Skip to content
Sosialis Revolusioner
Menu
  • Berita
  • Analisa
    • Gerakan Buruh
    • Agraria & Tani
    • Gerakan Perempuan
    • Gerakan Mahasiswa
    • Ekonomi
    • Politik
    • Pemilu
    • Hukum & Demokrasi
    • Imperialisme & Kebangsaan
    • Krisis Iklim
    • Lain-lain
  • Teori
    • Sosialisme
    • Materialisme Historis
    • Materialisme Dialektika
    • Ekonomi
    • Pembebasan Perempuan
    • Organisasi Revolusioner
    • Iptek, Seni, dan Budaya
    • Lenin & Trotsky
    • Marxisme vs Anarkisme
    • Sejarah
      • Revolusi Oktober
      • Uni Soviet
      • Revolusi Indonesia
      • Lain-lain
  • Internasional
    • Asia
    • Afrika
    • Amerika Latin
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Timur Tengah
  • Perspektif Revolusi
  • Program
  • Pendidikan
  • Bergabung
Menu

“Kota Kemanusiaan”: Usulan ‘Solusi Final’ Netanyahu untuk Gaza

Dipublikasi 17 August 2025 | Oleh : Redaksi Sosialis Revolusioner

Sejak pelanggaran gencatan senjata pada bulan Maret, Israel secara sistematis menerapkan strategi yang dirancang untuk membuat Jalur Gaza menjadi wilayah yang tidak dapat dihuni. Tujuan utamanya adalah untuk mempercepat kehancuran total Gaza, memastikan penduduknya tidak dapat bertahan atau kembali. Wilayah ini terus menerus dibombardir secara intensif, mengubah sebagian besar areanya menjadi zona tembak yang mematikan. Secara tragis, lokasi yang seharusnya menjadi tempat penyaluran bantuan kemanusiaan telah menjadi lokasi pembantaian, di mana puluhan warga Palestina tak bersenjata ditembak mati saat mengantre untuk mendapatkan makanan. Puncak dari strategi ini adalah pengumuman Perdana Menteri Netanyahu mengenai rencana pembangunan “kota kemanusiaan”, yang pada dasarnya adalah sebuah kamp raksasa untuk mengumpulkan warga Palestina sebelum mengusir mereka secara paksa dari Gaza.

Selama hampir dua tahun, penduduk Gaza telah terperosok dalam kondisi mengerikan akibat kehancuran besar-besaran. Seluruh pilar kehidupan masyarakat—termasuk layanan kesehatan, listrik, air bersih, dan sanitasi—telah hancur total. Selain itu, jurnalis dan tenaga medis terus menjadi target militer Israel.

Meskipun militer Israel telah melancarkan serangan besar-besaran, mereka belum mencapai kemenangan definitif. Hamas dilaporkan masih bertahan, dan perlawanan terus berlanjut, di mana setiap wilayah yang diduduki justru memicu lahirnya pejuang-pejuang baru.

Kelangsungan kekuasaan rezim Netanyahu tergantung pada aliansinya dengan faksi ultra-kanan. Kelompok supremasi Yahudi ini menuntut terulangnya Nakba sebagai syarat dukungan politik mereka. Dengan demikian, perang ini dipertahankan untuk menjaga stabilitas koalisi penguasa, yang pada akhirnya mengarah pada pembersihan etnis sebagai jalan keluar untuk merebut tanah Palestina secara total.

Setelah membatalkan gencatan senjata, Netanyahu meningkatkan serangan melalui “Operasi Kereta Perang Gideon”, dengan tujuan menaklukkan dan menduduki Gaza secara permanen. Akibatnya, seluruh kota di Gaza hancur lebur, dan kondisi diperparah oleh penyebaran penyakit serta kekacauan yang meluas. Situasi ini tampaknya sengaja diciptakan untuk mengubah Gaza menjadi daratan kosong yang tidak mungkin lagi dihuni.

Hingga Juli, 85 persen wilayah Gaza telah dikosongkan secara paksa dan berada di bawah kendali militer Israel. Warga sipil yang tersisa diperlakukan sebagai target militer di “zona terlarang” yang tidak ditandai. Setelah penduduk diusir, bangunan yang tersisa dihancurkan dan diratakan dengan buldoser untuk menciptakan “zona penyangga” selebar satu kilometer. Proyek penghancuran ini diserahkan kepada kontraktor swasta yang dibayar ribuan dolar untuk setiap rumah yang mereka ratakan.

Serangan udara Israel semakin gencar, menargetkan ambulans, anak-anak yang mengantre air, dan polisi lokal untuk menebar teror dan menghancurkan tatanan sosial. Laporan PBB mengonfirmasi bahwa strategi ini telah berhasil mendorong Gaza ke ambang kehancuran total dan anarki. Di tengah keruntuhan sosial yang direkayasa ini, Israel memanfaatkan geng kriminal lokal untuk menyaingi Hamas. Di Rafah misalnya, geng Abu Shabab, yang anggotanya adalah kriminal dan anggota ISIS, dipersenjatai dan didanai oleh Israel untuk “menjaga” suplai bantuan, memastikan sumber daya didistribusikan sesuai kehendak penjajah.

