Bentrokan antara supir taksi (dan angkutan umum tradisional lainnya) dengan para pengemudi Gojek yang dimotivasi oleh penolakan terhadap aplikasi transportasi online macam Uber di Jakarta baru-baru ini juga telah terjadi di banyak kota di seluruh dunia. Baru-baru ini di Kanada juga terjadi bentrokan antara supir taksi dengan supir Uber. Di bawah ini kami terbitkan artikel oleh kamerad Laura Perez yang mengupas apa yang menjadi akar dari permasalahan ini.
Kedatangan aplikasi Uber telah melempar industri taksi ke dalam kekacauan. Aplikasi yang pertama kali diluncurkan pada Juni 2009 di San Fransisco ini telah menyebar secara pesat dan hari ini terdapat di lebih dari 300 kota di sekitar 58 negara. Walaupun Uber menawarkan banyak keuntungan dibandingkan taksi tradisional, termasuk tarif yang lebih rendah, Uber memberikan dampak-dampak serius terhadap hajat hidup para sopir taksi.
Di Kanada, penentangan para sopir taksi terhadap Uber baru-baru ini tampak di Toronto dimana para sopir taksi memblokade jalanan dan salah seorang sopir taksi diseret di jalanan setelah mengonfrontasi terduga sopir Uber. Juni lalu di Paris, para sopir taksi memblokade akses ke bandara sementara di Nice dan Nantes mereka membakar ban di jalanan memprotes keberadaan Uberpop. Peristiwa-peristiwa ini barulah peristiwa-peristiwa paling dramatis dalam rangkaian reaksi terhadap munculnya fenomena Uber di seluruh dunia.
Akibat tarifnya yang umumnya lebih rendah serta teknologi yang inovatif dan efektif, Uber telah mampu mengamankan tempatnya di industri taksi dengan merebut sejumlah besar klien mereka dari tangan perusahaan-perusahaan taksi tradisional. Contoh dari ini ada di San Francisco, dimana jumlah rata-rata perjalanan via taksi-taksi konvensional telah merosot 65 persen sejak tahun 2012. Bagaimanapun juga, pergeseran sedemikian besar tidak bisa dijelaskan melalui sekadar kedatangan aplikasi yang didesain baik.
Uber mampu menciptakan kompetisi di sebuah industri yang sudah kuno dan stagnan. Didorong oleh motif pencarian laba dari sistem kapitalisme dan karena mereka telah menguasai pasar kuasi-monopolistis ini, perusahaan-perusahaan taksi besar hanya punya sedikit alasan untuk berinvestasi dalam peningkatan layanan konsumen. Daripada meningkatkan sistem mereka untuk mengadaptasi klien yang telah berevolusi di era teknologi ponsel pintar dan media sosial, mereka lebih memilih meneruskan penggunaan sistem yang kuno dan tak efisien.
Daya Tarik Hal Baru
Uber adalah suatu sistem transportasi yang merupakan bagian dari “ekonomi berbagi” yang sangat digemari dalam tahun-tahun belakangan ini. Sebagaimana dengan aplikasi AirBnB, Uber memungkinkan para penggunannya menghindari saluran-saluran komersial biasa dengan menggunakan internet sebagai suatu alat untuk melakukan transaksi komersial langsung dengan para pengguna lain.
Jika anda ingin pergi ke suatu tempat dengan Uber, tinggal masuk ke aplikasi dengan ponsel pintar. Dalam hitungan detik, Uber akan menawarkan pilihan sopir-sopir terdekat. Para sopir ini adalah para pengguna lain seperti anda atau saya yang tidak harus membayar untuk SIM khusus apapun. Apa yang mereka butuhkan hanyalah menempuh beberapa verifikasi legal dan punya SIM mobil biasa yang berlaku. Anda bisa memilih sopir anda berdasarkan ulasan-ulasan yang telah diberikan pada mereka oleh para pengguna lain dan kemudian anda bisa memberikan ulasan sendiri setelah selesai. Ongkosnya ditetapkan oleh Uber, dimana anda membayar lewat kartu kredit melalui aplikasi ponsel pintar. Setelah itu, perusahaan mempertahankan 20 persen pembayaran anda dan sisanya ditransfer ke sopir.
Para pengguna Uber mengklaim bahwa layanannya lebih cepat, lebih baik, dan dua kali lebih murah daripada taksi konvensional. Oleh karena itu tidak mengejutkan bahwa perusahaan yang dimulai di San Francisco ini telah berkembang dengan pesat. Layanannya menyebar seperti api yang menjalar di seluruh muka bumi. Uber sekarang bernilai lebih dari 40 miliar dolar AS.
