Invasi di Gaza selama sebulan terakhir telah menjadi sorotan utama media dan perpolitikan dunia. Ini bukan hanya karena jumlah korban jiwa yang tinggi, yang telah mencapai lebih dari 10 ribu rakyat Palestina ketika artikel ini ditulis. Perang di Yaman, misalnya, telah menelan lebih dari 350 ribu korban jiwa semenjak perang tersebut meletus pada 2014, dan jelas tidak memperoleh perhatian yang sama. Ini bukan berarti nyawa rakyat Yaman lebih murah daripada rakyat Palestina. Tidak. Ini karena perang Israel-Palestina, terutama sekarang, mengungkapkan di satu sisi krisis kapitalisme umumnya, dan di sisi lain perubahan tajam dalam perimbangan kekuatan-kekuatan imperialis di wilayah Timur Tengah khususnya.
Walaupun total wilayah dan populasi yang dicakupnya hanyalah sekian persen dari seluruh dunia, yaitu 16 juta (total orang Yahudi dan Palestina) dan 26,790 km persegi (hanya 2/3 luas provinsi Jawa Barat), apa yang terjadi di sana selalu mengguncang dunia. Ini karena konflik Israel-Palestina sedari awal mewakili intervensi imperialis Barat di Timur Tengah. Dalam konflik Israel-Palestina terekspresikan dengan mencolok dan gamblang problem kebangsaan negeri-negeri Timur Tengah di tengah imperialisme yang mencekik.
Sejarah intervensi imperialis di dunia Arab praktis dimulai dengan runtuhnya Kekaisaran Ottoman selepas Perang Dunia Pertama, di mana Inggris dan Prancis sebagai pemenang mencaplok wilayah Timur Tengah dari Ottoman dan membagi-baginya di antara diri mereka sendiri. Sejak itu imperialisme menjadi faktor penentu di wilayah tersebut. Ditemukannya deposit minyak bumi yang besar membuat wilayah tersebut bahkan menjadi lebih penting bagi kepentingan imperialisme Barat.
Untuk memastikan dominasinya di wilayah tersebut, imperialisme Barat, terutama AS, membutuhkan sekutu yang stabil dan dapat diandalkan, dan mereka menemukannya dalam Israel. Inilah yang mengikat solidaritas antara imperialisme AS dan imperialisme Israel. Maka dari itu, tidak mengherankan bila masalah Israel-Palestine menempati posisi penting dalam perpolitikan dunia – jauh melebihi proporsi luas wilayah dan populasi, dan bahkan juga signifikansi ekonomi langsung wilayah tersebut – karena di belakangnya berdiri imperialisme Amerika Serikat dan kepentingan umumnya di Timur Tengah.
Israel menerima bantuan militer miliaran dolar setiap tahunnya dari AS. Sejak perang dunia kedua, Israel telah menerima sekitar $260 miliar bantuan dana dari AS, mayoritas untuk keperluan militer. Ini jauh melebihi negara mana pun. Tidak hanya itu saja. AS dengan aktif berbagi teknik militer dengan Israel, guna memastikan superioritas angkatan bersenjata Israel. Secara praktis, Israel adalah “pangkalan militer” AS di Timur Tengah.
Namun ini bukan berarti relasi antara AS-Israel selalu merupakan relasi antara patron dan klien. Pada kenyataannya, selama tahun-tahun belakangan ini, Israel tengah mengejar kepentingannya sendiri, yang tidak selalu selaras dengan kepentingan AS, dan ini disebabkan karena melemahnya Imperialisme AS, yang akan kita bahas di bawah ini.
Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama 75 tahun, dan bahkan lebih lama bila kita menariknya lebih jauh sebelum pembentukan Israel pada 1948. Benturan kekerasan dan militer, serta invasi Israel ke Palestina, bukanlah sesuatu yang baru. Ini telah dilakukan oleh Israel sejak 1948. Tetapi kali ini invasi Israel ke Gaza berlangsung di bawah kondisi yang teramat berbeda, yakni kondisi krisis kapitalisme dunia yang semakin mendalam, menegangnya relasi dunia, dan terusiknya tatanan dunia yang lama. Ini membuat konflik kali ini lebih eksplosif, dengan dampak dan konsekuensi yang membuat cemas kelas penguasa di mana-mana.
