Korupsi adalah tindakan yang masuk kategori kejahatan luarbiasa. Korupsi juga bisa disebut sebagai kejahatan beresiko tinggi. Kenapa beresiko tinggi? Karena sudah pasti akan memiliki dampak yang berat bagi kehidupan masyarakat.
Korupsi, secara umum, bisa didefinisikan sebagai “penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi”. Dalam negara borjuis-kapitalis seperti Indonesia, korupsi bisa berproduksi dengan lancar. Bahkan bisa dikatakan sebagai produk unggulan. “Demokrasi”, dalam pengertian normatifnya, mengacu pada ungkapan Abraham Lincoln, berarti “pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dari pengertian normatif mengenai demokrasi ini sebenarnya sudah memberi kesimpulan terang, bahwa pemerintahan dan segala asetnya adalah milik rakyat, bukan milik individu, partai, atau kartel bisnis tertentu. Tetapi pertanyaannya, kenapa praktek korupsi justru tumbuh subur di negara yang menganut filosofi “agung” tersebut?
Di dalam suatu masyarakat, jika pemerintahan sudah dimonopoli oleh sekelompok tertentu, maka sekelompok tertentu tersebut akan menyalahgunakan posisinya untuk kepentingannya sendiri atau golongan. Dalam buku Negara dan Revolusi, yang ditulis Lenin pada tahun 1917, dirumuskan aturan-aturan fundamental untuk mengatasi praktek-praktek korupsi dan birokratisme di Uni soviet setelah revolusi terjadi. Hal ini tentu mengacu pada memori, sejarah dan tradisi yang pernah ada di negara-negara borjuis sebelumnya, suatu pemerintahan yang ramai dengan korupsi dan penipuan terhadap rakyatnya sendiri. Aturan-aturan fundamental dari Lenin tersebut mengatur di mana semua pejabat yang dipilih secara bebas dan demokratis bisa ditarik mundur setiap saat, mengatur agar pejabat tidak menerima gaji lebih tinggi dari seorang buruh terampil, membentuk tentara rakyat sebagai pengganti tentara reguler, posisi birokrasi negara harus digilir.
Konsepsi fundamental di atas terbukti mampu menjadikan Uni Soviet pada masa Lenin dan Trotsky sebagai rejim yang paling demokratis di dalam sejarah politik. Kehancuran Uni Soviet setelah itu adalah hal lain. Pengkhianatan revolusi oleh Stalin kemudian meluruhkan sistem itu ke dasar jurang dan memancing para politisi Barat untuk membuat propaganda hitam atas sosialisme.
Sifat korupsi tidak lepas dari sifat ekonomi-politik borjuis-kapitalis. Konsep demokrasi borjuis adalah jalan lebar yang dibuat untuk memuluskan gerak roda ekonomi-politiknya yang eksploitatif dan koruptif. Di dalam negara monarki atau totaliter, korupsi memang menjadi tradisi. Tetapi di dalam negara “demokrasi’ borjuis, praktek korupsi memiliki warna lebih buruk lagi. Dalam buku Corruption, Capitalism and Democracy yang ditulis oleh John Girling, dikatakan bahwa watak demokrasi liberal (borjuis) telah melahirkan korporasi politik. Politik, yang seharusnya menjadi arena bersama untuk menentukan nasib sebuah bangsa, telah bermetamorfosis menjadi “perusahaan” milik para pemegang modal. Pembicaraan mengenai politik kemudian menjadi pembicaraan tentang untung rugi dan investasi. Kontes politik di arena pemilu menjadi ajang pertarungan yang berbiaya mahal. Kelompok yang menang secara moral politik “sah” untuk mengeruk kekayaan negara guna mengembalikan besaran investasi yang telah ditanamkan plus laba. Akhirnya korupsi menjadi tindakan yang tak terelakkan. Korupsi politik merupakan dampak logis dari demokrasi borjuis.
Demokrasi borjuis adalah demokrasi kepentingan. Partai-partai politik butuh sumber keuangan yang deras untuk sampai pada kepentingan-kepentingan itu. Sumber keuangannya tentu tidak cukup jika hanya mengucur dari iuran anggota dan simpatisannya. Partai-partai elit ini akan berusaha menempatkan orang-orangnya pada lini-lini politik strategis untuk bisa mendapatkan dana melalui kebijakan-kebijakan politiknya yang koruptif. Partai-partai tersebut akan berusaha memasukkan orang-orangnya pada ruang-ruang basah seperti di Badan Anggaran (Banggar) DPR atau di komisi-komisi strategis lainnya.
Dalam sistem politik borjuis, yang hanya mengejar kekuasaan ekonomi dan politik untuk tujuan profit, membangun kader-kader yang loyal dan ideologis bagi partai-partai bukanlah sesuatu yang penting. Karena visi politik mereka bukanlah membangun sistem kehidupan yang adil, membangun peradaban yang luhur;, membangun kekuatan revolusioner untuk tujuan kemanusiaan. Pandangan politik mereka tidak sejauh itu. Mereka hanya butuh kekuasaan segera. Mereka butuh memapankan modalnya segera. Mereka akan membayar konstituen politiknya dari hasil korupsi, dari hasil merampok kekayaan negara, dari hasil merampok uang rakyat (pajak) yang diperuntukkan untuk pembangunan kesejahteraan.
Sungguh parah! Masa depan negeri ini, sebagaimana kata pepatah, “seperti telur di ujung tanduk.” Cepat atau lambat akan jatuh dan pecah. Tetapi sebelum telur itu jatuh dan pecah, usaha-usaha revolusioner, sebagai tanggungjawab historis dari kelas buruh, harus segera dilakukan.
Negeri yang sudah bangkrut dengan asetnya yang kocar-kacir ini benar-benar membutuhkan oksigen baru yang segar. Agar bisa keluar dari kebangkrutan, negeri ini butuh program ekonomi ternasionalisasi yang terencana. Namun program tersebut bisa direalisasikan setelah buruh berkuasa, setelah negara buruh eksis menjadi kekuatan tak tertandingi, setelah diktatur proletariat menggantikan diktatur borjuasi!