Tidak heran pula kalau ini memusingkan industri taksi. Perusahaan-perusahaan taksi di Montreal, Kanada, mengeluh bahwa mereka telah kehilangan sampai 30 persen klien mereka ke UberX.
Oleh karena itu para sopir taksi mendapati diri mereka dalam situasi rawan. Di Prancis, di kota-kota seperti Paris dan Marseilles, para sopir memiliki serikat. Sehingga bekerja untuk Uber dengan demikian merupakan cara untuk menyunat perjanjian perundingan kolektif dan menundukkan para sopir yang berserikat ke kompetisi yang tidak adil. Ini merusak solidaritas para buruh yang berjuang untuk upah yang lebih baik dan kondisi kerja yang lebih layak. Bagaimanapun juga di sebagian besar negara, para sopir taksi tidak terserikat—malah jauh dari kondisi itu. Misalnya di Kanada, kondisi-kondisi kerja para sopir taksi cukup sengsara.
Upah Rendah dan Jam Kerja Panjang
Pertama-tama dan yang paling terutama, sistem taksi di Kanada menuntut para sopir membeli ijin/permit taksi. Permit-permit ini jumlahnya terbatas tergantung kotanya. Kota Montreal misalnya saat ini terdapat 4.437 permit yang digunakan.
Para sopir taksi oleh karena itu punya dua pilihan: membeli permit taksi dan bekerja untuk diri sendiri atau menyewa mobil yang berhubungan dengan pemilik permit.
Batasan jumlah permit berhubungan erat dengan hukum permintaan dan tawaran. Semakin banyak permit berarti upah semakin murah, kompetisi semakin sengit, dan stres semakin meningkat untuk para sopil. Semakin sedikit permit berarti kelangkaan mobil bagi para klien, harga yang lebih tinggi dan di atas segalanya, harga yang meroket untuk permit-permit itu sendiri.
Di Montreal tahun 1992, harga permit taksi untuk pusat kota ditetapkan sebesar $25.000. Tahun 2007, harga itu melonjak jadi $230.000. Meskipun organisasi Fintaxi memungkinkan para sopir mendapatkan pinjaman hutang dengan mudah, mereka masih harus membayar jumlah besar ini dengan tingkat bunga 10,95%. Ini adalah tingkat bunga yang lebih rendah daripada bank-bank besar namun ini tetap saja bunga.
Lantas bagaimana para sopir bisa membayar kembali hutang-hutang ini? Ambillah contoh Quebec, Kanada, menurut Industry Canada, 69% para sopir punya pendapatan kurang dari $20.000. per tahun (Upah minimum di Kanada adalah sekitar $20.000 per tahun). Beberapa sopir mampu meraih pendapatan lebih tinggi, sekitar $30.000 sampai $40.000, namun ini biasanya akibat bekerja sampai 70 jam per minggu. Setelah dikurangi bunga, bensin, dan pajak, pendapatan bersih yang bisa dibawa pulang sangat sedikit sementara pelunasan hutang terus molor sampai bertahun-tahun.
Monopoli Taksi yang Ditutup-tutupi
Koran Star Phoenix baru-baru ini menyorot sistem taksi di Ottawa dan mengungkap pemusatan industri taksi di kota ini. Perusahaan Coventry Connections menguasai 9/10 dari total perusahaan Taksi di Ottawa termasuk Blue Line, DJs, dan West-Way. Sebagai tambahan, wakil presiden Coventry Connections, Marc-André Way memiliki 87 permit sendiri.
Sedangkan di Vancouver, menurut majalah The Dependant, empat perusahaan taksi utama—Yellow Cab, Blacktop/Checker Cab, Maclure’s Cab, dan Vancouver Taxi—secara gabungan menguasai 588 permit taksi yang dikeluarkan oleh Badan Transportasi Penumpang.
Perusahaan-perusahaan ini berikutnya menjual kembali permit-permit mereka dengan jumlah keseluruhan senilai $800.000 untuk satu taksi. Biasanya mereka membagi permit itu menjadi dua shift kerja harian 12 jam—satu untuk malam dan satu untuk siang. Untuk mendapatkan setengah permit, oleh karena itu ongkosnya sebesar $400.000. Pemesan bisa merupakan siapapun yang memiliki suatu surat izin mengemudi yang valid dan punya cukup uang. Sang pemesan, menempuh ini, demi mendapatkan laba maksimum kemudian menyewakan lisensi taksi ke mereka yang tidak mampu dengan harga $2.500/bulan untuk “setengah taksi”.