Kita hanya bisa memahami apa yang tengah berlangsung di Palestina hari ini dengan meletakkannya dalam konteks krisis kapitalisme dunia. Kita telah mengatakan berulang kali dalam dokumen perspektif kita, bahwa dunia tengah memasuki periode yang dipenuhi dengan revolusi, kontra-revolusi, perang, dan polarisasi tajam yang disertai runtuhnya politik tengah. Ketidakmampuan kapitalisme hari ini untuk mengembangkan kekuatan produktif tidak hanya memiliki dampaknya di ranah ekonomi, tetapi juga semua aspek dalam masyarakat: politik, sosial, budaya, diplomasi dan relasi dunia. Ini berlaku juga dalam situasi Israel-Palestina.
Krisis Kapitalisme Israel
Serangan Hamas pada 7 Oktober sesungguhnya merupakan ekspresi langsung dari krisis kapitalisme dunia, terutama krisis kapitalisme Israel. Seperti semua negeri lainnya, kapitalisme Israel tengah terseok-seok. Ada ketidakpuasan yang semakin meluas di antara rakyat pekerja terhadap tatanan yang ada. Rakyat pekerja Israel menghadapi problem yang sama dengan rakyat pekerja di negeri lainnya: pemangkasan anggaran sosial, inflasi, upah rendah, krisis biaya hidup, krisis perumahan. Ada krisis dalam perpolitikan Israel, di mana kelas penguasa tidak mampu membentuk pemerintahan borjuis yang stabil. Lima tahun terakhir Israel harus menggelar 4 pemilu, dan 7 pemilu selama 10 tahun terakhir. Ini bukanlah gambaran kestabilan sama sekali.
Lenin mengatakan, bahwa salah satu karakteristik dari situasi pra-revolusioner adalah perpecahan dalam kelas penguasa. Ketika kapitalisme sedang makmur dan jaya, perbedaan pendapat di antara berbagai faksi kelas penguasa dan perwakilan politik mereka tidaklah mencolok, dan mereka bisa mencapai kesepakatan. Tetapi dengan krisis kapitalisme, dengan gejolak sosial dan gemuruh dari bawah, berbagai faksi kelas penguasa ini semakin bertikai di antara diri mereka sendiri, soal bagaimana menyelesaikan krisis ini.
Popularitas Netanyahu, yang telah menjabat sebagai Perdana Menteri sejak 2009, terus anjlok. Partai Likud yang telah mendominasi selama puluhan tahun semakin kesulitan mempertahankan kekuasaan mereka. Untuk bisa mempertahankan kekuasaannya, Netanyahu semakin harus mengandalkan koalisi dengan kekuatan Zionis kanan-ekstrem. Untuk mengalihkan perhatian massa dari problem kapitalisme, rejim Netanyahu semakin gencar mengobarkan sentimen nasionalisme sempit (Zionisme ekstrem) di antara populasi Israel, dengan mencitrakan dirinya sebagai pelindung rakyat Israel dari kebrutalan “terorisme” Palestina yang katanya ingin membunuhi semua warga Israel.
Semakin banyak politisi kanan-ekstrem yang memasuki pemerintah dan meluncurkan provokasi yang kian hari kian tajam terhadap rakyat Palestina: perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, represi yang semakin kejam terhadap warga Palestina, penyerangan terhadap masjid Al-Aqsa, dsb. Politisi Zionis kanan-ekstrem ini tidak malu-malu menyatakan tujuan mereka secara publik sekarang, yakni mengusir semua orang Arab dari Gaza, Tepi Barat, dan bahkan dari Israel. Provokasi Zionis ini pada gilirannya telah memicu sejumlah aksi terorisme individual dari kaum muda Palestina yang putus asa akan kondisi mereka. Ini lalu digunakan secara sinis oleh Netanyahu dan kaum Zionis ekstrem kanan untuk memperkuat siege-mentality di antara warga Israel. Dengan menciptakan ancaman eksternal, rakyat pekerja Israel dialihkan perhatiannya dari problem internal kapitalisme. Serangan Hamas pada 7 Oktober oleh karenanya adalah berkah besar bagi Netanyahu dan kaum Zionis kanan ekstrem, yang memang telah menanti-nantikan ini. Mereka tidak peduli dengan keselamatan rakyat Yahudi selama ini dapat digunakan untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan mereka.
