oleh buruh dan tani selama proses Revolusi Rusia, dan merupakan organ yang paling demokratis dalam sejarah manusia. Politik serta fungsi menjalankan pemerintah bukan lagi jadi monopoli para politisi kawakan dan pejabat. Dalam Soviet, rakyat pekerja langsung terlibat dalam semua fungsi negara, dari tingkat RT sampai nasional.
Dalam masyarakat hari ini, rakyat menyerahkan fungsi-fungsi pemerintah ke politisi dan pejabat, lewat mekanisme perwakilan dan pemilu. Ini karena rakyat pekerja menghabiskan hampir seluruh waktunya di tempat kerja, dimana dia tidak punya kendali sama sekali. Dia hanya sebuah roda gir kecil dalam produksi, walaupun proses produksi sesungguhnya adalah kegiatan paling penting dalam masyarakat. Majikan mereka yang mengambil keputusan buat mereka, karena seturut kapitalisme pemilik modal adalah yang empunya kekuasaan di pabrik mereka. Inilah yang kita sebut sebagai kediktatoran kapital.
Selepas bekerja membanting tulang, rakyat tidak lagi punya waktu untuk berpolitik. Dan mereka bahkan secara aktif dipinggirkan dari panggung politik. Rakyat hanya diberi saluran politik terbatas dalam bentuk pemilu 5-tahunan, sebagai ritual untuk menyerahkan fungsi negara pada politisi dan pejabat.
Pemilu yang universal ini pun adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan keras oleh rakyat pekerja, karena untuk waktu yang lama hak memilih dan dipilih adalah hak eksklusif pemilik modal. Rusia adalah negeri yang pertama di dunia yang menjamin hak pemilu universal saat Revolusi Rusia 1917. Negara republik memang sejak awal telah disusun sedemikian rupa untuk membatasi hak demokratik hanya untuk kelas pemilik modal, bahkan sampai hari ini. Walau di atas kertas rakyat punya hak demokratik, tetapi dalam praktik mereka tidak punya akses riil ke koridor kekuasaan. Inilah yang kita sebut sebagai demokrasi borjuasi.
Soviet menjungkirbalikkan tatanan demokrasi lama ini, dan menggantikan demokrasi borjuasi dengan demokrasi buruh.
Pertama, Soviet memberikan hak demokratik bagi rakyat pekerja langsung di tempat kerjanya, dimana produksi berlangsung. Soviet (dewan) dibentuk di pabrik-pabrik dan semua tempat kerja. Di dalam soviet, buruh yang bekerjalah yang secara demokratis menentukan semua aspek produksi, dari apa yang mereka kerjakan, kondisi kerja dan upah mereka, sampai proses akuntabilitas. Yang punya pengetahuan terbaik mengenai kerja mereka dan tahu bagaimana mengawasi kerja mereka sendiri secara kolektif dan demokratis adalah buruh yang bekerja, bukannya majikan di kantor ber-AC atau dewan direktur yang rapat jauh di gedung pencakar langit.
Soviet-soviet di tingkat tempat kerja (entah buruh, tani, atau nelayan) lalu membentuk jaringan demokratik dari hulu sampai hilir, dari tingkat daerah sampai nasional, karena tidak ada satupun tempat kerja yang berdiri sendiri. Divisi kerja global telah membuat semua tempat kerja terikat dan tergantung satu sama lain. Tidak hanya itu, soviet buruh juga membentuk jaringan demokratik dengan soviet-soviet komunitas sekitarnya. Ini karena produksi bukanlah sesuatu yang berhenti di gerbang pabrik saja, tetapi juga meliputi komunitas yang ada di sekitar mereka. Produksi tidak hanya terbatas pada barang yang dihasilkan, tetapi juga dampaknya terhadap seluruh sendi masyarakat.
Di sini kita bisa melihat bagaimana soviet menghancurkan tembok yang sebelumnya memisahkan tempat kerja dari politik. Dengan kontrol demokratiknya terhadap kerja mereka, buruh dan tani telah berpolitik. Mereka tidak lagi membutuhkan politisi profesional untuk menjalankan fungsi pemerintah.
Kedua, di dalam Soviet, tidak ada lagi pembagian struktural antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sekat-sekat ini dihapus, sehingga yang mengeksekusi kebijakan juga adalah yang menyusun, mendiskusikan, dan memutuskan secara demokratis kebijakan tersebut, dan mereka juga yang mengawasi penerapannya dan mengevaluasinya. Aparat-aparat yudikatif juga dipilih, bukan ditunjuk dari atas, dan mereka adalah bagian dari soviet. Tidak ada lagi badan yudikatif yang berdiri terpisah dari rakyat.
Dengan demikian, kita sebenarnya kembali lagi ke demokrasi primitif, yaitu bentuk “pemerintahan” yang ada di masyarakat primitif sebelumnya munculnya kelas dan Negara (Negara di sini dalam artian badan kekerasan untuk membela kepentingan kelas penguasa). Namun kali ini, bentuk demokrasi primitif ini diletakkan di atas landasan masyarakat modern, dengan tingkat kekuatan produksi yang jauh lebih tinggi. Problem pengawasan terhadap demokrasi dan fungsi-fungsi negara – dan juga terhadap semua kelompok masyarakat, yang dalam kasus ini adalah soviet-soviet yang membentuk negara itu sendiri – sungguh menjadi milik rakyat, bukan dalam slogan hampa atau di atas kertas saja, tetapi secara konkret dan langsung.
Demokrasi pada analisa terakhir terikat erat dengan kepentingan produksi. Ketika negara melanggar hak demokratik rakyat, mereka melakukan ini demi kepentingan produksi kapitalis. Ketika negara menangkapi ratusan pelajar yang berdemonstrasi menentang Omnibus law, mereka membela kepentingan arus investasi modal. Ketika negara menangkapi ketua adat Kinipan Effendi Buhing, ini untuk menyerobot tanah rakyat adat demi perluasan perkebunan sawit. Ketika negara merepresi rakyat Papua yang menyuarakan aspirasi nasional mereka, ini dilakukan demi kepentingan industri pertambangan, perhutanan, dan perkebunan yang menjarah bumi Papua. Ketika negara menangkapi, memenjarakan, dan membantai jutaan anggota dan simpatisan PKI pada 1965-66 tanpa proses pengadilan, ini untuk mematahkan prospek komunisme di Indonesia, sebuah prospek yang mengancam kepemilikan tuas-tuas ekonomi kapitalis.
Oleh karenanya, pengawasan demokrasi berarti juga pengawasan proses produksi, dan kita tidak bisa sungguh-sungguh mengawasi dan mengontrol sesuatu bila kita tidak memilikinya. Soviet, sebagai bentuk demokrasi tertinggi, hanya dimungkinkan dengan mengekspropriasi ekonomi dari tangan segelintir kapitalis dan tuan tanah, dan meletakkannya di bawah kontrol demokratik buruh dan tani. Demokrasi yang sejati hanya bisa terjamin dengan menghapus kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, dan menggantikannya dengan kepemilikan kolektif.
Yang paling berwenang dan kompeten untuk mengawasi kehidupan demokrasi dalam masyarakat adalah rakyat pekerja sendiri. Bukan Ade Armando, bukan CSW, bukan LSM apapun, dan yang pasti bukan rejim hari ini. Tetapi untuk bisa melakukan itu, mereka harus merebut kekuatan ekonomi dan politik dari kelas penguasa, dan dengan kekuatan ini membangun sebuah sistem kemasyarakatan yang sepenuhnya baru, berdasarkan pengalaman Soviet dan Revolusi Rusia.