Para pembeli perantara ini kemudian melambungkan harga yang dibayar untuk taksi karena sopir harus menjamin bahwa mereka punya uang untuk mengongkosi sewa, bensin, asuransi, dan yang paling akhir dalam daftar, mereka perlu upah layak. Uber mengatasi semua ini.
Di Toronto, investigasi-investigasi yang dijalankan oleh koran-koran harian besar seperti The Globe and Mail telah mengekspose monopoli permit dan perusahaan-perusahaan taksi. Jurnalis Peter Cheney mengungkap beberapa tahun lalu bahwa Mitch Grossman dan keluarganya menguasai lebih dari 100 permit yang didistribusikan di kota. Saat seorang sopir ingin menggunakan salah satu lisensi itu, Grossman memaksa mereka membeli taksi yang kelewat mahal, yang didanai oleh firma keluarganya, Finance Symposium, dengan tingkat bunga sampai 28 persen. Tak satupun lisensi itu yang atas nama Grossman sendiri, namun atas nama perusahaan-perusahaan taksi yang berbeda-beda demi mengakali peraturan-peraturan tentang kepemilikan dan penyewaan plat-plat lisensi taksi.
Di Toronto, di antara pemegang saham raksasa dari permit-permit taksi adalah para investor yang tinggal di Florida dan Israel. Hanya dalam kurun waktu lima tahun lebih dari 30 persen semua pendapatan industri taksi ditemukan berada di kantong-kantong para investor asing.
Metro News dan Edmonton Sun juga telah mengungkap keberadaan monopoli-monopoli taksi di Edmonton dan Calgary.
Uber datang sebagai tamu tak diundang, dengan teknologi majunya, yang jauh lebih maju daripada metode-metode kuno perusahaan-perusahaan taksi konvensional. Sementara industri taksi di Kanada berleha-leha di tahta kemenangan selama puluhan tahun. Inovasi-inovasi Uber (platform mobile, kemampuan merating para sopir, pembayaran “online” atau dalam jaringan, dan sebagainya) adalah ide-ide yang bisa dicetuskan dan diterapkan perusahaan-perusahaan taksi itu sendiri. Mamun akibat kurangnya kompetisi dan banyaknya politisi di kantong belakang mereka, mereka tidak punya alasan untuk melakukannya. Mengapa berinvestasi untuk teknologi baru saat mereka sudah menguasai pasar?
Dalam kapitalisme, perusahaan-perusahaan tidak bertindak memenuhi kepentingan penyediaan pelayanan terbagi bagi konsumen, namun demi kepentingan mengamankan laba sebanyak-banyaknya dan mendapatkan jatah pasar sebesar-besarnya. Ini artinya begitu suatu perusahaan sudah memonopoli pasar, maka ia tidak perlu berinvestasi untuk meningkatkan layanan-layanan, yang akan berarti ongkos tambahan tak perlu. Terlebih lagi, perusahaan tidak perlu takut bahwa para konsumen akan meninggalkannya dan beralih ke saingannya. Inilah mengapa monopoli yang dijalankan perusahaan-perusahaan taksi telah berkontribusi pada keusangan sistem mereka. Walikota Denis Coerre yang menyaksikan merosotnya industri taksi dan ketidakmampuannnya untuk keluar dari keruwetan ini akhirnya memodifikasi regulasi-regulasi taksi untuk membuat mereka menerima teknologi maju seperti menerima pembayaran lewat kartu!
Kini Uber telah mengancam porsi pasar dari perusahaan-perusahaan taksi besar, perusahaan-perusahaan ini kemudian menyesuaikan diri. Merespon Uber, Diamond Taxi di Montreal baru-baru ini meluncurkan suatu aplikasi yang memungkinkan para klien membayar lewat ponsel pintar. Sedikit terlambat!
Apakah Uber adalah solusi?
Banyak orang menyambut Uber dengan tangan terbuka. Di negeri-negeri seperti Spanyol, Prancis, atau Italia dimana pasar tenaga kerja terus memburuk semenjak krisis ekonomi global tahun 2008, bekerja untuk Uber tampaknya seperti solusi ideal bagi banyak orang. Mayoritas orang yang menyetir untuk Uber adalah para mahasiswa yang bersusahpayah bekerja demi membayar studi mereka atau para buruh yang mencari pendapatan tambahan tiap bulannya. Bahkan semakin banyak sopir taksi konvensional yang juga bekerja untuk Uber di waktu luangnya.