Demi kepentingan sempitnya, Netanyahu semakin bergeser ke kanan. Namun ini bukan karena kecacatan pribadi Netanyahu. Di mana-mana krisis kapitalisme menciptakan polarisasi politik yang tajam ke kanan dan kiri, dengan runtuhnya politik tengah. Kita saksikan ini dengan kemunculan sosok-sosok seperti Trump, Marine Le Pen, Bolsonaro, dan Boris Johnson. Netanyahu hanyalah pengejawantahan dari proses yang serupa, yaitu proses pembusukan kapitalisme.
Melemahnya Imperialisme AS
Meletusnya perang di Gaza ini juga mengungkapkan satu fakta lagi mengenai krisis kapitalisme dunia, yaitu melemahnya imperialisme AS. Sejak jatuhnya Uni Soviet, AS menjadi satu-satunya superpower di muka bumi yang dapat mengintervensi, secara ekonomi maupun militer, negara mana pun yang bandel dan tidak mengikuti kebijakannya. Hampir tidak ada perlawanan terhadapnya. Bahkan selama Perang Dingin, walaupun Uni Soviet adalah kekuatan tandingan, AS bisa dengan leluasa mengkudeta banyak pemerintah yang tidak sesuai dengan desain imperialis mereka; kita cukup menyebut kudeta terhadap Allende di Chile pada 1973, kudeta 1965 di Indonesia, dan banyak intervensi lainnya.
Pada peralihan abad ke-21, kekuatan imperialis AS mulai menunjukkan kemunduran. Selepas serangan teroris 11 September 2001 di New York, Amerika dengan sigap menginvasi Afghanistan (2001) dan Irak (2003). Dalam hitungan hari, rejim Taliban dan Saddam Hussein tumbang. AS tampaknya telah menunjukkan superioritas militernya, bahwa AS bisa menghukum siapa saja yang menentangnya. Presiden Bush dengan bangga menyatakan: “Mission Accomplished!” Tetapi ini ternyata terlalu gegabah dan prematur.
Yang terjadi justru sebaliknya. AS terjebak dalam perang berkepanjangan di Afghanistan dan Irak. Mudah untuk menyingkirkan rejim yang memang sudah membusuk, tetapi adalah hal yang sepenuhnya berbeda untuk bisa menjaga kestabilan. Rejim boneka yang didirikannya di Irak dan Afghanistan begitu bangkrut sehingga hanya bisa bertahan dengan sokongan militer dan dana besar dari AS dan koalisinya. Lebih dari 7000 tentara AS tewas, dan puluhan ribu luka-luka. AS menghabiskan sekitar 5 triliun dolar untuk perang di Irak dan Afghanistan. Gelombang patriotisme yang awalnya mendominasi pada tahun-tahun pertama perang berubah dengan cepat menjadi oposisi masif dari kelas pekerja, dan menciptakan gejolak sosial dan politik dalam negeri.
Invasi AS alih-alih menciptakan kestabilan justru membawa barbarisme ke wilayah tersebut. Pada akhirnya AS terpaksa mundur dan menderita kekalahan yang memalukan, tanpa mampu memenuhi tujuan-tujuannya. Ketika AS mundur dari Afghanistan pada 2021, dalam hitungan jam rejim bonekanya tumbang dan Taliban berkuasa kembali. Sementara Irak secara harfiah menjadi neraka bagi penduduknya, dan dari neraka inilah lahir kekuatan gelap Islam fundamentalis yang paling reaksioner, yaitu ISIS. Ini adalah tamparan besar bagi prestise AS. Kelemahan imperialisme AS terekspos.
Sebagai konsekuensinya, AS sudah tidak lagi mampu mengerahkan pasukannya dalam perang militer skala besar. Ini misalnya membuat AS tidak mampu mengintervensi krisis di Suriah secara efektif, dan hanya memiliki ruang manuver yang sangat sempit. Obama bahkan tidak mampu mendapatkan persetujuan kongres untuk melakukan kampanye pemboman terbatas terhadap rejim Assad di Suriah. Rusia dan Iran-lah yang kini mengendalikan situasi di Suriah. Begitu juga di Libya. AS sudah kehilangan kontrol atas Libya, dan terdesak oleh milisi-milisi yang condong ke Rusia dan Turki.