Sekitar 1,7 juta warga yang selamat terdesak ke wilayah selatan, kelaparan dan trauma, berdesakan di area yang hanya mencakup 16 persen dari seluruh Jalur Gaza. Mereka hidup di lautan tenda di tengah reruntuhan tanpa infrastruktur dasar. Melalui strategi ini, Netanyahu ingin memaksa rakyat Gaza memilih antara melarikan diri atau mati, dengan tujuan akhir agar mereka meninggalkan Gaza karena tidak punya tempat untuk kembali.

Memutus bantuan dan membiarkan penduduk kelaparan menjadi langkah berikutnya. Taktik ini pertama kali diuji di Gaza Utara, yang sejak Oktober tahun lalu telah diisolasi sepenuhnya dari bantuan. Sejak 2 Maret 2025, Israel memblokir seluruh bantuan ke Gaza, mendorong seluruh populasi ke ambang kelaparan massal.

Namun, gambar anak-anak yang kelaparan telah menempatkan sekutu Barat Israel dalam posisi sulit karena ini telah menciptakan kegeraman luas di antara rakyat pekerja. Netanyahu sendiri mengakui bahwa sekutu terdekatnya AS tidak dapat menerima citra kelaparan massal. Karena Israel sangat bergantung pada uang dan senjata dari Barat, genosida ini membutuhkan kedok “kemanusiaan” agar dapat diterima.

Maka, lahirlah ‘Gaza Humanitarian Foundation’ (GHF). Didirikan pada bulan Mei, lembaga swasta nirlaba ini dirancang untuk memberi Israel penyangkalan yang masuk akal, mirip dengan penggunaan tentara bayaran Blackwater oleh AS di Irak. GHF didirikan atas inisiatif Netanyahu, beroperasi dalam koordinasi dengan militer Israel (IDF), dan dipimpin oleh sekutu dekat Netanyahu serta Donald Trump. Pemerintahan Trump bahkan mendanai operasinya sebesar $50 juta. GHF menjadi alat untuk menjalankan tujuan perang Israel—menggunakan kelaparan sebagai senjata—dengan kedok etika yang tipis.

Jika sebelumnya PBB mengelola 400 titik bantuan, GHF hanya mengoperasikan empat. Jika sebelumnya 600 truk bantuan bisa masuk setiap hari, GHF hanya mengizinkan 19 truk per hari. Bantuan yang diberikan sering kali dalam kondisi busuk dan terkontaminasi.

Lokasi distribusi bantuan GHF adalah “ladang pembantaian”. Warga Palestina harus melintasi zona berbahaya untuk mencapai lahan kosong berpagar kawat berduri yang menyerupai kandang ternak. Mereka yang mendistribusikan bantuan bukanlah pekerja kemanusiaan, melainkan tentara bayaran bersenjata berat yang mengendalikan kerumunan dengan tembakan langsung. Seorang tentara IDF bersaksi bahwa antara satu hingga lima orang tewas setiap hari di posnya, ditembak dengan senapan mesin dan mortir tanpa adanya ancaman balasan. Hingga saat ini, 875 warga Palestina telah dibantai di lokasi “kemanusiaan” ini.

Tahap selanjutnya dari rencana ini adalah pendirian “kota kemanusiaan” di atas puing-puing Rafah, yang dirancang untuk menampung dua juta penduduk Gaza. Di dalamnya, mereka akan dijaga oleh pasukan internasional dan “dideradikalisasi” sambil menunggu pengusiran. Tempat ini akan menjadi kamp konsentrasi raksasa di mana penghuninya tidak diizinkan keluar kecuali untuk pindah ke negara lain.

Semua ini adalah bagian dari rencana untuk meratakan Gaza dan menjual tanahnya kepada pengembang. Kelompok konsultan seperti Boston Consulting Group sudah dibayar untuk menyusun rencana pembangunan “surga” di atas kuburan massal Gaza. Rencana ini dirancang untuk memuaskan kaum sayap kanan, menenangkan kaum liberal dengan narasi “kemanusiaan”, dan menguntungkan para kapitalis.

Namun, rencana ini sungguh tidak realistis. Proyek ini diperkirakan menelan biaya miliaran dolar sementara Israel sendiri menghadapi krisis ekonomi parah karena anggaran militer yang membengkak serta anjloknya turisme, perdagangan dan investasi. Secara logistik, mengendalikan dua juta orang yang marah dan kelaparan adalah tugas yang hampir mustahil dan berbahaya bagi pasukan IDF sendiri. Terlebih lagi, tidak ada negara Arab yang bersedia menerima para pengungsi ini.

Kini, tekanan terhadap Netanyahu meningkat. Koalisinya melemah, IDF kewalahan di berbagai front, dan moral pasukan menurun. Di dalam Gaza, Hamas telah bangkit kembali sebagai kekuatan gerilya yang efektif. Di dalam negeri Israel, kemarahan publik tumbuh karena Netanyahu dianggap telah mencampakkan para sandera demi menjaga kekuasaannya sendiri. Di hadapan dunia, ini adalah genosida yang tak terbantahkan, di mana ladang pembantaian dijual sebagai “bantuan kemanusiaan” dan kamp konsentrasi dijuluki “kota kemanusiaan”, semuanya dengan bantuan aktif dari para “pemimpin” dunia. Semua ini telah menambah jerami kering di atas tumpukan jerami kering di seluruh dunia, yang cepat atau lambat akan terbakar.

Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !


    Dokumen Perspektif

    srilanka
    Manifesto Sosialis Revolusioner
    myanmar protest
    Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan

    ©2025 Sosialis Revolusioner | Design: Newspaperly WordPress Theme