Uber membela diri dari banyak tuduhan yang dilemparkan padanya dengan mengklaim bahwa Uber membantu ekonomi dengan cara mengurangi pengangguran, “Kami ingin duduk dengan para walikota untuk membantu pertumbuhan, untuk membantu menciptakan lapangan pekerjaan. Ini bukan hal yang terlalu banyak untuk diminta: kami hanya ingin membantu orang lain saling mendukung dan mencampakkan undang-undang dan peraturan yang kuno,” kata Travis Kalanick, pendiri aplikasi ini. Saat kita menyimaknya, bisa jadi terkesan bahwasanya Uber didorong oleh motif altruisme murni. Kenyataannya berbeda.
Meskipun Uber hanya mengambil 20% dari tiap perjalanan, kita harus menekankan bahwa Uber menganggap para sopirnya sebagai kontraktor dan bukan karyawan. Ini memungkinkan perusahaan menghemat banyak uang karena tidak perlu membayar tunjangan dan asuransi buat mereka. Model ini telah digugat di hadapan Komisi Tenaga Kerja yang akhirnya memutuskan bahwa sopir Uber pada faktanya bukanlah karyawan melainkan kontraktor.
Sebagai para kontraktor, para sopir Uber tidak dapat bonus lembur karena menyetir malam hari atau di hari liburan. Begitupula kontrak mereka bisa dicabut setiap saat. Satu-satunya keuntungan yang dinikmati sopir Uber adalah persyaratan kerja minimum yang berkebalikan dengan para sopir taksi yang harus mendapatkan permit.
Siapa yang Menentang Ini?
Para sopir taksi menentang Uber karena mereka kehilangan para pelanggannya. Bagi para sopir yang tidak punya permit taksi, menurunnya jumlah klien semakin menggerus pendapatan mereka yang sudah terbatas. Bagi para sopir yang punya permit, mereka adalah para korban pedang bermata ganda: merosotnya basis konsumen dan jatuh bebasnya nilai permit, yang mereka beli dengan harga penuh.
Semakin lama semakin banyak sopir taksi yang tidak punya permit yang mencampakkan perusahaan-perusahaan taksi konvensional dan kemudian bergabung dengan Uber. Menurut majalah Slate, seorang sopir Uber di AS yang bekerja antara 16 dan 34 jam per minggu meraih rata-rata upah per jam sebesar $17,24. Di kota New York, rata-rata pendapatan naik jadi $28,47 per jam. Uang sebesar $13 per jam yang diperoleh para sopir taksi di Quebec, Kanada, menurut Institut Statistik Quebec sangatlah ringkih bila dibandingkan. Bergabung dengan aplikasi ini sebagai seorang sopir oleh karena itu tampak jadi solusi bagi banyak orang.
Bagaimanapun juga permasalahannya jauh lebih mendalam. Datangnya Uber memungkinkan setiap orang jadi sopir dan menerabas regulasi pasar yang diciptakan sistem lisensi taksi. Dengan kata lain, Uber telah menciptakan ketidakseimbangan dalam permintaan dan penawaran. Para sopir taksi sekarang harus bersaing dengan semua orang dan siapa saja yang bisa menyetir dan bukan hanya para sopir taksi lainnya. Saat ini, menyopir untuk Uber lebih menguntungkan daripada bekerja untuk suatu perusahaan taksi. Bagaimanapun juga bila para sopir terus bergabung ke Uber, maka penawaran akan melebihi permintaan dan akhirnya akan lebih sulit memperoleh pendapatan yang memuaskan.
Pihak yang Dikorbankan Selalu Buruh
Sekarang ada perang antara para sopir taksi dan perusahaan-perusahaan taksi melawan Uber. Kita telah menyaksikan demonstrasi-demonstrasi, blokade-blokade jalan, intimidasi dan kekerasan. Namun pada akarnya, baik para sopir Uber maupun para sopir taksi konvensional semuanya menginginkan hal yang sama: menopang diri sendiri, memberi makan keluarganya, dan membayar hutang-hutangnya. Sementara ini semua berlangsung, para konglomerat taksi besar dan Uber terus memenuhi kantong mereka dengan laba dan keuntungan raksasa. Raksasa-raksasa ini bertarung dalam pertempuran yang sengit dimana siapapun yang menang pihak yang kalah dan dikorbankan selalu buruh, tak peduli di kubu manapun mereka.