Melemahnya secara relatif kekuatan imperialis AS ditemani oleh menguatnya kekuatan-kekuatan lainnya, terutama China dan Rusia. Dengan proyek Belt and Road Initiative, China telah memperluas jangkauan ekonominya. Tidak hanya itu saja, China telah meningkatkan kekuatan militer dan permainan diplomasi internasionalnya. Peran China sebagai mediator kesepakatan antara Iran dan Arab Saudi – yang adalah sekutu tradisional AS – merupakan tamparan besar bagi AS. Rusia juga telah menegaskan kembali posisinya di Timur Tengah, seperti yang kita lihat dalam perannya di Suriah, dan di Eropa Timur, seperti yang dilakukannya sekarang di Ukraina. Rusia sudah bukan lagi negeri kapitalis sakit-sakitan seperti setelah jatuhnya Uni Soviet. Ia memiliki ambisi imperialisnya sendiri dan mulai menegaskannya.
Tentunya kita harus punya sense of proportion. Amerika Serikat masih merupakan kekuatan imperialis terkuat, dengan kekuatan ekonomi dan militer yang belum dapat ditandingi oleh negara mana pun. Anggaran militernya lebih besar dari 10 negara setelahnya. Tetapi bahkan perubahan secara relatif ini telah memiliki dampak besar pada perpolitikan dan relasi dunia.
Kekuatan-kekuatan kecil lainnya, dari Iran sampai Turki, dari India bahkan sampai Arab Saudi, yang secara historis adalah sekutunya, mulai menantang dominasi AS. Sebelumnya, Saudi adalah kacungnya AS di Timur Tengah. Tetapi sudah tidak demikian. Arab Saudi tidak lagi begitu dapat diandalkan. Arab Saudi kini mencoba bermain dua kaki, menyeimbangkan antara kekuatan-kekuatan imperialis. Inilah mengapa Saudi melakukan normalisasi hubungan dengan Iran, kesepakatan yang dibroker oleh China, yang jelas berkepentingan menarik sekutu-sekutu AS lebih jauh darinya. Juga awal tahun ini Saudi memotong suplai minyak, yang meningkatkan harga minyak bumi. Ini tidak diinginkan oleh AS karena harga minyak yang tinggi sangatlah membantu Rusia. Namun AS tidak bisa lagi mendikte begitu saja kehendak mereka pada Arab Saudi dan banyak negeri teluk lainnya.
Inilah mengapa isu Israel menjadi sangat penting bagi imperialisme Barat, karena Israel adalah satu-satunya sekutu yang dapat diandalkan. Namun Israel pun sudah mulai mengejar kebijakan mereka sendiri. Kebijakan perluasan pemukiman Yahudi yang agresif yang dicanangkan oleh Netanyahu jelas-jelas tidak selaras dengan keinginan AS untuk menjaga kestabilan di Timur Tengah. AS tidak sepenuhnya menentang perluasan pemukiman Yahudi, tetapi hanya berharap ini dapat dilakukan dengan lebih “baik” dan “mulus” oleh rejim Israel, tidak secara vulgar dan tanpa menciptakan kontroversi yang dapat mengguncang Timur Tengah. Jelas imperialisme AS tidak peduli pada nasib rakyat Palestina, dan hanya memikirkan mengenai kestabilan posisinya di Timur Tengah. Namun harapan AS ini tidak diindahkan oleh Netanyahu dan sekutu Zionis ekstremnya, dan AS tidak bisa melakukan apa-apa.
Melemahnya imperialisme AS berarti dia tidak bisa lagi memainkan peran sebagai polisi dunia seperti sebelumnya. Tidak hanya AS, tetapi secara umum dominasi imperialisme Barat telah terguncang dengan keras. Dua tahun terakhir saja kita saksikan gejolak-gejolak sosial di Afrika Barat yang praktis telah menendang Prancis keluar dari mayoritas negara Afrika Barat. Prancis dipermalukan dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Untuk bisa mencapai tujuannya, yakni membangun semacam kestabilan di wilayah Timur Tengah dan melemahkan pengaruh Rusia, China dan Iran, maka AS mesti melakukan banyak manuver diplomatik. Salah satu kebijakan utama mereka adalah membangun struktur keamanan baru, dengan normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab dan Teluk. Ini sudah dimulai dengan Abram Accord pada 2020, di mana Bahrain, UAE, Moroko, Sudan menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Rencana normalisasi besar selanjutnya adalah antara Israel dan Arab Saudi. Praktis normalisasi ini berarti menyingkirkan isu Palestina, yang telah lama dianggap sebagai ketidaknyamanan bagi kelas penguasa Arab. Mereka hanya memberi layanan bibir pada perjuangan rakyat Palestina dan memanfaatkan isu Palestina secara sinis. Ini adalah pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina.
