Skip to content
Sosialis Revolusioner
Menu
  • Berita
  • Analisa
    • Gerakan Buruh
    • Agraria & Tani
    • Gerakan Perempuan
    • Gerakan Mahasiswa
    • Ekonomi
    • Politik
    • Pemilu
    • Hukum & Demokrasi
    • Imperialisme & Kebangsaan
    • Krisis Iklim
    • Lain-lain
  • Teori
    • Sejarah
      • Revolusi Oktober
      • Uni Soviet
      • Revolusi Indonesia
      • Lain-lain
    • Sosialisme
    • Materialisme Historis
    • Materialisme Dialektika
    • Ekonomi
    • Pembebasan Perempuan
    • Organisasi Revolusioner
    • Iptek, Seni, dan Budaya
    • Lenin & Trotsky
    • Marxisme vs Anarkisme
  • Internasional
    • Asia
    • Afrika
    • Amerika Latin
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Timur Tengah
  • Perspektif Revolusi
  • Program
  • Pendidikan
  • Bergabung
Menu

Lawan Represi dengan Aksi Massa Terorganisir yang Lebih Besar Lagi, Bukan dengan Tiarap

Dipublikasi 3 September 2025 | Oleh : Redaksi Sosialis Revolusioner

Revolusi memiliki ritme. Walaupun revolusi itu sendiri adalah lompatan kualitatif, ia bukanlah kurva yang terus naik. Dalam proses revolusi, akan ada masa naik, masa jeda, masa penurunan, yang terus silih berganti dan saling merasuki, karena ini ditentukan oleh pertarungan antara kekuatan-kekuatan yang hidup. Setelah demonstrasi hampir satu minggu, siang dan malam, gerakan ini memasuki masa jeda. Demonstrasi-demonstrasi di pusat-pusat besar seperti Jakarta mereda, walaupun masih ada letupan-letupan di daerah seperti Ternate dan Banda Aceh.

Masa jeda ini bukan berarti massa telah demor. Massa memeriksa apa yang sudah terjadi, apa yang telah mereka capai, dan bagaimana respons pemerintah. Seperti pasukan yang baru saja kembali dari pertempuran, mereka memeriksa kembali kekuatan mereka dan juga kekuatan lawan. Di sini, kualitas kepemimpinan akan penting selama masa jeda ini. Dengan kepemimpinan yang baik, masa jeda ini bisa jadi lompatan untuk serangan lebih besar. Sebaliknya dengan kepemimpinan yang buruk, masa jeda ini bisa jadi menjadi peluang bagi musuh untuk melakukan konter-ofensif.

Setelah awalnya dikejutkan oleh ledakan revolusioner ini, yang sampai-sampai membuat polisi kocar-kacir, rejim mulai mengorganisir balik dan mengambil inisiatif. Mereka menabur kata-kata manis untuk menciptakan kesan bahwa mereka mendengar dan membuat massa lengah, sementara represi ditingkatkan. Tentara telah mulai dikerahkan, dan rumor mengenai darurat militer disebarkan sebagai ancaman.

Untuk sekarang, rejim tidak punya rencana untuk memberlakukan darurat militer, karena senjata ini punya konsekuensinya sendiri, yang dapat memicu kemarahan lebih lanjut. Tetapi isu darurat militer cukup dihembuskan untuk membuat ciut nyali kaum Kiri liberal, yang lalu melakukan tugas pemerintah untuk mulai menebarkan keraguan di antara massa. 

Kaum Kiri liberal, melihat mulai dikerahkannya tentara di jalan-jalan dan adanya rumor darurat militer, langsung lututnya melemah. Isu-isu penjarahan dan kerusuhan yang terus digoreng oleh media dan buzzer-buzzer bayaran penguasa mulai memiliki efeknya terhadap para aktivis Kiri liberal dan reformis. Tertekan oleh opini publik borjuis, mereka pun mengikuti nyanyian rejim: “demonstrasi itu jangan anarkis”, “penjarahan itu tidak dibenarkan”, “kita jangan mengulang kerusuhan anti-Cina 1998”, dsb. Mengikuti narasi dari media mainstream, kaum liberal ini mulai menyerukan agar gerakan ini tidak terlalu provokatif supaya tidak memicu darurat militer. Seturut politik minus malum mereka yang selalu jadi panduan mereka, lebih baik api revolusi ini padam daripada darurat militer diberlakukan.

Kaum Kiri ini beralasan: kami mendukung demonstrasi yang damai dan konstitusional; hanya saja kami menolak aksi kekerasan seperti penjarahan dan perusakan karena ini dapat mengarah ke darurat militer dan kediktatoran fasis.