Para penganjur kapitalisme menyatakan bahwa sistem mereka mendorong kewirausahaan dan keanekaragaman bisnis. Kenyataannya sepenuhnya berbeda. Dalam kapitalisme, kompetisi memaksa setiap perusahaan menggilas perusahaan lainnya demi merebut jatah pasar yang lebih besar yang secara umum diraih lewat mempertahankan biaya operasi dan harga yang lebih rendah. Khususnya dalam situasi krisis ekonomi seperti sekarang, mereka yang tidak bisa bersaing akan ditelan oleh ikan yang lebih besar yang akhirnya memonopoli pasar. Perkembangan alami kapitalisme mengarah ke konsentrasi. Alih-alih keanekaragaman, sistem kapitalisme berakhir dalam monopoli.
Kontrol monopoli seperti ini berlaku sebagai penghalang terhadap kemajuan teknologi. Sebagaimana yang dicantumkan di awal, inovasi-inovasi dalam layanan konsumen tidak diperlukan bagi perusahaan-perusahaan yang sudah mendominasi pasar tanpa tanding. Oerusahaan-perusahaan taksi mendapati diri mereka tidak berdaya saat dihadapkan dengan Uber sebagai pesaing. Saaat yang bersamaan, datangnya Uber bukanlah berkah yang akan membebaskan kita dari dominasi para dinosaurus industri taksi. Akibat dorongan untuk meraup laba, kemajuan teknologi dalam kapitalisme tidak memiliki tujuan meningkatkan layanan bagi konsumen atau meningkatkan kondisi buruh. Faktanya dorongan meraup laba sering berarti perkembangan teknologi bertentangan dengan kepentingan buruh maupun konsumen.
Dalam kapitalisme, perkembangan teknologi alat-alat produksi, terlepas dari aspek-aspek progresif yang jelas, di saat yang bersamaan sering berujung ke konsekuensi-konsekuensi negatif bagi para buruh. Dalam Kapital, Marx menjelaskan bagaimana di awal kelahiran kapitalisme, perkembangan yang lebih efisien dalam penenunan berujung kerusuhan oleh buruh di Jerman dan Belanda. Seiring semakin efisiennya produksi, jumlah buruh yang diperlukan untuk memproduksi jumlah barang yang sama atau tingkat jasa yang sama dikurangi. Bisnis-bisnis oleh karena itu meningkatkan laba mereka dengan mengganti bagian tenagakerja melalui mekanisasi dan dalam prosesnya menjerumuskan para buruh ke kolam pengangguran. Perkembangan teknologi oleh karena itu bagi buruh selalu tampak sebagai ancaman terhadap pekerjaan mereka. Fenomena inilah yang diamati Marx eksis sampai hari ini. Kenyataannya terdapat banyak contoh, misalnya PHK akibat pengembangan kasir-kasir otomatis swa-bayar di supermarket-supermarket.
Lantas mengapa kita harus memilih antara kemajuan teknologi dan pekerjaan? Mengapa teknologi tidak bisa dikembangkan untuk melayani kebutuhan rakyat pekerja? Kasir-kasir otomatis swa-bayar seharusnya memungkinkan mengurangi beban kerja dan jam kerja para buruh supermarket serta mendapatkan upah yang lebih baik alih-alih kehilangan pekerjaan mereka.
Konflik ini menunjukkan kekonyolan transportasi dalam kapitalisme. Para kapitalis pertama-tama sekali memandang transportasi sekedar sebagai sarana meraup laba barulah kemudian di urutan berikutnya memandangnya sebagai kebutuhan vital masyarakat kita. Transportasi merepresentasikan porsi penting pengeluaran para buruh yang semakin ditekan oleh merosotnya upah riil, melonjaknya harga transportasi publik termasuk juga harga bensin (terlepas dari jatuhnya harga minyak dunia). Oleh karena itu, kita bisa melihat mengapa kemudahan penggunaan dan rendahnya tarif Uber bagi beberapa buruh menawarkan kelonggaran sementara.
Namun sebenarnya kita tidak harus memilih di antara keduanya. Sebaliknya, kita memperjuangkan suatu program investasi masif dalam transportasi publik, dengan tujuan menyediakan jaringan luas transportasi publik yang ramah lingkungan, efisien, gratis, dan terjangkau bagi setiap orang, di setiap waktu, dan jaminan pekerjaan layak bagi para buruh yang menjalankannya. Bagaimanapun, untuk menciptakan suatu sistem demikian kita butuh mengubah cara masyarakat kita dalam mengorganisir produksi—hanya suatu sistem sosialis yang memungkinkan ini terjadi.