Serangan Hamas mengacaukan semua rencana imperialis tersebut. Alih-alih kestabilan, yang ada justru ketidakstabilan yang semakin meluas. Setelah serangan Hamas, Biden terburu-buru berusaha menemui para pemimpin negara-negara Arab lain, untuk memastikan usaha normalisasi ini terus berjalan. Tetapi dengan ledakan demonstrasi massa yang mendukung Palestina, para pemimpin Arab ini harus secara sepihak membatalkan pertemuan mereka dengan Biden karena mereka takut pada gerakan massa ini. Arab Saudi sudah membatalkan niatnya untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, bukan karena simpatinya pada rakyat Palestina tetapi karena khawatir akan ledakan gerakan massa.
Kelas penguasa di mana-mana mengerahkan seluruh aparatus propaganda mereka untuk membela invasi militer Israel ke Gaza. Tetapi kaum pekerja dengan cepat bisa melihat dusta para politisi dan media borjuis. Kebrutalan tentara Israel yang telah membantai lebih dari 10 ribu warga Gaza tidak bisa ditutup-tutupi, dan bahkan Israel tidak berusaha menutupi kekejaman mereka sama sekali. Imperialisme AS dan partner Eropa mereka mengucurkan air mata buaya terhadap jatuhnya korban di Gaza, tetapi pada saat yang sama terus membela Israel. Kemunafikan ini begitu terpampang jelas dan di banyak negara mulai menciptakan krisis politik. Semakin banyak rakyat, terutama kaum muda, yang kini dapat menghubungkan peristiwa di Gaza dengan kebangkrutan kapitalisme yang mereka saksikan setiap harinya di sekeliling mereka.
Apa selanjutnya?
Cepat atau lambat, invasi militer Israel ke Gaza akan berakhir. Semacam gencatan senjata kemungkinan akan dirundingkan. Tetapi ini bukan berarti situasi akan menjadi lebih baik dan stabil. Sebaliknya, hanya lebih banyak kekacauan yang akan menanti di masa depan. Tidak ada jalan kembali ke status quo sebelum 7 Oktober.
Israel akan menang secara militer, tetapi mereka tidak akan pernah bisa sepenuhnya membasmi Hamas dari Gaza, yang merupakan tujuan yang dinyatakan oleh pemerintahan Israel ketika mereka memulai invasi mereka. Ini hanya bisa mereka lakukan dengan mengusir semua warga Palestina, yaitu 2 juta orang, dari Gaza. Tujuan dari semua kaum Zionis sedari awal adalah mencaplok seluruh wilayah Palestina dan mengusir semua orang Palestina darinya, tetapi ini adalah proposisi yang hampir mustahil tercapai tanpa memprovokasi gejolak politik, sosial dan bahkan militer yang masif di seluruh Timur Tengah.
Lapisan Zionis ekstrem jelas sedang mempersiapkan aneksasi terhadap Gaza lewat invasi yang mereka luncurkan. Sembari membom Gaza, para pemukim Zionis ekstrem juga semakin memperluas pemukiman di Tepi Barat dan menebar teror kekerasan di antara penduduk Palestina. Mereka tidak peduli bila ini akan menciptakan ketidakstabilan di seluruh wilayah Timur Tengah. Inilah yang membuat cemas imperialisme AS, yang sudah kehilangan kendali atas Timur Tengah. Mereka cemas kalau ketidakstabilan dan kekacauan ini akan membuka prospek bagi Revolusi Arab yang kedua.
Sungguh kita tengah memasuki periode yang penuh dengan revolusi, kontra-revolusi, dan perang. Konflik kejam di Gaza telah mengungkapkan kebrutalan dan kebuntuan kapitalisme-imperialisme, dan di hadapan kita hanya akan ada kekacauan silih berganti. Kapitalisme dunia sungguh telah memasuki krisis yang mendalam, tanpa jalan keluar. Hanya horor demi horor yang menanti umat manusia. Hanya dengan menumbangkan kapitalisme secara revolusioner maka kita akan bisa menciptakan perdamaian yang sejati di Israel-Palestina dan juga seluruh Timur Tengah. Sungguh, perjuangan mencapai perdamaian di Israel-Palestina adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan proletariat internasional untuk mengakhiri kapitalisme dan membangun sosialisme. Inilah tugas dari setiap kaum revolusioner di mana pun kita berada. Maka dari itu kita serukan Intifada sampai menang, Revolusi sampai menang, dari Gaza sampai Jakarta.