Pertama-tama yang harus kita camkan, sumber kekerasan yang paling besar dan utama adalah polisi dan tentara. Berapa banyak demonstrasi damai yang direpresi dengan brutal oleh pemerintah sebelumnya. Bedanya kali ini kaum muda dan rakyat pekerja berani melawan balik, dengan membakar simbol-simbol kekuasaan seperti gedung DPRD dan kantor-kantor polisi. Inilah esensinya. Bila pun ada ekses-ekses, ini hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan gerakan revolusioner ini, dan merupakan ekspresi kegeraman dan ketidakpuasan massa yang lama ditekan dengan keji oleh penguasa. Rejim dan media mencoba mendistorsi esensi revolusioner dari gerakan ini dengan menonjolkan gambar-gambar kerusuhan. Kaum liberal demokrat termakan oleh pendistorsian ini, atau mungkin lebih tepatnya, mereka memang mencari alasan pula untuk mundur karena mereka takut dengan revolusi. Mereka tidak pernah percaya pada massa. Mereka menginginkan perubahan lewat kanal-kanal resmi yang damai, tanpa perlu melibatkan aksi massa rakyat pekerja.

Keberhasilan dari tekanan opini publik borjuis ini sudah bisa kita lihat dari demonstrasi-demonstrasi yang dibatalkan oleh organisasi-organisasi mahasiswa seperti BEM selama dua hari terakhir (1-2 September), dengan alasan situasi tidak kondusif dan takut ditunggangi. Setiap demo yang dibatalkan hanya menebar keraguan di antara massa, dan memupuk kepercayaan diri polisi dan tentara untuk memukuli dan menangkapi para demonstran. Situasi hari ini justru menjadi semakin tidak kondusif bagi gerakan karena pembatalan-pembatalan semacam itu. Represi justru menjadi semakin keji karena rejim melihat ini sebagai tanda-tanda kelemahan. Para pemimpin mahasiswa ini mengabarkan baru akan kembali turun ke jalan setelah situasi lebih aman. Situasi menjadi tidak aman justru karena massa besar tidak lagi turun di jalan, sehingga mudah bagi rejim untuk memukul aksi-aksi kecil yang sporadis.

Mari kita bayangkan apa yang ada di pikiran kaum muda dan massa ketika mendengar pembatalan demikian. Mereka jadi bingung karena merasa heran mengapa aksi-aksi dibatalkan di menit-menit terakhir. Dan ketika mereka hendak turun sendiri, mereka dilanda keraguan karena jangan-jangan mereka sendiri saja yang turun dan dengan demikian mudah direpresi. Berita pun jadi simpang siur. Apakah kita jadi aksi atau tidak? Tiap-tiap orang jadi berpikiran demikian, dan momentum pun hilang. Massa itu bukan keran air yang bisa dibuka tutup dengan begitu saja. Dalam revolusi, ada momen-momen penting yang harus direnggut, dan bila gagal dimanfaatkan tidak hanya akan hilang tetapi inisiatif bisa diambil oleh penguasa untuk meluncurkan konter-ofensif.

Cara terbaik melawan represi dan ancaman darurat militer adalah justru dengan terus memobilisasi aksi massa, bukan dengan tiarap. Dengan massa yang semakin besar jumlahnya, semakin terorganisir dan semakin kokoh, maka kekuatan represi aparatus kekerasan rejim pun akan terpukul. Inilah yang kita saksikan pada 28-30 September di mana massa berhasil memukul mundur polisi dan menghancurkan puluhan kantor polisi, bahkan dengan kekuatan massa yang secara umum masih acak dan berserakan. Ada alasan mengapa Prabowo menjanjikan kenaikan pangkat bagi polisi yang luka-luka saat berhadapan dengan massa. Ini karena setelah benturan besar pada 28-30 September serta pembakaran puluhan kantor polisi, jelas moral polisi anjlok. Bila kekuatan massa ini memiliki kepemimpinan yang jernih dan program yang dapat memimpin mereka ke kemenangan, ia dapat menjadi berlipat. Sebaliknya, kepemimpinan yang bimbang justru akan mengundang represi lebih lanjut.

Rakyat pekerja harus membentuk komite-komite aksi untuk menjadi organ demokratik perjuangan massa yang luas ini. Dari komite-komite aksi ini, garda pertahanan diri harus diorganisir untuk melawan kekerasan polisi. Kita tidak bisa membiarkan diri kita terus dipukul begitu saja. Rakyat dan Revolusi punya hak untuk membela dirinya dari kekerasan dengan cara apapun.

Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !


    Dokumen Perspektif

    srilanka
    Manifesto Sosialis Revolusioner
    myanmar protest
    Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan

    ©2025 Sosialis Revolusioner | Design: Newspaperly WordPress Theme