Krisis Asia 1997-98 telah berlalu dua puluh tahun yang lalu. Krisis ini mengejutkan banyak orang. Thailand, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Indonesia, dan Korea Selatan jatuh satu per satu seperti runtuhan rumah kartu. Bagaimana bisa Asia yang mencatat pertumbuhan mengesankan 6 sampai 9 persen di tahun-tahun sebelumnya itu jatuh seperti reruntuhan rumah kartu? Pasar saham berjatuhan dan nilai mata uang mereka anjlok terhadap dolar AS. Kondisi ini memicu gejolak politik di kawasan tersebut. Takut kehilangan kontrol di kawasan tersebut, kelas kapitalis dan para pakar mereka berusaha menyelamatkan situasi ini dengan meminta para bankir untuk melakukan penyesuaian terhadap ekonomi. Alih-alih menyelesaikan krisis, penyesuaian ini mendorong krisis ini lebih tajam.
Kelas kapitalis tidak akan pernah bisa melupakan krisis ini. Sekarang, dua puluh tahun setelah krisis 1997-98 dan sepuluh tahun setelah Krisis 2008, mereka mencoba meyakinkan diri mereka bahwa sistem kapitalisme ini baik-baik saja. Nyatanya apa yang mereka yakini dengan realitas yang ada sangat berbeda. Semakin hari realitas memaksakan kepada mereka bahwa kepemilikan pribadi dan negara-bangsa merupakan hambatan sebenarnya dari kemajuan masyarakat. Setiap satu dekade mereka takut kalau krisis ini akan berulang. Satu pertanyaan besar, adakah yang dikatakan Karl tua itu benar?
Kelas kapitalis dan para juru bicaranya sedang berusaha keras untuk meyakinkan kita bahwa ada sebuah ‘pemulihan’. Namun, semenjak pecahnya krisis 2008 apa yang terlihat adalah pertumbuhan rendah berkepanjangan di banyak negeri. Sejalan dengan itu, kita melihat gelembung kredit meningkat di negeri-negeri maju seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang, Italia, dan Jerman. Meskipun ada beberapa kemajuan yang dicapai di bawah kapitalisme seperti kecerdasan buatan, perdagangan elektronik , data raksasa, teknologi finansial, hingga penggunaan robot yang seharusnya berpengaruh terhadap proses produksi dan penyerapan terhadap tenaga kerja, kemajuan-kemajuan ini justru menjadi alasan kemunduran kapitalisme.Seperti yang diakui oleh Paul Krugman (“A New Industrial Revolution: The Rise of the Robots”, The New York Times, 17/1/2013) bahwa penggunaan mesin pintar memang bisa meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) namun pada saat yang sama hal tersebut sekaligus dapat mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, termasuk yang pintar sekalipun.
Kenyataannya krisis ini belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang berarti. Kebijakan suku bunga rendah untuk menyelesaikan krisis di periode sebelumnya mengakibatkan gelembung utang yang semakin besar. Utang ini mencapai 327 persen dari total GDP dunia, yang menurut IMFdapat menciptakan badai untuk pertumbuhan jangka panjang dan akhirnya menimbulkan risiko untuk stabilitas keuangan. Sebab mengapa utang-utang ini tidak diterjemahkan dalam bahasa pertumbuhan adalah karena pasar terlalu jenuh. Ada begitu banyak barang di pasar yang tidak terjual, oleh sebabnya kelas kapitalis paham bahwa berinvestasi di sektor-sektor industri yang menyerap tenaga kerja hanya akan memperparah krisis over-produksi ini. Oleh karenanya mereka lebih memilih berjudi di pasar saham daripada menggunakan uang mereka untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Aktivitas spekulatif seperti ini tidak akan menyelesaikan krisis dan hanya membuat krisis ini lebih tajam dan luas cakupannya di hari depan. Inilah mengapa krisis ini memiliki karakter organik, bukan karena krisis ini bersifat sementara, tapi krisis ini tidak bisa dipecahkan menurut cara-cara lama dan dalam kerangka masyarakat lama.
Sebelum kapitalisme, krisis adalah hasil dari kelangkaan dan bencana alam. Sekarang, krisis ini adalah hasil dari kelimpahan dari aktivitas ekonomi yang menghasilkan uang. Krisis ini hasil dari tindakan manusia yang tampak di luar kendali manusia. Adanya krisis-krisis ini, yang bahkan sering berulang secara periodik, di atas segalanya, menunjukkan bahwa kapitalisme telah gagal membawa kemajuan masyarakat.Meskipun dua ratus tahun lebih perkembangannya telah membawa kemajuan dan langkah-langkah dalam produktivitas kerja, sistem ini harus digantikan dengan sistem yang direncanakan secara rasional. Anarki dalam produksi yang merupakan hasil langsung dari sistem yang mengutamakan profit harus dihancurkan dan dikontrol oleh semua orang yang bekerja. Tidak ada ‘krisis akhir’ kapitalisme sampai sistem ini dihancurkan oleh kekuasaan kelas pekerja. Oleh karenanya penghapusan kapitalisme adalah prasyarat bagi kemajuan umat manusia.